Anda di halaman 1dari 1

Islam, sebagai agama yang sarat nilai-nilai etis, sesuai dengan penegasannya sebagai rahmat bagi

semesta alam, sudah waktunya di-gumul-kan dengan prinsip-prinsip dasar dan cara kerja ilmu
pengetahuan. Hal ini dimaksudkan agar teknologi dan industri dalam penerapannya senantiasa berdaya
dan tepat guna sesuai dengan tujuan dan fungsi ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan umat manusia.
Sejarah telah mencatat kemajuan peradaban Islam dalam semua bidang ilmu pengetahuan. Para
ilmuwan muslim pada saat itu menjadi pioneer pengetahuan sekitar delapan abad sebelum masa Galileo
Galilie (1564-1642) dan Copernicus (1473-1543). Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa prinsip-prinsip
dasar ilmu pengetahuan telah disusun oleh ilmuwan muslim jauh sebelum filsafat ilmu (philosophy of
science) terformulasi sebagai sebuah disiplin ilmu.1

Sosiologi ilmu (bukan ilmu sosiologi!) adalah sebuah disiplin yang secara teoritis berusaha menganalisis
kaitan antara pengetahuan dengan kehidupan dan secara metodologis berupaya menelusuri bentuk-
bentuk yang diambil oleh kaitan itu dalam perkembangan intelektual manusia. Disiplin ini dirintis oleh
Max Scheler dan kemudian diperkokoh oleh Karl Mannheim.35 Sosiologi ilmu (atau lebih tepatnya
adalah sociology of knowledge) muncul sebagai respon terhadap ilmu-ilmu sosial yang mengadopsi
begitu saja ilmu-ilmu alam baik dalam teori, metodologi maupun epistemologi, yang memang sejak akhir
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ilmu-ilmu alam melalui metodologi ilmiahnya mencapai puncak
kejayaannya.36 Sehingga kemudian dihasilkan suatu ‘kesepakatan’ tentang perbedaan pendekatan
(metodologi) antara ilmu alam dan ilmu sosial-budaya. Bagi ilmu sosial-budaya dikenal dengan
pendekatan verstehen (pemahaman), sedang untuk ilmu-ilmu alam dikenal dengan pendekatan erklären
(penjelasan berdasarkan hukum alam; kausalitas). Pembedaan pendekatan secara dikotomis ini
dikenalkan oleh Wilhelm Dilthey, salah seorang filsuf hermeneutika Romantik yang dikenal cukup gencar
mengkritik paradigma positivisme dalam ilmu-ilmu sosial.

Dalam pandangan sosiologi ilmu, pengetahuan tidak pernah lepas dari subjektifitas individu yang
mengetahui. Latar belakang sosial dan psikologis individu akan senantiasa mempengaruhi proses
terjadinya pengetahuan. Relasi antara pengetahuan dan eksistensi manusia adalah suatu kenyataan
yang tidak bisa dihindari. Dalam konteks ini, maka klaim ilmiah tentang objekifitas ilmu pengetahuan,
seperti tercermin dalam sains positif dan bahkan klaim teologis dalam keberagamaan, sama sekali masih
dapat dipertanyakan. Ilmu pengetahuan, apapun jenisnya, sejauh masih disebut ilmu pengetahuan,
tidak bisa lepas dari sebuah setting sosio-historisnya masing-masing, sehingga bentuk-bentuk hasil
temuan ilmiah barulah bersifat perspektivistik (atau bersifat ijtihady, dalam istilah keilmuan Islam).

Dengan demikian, sosiologi ilmu memberikan informasi yang cukup tentang adanya keterkaitan antara
proses keilmuan tertentu dengan faktor-faktor lain di luar keilmuan, misalnya ideologi, tradisi
keagamaan, otoritas politik, ekonomi, dll. Dari sinilah terlihat kaitan antara filsafat ilmu dengan sosiologi
ilmu.

Anda mungkin juga menyukai