Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pembelajaran IPA SD

a. Pengertian IPA

Pembelajaran ilmu pengetahuan Alam (IPA) adalah salah satu

permasalahan yang mampu merangsang kemampuan peserta didik

dalam berpikir kritis, logis dan ilmiah. Menurut Purwanti, (2018 : 59)

menyatakan bahwa Sains atau IPA merupakan ilmu pengetahuan yang

berhubungan dengan alam sekitarnya. Teori ini sependapat yang

dikemukakan oleh Putrayasa (2014 : 2) IPA merupakan salah satu mata

pelajaran yang sangat penting dan selalu diberikan pada setiap jenjang

pendidikan tersebut. Tetapi, pembelajaran IPA di SD, hingga dewasa

ini sering melupakan dimensi proses yang ada. Lebih lanjut,

Wisudawati dan Sulistyowati (2014 : 26) mengungkapkan tentang

pengertian pembelajaran IPA pada hakekatnya adalah “interaksi antara

komponen-komponen pembelajaran dalam bentuk proses pembelajaran

untuk mencapai tujuan yang berbentuk kompetensi yang telah

ditetapkan”.

Komponen-komponen pembelajaran merupakan satu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan dalam melaksanaan pembelajaran.

13
14

Misalkan seperti guru tidak akan dapat melaksanakan pembelajaran

tanpa adanya siswa begitu halnya peserta didik tidak hanya cukup jika

mengadakan interaksi dengan guru saja, tetapi membutuhkan

komponen-komponen yang lainya untuk mendukung proses

pembelajaran seperti kurikulum, model pembelajaran, materi, media,

dan evaluasi. Dari semua komponen pembelajaran tersebut antara satu

dengan yang lain memiliki hubungan saling terikat. Disinilah guru

berperan sebagai faktor utama pembelajaran dan mampu menyusun

tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik lebih berkembang

secara optimal.

Menurut Trianto ( 2010 : 260 ) hakekatnya Ilmu Pengetahuan

Alam (IPA) merupakan perbaduan dari beberapa bidang ilmu

diantaranya adalah ilmu-ilmu bilogi, fisika, kimia, ilmu bumi dan

astronomi. Semua benda yang ada di alam, baik peristiwa maupun

gejala-gejala yang muncul di dalamnya dipelajari dalam mata pelajaran

IPA. Sedangkan teori yang dikemukaan menurut Nur dan Wikandari (

Trianto, 2010 : 143) berpendapat bahwa proses pemebelajaran IPA

seharusnya lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses,

sehingga peserta didik dapat menemukan fakta-fakta, membangun

konsep-konsep, teori-teori, dan sikap ilmiahnya yang dapat

mempengaruhi positif terhadap kualitas proses dan produk pendidikan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran IPA disekolah dasar adalah suatu proses pembelajaran


15

yang memadukan berbagai komponen pembelajaran dalam bentuk

proses bembelajaran guna mencapai tujuan pembelajaran yang

berbentuk kompetensi yang ditetapkan. Perlu adanya model

pembelajaran yang inovatif, sehingga peserta didik mampu dengan

mudah memahami materi yang diajarkan, agar peserta didik tidak

merasa bosan dengan pembelajaran IPA.

Pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pengalaman

belajar secara langsung dalam kehidupan sehari-hari poeserta didik

melalui pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah.

Kompetensi Dasar (KD) IPA di SD/MI merupakan standar minimum

yang secara nasional pendidikan yang harus dicapai oleh peserta didik

dan menjadi titik acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap

satuan pendidikan.

Pencapaian KI dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta

didik untuk mengembangkan kemampuan belajar ilmiah. Dalam

penelitian ini Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar pada mata

pelajaran IPA yang akan digunakan dapat disajikan dalam Tabel 1

berikut :
16

Tabel 1. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPA


No. Kompetensi Inti Kompetensi Dasar IPA
1. Menerima, menjalankan, dan 3.6 Menerapkan konsep
menghargai ajaran agama yang perpindahan kalor
dianutnya. dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Menunjukkan perilaku jujur, 4.6 Melaporkan hasil
disiplin, tanggung jawab, santun, pengamatan tentang
percaya diri, peduli, dan perpindahan kalor.
bertanggung jawab dalam
berinteraksi dengan keluarga,
teman, guru tetangga, dan negara.
3. Memahami pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural, dan
metakognitif pada tingkat dasar
dengan cara mengamati, menanya,
dan mencoba berdasarkan rasa
ingin tahu tentang dirinya,
makhluk ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, serta benda-benda
yang dijumpainya di rumah, di
sekolah, dan tempat bermain
4. Menunjukkan keterampilan
berpikir dan bertindak kreatif,
produktif, kritis, mandiri,
kolaboratif, dan komunikatif.
Dalam bahasa yang jelas,
sistematis, logis dan kritis, dalam
karya yang estetis, dalam gerakan
yang mencerminkan anak sehat,
dan tindakan yang mencerminkan
perilaku anak sesuai dengan tahap
perkembangannya.

Alasan peneliti mengambil tema suhu dan kalor yaitu dari hasil

observasi yang telah peneliti lakukan pada tema tersebut terdapat

beberapa masalah yang dianggap sulit bagi peserta didik mengenai

materi suhu dan kalor, sehingga masalah ini harus diselesaikan.


17

b. Karakteristik Peserta didik Kelas V SD

Berbicara tentang pembelajaran khususnya disekolah dasar tentu

tidak lepas dari peranan seorang guru. Guru yang profesional dalam

mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan materi kepada siswa,

namun harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki peserta didik

terlebih dahulu. Dengan guru memahami karakteristik peserta didiknya,

guru bisa menentukan pendekatan, strategi, model, maupun media apa

yang akan mereka gunakan agar peserta didik dapat menerima dengan

mudah apa yang diajarkan.

Peserta didik kelas V SD rata-rata berusia sekitar 10-11 tahun.

