Anda di halaman 1dari 3

Bab 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sebagai Negara dengan penduduk beragama islam terbesar di dunia, Indonesia


memiliki cerita tersendiri soal organisasi – organisasi islam yang berkembang. Termasuk
kehadiran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi islam terbesar di Indonesia yang
memiliki sejarah panjang dalam pengaruhnya bagi penganut islam di tanah air.
Banyaknya perbedaan ideologi dan arah politik dalam agama di Indonesia, menjadi tanda
munculnya sejarah NU yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 atas nama kaum
tradisionalis dalam menanggapi fenomena yang ada di dalam dan luar negeri, khususnya
di dunia Islam.
Inilah jawaban untuk umat Islam atas fenomena yang terjadi di dunia Islam dan
Indonesia akan berpartisipasi dan memperkuat peringkat rekonstruksi nasional. Nama
Nahdlatul Ulama berasal dari bahasa Arab, yakni nahdlatul yang artinya berdiri atau
bergerak. Nama Nahdlatul Ulama menyesatkan “Ulama” kuno. Nahdlatul Ulama adalah
organisasi kemasyarakatan dan keagamaan dengan simbol-simbol yang menjelaskan
tujuan dasar dan cita-cita keberadaan suatu organisasi. Lambang Nahdlatul Ulama
diciptakan oleh KH. Ridwan Abdullah setelah proses kontemplasi dan hasil doa
istikharah Sebagai pemimpin Allah SWT. Nahdlatul Ulama lahir pada tanggal 31 Januari
1926 sebagai perwakilan ulama tradisionalis yang mendapat bimbingan ideologis dari
Ahlus Sunnah wal jamaah, yakni tokoh- tokoh seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K. H. Wahab
Hasbullah dan para ulama lainnya ketika upaya reformasi mulai meluas. Meskipun
terorganisir, mereka sudah memiliki hubungan yang sangat kuat. Perayaan seperti haul,
peringatan wafatnya seorang kyai, yang kemudian mengumpulkan masyarakat sekitar,
para kyai dan mantan santrinya hingga sekarang masih dilakukan secara rutin di beberapa
wilayah di tanah air.
Menurut Muhammad Abu Zahrah Islam memiliki dua bentuk utama, yakni praktis dan
teoritis. Perbedaan tersebut justru terlihat pada kelompok-kelompok seperti Ali bin Abi
Thalib, Khawarij, dan Muawiyah. Bentuk keberatan kedua dalam Islam bersifat teoritis
ilmiah, seperti dalam kasus “Aqidah dan Penuh” (Fikhu). Ahlussunnah Wal Jamaah
sebagai salah satu aliran batin Islam tentunya memiliki nuansa politik dan sangat kental
pada saat kelahirannya.
Namun dalam perkembangan wacananya juga merambah bidang-bidang seperti
Aqidah, hukum Islam, tasawuf, dan politik.
Untuk ideologi ahlussunnah wal jamaah lahir karena alasan yang sangat mendasar.
Kekuatan penguasa kolonial Belanda untuk menghancurkan potensi Islam telah
menumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan ulama untuk menjaga kemurnian dan
keutuhan ajaran Islam. Selain itu ada pula rasa tanggung jawab ulama sebagai pemimpin
yang memperjuangkan kemerdekaan dan dibebaskan dari belenggu penjajahan. Ulama
juga memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga kedamaian bangsa Indonesia.
Pengaruh Nahdlatul Ulama sangat besar di kalangan Kyai dan Ulama di Jawa bagian
timur dan tengah, serta masyarakat umum. Seperti statuta Nahdlatul Ulama. Perumusan
Pada tahun 1927, organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat kesetiaan Islam kepada
salah satu dari empat Madzhab dan untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi
para anggotanya sesuai dengan ajaran Islam. Sebenarnya, Nahdlatul Ulama, salah satu
organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia dari komunitas Islam yang ada sejak
kelahirannya di tahun 70-an. Selain itu NU juga selalu menekankan pentingnya menjaga
dan menghormati kekayaan budaya nusantara. Terinspirasi dari tipikal tudingan terhadap
Wali Songo yang berhasil “menghubungkan” bidang agama (Islam) dengan wilayah
budaya. Dalam praktiknya NU berwajah familiar atau muda, sebagaimana diakui oleh
seluruh masyarakat.
Untuk menghindari pendekatan negatif memerlukan dorongan dari dua hal yang
sangat dibutuhkan dalam konteks pluralisme, yakni: Pertama, melekatnya identitas
nasional karena mereka mengikuti jalur budaya dengan karakter pluralistic. Komunitas
budaya jarang merasa bahwa keberadaan mereka secara langsung atau tidak langsung
terancam. Dari sinilah muncul aturan hukum Islam “al`adah muhakkamah”.
Ini memberikan peluang besar untuk mengubah tradisi apa pun menjadi bagian dari
hukum Islam. Kecuali ibadah Mahdah, seperti shalat atau puasa, kegiatan budaya sangat
mungkin dianggap sebagai kegiatan yang dipaksakan secara agama jika berperan dalam
mendukung prinsip-prinsip Islam. Dan setidak-tidaknya kegiatan budaya tersebut tidak
dilarang kecuali mengganggu kemanfaatannya.
Oleh karena itu, kehormatan Islam di Indonesia selalu didukung dengan cara yang dapat
diterima oleh kelompok lain, meskipun secara statistik dikategorikan mayoritas, dan tidak
dipaksakan oleh kepentingan masyarakat dan penindasan atau penolakan keberadaannya.
Langkah-langkah ini dapat sangat membantu dalam mendukung upaya untuk
memantapkan identitas nasional bersama.

Anda mungkin juga menyukai