Berkaitan dengan perkembangan anak, (Piaget dalam Desmita, 2012 :

46-47) percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut

tahap-tahap atau periode-periode yang terus bertambah kompleks,

yaitu: (1) tahap sensorimotor (0-2 tahun), (2) tahap preoperational (2-7

tahun), (3) tahap concrete operational (7-11 tahun), (4) tahap Formal

operational (11-15 tahun), sehingga siswa kelas V masuk dalam tahap

concrete operational pada tahap ini anak dapat berfikir secara logis

mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasi benda-

benda ke dalam bentuk yang berbeda.

Pendapat di atas didukung dengan pendapat (Susanto 2013 : 77)

bahwa anak yang berusia 10-11 tahun termasuk dalam tahap

operasional konkret. Anak sudah dapat mereaksikan langsung

intelektual atau Pada tahap operasinal konkret ini peserta didik sudah
18

mulai memahami aspek-aspek intelektual atau kognitif, seperti

membaca, menulis dan berhitung. Selain itu, peserta didik sudah

mampu berpikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-

peristiwa yang konkret.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, maka dapat

disimpulkan bahwa karakteristik peserta didik kelas V SD yang berusia

10 sampai 11 tahun termasuk dalam tahap perkembangan operasional

konkret. Pada tahap ini peserta didik memiliki rasa ingin tahu yang

besar untuk melakukan hal-hal seperti menyelidik, mencoba, dan

bereksperimen, senang memperagakan sesuatu secara langsung, sudah

mulai bisa diajak untuk melakukan pembelajaran berkelompok, dan

yang paling penting pada masa ini siswa sudah mulai bisa berfikir

secara logis dan sistematis terhadap hal-hal yang konkrit seperti

mengelompokan suatu benda ke dalam kelompoknya masing-masing.

Berdasarkan karakteristik tersebut, maka peneliti akan mencoba

menerapkan model problem based learning dengan sumber belajar

lingkungan pada tema enam (panas dan perpindahannya), subtema satu

(suhu dan kalor), pembelajaran ke I. Sehingga dengan bimbingan guru,

peserta didik dapat memecahkan suatu permasalahan dengan cara

penyelidikan secara langsung melalui sumber belajar lingkungan, yang

akan membuat peserta didik aktif untuk mengeksplor kemampuan

mereka.
19

c. Karakteristik Pembelajaran IPA di SD

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Sains.

IPA mempelajari tentang alam semesta, baik yang dapat diamati dengan

indera maupun yang tidak diamati dengan indera. Menurut Wahyana

dalam Trianto (2011: 136) IPA adalah kumpulan dari suatu

pengetahuan yang tersusun secara sistematik, serta dalam

penggunaanya dapat di lakukan secara umum yang terbatas pada gejala-

gejala alam. Sedangkan menurut UU No.2 tahun 1989 Pasal 37 ayat 3

menyatakan bahwa "Ilmu Pengetahuan Alam (sains) dan teknologi

merupakan bahan yang harus dikaji sejak peserta didik belajar pada

tingkat pendidikan dasar". Berdasarkan pernyataan tersebut dapat

disimpulkan bahwa IPA merupakan mata pelajaran yang harus

diajarkan pada tingkat pendidikan dasar serta harus ditekuni dan

dikuasai oleh peserta didik, karena sains (IPA) merupakan fondasi

teknologi.

Disimpulkan bahwa uraian diatas, Ilmu Pengetahuan Alam

(Sains) merupakan pembelajaran yang memiliki karakteristik tersendiri

bagi manusia untuk lebih mengenal dengan alam yang dapat menjadi

fondasi teknologi.

2. Model Pembelajaran Problem Based Learning

a. Model Pembelajaran

Model pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran

yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas, sikap, dan pengetahuan


20

peserta didik. Hal ini dapat ditinjau dari teori yang dikemukakan oleh

Suprijono (2016 : 22) bahwa model pembelajaran merupakan landasan

yang berupa pola yang dijadikan sebagai petunjuk bagi guru untuk

melaksanakan kegiatan pembelajaran dikelas.

Model pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran

yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas, sikap, dan pengetahuan

peserta didik, hal ini dapat ditinjau dari teori yang dikemukaan oleh

Menurut Arends dalam Suprijono ( 2013 : 46 ) model pembelajaran

mengacu pada pendekatan yang digunakan termasuk di dalamnya

tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,

lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas.

Pemilihan model pembelajaran dapat memacu peserta didik

untuk lebih aktif dalam belajar. Salah satu alternatif model

pembelajaran yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir

peserta didik dalam memecahkan masalah pada pembalajaran dalah

model problem based learning.

b. Pengertian Problem Based Learning

Model Problem Based Learning atau pembelajaran berdasarkan

masalah merupakan model pembelajaran yang didesain menyelesaikan

masalah yang disajikan. Menurut Arends dalam Rahtumana (2015 :

249) pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan

pembelajaran dimana peserta didik mengerjakan masalah autentik

dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri,


21

mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan

kemandirian dan percaya diri. Menurut Kurniawan (2017 : 99)

menyatakan bahwa Problem Based Learning merupakan salah satu

model pembelajaran yang awal pembelajarannya menyajikan suatu

permasalahan, dengan memecahkan masalah yang ada pada

pembelajaran serta memberikan kondisi belajar kritis kepada peserta

didik.

Menurut Eggen Paul ( 2012 : 307 ) menyatakan bahwa Problem

Based Learning seperangkat model mengajar yang menggunakan

masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan

masalah, materi dari pengaturan diri. Menurut Trianto (2010 : 90)

model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model

pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permaslahan yang

membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang

membutuhkan penyelesaian secara nyata dari permasalahan yang nyata.

Menurut Rusman ( 2014 : 229 ) pembelajaran berbasis masalah

atau Problem Based Learning merupakan inovasi dalam pembelajaran

karena kemampuan berpikir peserta didik betul-betul dioptimalisasikan

melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga

peserta didik memberdayakan, mengasah, menguji dan

mengembangkan kemampuan berpikirnya secara kesinambungan.

Sedeangkan menurut Septiana ( 2017 : 99 ) Problem Based Learning

merupakan salah satu model pembelajaran yang awal pembelajarannya


22

menyajikan suatu permasalahan untuk memecahkan masalah yang ada

agar dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, disimpulkan bahwa

model Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang

membantu peserta didik untuk mengembangkan keaktifan dalam

kegiatan penyelidikan serta berpikir secara kritis. Selain itu model

Problem Based Learning dapat mengembangkan berpikir dalam upaya

menyelesaikan masalah.

c. Karateristik Problem Based Learning

Menurut Gibjelc dan Lam dalam Ratumana (2015 : 250)

pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa karateristik sebagai

berikut :

1) Pelajaran dimulai dengan mengangkat suatu permasalahan atau

satu pertanyaan yang nantinya menjadi fokus untuk keperluan

usaha investigasi peserta didik.

2) Situasi memiliki tangung jawab utama dalam menyelidiki masalah-

masalah dan memburu pertanyaan-pertanyaan tangung jawab

sangat penting, baik secara instruksional, maupun secara

motivasional, karena peserta didik dalam PBL secara intelektual

melakukan learning by doing

3) Guru dalam pembelajaran berperan sebagai fasilitator, sebagai

kebalikan dari model-model yang lebih berorientasi konten

(content oriented mudels) dimana guru secara aktif menyebarkan


23

informasi pembelajaran PBL justru mengharuskan guru untuk lebih

membantu secara tidak langsung dengan mengemukaan masalah

dan pertanyaan serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

probing dan bermanfaat.

Menurut North Central Ragional Educational Library dalam

Warsono (2014 : 149) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik yang

harus dipenuhi agar terbangun situasi kelas yang efektif dalam PBL,

yaitu sebagai berikut.

1) Atmosfer kelas harus dapat memfasilitasi suatu eksplorasi makna.

Para pelajar harus merasa aman dan merasa diterima. Mereka

memerlukan pemahaman baik tentang resiko maupun penghargaan

yang akan diperolehnya dari pencarian pengetahuan dan

pemahaman. Situasi kelas harus mampu menyediakan kesempatan

bagi mereka yang terlibat, saling berinteraksi, dan sosialisasi.

2) Pembelajaran harus sering diberikan kesempatan untuk

mengkonfrontasikan informasi baru dengan pengalamannya selama

proses pencarian makna. Namun kesempatan semacam itu jangnlah

timbul dari dominasi guru selama pembelajaran, tetapi harus timbal

dari banyak kesempatan peserta didik untuk menghadapi

tantangan-tantangan baru berdasarkan pengalaman masa lalunya.

3) Makna baru tersebut harus diperoleh melalui proses penemuan

secara personal.
24

d. Langkah Proses Problem Based Learning

Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki prosedur yang jelas

dalam melibatkan peserta didik untuk mengidentifikasi permasalahan.

Menurut Trianto (2009:97) peran guru dalam pembelajaran berdasarkan

masalah adalah sebagai berikut:

1) Mengajukan masalah sesuai dengan kehidupan nyata sehari-hari.

2) Membimbing penyelidikan misal melakukan eksperimen.

3) Menfasilitasi dialog peserta didik.

4) Mendukung belajar peserta didik.

Berdasarkan pendapat Suprijono (2014: 73) model problem

based learning dalam kurikulum 2013 memiliki beberapa tahapan,

yaitu:

1) Mengorientasi peserta didik terhadap masalah.

2) Mengorganisasikan peserta didik

3) Membimbing penyelidikan individu dan kelompok

4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan,

5) Menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah.

Menurut Warsono (2014 : 150) kewajiban guru dalam

menerapkan problem based learning antara lain :

1) Mendefinisikan, merancang dan mempresentasikan masalah

dihadapan seluruh peserta didik.

2) Membantu peserta didik untuk memahami masalah serta semacam

itu diamati dan dicermati.


25

3) Membantu peserta didik memaknai masalah, cara-cara mereka

dalam memecahkan masalah dan membantu menentukan argument

apa yang melandasi pemecahan masalah tersebut.

4) Bersama para peserta didik menyepakati bentuk-bentuk

pengorganisasian laporan

5) Mengakomodasikan kegiatan presentasi oleh peserta didik.

6) Melakukan penilaian proses (penilaian otentik maupun penilaian

terhadap produk laporan.

Menurut Arends dalam Ratumana (2015 : 256) ada lima fase

utama dalam penggunaan Problem Based Learning (PBL), yakni :

1) Orientasi peserta didik pada masalah.

2) Mengorganisasi peserta didik untuk belajar.

3) Memberi bantuan dalam penyelidikan secara mandiri atau bersama

kelompok.

4) Mengembangkan dan menyelidikan alat, dan

5) Menganalisis masalah dan mengevaluasi proses pemecahan

masalah.

Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa guru harus

memperhatikan langkah-langkah dalam menyusun rancangan

pelaksanaan pembelajaran, agar dapat tersusun secara sistematis.

Aktivitas yang dilakukan guru pada setiap fase sintaks tersebut dapat

dilihat pada tabel. Peneliti menggunakan langkah pembelajaran (PBL)

melalui sintaks adaptasi dari Arends dalam Ratumana (2015 : 256)


26

adapun tabel sintaks Problem Based Learning berikut ini :

Tabel 2. Sintaks Model PBL


Fase Aktivitas Guru
1. Mengorientasi peserta a. Jelaskan tujuan pembelajaran.
didik pada masalah b. Mendeskripsikan logistik (alat dan
bahan) penting yang dibutuhkan.
c. Menyajikan situasi masalah dan
membandingkan peserta didik
dalam mengidentifikasi masalah.
d. Memotivasi peserta didik untuk
terlibat pada kegiatan pemecahan
masalah.

2. Mengorganisasikan a. Membagi situasi masalah menjadi


peserta didik untuk subtopik-subtopikyang sesuai
belajar. peserta didik menemukan sebab-
sebab kejadian permasalahan.
b. Membantu peserta didik untuk
menentukan sub topik mana yang
akan mereka selidiki.
c. Mengorganisasi peserta didik
kedalam kelompok belajar
kooperatif.

3. Memberi bantuan a. Mendorong peserta didik untuk


dalam penyelidikan mengumpulkan informasi yang
secara mandiri atau sesuai dengan melaksanakan
bersama kelompok. eksperimen dengan menggunakan
metode yang tepat.
b. Mebimbing peserta didik dalam
membangun hipotesi, penjelasan,
dan pemecahan masalah.
c. Memfasilitasi terjadinya pertukaran
ide secara bebas.
4. Mengembangkan dan a. Membantu peserta didik dalam
menyediakan alat. memecahkan dan mempersiapkan
karya-karya yang sesuai, seperti
laporan video, model dan
membantu peserta didik untuk
berbagai tugas dengan temannya.
b. Mengorganisasi pameran untuk
memamerkan dan mempublikasikan
hasil karya peserta didik tersebut.
pameran dapat berupa pameran
tradisional, dimana setiap peserta
27

didik memamerkan hasil karyanya


untuk diamati atau dinilai oleh
orang lain, atau penyajian
verba/visual, di mana terjadi
pertukaran ide dan
pemberianumpan balik.
5. Menganalisis masalah a. Membantu peserta didik untuk
dan mengevaluasi merefleksikan hasil inventigasi
proses pemecahan mereka dalam proses-proses yang
masalah. digunakan.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

sintaks PBL adalah ketika kita mendapatkan suatu permasalahan di SD

Muhammadiyah Semoya Berbah Sleman Yogyakarta guru memberikan

bantuan kepada peserta didik untuk memberikan informasi dalam

permasalahan tersebut. Kemudian peserta didik diberi arahan dalam

memecahkan dan mempersiapkan suatu permasalahan, serta guru dan

peserta didik menganalisis proses pemecahan masalah. Sehingga

peserta didik mampu memecahkan suatu permasalahan pada

pembelajaran IPA.

Berdasarkan langkah-langkah di atas, dapat disimpulkan bahwa

dalam memecahkan masalah pada pembelajaran IPA untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat

menggunakan model problem based learning.

e. Keunggulan Problem Based Learning

Secara umum dapat dikemukaan bahwa kekuatan dari penerapan

model PBL menurut Warsono (2014 : 152) ini antara lain :

1) Peserta didik akan terbiasa menghadapi masalah


(problem solving) dan merasa tertantang untuk
28

menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan


pembelajaran dalam kelas, tetapi juga mengahadapi
masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari
(real world)
2) Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa
berdiskusi dengan teman-teman sekelompok
kemudian berdiskusi dengan teman-teman
sekelasnya.
3) Semakin mengakrabkan guru dengan siswa melalui
kegiatan berdiskusi bersama.
4) Karena ada kemungkinan suatu masalah harus
diselesaikan oleh peserta didik melalui eksperimen.

Pembelajaran berdasarkan masalah menurut Trianto (2010 : 96)

adalah pembelajaran yang realistik dengan kehidupan peserta didik,

pemberian konsep untuk menumbuhkan sikap inkuiri peserta didik, dan

memupuk kemampuan problem solving. Begitu pula menurut Martinis

dan Bansu (2009 : 83) pembelajaran berdasarkan masalah membantu

peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan baru untuk

kepentingan persoalan berikutnya. Kemudian dapat membantu peserta

didik belajar mentrasnsfer pengetahuan mereka ke dalam persoalan

nyata. Pembelajaran berdasarkan masalah dapat mengembangkan

keterampilan berpikir kritis dan membantu peserta didik dalam

mengevaluasi pemahamannya.

3. Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik

a. Pengertian Berpikir Kritis

Berpikir kritis sangat penting bagi peserta didik dalam

melakukan pembelajaran. Pentingnya berpikir kritis bagi para peserta

didik saat ini yaitu untuk membentuk kosep, bernalar dan berpikir
29

secara cerdas agar peserta didik mampu membuat keputusan yang

benar. Menurut Trianto (2010 : 95) Berpikir kritis adalah, kemampuan

untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan

pada inferensi atau pertimbangan yang saksama. Hal ini selaras dengan

teori yang dikemukaan oleh Santrock (2011 : 357) mengemukakan

pendapatnya bahwa berpikir adalah memanipulasi atau mengelola dan

mentransformasi informasi dalam memori. Berpikir sering dilakukan

untuk membentuk konsep, bernalar dan bepikir secara kritis, membuat

keputusan, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah.

Menurut Fios (2013 : 87) menyatakan berpikir kritis tidak

berurusan dengan penguasaan pengetahuan yang bersifat kuantitatif,

tetapi suatu keterampilan atau seni yang diperoleh dengan belajar atau

latihan secara tekun, teliti, dan cermat. Teori yang dikemukaan Menurut

Kauchak dan Eggen (2012 : 1587) menyatakan bahwa kemampuan

berpikir kritis harus ditumbuhkan melalui latihan. Melatihkan

pemecahan masalah merupakan suatu kewajiban dari guru, Maliki

(2017 : 1587). Sedangkan menurut Kurniawan (2017 : 98) berpikir

kritis merupakan keterampilan berpikir mengolah informasi, observasi

dan permasalahan yang didapat serta mengarah pada sebuah tujua.

Tujuan berpikir kritis adalah untuk menguji pendapat dipertanggung

jawabkan hasilnya. Berpikir secara kritis mampu memecahkan masalah

dengan logika seperti pendapat dari Septiana (2017 : 98) menyatakan

bahwa Berpikir kritis atau biasa disebut berpikir tingkat tinggi


30

merupakan keterampilan berpikir mengolah segala informasi, observasi

dan permasalahan yang didapat, dengan membuat keputusan apa yang

harus dilakukan disertai dengan logika. Hal ini membuat berpikir

menjadi hal yang dirasa penting terutama dalam proses pembelajaran.

Dalam berpikir kritis terdapat beberapa tujuan, menrut Sapriya (2011 :

87), tujuan berpikir kritis ialah untuk menguji suatu pendapat atau ide,

termasuk di dalamnya melakukan pertimbangan atau pemikiran yang

didasarkan pada pendapat yang diajukan. Pertimbangan-pertimbangan

tersebut biasanya didukung oleh kriteria yang dapat dipertanggung

jawabkan.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat

disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dapat mendorong

peserta didik memunculkan ide-ide atau pemikiran baru mengenai

permasalahan tentang dunia. Peserta didik akan dilatih bagaimana

menyeleksi berbagai pendapat, sehingga dapat membedakan mana

pendapat yang relevan dan tidak relevan, mana pendapat yang benar

dan tidak benar. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta

didik dapat membantu peserta didik membuat kesimpulan membantu

peserta didik membuat kesimpulan dengan mempertimbangkan data

dan fakta yang terjadi di lapangan.


31

b. Karakteristik Berpikir Kritis

Berpikir secara kritis mempunyai berbagai macam karakteristik

Menurut Murti (2009 : 1), sebagai berikut:

1) Berpikir kritis membutuhkan upaya untuk menganalisis

pengetahuan dan membuat kesimpulan berdasarkan informasi dan

data yang mendukung.

2) Berpikir kritis membutuhkan kemampuan memprediksi, dugaan

mengenali informasi, membedakan antara fakta, teori, opini, dan

keyakinan.

3) Berpikir kritis membutuhkan kemampuan untuk mengenali

masalah dan menemukan solusi untuk mengatasi permasalahan

tersebut dengan mengumpulkan informasi dan menilai pengetahuan

maupun kesimpulan.

4) Berpikir kritis berkaitan juga dengan kemampuan berbahasa yang

baik dan jelas, mampu menafsirkan data, menilai bukti-bukti dan

argumentasi, serta dapat mengenali ada tidaknya hubungan logis

antara dugaan satu dengan dugaan lainnya.

5) Berpikir kritis melatih kemampuan untuk menarik kesimpulan dan

menguji kesimpulan, merekonstruksi pola keyakinan yang dimiliki

berdasarkan pengalaman yang lebih luas, dan melakukan

pertimbangan yang akurat tentang hal-hal spesifik dalam kehidupan

sehari-hari.
32

c. Indikator Berpikir Kritis

Pada kemampuan berpikir kritis terdapat aspek atau indikator

yang dapat dikembangkan dan dilatih. Indikator kemampuan berpikir

kritis yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori dari

beberapa ahli.

Menurut Edward Glaser dalam Alec Fisher (2009 : 7)

kemampuan berpikir kritis yaitu:

(1) mengenal masalah; (2) menemukan cara-cara yang


dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu; (3)
mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan;
(4) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak
dinyatakan; (5) memahami dan menggunakan bahasa yang
tepat, jelas, dan khas; (6) menganalisis data; (7) menilai
fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan; (8)
mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-
masalah; (9) menarik kesimpulan-kesimpulan dan
kesamaan-kesamaan yang diperlukan; (10) menguji
kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang
seseorang ambil; (11) menyusun kembali pola-pola
keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih
luas; dan (12) membuat penilaian yang tepat tentang hal-
hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-
hari.

Sikap dan kecenderungan yang terkait dengan berpikir kritis,

yaitu mencakup:

1) Hasrat untuk mendapatkan informasi dan mencari bukti

2) Sikap berpikiran terbuka dan skeptisisme sehat

3) Kecenderungan untuk menunda penghakiman

4) Rasa hormat terhadap orang lain

5) Toleransi ambiguitas. Eggen, Paul dan Don Kauchak (2012:119).


33

Ennis Pritasari (2011:139) “indikator-indikator aspek

kemampuan berpikir kritis yaitu sebagai berikut: (1) Keterampilan

memberikan penjelasan yang sederhana; (2) Keterampilan memberikan

penjelasan lanjut; (3) Keterampilan mengatur strategi dan taktik; (4)

Keterampilan menyimpulkan dan keterampilan mengevaluasi”.

Pertama keterampilan memberikan penjelasan yang sederhana,

yaitu dengan indikator menganalisis pertanyaan dan memfokuskan

pertanyaan. Kedua keterampilan memberikan penjelasan lanjut, yaitu

dengan indikator mengidentifikasi asumsi. Ketiga keterampilan

mengatur strategi dan taktik, yaitu dengan indikator menentukan solusi

dari permasalahan dalam soal dan menuliskan jawaban atau solusi dari

permasalahan dalam soal. Keempat keterampilan menyimpulkan dan

keterampilan mengevaluasi, yaitu dengan indikator menentukan

kesimpulan dari solusi permasalahan yang telah diperoleh dan

menentukan alternatif-alternatif cara lain dalam menyelesaikan

masalah.

Anitah (2014 : 2.19) menjelaskan hasil belajar yang berkaitan

dengan kemampuan berpikir kritis dan ilmiah pada peserta didik

Sekolah Dasar, dapat dikaji proses maupun hasil berdasarkan:

1) Kemampuan membaca, mengamati dan atau menyimak apa yang

dijelaskan atau di informasikan.


34

2) Kemampuan mengidentifikasi atau membuat sejumlah (sub-sub)

pertanyaan berdasarkan substansi yang dibaca, diamati dan atau

didengar.

3) Kemampuan mengorganisasi hasil-hasil identifikasi dan mengkaji

dari sudut persamaan dan perbedaan.

4) Kemampuan melakukan kajian secara menyeluruh.

Menurut Glaser (Ajeng, 2011:9) indikator-indikator berpikir

kritis adalah sebagai berikut:

1) Mengenal masalah;

2) Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangan

masalah-masalah itu;

3) Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan;

4) Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan;

5) Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas;

6) Menganalisis data;

7) Menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan;

8) Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah;

9) Menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang

diperlukan;

10) Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang

seseorang ambil;

11) Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan

pengalaman yang lebih luas;


35

12) Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas

tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Ennis Harlinda.d.k.k, (2014 : 423) ada enam unsur

kemampuan berpikir kritis yang harus dikembangkan dalam

pembelajaran matematika, yaitu :

1) Fokus pada pokok permasalahan

Fokus pada pokok permasalahan memberi pengertian memahami

situasi permasalahan dengan benar, memahami apa yang harus

diselesaikan, dan kesimpulan yang diinginkan.

2) Alasan (reason) yang diberikan logis dan sesuai dengan fokus

permasalahan

Pada bagian ini penting untuk memahami berbagai alasan dan

peluang untuk membuat penyelesaian lebih masuk akal dan sesuai

dengan kesimpulan yang diinginkan.

3) Kesimpulan (inference)

Mampu membuat kesimpulan menggunakan alasan (cara) yang

dipilih terhadap permasalahan yang ada.

4) Situasi (situation)

Mampu mencocokkan masalah dengan situasi sebenarnya.

5) Kejelasan (clarity)

Adanya kejelasan mengenai istilah yang digunakan sehingga tidak

salah dalam mengambil kesimpulan.


36

6) Tinjauan ulang (overview)

Mengecek kembali yang sudah diputuskan.

Menurut Ennis dalam Susanto, (2014:125) terdapat lima

indikator yang berkaitan dengan berpikir kritis, yaitu:

1) Memberikan penjelasan sederhana, yang meliputi:

a) Memfokuskan pertanyaan

b) Menganalisis pertanyaan

2) Membangun keterampilan dasar, yang meliputi:

a) Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya

b) Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil

observasi

3) Menyimpulkan, yang meliputi:

a) Menarik hasil sesuai fakta

b) Menyimpulkan hasil observasi

4) Memberikan penjelasan lanjut, yang meliputi:

a) Mampu memberikan pendapat atau alasan dari suatu

permasalahan.

b) Mengidentifikasi asumsi

5) Mengatur strategi dan taktik, yang meliputi:

a) Menentukan tindakan

b) Berinteraksi dengan orang lain


37

Berdasarkan indikator berpikir kritis adapun indikator yang akan

digunakan dalam mengukur kemampuan berpikir kritis siswa sekolah

dasar sebagai berikut.

1) Mampu memberikan penjelasan sederhana.

2) Mampu memberikan pendapat atau alasan dari suatu permasalahan.

3) Mampu merumuskan solusi alternatif untuk memecahkan masalah.

4) Mampu menarik kesimpulan sesuai fakta.

5) Mengatur strategi dan taktik.

Kemampuan berpikir kritis tersebut sudah dapat diterapkan di

Sekolah Dasar khususnya pada kelas tinggi. Kemampuan berpikir kritis

yang dimiliki peserta didik pada tingkat sekolah dasar, sebagai bekal

untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Peserta didik akan mampu dan

terbiasa dalam menerima dan mengolah informasi dalam pengambilan

keputusan.

Berdasarkan dari penelitian di atas terdapat beberapa indikator

berpikir secara kritis. Indikator- indikator yang digunakan pada

penelitian ini meliputi memberikan penjelasan sederhana, membangun

ketrampilan dasar, menyimpulkan, memberikan penjelasan lanjut, dan

mengatur strategi tehnik. Penelitian ini menggunakan indikator tersebut

guna memperoleh hasil peningkatan belajar peserta didik di SD

Muhammadiyah Semoyah.
38

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Nugraha ( 2018 ) hasil penelitian

dibuktikan bahwa sebanyak enam orang peserta didik mengalami peningkatan

yang cukup signifikan, terbukti dengan nilai indeks gain yang tinggi, yaitu

lebih dari 0,70, sementara yang lainnya, yaitu sebanyak 24 peserta didik

mengalami peningkatan dengan nilai indeks gain berkisar antara 0,30 sampai

dengan 0,69 yang termasuk kategori cukup. Nilai indeks gain dari

peningkatan kemampuan berpikir kritis seluruh peserta didik adalah 0,50,

yang berarti terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik

setelah pembelajaran dengan menggunakan Problem Based Learning

termasuk dalam kategori cukup.

Terdapat perbedaan rata-rata dalam kemampuan berpikir kritis antara

hasil post test dengan hasil pre tes. Hasil pre test kemampuan berpikir kritis

mendapatkan skor rata-rata 14,733 dengan nilai ujian rata-rata 39. Sedangkan

hasil post test kemampuan berpikir kritis mendapatkan skor rata-rata 26,37

dengan nilai ujian rata-rata 69. Ini menggambarkan bahwa terdapat

peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik sebelum mendapatkan

pembelajaran dengan model problem based learning.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2015) hasil penelitian

berdasarkan analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan ketrampilan

berpikir kritis dan prestasi belajar peserta didik yang signifikan. Hal ini

diketahui dari data kegiatan pada siklus pertama adalah 2,245 dan

dikategorikan kurang dapat diketahui bahwa dengan penerapan model


39

Problem Besed Learning (PBL) pada siklus pertama diperoleh nilai rata-rata

pre-test dan post-test adalah 43 dan 58 dan ketuntasan belajar pre-test dan

post-test mencapai 0 persen dan 30 persen hasil tersebut menunjukan bahwa

pada siklus I yang telah dilakukan secara klasikal peserta didik belum

dikategorikan tuntas. Karna sisa yang memperoleh nilai ≥ 65 baru mencapai

sebesar 30 persen artinya belum mencapai persentase ketuntasan yang

dikehendaki yaitu sebesar 90 persen prestasi belajar peserta didik dikatakan

tuntas jika memperoleh ≥ 65 dengan ketuntasan belajar klasikal mencapai

90%.

Sedangkan pada siklus kedua dengan nilai rata-rata adalah 3,585 dan

dikategorikan dengan nilai cukup dapat diketahui bahwa dengan penerapan

model Problem Besed Learning (PBL) pada siklus II diperoleh nilai rata-rata

pre-test dan posttest adalah 56 dan 68,5. Hal ini menunjukkan adanya

peningkatan hasil belajar yaitu sebesar 12,5 atau 18,24 persen, dan

peningkatan hasil tersebut menunjukan pada siklus kedua yang telah

dilakukan secara klasikal. Data diatas dapat dibuktikan bahwa siklus pertama

dan post-test siklus kedua diperoleh thitung sebesar 4,36. Bila

dikonsultasikan pada tabel dengan dk 9 pada taraf signifikan 0,05 atau 5

persen sebesar 2,262 ternyata thitung lebih besar dari ttabel bearti hasil post-

test siklus II naik secara signifikan dibandingkan post-test siklus I Dengan

demikian, Penerapan model Problem Based learning (PBL) dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran IPA kelas V

pada SD 07 Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah dengan penerapan


40

model Problem Based learning (PBL) di mulai dengan langkah-langkah guru

menyiapkan logistik yang dibutuhkan. Kemudian peserta didik melakukan

pemecahan masalah yang memicu siswa untuk berpikir kritis.

Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Nafiah ( 2014 ) hasil

penelitian dibuktikan bahwa melalui penerapan model problem based

learning dalam pembelajaran materi perbaikan dan setting ulang PC dalam

penelitian ini dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam

pembelajaran, Keterampilan berpikir kritis peserta didik setelah penerapan

problem based learning meningkat sebesar 24,2%. Jumlah siswa dengan

kategori keterampilan berpikir kritis tinggi pada akhir siklus II yaitu sebanyak

27 peserta didik (93,1%). Sedangkan Melalui penerapan model problem

based learning dalam pembelajaran materi perbaikan dan setting ulang PC

dalam penelitian ini dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik,

Peningkatan hasil belajar peserta didik setelah penerapan problem based

learning yakni sebesar 31,03%. Jumlah peserta didik yang mencapai

kemampuan berpikir kritis pada akhir siklus II yakni sebanyak 29 peserta

didik (100%).

Darusman (2014) dalam penelitian yang berjudul “Penerapan Model

Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis

pada pembelajaran IPA”. Persamaan dari penelitian ini yaitu menggunakan

Model problem based learning. Perbedaan dari penelitian ini yaitu untuk

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada mata

pembelajaran IPA, dan subjek penelitian peserta didik SMP. Hasil dari
41

penelitian ini adalah peningkatan kemampuan berpikir kritis IPA peserta

didik, yang pembelajarannya menggunakan model problem based learning

lebih baik dari pada yang cara konvensional. Peningkatan peserta didik yang

memperoleh pembelajaran menggunakan pendekatan model problem based

learning dan yang cara biasa, keduanya tergolong ke dalam kategori sedang.

Anggoro (2020) Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil

Belajar Dengan Metode Mind Mapping Kelas IV SD Muhammadiyah Ngijon

I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan

metode mind mapping pada pra tindakan mendapatkan hasil kemampuan

berpikir kritis dengan rata-rata 60,375 berkategori “cukup”, dilanjutkan siklus

I mendapatkan rata-rata 66 berkategori “baik” dan meningkat pada siklus II

dengan rata-rata sebesar 80 berkategori “Sangat Baik”. Sedangkan perolehan

pada pra tindakan hasil pembelajaran dengan rata-rata 21,875 yang

berkategori belum tuntas dan dilanjut pada siklus I mendapatkan rata-rata

71,40 yang berkategori belum tuntas sehingga dilaksanakan siklus II. Pada

siklus II hasil belajar mendapatkan rata-rata 79,84 yang menunjukkan

kategori tuntas KKM dengan nilai KKM sebesar 75 dan berkriteria “Baik”.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode

pembelajaran mind mapping dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis

dan hasil belajar siswa kelas IV SD Muhammadiyah Ngijon 1.


42

No. Nama Judul Tahun Persaman Perbedaan

1. Nugraha Peningkatan 2018 Persamaan Perbedaannya

kemampuan penelitian ini yaitu

berpikir kritis terletak pada penelitian

peserta didik dan model yang yang

penguasaan diterapkan, sebelumnya

konsep IPA dengan untuk

siswa dengan melibatkan meningkatkan

menggunakan peserta didik aktivitas

model problem untuk berpikir peserta didik.

based learning. kritis dalam Sedangkan

memecahkan peneliti sendiri

masalah- ingin

masalah dalam meningkatkan

kegiatan proses kemampuan

pembelajaran berpikir kritis

IPA. peserta didik.

2. Rahayu Peningkatan 2015 Persamaan Perbedaannya

keterampilan penelitian ini yaitu

berpikir kritis terletak pada penelitian

dan prestasi model yang sebelumnya

belajar peserta diterapkan untuk

didik yang dengan meningkatkan

signifikan. melibatkan prestasi belajar

peserta didik peserta didik.


43

untuk berpikir Sedangkan

kritis dalam peneliti sendiri

menyelesaikan ingin

masalah- meningkatkan

masalah pada kemampuan

pembelajaran berpikir dalam

IPA. pembelajaran

IPA.

3. Nafiah Penerapan model 2014 Persamaan Perbedaannya

problem based penelitian ini yaitu

learning untuk terletak pada penelitian

meningkatkan model yang yang

keterampilan diterapkan, sebelumnya

berpikir kritis dengan untuk

dan hasil belajar melibatkan meningkatkan

siswa. peserta didik hasil belajar

untuk berpikir peserta didik

kritis. sekolah

Menengah

Kejuruan

(SMK) kelas

X Teknik

Komputer

Jaringan

(TKJ).
44

Sedangkan

peneliti sendiri

ingin

meningkatkan

kemampuan

berpikir kritis

dalam

pembelajaran

IPA.

4. Darusman Penerapan Model 2014 Persamaan dari Perbedaan dari

Problem Based penelitian ini penelitian ini

Learning untuk yaitu yaitu untuk

Meningkatkan menggunakan meningkatkan

Kemampuan Model problem kemampuan

Berpikir Kritis based learning. berpikir kritis

pada peserta didik

pembelajaran pada mata

IPA pembelajaran

IPA, dan

subjek

penelitian

peserta didik

SMP.

5. Anggoro Peningkatan 2020 Persamaannya Perbedaanya

Kemampuan yaitu sama- adalah


45

Berpikir Kritis sama menggunakan

Dan Hasil meningkatkan metode Mind

Belajar Dengan berpikir kritis Mapping

Metode Mind peserta didik. Kelas IV.

Mapping Kelas

IV SD

Muhammadiyah

Ngijon I.

Kontribusi penelitian diatas adalah sebagai referensi memperoleh hasil

dari penelitian untuk peningkatan pembelajaran peserta didik dengan

penggunaan model Problem Based Learning pada pembelajaran IPA di SD

Muhammadiyah Semoya Berbah untuk

C. Kerangka Pikir

Proses pembelajaran merupakan komunikasi interaksi antara peserta

didik dengan guru dalam menjalankan pembelajaran berlangsung di dalam

kelas. Guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman serta

memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam memahami penjelasan

yang disampaikan oleh guru. Guru menggunkaan model pembelajaran yang

konvensional dimana peserta didik hanya menjadi pendengar pada saat proses

belajar, peserta didik cenderung banyak bermain, pembelajaran dianggap

sebagai produk saja sehingga hanya diberikan isi materi yang berbau hafalan,

tidak sungguh-sungguh dalam mengikuti pembelajaran, konsentrasi peserta

didik yang kurang maksimal serta guru belum menggunakan model PBL
46

untuk melatih peserta didik dalam memecahkan masalah yang ada pada

pembelajaran. Maka dalam hal tersebut dapat menimbulkan kemampuan

berpikir kritis peserta didik rendah ketika peserta didik diberikan pertanyaan

dengan menggunakan indikator berpikir kritis atau tes, hasil yang diperoleh

dari keseluruhan jumlah peserta didik yang mendapatkan nilai di bawah

KKM. Hal tersebut disebabkan karena guru masih sering menggunakan

model pembelajaran berbasis ceramah serta pembelajaran terlihat monoton,

sehingga peserta didik merasa lebih mudah bosan.

Proses pembelajaran di dalam kelas perlu diciptakannya suasana atau

kondisi belajar yang menyenangkan. Guru harus memperhatikan karateristik

peserta didik pada saat mengajar model-model pembelajaran apa yang cocok

untuk peserta didiknya. Baik dalam menciptakan model pembelajaran yang

bervariasi/inovatif agar bisa menarik peserta didik dalam mengikuti proses

pembelajaran secara optimal. Hal tersebut dilakukan agar proses transfer ilmu

yang diberikan guru kepada peserta didik dapat terjadi dengan baik sehingga

peserta didik benar-benar dapat memahami materi yang disampaikan oleh

guru. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengembangkan

kemampuan berpikir kristis pada peserta didik, yaitu model problem based

learning. Model digunakan pada proses pembalajaran agar peserta didik

terlatih untuk memecahkan masalah yang ada pada pembelajaran.

Model problem based learning adalah model pembelajaran

pengetahuan peserta didik dalam memecahkan masalah yang ada pada

pemebelajaran yaitu peserta didik dituntut untuk memiliki kemampuan dalam


47

Orientasi pada masalah, mengorganisasi untuk belajar, memberi bantuan

dalam penyelidikan secara mandiri atau bersama kelompok dan

mengembangkan dan menyelidiki alat. Selain itu model problem based

learning ini dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik dalam mengungkapkan pendapatnya secara mandiri, lebih jelas

menerima pemahamam dari apa yang diajarkan oleh guru sehingga peserta

didik terlatih untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan yang ada pada

pembelajaran dengan baik.

Model problem based learning digunakan untuk peserta didik lebih

menjadi paham terhadapt materi yang dijelaskan, dengan beberapa media

yang akan digunakan guru pada proses pembelajaran peserta didik lebih

mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait isu-isu pokok

permasalahan yang ada pada tes soal, peserta didik mampu memecahkan

permasalahan pada pembelajaran secara maksimal diikuti dengan naiknya

kemampuan berpikir kritis peserta didik. Keunggulan dari problem based

learning adalah (1) peserta didik akan terbiasa menghadapi masalah (problem

solving) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, (2) memupuk

solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok

kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya, (3) semakin

mengakrabkan guru dengan peserta didik melalui kegiatan berdiskusi

bersama, (4) karena ada kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan oleh

peserta didik melalui eksperimen. Sehingga dari hal tersebut dapat

meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas V SD


48

Muhammadiyah Semoya Berbah Sleman Yogyakarta. Untuk melaksanakan

model problem based learning yang baik atau efektif, ada beberapa langkah-

langkah yang harus dipahami dan digunakan oleh guru, meliputi perencanaan

dan pelaksanaan oleh guru lalu diikuti oleh peserta didik dan diakhiri dengan

evaluasi.

Kerangka berpikir dengan pendekatan model PBL dijelaskan pada

skema gambar 1 berikut :

Dalam pembelajaran guru menggunakan model konvensional sehingga peserta dididk belum terbiasa
Peserta didik:
Kemampuan
Kondisi berpikirnya
Awal rendah pada
pembelajaran
IPA dikareankan
peserta didik
kurang
memperhatikan
pada
Dalam pembelajaran guru menerapkan model problem based learning setiap
pada pembelajaran IPA untuk m
proses

Tindakan

Dengan menerapkan model pembelajaran problem based learning kemampuan berpikir kritis peserta d

Kondisi Akhir

Gambar 1. Kerangka Pikir


49

D. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan latar belakang masalah dan kerangka pikir di atas, maka

hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Penerapan

model problem based learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir

kritis peserta didik dalam mata pelajaran IPA kelas V SD Muhammadiyah

Semoya Berbah Sleman Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai