Anda di halaman 1dari 23

TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PELAPOR TRANSAKSI

KEUANGAN MENCURIGAKAN DALAM APLIKASI GATHERING REPORTS


& INFORMATION PROCESSING SYSTEM (GRIPS)

Nurananda Budi Muliani, Dr. Pieter Everhardus Latumeten, S.H., M.H. ,


Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H.
______________________________________________________________________

ABSTRAK

Perkembangan teknologi informasi serta globalisasi saat ini dapat memunculkan aktivitas
kriminal yang dilakukan secara terorganisir dan telah banyak melintasi batas yurisdiksi
suatu negara yakni berupa kejahatan transnasional seperti tindak pidana pencucian uang.
Dalam kejahatan pencucian uang tersebut seringkali dapat melibatkan Notaris dalam
kewenangannya membuat akta autentik. Oleh karena itu, pemerintah memperluas
ketentuan pihak pelapor khususnya Notaris untuk wajib melaporkan transaksi keuangan
mencurigakan kepada PPATK dengan melakukan pendaftaran dan pelaporannya pada
suatu sarana khusus yakni aplikasi pelaporan GRIPS. Akan tetapi, sejatinya kewajiban
pelaporan tersebut berbenturan dengan kewajiban yang dipegang oleh Notaris sebagai
pengemban rahasia jabatan. Dengan demikian, ditemukan permasalahan mengenai:
bagaimana kedudukan dan peran Notaris dalam sistem pelaporan tindak pidana pencucian
uang serta tanggung jawabnya sebagai pihak pelapor dalam aplikasi GRIPS. Penelitian
ini menggunakan metode yang berbentuk penelitian yuridis normatif dengan metode
kualitatif sebagai metode analisis data dan menggunakan studi dokumen yang didukung
dengan hasil wawancara sebagai alat pengumpulan data. Berdasarkan hasil penelitian,
maka dapat disimpulkan bahwa Notaris telah diberikan kewenangan melalui Undang-
Undang, dan oleh karena itu apabila Notaris dibebani kewajiban lain harus diatur pula
dalam Undang-Undang. Meskipun secara legalitas Notaris tetap wajib melakukan
pendaftaran dan pelaporan pada aplikasi GRIPS, tetap diperlukannya suatu kekuatan
hukum dengan melakukan upaya hukum atas pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang (judicial review) kepada Mahkamah Agung agar terciptanya
kepastian hukum terhadap Notaris sehubungan dengan permasalahan kewajibannya
tersebut.

Kata Kunci: Notaris, Kewajiban Melaporkan, Transaksi Keuangan Mencurigakan,


Aplikasi GRIPS.

A. PENDAHULUAN
2

1. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945) setelah perubahan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum.1 Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep teori
kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam
suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun
namanya termasuk warga negara harus tunduk dan patuh serta menjunjung tinggi hukum
tanpa kecuali.2
Sebagai sebuah negara hukum yang juga berkembang, Indonesia telah berhasil
menjadi satu-satunya negara ASEAN yang termasuk ke dalam anggota G-20
perekonomian besar di dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang stabil setiap tahunnya dan menempatkan negara Indonesia
menjadi salah satu kekuatan ekonomi di dunia.3 Keberhasilan Indonesia menjadi economy
global power tersebut tidak terlepas dari pelaksanaan pembangunan yang dimiliki negara
Indonesia dengan disertai kemajuan teknologi informasi dan globalisasi perdagangan.
Dampak dari perekonomian besar tersebut dapat dilihat dalam berbagai bidang
kehidupan, baik hukum, ekonomi dan politik menyusul semakin pesatnya perkembangan
teknologi informasi. Akan tetapi, disisi lain perkembangan teknologi informasi serta
globalisasi dapat memunculkan aktivitas kriminal yang dilakukan secara terorganisir dan
telah banyak melintasi batas yurisdiksi suatu negara yakni berupa kejahatan transnasional
(transnational crime) yang berawal dari persaingan ekonomi. Beberapa kejahatan
tersebut antara lain meliputi korupsi, perdagangan orang, penyelundupan orang dan
senjata, serta pencucian uang.4
Pencucian uang merupakan bentuk kejahatan yang terorganisir dengan cara
menyembunyikan dan menyamarkan harta hasil tindak pidana, sehingga asal-usul harta
kekayaan yang telah diperoleh tersebut seolah-olah berasal dari hasil kegiatan usaha yang
sah atau legal. Sebagaimana ternyata dalam kamus Black’s Law Dictionary yang
memberikan pengertian bahwa pencucian uang adalah “term used to describe investment
or other transfer of money flowing from racketeeting, drug transaction, and other illegal
sources into legitimate channels so that is original source cannot be traced.”5 Dalam
terjemahan bebasnya dapat diartikan bahwa pencucian uang adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan investasi atau transfer uang lainnya yang mengalir dari
pemerasan, transaksi dan sumber illegal melalui jalur yang sah, sehingga uang tersebut
tidak dapat diketahui lagi asal usulnya.

1
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV, LN. 14 Tahun 2006, Ps. 1 ayat (3).
2
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003), hlm. 12.
3
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, General Konsulat Der Republik Indonesien Frankfurt,
https://www.indonesia-frankfurt.de/ekonomi/peran-indonesia-dalam-ekonomi-internasional/, diakses 31
Januari 2019.
4
Romli Atmasasmita, Globalisasi Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 39.
5
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Sixth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co.,
1990), hlm. 884.

Universitas Indonesia
3

Berdasarkan penelusuran sejarah, kejahatan pencucian uang pertama kali muncul di


Amerika Serikat pada awal abad ke-20, ketika perusahaan-perusahaan pencucian pakaian
(laundry) digunakan oleh para mafia untuk pemutihan/ pencucian uang yang diperoleh
dari perbuatan illegal dengan cara membeli perusahaan-perusahaan laundry tersebut,
sehingga seolah-olah uang yang mereka kumpulkan itu berasal dari bisnis cuci pakaian.6
Tidak sampai disitu, kejahatan pencucian uang kembali terulang di Amerika Serikat pada
tahun 1931 yang dilakukan oleh Meyer Lansky dengan membuat rekening lepas pantai di
Bank Swiss yang digunakan untuk menyembunyikan hasil kejahatan Gubernur
Lousianna, Hue Long. Kemudian, Lansky mendirikan usaha mesin slot di New Orleans
dan Bank Swiss yang menyediakan dana dalam bentuk pinjaman kepada Lansky & Co.7
Cara-cara tersebut yang memungkinkan kejahatan pencucian uang kembali ke
Amerika Serikat ditambah dengan meningkatnya arus globalisasi dan teknologi informasi
yang menjadikan dimensi kejahatan pencucian uang dapat melintasi batas suatu negara.
Oleh karena itu, untuk pertama kalinya dibentuklah hukum anti pencucian uang yang
dilakukan oleh Amerika Serikat pada tahun 1970 melalui pembentukan undang-undang
Bank Secretary Act dengan tujuan untuk memberikan sarana yang diperlukan oleh
otoritas penegak hukum untuk memerangi pencucian uang.8
Dalam memerangi kejahatan pencucian uang tidak hanya dibutuhkan peraturan saja,
tetapi juga dibutuhkan suatu karakteristik khusus dan juga titik tolak serta pemberantasan
terhadap kejahatan ekonomi yang bukan saja dengan memberantas kejahatan asalnya
tetapi juga memburu hasil kejahatan tersebut dengan menerapkan ketentuan anti
pencucian uang, bukan saja pelaku kejahatan asalnya tertangkap tetapi juga ke mana
aliran dana hasil kejahatannya terungkap, dengan menerapkan ketentuan anti pencucian
uang menyertai kejahatan asal, maka penegak hukum bisa mendapatkan 2 (dua)
sekaligus, yaitu menangkap pelaku kejahatan asal dan sekaligus merampas kembali hasil
kejahatan untuk dikembalikan kepada yang berhak.9
Paling tidak terdapat 3 (tiga) motivasi para pelaku kejahatan untuk melakukan
pencucian uang dari hasil kejahatan yang dilakukannya, yaitu kekhawatiran para pelaku
akan berhadapan dengan petugas pajak, penuntutan oleh aparat penegak hukum, dan
kekhawatiran hasil kejahatan tersebut disita karena didapatkan secara ilegal.
Sebagaimana ternyata yang telah disebutkan oleh Emily G. Lawrence dalam bukunya
yang berjudul “Lest Seller Beware of Money Laundering”, sebagai berikut:
The motivation for all of this activity arises from a situation where a person attempts
to spend illegally-acquired money without first hiding its origin. When this occurs,
one of there possibilite is likely to result: (1) the individually may held liable for taxes
on the fund and/or for non-payment of taxes; (2) the money may be linked to the

6
Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah dan Memberantas Tindak
Pidana Pencucian Uang, cet.1, (Jakarta: Visimedia, 2012), hlm. 4.
7
Hanafi Amrani, Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti Pencucian Uang dan
Implikasinya Terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum,
(Yogyakarta: UII Press, 2015), hlm. 2.
8
Ibid., hlm. 2-3.
9
Yenti Ganarsih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahan di Indonesia, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 1.

Universitas Indonesia
4

crime, making owners a target for persecution; (3) the money may be subjects
forfeiture if the government find that’s it was illegally acquired.10
Sementara itu, menurut Yunus Husein, akibat maraknya pelaku kejahatan pencucian
uang memberikan dampak yang buruk terhadap berbagai faktor antara lain:
1. Merongrong integritas pasar keuangan karena lembaga-lembaga keuangan
(ifinancial institutions) yang mengandalkan dana hasil kejahatan dapat
menghadapi resiko likuiditas;
2. Mengganggu sektor swasta yang sah dengan tindakan para kriminal menggunakan
perusahaan-perusahaan (front companies) untuk mencampur uang haram dengan
uang sah, dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul dari uang yang
dihasilkan oleh kegiatan kejahatannya. Perusahaan-perusahaan (front companies)
tersebut memiliki akses terhadap dana-dana haram yang besar jumlahnya, yang
memungkinkan mereka untuk mensubsidi barang dan jasa yang dijual oleh
perusahaan tersebut agar dapat dijual dengan harga jauh dibawah harga pasar,
sehingga merugikan perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnis mereka
secara legal;
3. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi;
4. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi karena para pencuci uang tidak
tertarik untuk memperoleh keuntungan dari investasi tetapi lebih mengutamakan
keuntungan dalam waktu cepat dari kegiatan-kegiatan yang secara ekonomis tidak
bermanfaat bagi negara;
5. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak karena pencucian
uang menghilangkan pendapatan pajak yang jujur. Hal itu juga mengakibatkan
pengumpulan pajak oleh pemerintah menjadi makin sulit untuk dilakukan;
6. Membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara
yang dilakukan oleh pemerintah, sekaligus mengancam upaya-upaya reformasi
ekonomi oleh negara melalui privatisasi perusahaan milik negara. Organisasi-
organisasi kejahatana tersebut menggunakan dana yang dimiliki untuk membeli
saham-saham perusahaan milik negara tersebut dengan harga yang jauh lebih
tinggi dari calon pembeli lainnya;
7. Rusaknya reputasi negara yang nantinya akan berdampak pada kepercayaan pasar
karena kegiatan pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan (financial
crimes) yang dilakukan oleh negara yang bersangkutan;
8. Menimbulkan biaya sosial (social cost) yang tinggi.11
Dampak buruk tersebut terjadi akibat tindak pidana pencucian uang yang dapat
dibuktikan dengan adanya laporan transaksi keuangan mencurigakan. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK), Dian Adiana Rae menyebutkan bahwa terdapat total laporan transaksi
keuangan mencurigakan yang terjadi sejak 2003 sampai dengan Oktober 2018 mencapai
414.299 laporan transaksi keuangan mencurigakan atau setelah diterbitkannya Undang-

10
Emilly G. Lawrence, Lest Seller Beware of Money Laundering, (Merchants and 18USC: College,
1992), hlm. 841.
11
Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, cet. 1, (Bandung: Books Terrace & Liberty,
2007), hlm. 83-84.

Universitas Indonesia
5

Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang tercatat sebanyak 350.375 laporan.12 Untuk
itu, dalam upaya memerangi kejahatan transnational crime, khususnya kejahatan berupa
tindak pidana pencucian uang pemerintah Indonesia telah resmi menjadi observer pada
Financial Action Task Force (selanjutnya disebut FATF) on Money Laundring pada
tanggal 29 Juni 2018 di Paris dalam suatu forum kerjasama antar negara yang bertujuan
untuk menetapkan standar global rezim anti pencucian uang yang dapat mengancam
sistem keuangan internasional. FATF merupakan badan antar pemerintahan yang
tujuannya adalah untuk mengembangkan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk
memerangi pencucian uang dan pembiayaan terorisme, baik di tingkat nasional maupun
internasional. FATF juga dapat dikatakan sebagai badan pembuat kebijakan yang bekerja
untuk mengarahkan kehendak politik untuk membuat legislatif nasional dan badan
regulator untuk mereformasi kebijakan anti pencucian uang.13
Sebagai bentuk konkrit komitmen Indonesia dalam rangka memerangi kejahatan
pencucian uang, maka dapat dilihat bahwa pada tahun 2002 pemerintah Indonesia
bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Namun, karena dibutuhkannya suatu landasan hukum yang kuat untuk
menjamin kepastian dan efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan
pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana sehingga pemerintah Indonesia merasa
perlu untuk mengganti Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terdahulu
dengan yang baru yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU) yang
masih berlaku hingga sampai dengan saat ini.
Dengan adanya UU TPPU, diharapkan praktik-pratik kejahatan transnasional ini
dapat diberantas sehingga diperlukan pula suatu badan independen khusus untuk
membantu penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, dengan
membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini secara
lebih lanjut ditegaskan dalam ketentuan Pasal 39 UU TPPU yang menyebutkan bahwa
PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,
dan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut PPATK bekerjasama dengan
beberapa pihak baik instansi pemerintah maupun lembaga swasta, seperti Penyedia Jasa
Keuangan dan Penyedia Barang dan Jasa sebagai Pihak Pelapor yang wajib
menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK.
Akan tetapi guna menyelaraskan ketentuan standar rezim internasional (40
Recommendation of the FATF), pemerintah Indonesia memperluas kembali ketentuan
Pihak Pelapor dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 yang
mewajibkan para profesi untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan
mencurigakannya kepada PPATK, seperti “advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah,

12
Iwan Sutiawan, “PPATK: Banten Masuk Zona Merah Transaksi Keuangan Mencurigakan”,
https://www.gatra.com/rubrik/nasional/368125-PPATK-Banten-Masuk-Zona-Merah-Transaksi-
Keuangan-Mencurigakan, diakses 31 Januari 2019.
13
Ivan Yustiavanda, Arman Nefi dan Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 93.

Universitas Indonesia
6

akuntan, akuntan publik dan perencana keuangan sebagai Pihak Pelapor.”14 Apabila
melihat ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya
disebut PP 43/2015) yang mewajibkan para profesi khususnya Notaris untuk
menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakannya kepada PPATK,
sebetulnya hal tersebut tidak pernah diatur dalam payung hukum jabatan Notaris.
Melainkan Undang-Undang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) sendiri
mewajibkan Notaris untuk merahasiakan isi akta sebagaimana yang ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 4 dan Pasal 16 ayat (1) huruf F Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Maka dalam hal ini, terdapat perdebatan persoalan aturan hukum mengenai
pertimbangan memasukkan profesi Notaris sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang disisi lain Notaris juga sebagai
pengemban rahasia jabatan. Selain itu, Notaris juga merupakan jabatan kepercayaan
(vertrouwensambt) dan oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu
kepadanya. Maka dalam hal ini seharusnya Notaris berkewajiban untuk merahasiakan
akta atas semua yang diberitahukan kepadanya. Sekalipun ada bagian yang tidak
dicantumkan dalam akta, Notaris juga tetap tidak boleh memberitahukan apa yang telah
diberitahukan oleh kliennya. Apabila seorang Notaris yang tidak dapat membatasi dirinya
akan mengalami akibatnya di dalam praktek, ia akan segera kehilangan kepercayaan
publik dan ia tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan (vertrouwenspersoon).15
Namun, sampai dengan saat ini perdebatan persoalan aturan hukum tersebut tetap
berlanjut, terlebih lagi dengan adanya dukungan yang dikeluarkan oleh Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia CQ. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum,
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Ikatan Notaris Indonesia
(INI) melalui Pengumuman Bersama yang mewajibkan Notaris untuk melakukan
registrasi dan melaporkan pada aplikasi Gathering Reports & Information Processing
System (selanjutnya disebut GRIPS) dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
Aplikasi GRIPS ini dihadirkan sebagai suatu bentuk dukungan atas komitmen
bersama dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
serta melaksanakan kewajiban pemerintah Indonesia di berbagai forum internasional
seperti FATF. Maka, kepada Notaris diwajibkan untuk melakukan registrasi dan
pelaporan atas transaksi keuangan mencurigakan melalui aplikasi GRIPS PPATK16
dengan mengacu kepada Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi (selanjutnya disebut Perka PPATK 11/2016).
Seraya dengan Pengumuman Bersama yang telah disebut di atas, Notaris dituntut
untuk untuk melakukan pendaftaran/ registrasinya dalam aplikasi GRIPS PPATK sampai

14
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, PP No. 43 Tahun 2015, LN No. 148 Tahun 2015, TLN No. 5709,
Penjelasan Umum.
15
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, cet. 3, (Jakarta: Erlangga, 1983), hal.117-118.
16
Ikatan Notaris Indonesia, “Pendaftaran Aplikasi GRIPS di PPATK,” https://ini.id/post/pendaftaran-
aplikasi-grips-di-ppatk, diakses 31 Januari 2019.

Universitas Indonesia
7

dengan jatuh tempo pada tanggal 6 Mei 2019, karena terhitung tanggal 7 Mei 2019 akan
diberlakukan sanksi berupa penutupan sementara akses terhadap AHU Online terhadap
Notaris yang belum menyelesaikan kewajibannya tersebut. Selain itu, Perka PPATK
11/2016 juga memberikan sanksi administratif kepada profesi yang tidak melaksanakan
kewajibannya tersebut baik berupa teguran tertulis, pengumuman kepada publik
mengenai tindakan atau sanksi dan/ atau denda administratif.
Dari urairan-uraian tersebut di atas, dapat diketahui terdapat ketentuan aturan hukum
yang tidak harmonis baik dari segi vertikal maupun horizontal yang sejatinya mempunyai
peran sangat penting untuk menjaga keselarasan dan mencegah terjadinya tumpang
tindihnya peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain. Di satu sisi Notaris
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan akta dan di sisi lain Notaris juga dibebani
kewajiban lain sebagai pelapor dalam transaksi keuangan mencurigakan. Maka dalam hal
ini penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih jauh mengenai pelaporan dan tanggung
jawab Notaris dalam menyimpan rahasia jabatan serta tanggung jawabnya sebagai
pelapor dalam pencegahan tindak pidana pencucian uang melalui aplikasi Gathering
Reports & Information Processing System (GRIPS).
Sehingga berangkat dari pemaparan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka
penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengadakan penelitian dengan melakukan
analisis lebih lanjut dalam sebuah tesis dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Sebagai
Pelapor Transaksi Keuangan Mencurigakan Dalam Aplikasi Gathering Reports &
Information Processing System (GRIPS)”.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang akan dikaji
oleh penulis yaitu:
1. Bagaimana kedudukan dan peran Notaris dalam sistem pelaporan tindak pidana
pencucian uang?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pihak pelapor dalam aplikasi
Gathering Reports & Information Processing System (GRIPS)?

3. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bab dan beberapa sub bab dimana bab pertama
dimulai dengan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, permasalahan serta
sistematika penulisan. Bab kedua berisi pembahasan yang menjabarkan isi dari penelitian
yaitu mengenai pelaporan terhadap transaksi keuangan mencurigakan dan tanggung
jawab Notaris dalam menyimpan rahasia jabatan serta pelaporan dan tanggung jawab
Notaris dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang melalui
aplikasi Gathering Reports & Information Processing System (GRIPS). Hingga akhirnya
pada bab ketiga penutup yang berisi simpulan yang berisi jawaban atas permasalahan
yang dikaji dan saran dari penulis terkait penelitian.

Universitas Indonesia
8

B. KEDUDUKAN DAN PERAN NOTARIS DALAM SISTEM


PELAPORAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SERTA
TANGGUNG JAWABNYA SEBAGAI PIHAK PELAPOR DALAM
APLIKASI GATHERING REPORTS & INFORMATION PROCESSING
SYSTEM (SYSTEM)

1. Pelaporan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Menyimpan R ahasia


Jabatan
Notaris sebagai pejabat umum telah diberi kewenangan untuk membuat akta autentik
bersama kewenangan lainnya, oleh karena itu Notaris dituntut untuk melakukan
perbuatan hukum dengan baik dan benar, yang artinya akta yang dibuat dihadapan/ oleh
para pihak itu harus memenuhi segala kehendak hukum dan juga dari permintaan pihak
yang berkepentingan. Untuk menghasilkan akta yang bermutu yang dibuat sesuai dengan
aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan, Notaris harus menjalankan
kewajibannya sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUJN, sebagai
berikut:
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian
dari Protokol Notaris;
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;
d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat
tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat
dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul
setiap buku;
h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya
surat berharga;
i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan Akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil
yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir
bulan;

Universitas Indonesia
9

l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik


Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit
2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta
wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,
saksi, dan Notaris; dan
n. menerima magang calon Notaris.17
Dari beberapa kewajiban tersebut di atas, dapat diketahui bahwa salah satu kewajiban
Notaris dalam ketentuannya Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN, ialah merahasiakan isi akta.
Oleh sebab itu, dalam prinsip rahasia jabatan yang diemban oleh Notaris melekat pula
suatu ketentuan hukum umum, yakni Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menegaskan bahwa “mereka yang
karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang
hal yang dipercayakan kepada mereka.”18
Rahasia jabatan yang melekat pada payung hukum jabatan Notaris dan hukum acara
pidana tersebut di atas menjadi patokan yang wajib dilakukan oleh Notaris untuk
menjalankan kewajibannya merahasiakan serapat-rapatnya isi akta hanya kepada pihak-
pihak yang berkepentingan langsung pada akta. Sebagaimana ternyata dalam ketentuan
Pasal 54 UUJN, yang menyatakan bahwa:
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi Akta,
Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan
langsung pada Akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan.19
Oleh karena adanya norma atau prinsip bagi Notaris sehubungan dengan kewajiban
merahasiakan segala isi akta maupun keterangan lainnya yang berkaitan dengan akta
Notaris, seringkali memberikan ruang/ celah bagi para pelaku tindak pidana untuk
melakukan kejahatannya dibalik jasa yang telah diberikan oleh Notaris.
Berdasarkan Laporan Hasil Riset Tipologi pada tahun 2016, ditemukan bahwa
terdapat beberapa tindak pidana yang dimungkinkan dengan keberadaan para Notaris, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemalsuan dokumen atau surat (Pasal 263 dan Pasal 264 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana), seperti pemalsuan surat setoran (SSB) perolehan hak atas tanah
dan bangunan (BPHTB) dan surat setoran pajak (SSP). Selain itu, dalam
pembuatan akta padahal Notaris tersebut mengetahui bahwa syarat-syarat untuk
membuat akta tersebut tidak terpenuhi. Misalnya, dalam pembuatan perjanjian
kredit antara bank dan nasabah. Notaris tetap membuat akta perjanjian tersebut,
meskipun tidak mematuhi syarat lantaran jaminannya bermasalah.

17
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014, TLN
No. 5491, Ps. 1 angka 1., Ps. 16 ayat (1).
18
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun
1981, Ps. 170 ayat (1).
19
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, Ps. 54.

Universitas Indonesia
10

2. Penggelapan (Pasal 372 dan Pasal 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
seperti penggelapan BPHTB yang dibayarkan klien.
3. Pencucian Uang (Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Modus yang dilakukan yaitu,
pemilik uang melakukan pembelian saham yang kemudian dicatat dalam akta
notaris. Modus pembelian saham memudahkan pelaku pencucian uang untuk
memindahkan uang. Jika terbentuk saham, otomatis uang hasil kejahatan
menjadi terlihat sah, sehingga mudah dipindahkan sesuai keinginan pelaku
tindak pidana. Karenanya Notaris sebagai Profesi yang bertugas membuat akta
pendirian perusahaan dan jual beli saham diminta mewaspadai kemungkinan.
4. Memberikan keterangan palsu di bawah sumpah (Pasal 242 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana), seperti kasus keterangan palsu yang diberikan seorang
Notaris yang menjadi saksi dalam sebuah perkara pidana.20
Oleh sebab itu, polemik terhadap kejahatan di atas khususnya pencucian uang yang
terbukti menggunakan jasa Notaris tersebut sangat diperlukan suatu pencegahan dan juga
pemberantasan sampai ke akar-akarnya, karena tindak pidana pencucian uang ini selalu
berkaitan dengan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, sehingga tidak ada
pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asal yang dilakukan sebelumnya (no crime,
no money laundering).
Maka, untuk memerangi dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dalam UU
TPPU diatur ketentuan mengenai Pihak Pelapor yang wajib menyampaikan laporannya
kepada PPATK, antara lain:
(1) Pihak Pelapor meliputi:
a. Penyedia jasa keuangan:
1. bank;
2. perusahaan pembiayaan;
3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi;
4. dana pensiun lembaga keuangan;
5. perusahaan efek;
6. manajer investasi;
7. kustodian;
8. wali amanat;
9. perposan sebagai penyedia jasa giro;
10. pedagang valutas asing;
11. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu;
12. penyelenggara e-money dan/ atau e-wallet;
13. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam;
14. pegadaian;
15. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi;
atau
16. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.
b. penyedia barang dan/ atau jasa lain:
1. perusahaan property/ agen properti;

20
Tim Riset PPATK, Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I 2016 tentang Red Flag Transaksi
Keuangan Mencurigakan Terkait Penyedia Barang dan Jasa Serta Jasa Profesi Periode Data 2005 s/d
2014, cet.1 (Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2016), hlm. 16-18.

Universitas Indonesia
11

2. pedagang kendaraan bermotor;


3. pedagang permata dan perhiasan/ logam mulia;
4. pedagang barang seni dan antic; atau
5. balai lelang.
(2) Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.21
Berdasarkan ketentuan Pihak Pelapor yang disebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa UU TPPU ini memberikan kewajibannya bagi penyedia jasa keuangan dan
penyedia barang dan/ atau jasa untuk menyampaikan laporannya kepada PPATK.
Namun, tidak hanya sampai disitu, Pihak Pelapor yang telah disebut dalam ketentuan
Undang-Undang tersebut di atas diperluas kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut PP 43/2015), yang menyebutkan bahwa
“advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik dan perencana
keuangan sebagai Pihak Pelapor.”22
Adapun maksud pembuat peraturan perundang-undangan yang menetapkan Notaris
sebagai salah satu Pihak Pelapor dalam menyampaikan laporan transaksi keuangan
mencurigakan kepada PPATK merupakan suatu kebijakan untuk menutup ruang/ celah
hukum yang seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang yang
berlindung di balik ketentuan hukum yang dimiliki oleh Notaris khususnya prinsip
hubungan kerahasiaan jabatan dengan kliennya, sehingga PP 43/2015 memperluas pihak
pelapor termasuk Notaris. Hal ini juga sejalan dengan menjaga kepentingan Negara untuk
menetapkan suatu standar rezim anti pencucian uang demi membangun stabilitas
pembangunan nasional.
Akan tetapi sayangnya, kewajiban baru yang dibebankan kepada Notaris sebagai
Pihak Pelapor terhadap adanya dugaan tindak pidana pencucian uang tersebut akan
membuat posisi Notaris menjadi tidak lagi dipercaya oleh klien yang merasa keberatan
terhadap hal tersebut. Hal ini dikarenakan Notaris memiliki sifat sebagai orang terpercaya
dan sebagai pejabat umum yang memegang teguh prinsip rahasia jabatan. Tetapi sebagai
pengemban profesi hukum, Notaris juga wajib mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sebagaimana yang telah diatur dalam PP 43/2015 di atas tersebut.
Inilah yang menjadi perdebatan permasalahan hukum dimana Notaris sebagai pejabat
umum yang diberikan kewajibannya dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
mempermasalahkan kewajiban lain yang dibebankan kepadanya sebagai Pihak Pelapor
yang tidak diatur secara tegas dalam ketentuan Undang-Undang, melainkan hanya diatur
dalam PP 43/2015 yang hanya mempunyai kedudukan di bawah Undang-Undang.
Seharusnya PP 43/2015 tidak dapat mengesampingkan ketentuan tertinggi yakni UUJN
yang telah mengatur kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan akta yang dibuatnya
sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f dan Pasal 54 ayat (1)
UUJN.

21
Indonesia, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU
No. 8 Tahun 2010, LN No. 122 Tahun 2010, TLN No. 5164, Ps. 17.
22
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, PP No. 43 Tahun 2015, LN No. 148 Tahun 2015, TLN No. 5709, Ps. 3.

Universitas Indonesia
12

Meskipun pemberlakuan PP 43/2015 sebagai wujud pelaksana dari UU TPPU, hal


ini tetap dipersoalkan oleh beberapa kalangan karena dianggap melanggar ketentuan
rahasia jabatan Notaris. Terlebih lagi, kedudukan Notaris yang tidak hanya sebagai
seorang pejabat umum tetapi juga sebagai Profesi yang memiliki payung hukum
tersendiri yang melindunginya, yakni UUJN. Maka, meskipun Notaris diwajibkan
sebagai pihak pelapor, namun dalam menjalankan kewajiban pelaporan tersebut tentunya
tidak semudah pelaksanaannya dalam praktik.
Selanjutnya, persoalan mengenai rahasia jabatan yang diemban oleh Notaris dengan
kewajibannya melaporkan transaksi keuangan mencurigakan dapat dikaji dengan melihat
kembali hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Apabila menelisik pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dapat diketahui jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawarakatan Rakyat;
3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.23
Berdasarkan hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dapat diketahui
secara singkat melalui skema yang menunjukan adanya ketidakharmonisan perundangan-
undangan antara UUJN dengan UU TPPU sebagai berikut:

UNDANG-UNDANG UNDANG-UNDANG

JABATAN NOTARIS TINDAK PIDANA PENCUCIAN


UANG

PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG
PIHAK PELAPOR DALAM
PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG

Berdasarkan skema di atas tersebut dapat diketahui bahwa keberadaan Peraturan


Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tidak mempunyai kekuatan hukum karena
secara hierarki bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

23
Indonesia, Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 12 Tahun
2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234, Ps. 7 ayat (1).

Universitas Indonesia
13

tentang Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris wajib untuk merahasiakan
segala isi akta yang dibuat oleh atau dihadapannya, kecuali undang-undang menentukan
lain.
Oleh sebab itu, pemberlakuan kewajiban bagi Notaris dalam tanggung jawabnya
menyimpan rahasia jabatan sebagaimana yang telah diatur dalam UUJN, hanya dapat
dibuka apabila diatur dalam Undang-Undang atau materi muatannya harus dituangkan
secara tegas dalam Undang-Undang bukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
di bawahnya sebagaimana ternyata dalam PP 43/2015 yang telah disebut di atas.
Hal inilah yang dirasa bahwa pembentukan hierarki perundang-undangan terasa tidak
harmonis baik secara horizontal maupun vertikal. Adapun ketidakharmonisasian secara
horizontal dapat diketahui dalam struktur perundang-undangan secara mendatar yang bisa
berbeda dengan ketentuan yang lain, dimana keberadaan UUJN yang mewajibkan Notaris
merahasiakan isi akta bertentangan dengan UU TPPU yang mewajibkan pihak pelapor
untuk menyampaikan laporannya terhadap transaksi keuangan mencurigakan. Dalam hal
ini seharusnya pembentuk undang-undang perlu berkoordinasi dengan instansi yang
terkait supaya tidak terciptanya kondisi tumpang tindih antar sektor dan bidang hukum
dalam sistem hukum negara Indonesia.
Di samping harmonisasi horizontal tersebut juga perlu diperhatikan harmonisasi
peraturan perundang-undangan dalam struktur hierarki menurun dengan menerapkan
harmonisasi secara vertikal. Dalam hal ini dapat diketahui bahwasanya payung hukum
jabatan Notaris, yakni UUJN secara vertikal tidak dilengkapi secara rinci ketentuan
terkait kewajiban melaporkan yang diatur dalam peraturan lain di bawah undang-undang.
Akan tetapi, terdapat ketentuan Peraturan Pemerintah lain seperti PP 43/2015 yang
mewajibkan Notaris sebagai pihak pelapor dalam transaksi keuangan mencurigakan. Hal
ini yang menyebabkan, seolah-olah UUJN bersikap egosectoral dengan tidak
menerapkan koordinasi antar kementerian tanpa memikirkan kepentingan lain dengan
para kementerian lain seperti PPATK, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pertanahan
Nasional, dan lain-lain. Oleh karena itu, seharusnya pembentuk undang-undang melihat
keharmonisasian peraturan perundang-undangan secara vertikal yang karena mempunyai
peranan penting untuk membentuk perundang-undangan yang saling terkait dan
tergantung satu sama lain agar tidak terjadinya perdebatan persoalan hukum sebagaimana
UUJN dengan PP 43/2015.
Selain itu, diperlukan juga penerapan suatu asas-asas hukum yang termuat dalam
perundang-undangan. Di mana menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto asas hukum
dalam perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif).
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (sistem hierarki).
3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku umum (lex specialis derogate lex generalis).
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate
lex periori).24

24
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hlm. 82-83.

Universitas Indonesia
14

Dari asas-asas hukum tersebut di atas, berdasarkan sistem hierarki peraturan


perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah seharusnya tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Oleh sebab
itu, seharusnya ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur Notaris sebagai Pihak
Pelapor yang wajib melapor terhadap adanya transaksi keuangan mencurigakan tersebut
tidak boleh melanggar ketentuan di atasnya yakni Undang-Undang Jabatan Notaris yang
tidak mengatur adanya kewajiban melapor melainkan mengatur adanya rahasia jabatan
yang diemban oleh Notaris.
Apabila Notaris melanggar kewajibannya dalam merahasiakan rahasia jabatannya,
Notaris tersebut dapat dikenakan sanksi jabatan berupa:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian dengan hormat;
e. Pemberhentian dengan tidak hormat.25

Tak hanya itu, Notaris yang melanggar kewajibannya tersebut juga dapat dikenakan
sanksi pidana sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang
sekarang maupun yang dulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”26
Akan tetapi disisi lain, terdapat sanksi bagi Notaris apabila tidak melakukan
kewajibannya dalam melakukan pendaftaran dan pelaporannya pada aplikasi Gathering
Reports & Information Processing System (GRIPS). Sebagaimana ternyata dalam
ketentuan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 11
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
Bagi Profesi (selanjutnya disebut Perka PPATK 11/2016) yang menyatakan bahwa
“Profesi yang tidak melaksanakan kewajiban dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis, b. pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi, dan/
atau c. denda administratif.”
Selanjutnya, Notaris juga dapat dikenakan sanksi berupa penutupan sementara akses
terhadap akun AHU Online atas Notaris yang belum menyelesaikan kewajibannya dalam
melakukan registrasi dan menyelesaikan seluruh tahapan registrasi GRIPS sampai batas
waktu akhir pada tanggal 6 Mei 2019. Dan oleh karena itu, Notaris diminta untuk tidak
menunda pelaksanaan registrasi GRIPS sampai batas waktu yang telah ditentukan
tersebut.
Didasari hal tersebut, maka seharusnya Notaris sebagai pejabat umum yang telah
diangkat/ ditunjuk oleh Negara untuk membantu masyarakat dalam pembuatan akta
autentik harus tunduk dan patuh pada kepastian hukum yaitu Undang-Undang Jabatan
Notaris yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan hukum, dan salah satunya
Notaris sebagai pengemban rahasia jabatan. Sehingga, kalaupun ingin diberlakukan hal
mengenai kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor atas transaksi mencurigakan harus

25
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris¸ Ps. 85.
26
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht], diterjemahkan oleh Redaksi
Bhafana Publishing, cet. 3. S.L: Bhafana Publishing, 2004, Ps. 322.

Universitas Indonesia
15

merubah regulasi yang ada sebelumnya dengan yang baru. Akan tetapi perlu juga
diperhatikan, bahwasanya Notaris sebagai pengemban profesi hukum wajib pula
mematuhi peraturan perundang-undangan, dan oleh karena itu untuk melaksanakan
kewajibannya tersebut Notaris tetap diharuskan untuk melaksanakan kewajibannya
sebagai Pihak Pelapor terhadap transaksi keuangan mencurigakan dengan melakukan
registrasi dan melaporkannya pada aplikasi GRIPS.

2. Pelaporan dan Tanggung Jawab Notaris Dalam Pencegahan Tindak


Pidana Pencucian Uang
Hasil laporan riset tipologi pada tahun 2016 menunjukkan bahwa para profesi
khususnya Notaris seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan seperti tindak
pidana pencucian uang.27 Maka, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (selanjutnya disebut PP 43/2015) sebagai aturan pelaksana dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU. Dengan diterbitkannya PP 43/2015
tersebut, muatan Pihak Pelapor yang sebelumnya meliputi penyedia jasa keuangan dan
penyedia barang dan jasa diperluas menjadi advokat, Notaris, pejabat pembuat akta tanah,
akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan.
Kewajiban pelaporan kepada para profesi dan instansi tersebut dipandang sebagai gate
keeper atas transaksi/ kegiatan yang membutuhkan data/ informasi. Salah satu profesi
yang dapat bertindak sebagai gate keeper ialah Notaris. Maka untuk menjalankan
kewajibannya sebagaimana yang telah diatur dalam PP 43/2015, Notaris bertanggung
jawab terhadap adanya dugaan tindak pidana pencucian uang. Meskipun sebenarnya
tanggung jawab tersebut hanya berlaku ketika Notaris bertindak untuk kepentingan atau
untuk dan atas nama Pengguna Jasa terhadap obyek yang telah disebut dalam ketentuan
Pasal 3 PP 43/2015. Oleh sebab itu, apabila Notaris tidak bertindak untuk dan atas nama
Pengguna Jasa yang berkaitan dengan obyek yang diwajibkan untuk dilaporkan, maka
Notaris tidak perlu melaporkan kegiatan transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa
tersebut. Sebaliknya, apabila Notaris dalam melakukan pekerjaannya bertindak atas
kepentingan dan atas nama pengguna jasa terhadap obyek laporan yang wajib untuk
dilaporkan, maka Notaris harus melakukan prosedur pelaporan dengan baik dan benar
meliputi:
1) Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
Dalam ketentuan Pasal 3 PP 43/2015 dinyatakan bahwa profesi-profesi tertentu
seperti Advokat, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Akuntan, Akuntan Publik, dan
Perencana Keuangan termasuk ke dalam bagian Pihak Pelapor yang wajib dan turut
mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, para profesi
khususnya Notaris sebagai Pihak Pelapor perlu melakukan upaya pencegahan yang lebih
mendalam. Sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah

27
Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I 2016 tentang Red Flag Transaksi Keuangan Mencurigakan
Terkait Penyedia Barang dan Jasa Serta Jasa Profesi Periode Data 2005 s/d 2014, cet.1 (Jakarta: Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2016), hlm. 16-18.

Universitas Indonesia
16

yang menyebutkan bahwa “Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna
Jasa”.28
Prinsip mengenali pengguna jasa bagi Pihak Pelapor berlaku secara mutatis mutandis
yang artinya bahwa berlaku juga perubahan-perubahan yang diperlukan terhadap
penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor. Dalam Pasal 18 UU
TPPU, diatur penerapan prinsip mengenali pengguna jasa, sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali
Pengguna Jasa.
(2) Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang tetapkan
oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat:
a. Melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;
b. Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan dengan mata uang rupiah dan/
atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana
Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau
d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna
Jasa.
(4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas
kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
a. Identifikasi Pengguna Jasa;
b. Verifikasi Pengguna Jasa; dan
c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
(6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai
prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan
Kepala PPATK.29
Mengingat sebelumnya telah dijelaskan bahwa keberadaan Notaris sebagai salah satu
Pihak Pelapor dalam PP 43/2015, maka kemudian pemerintah menerbitkan peraturan
melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris
(selanjutnya disebut Kemenkumham 9/2017). Dalam ketentuan Kemenkumham 9/2017
tersebut secara khusus mengatur prinsip mengenali pengguna jasa bagi Notaris yang
sejalan dengan apa yang telah disebutkan dalam UU TPPU sebelumnya. Secara lebih
lanjut, Kemenkumham 9/2017 menegaskan bahwa:
Pasal 2
(1) Notaris wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(2) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
28
Indonesia, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Ps.
4.
29
Ibid., Ps. 18.

Universitas Indonesia
17

a. Identifikasi Pengguna Jasa;


b. Verifikasi Pengguna Jasa; dan
c. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
(3) Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berlaku bagi Notaris dalam memberikan jasa berupa mempersiapkan dan
melakukan transaksi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa,
mengenai:
a. Pembelian dan penjualan property;
b. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/ atau produk jasa keuangan lainnya;
c. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/ atau
rekening efek;
d. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/ atau
e. Pendirian, pembelian dan penjualan badan hukum.30

Oleh karena itu, dalam rangka mengenali pengguna jasa baik terhadap orang-
perorangan, korporasi maupun perikatan lainnya diperlukan tindakan Notaris untuk
melakukan pengumpulan informasi dengan meneliti kebenaran dokumen identitas
Pengguna Jasa seperti Kartu Tanda Penduduk, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan spesimen
tanda tangan Pengguna Jasa. Selain meneliti kebenaran dokumen formil tersebut untuk
benar-benar meyakini identitas Pengguna Jasa, maka Notaris juga diwajibkan bertemu
langsung dengan Pengguna Jasa.
2) Kewajiban Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
Sehubungan dengan kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor dalam menyampaikan
laporannya atas dugaan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK, maka untuk
memberikan kepastian hukum PPATK menerbitkan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyampaian
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi (selanjutnya disebut Perka
PPATK 11/2016). Dalam Perka PPATK 11/2016, diatur mengenai kewajiban pelaporan
transaksi keuangan mencurigakan yang wajib dilaporkan kepada PPATK yang dilakukan
oleh Profesi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, mengenai:
a. Pembelian dan penjualan properti;
b. Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/ atau produk jasa keuangan lainnya;
c. Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/ atau
rekening efek;
d. Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/ atau
e. Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.31
Kemudian, untuk melaksanakan pelaporan kepada PPATK, Profesi wajib melakukan
registrasi dan pengisian laporan, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam ketentuan
Pasal 6 Perka PPATK 11/2016, antara lain:

30
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris, Permenkumham
No. 9 Tahun 2017, BNRI No. 1087 Tahun 2017, Ps. 2 ayat (1), (2), dan (3).
31
Ibid., Ps. 3 ayat (1).

Universitas Indonesia
18

a. Menetapkan petugas pelaporan;


Penetapan petugas pelaporan, wajib dilakukan oleh Profesi dengan menetapkan:
petugas pendaftar, petugas pelapor, petugas administrasi dan petugas
penghubung. Petugas tersebut dapat melakukan rangkap jabatan apabila Profesi
merupakan orang perseorangan atau Profesi merupakan Korporasi dengan
memperhatikan aspek pengendalian intern.32
b. Melakukan registrasi melalui aplikasi GRIPS;
Dalam melakukan registrasi, Profesi wajib mengakses website aplikasi GRIPS
pada alamat website https://grips2.ppatk.go.id. Selanjutnya, diperlukan pengisian
registrasi melalui 4 (empat) langkah besaran, yakni: 1) pengisian data
perusahaan, 2) pengisian data petugas, 3) pengisian data pendukung, dan 4)
pengisian data petugas pendaftar. Secara lebih lanjut hal tersebut dapat dilihat
dalam gambar terlampir di bawah ini:
Registrasi tersebut meliputi nama Profesi, bentuk usaha, nomor NPWP, kategori
Profesi, dan data petugas. Setelah, registrasi selesai dilakukan, maka Profesi
wajib menyampaikan hasil registrasi yang telah diotorisasi paling lama 7 (tujuh)
hari kerja yang ditunjukan kepada Kepala PPATK Up Direktur Pelaporan.33
c. Melakukan pelaporan ke PPATK.
Laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib memuat informasi paling
sedikit mencakup orang-perorangan, korporasi, rincian transaksi yang dilaporan,
informasi lainnya, dan identitas beneficial owner orang perseorangan/ korporasi.
Pengisian laporan transaksi keuangan mencurigakan dilakukan melalui Aplikasi
GRIPS yang dilakukan oleh Petugas Pelapor dengan cara mengisi (entry) secara
manual laporan transaksi keuangan mencurigakan pada Aplikasi GRIPS, atau
mengunggah (upload) file ke Aplikasi GRIPS dalam format Microsoft Excel.
Selanjutnya, penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib
disampaikan secara elektronis melalui Aplikasi GRIPS ke jaringan
telekomunikasi yang ditunjukan langsung ke database PPATK melalui web
based application. Meskipun laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib
disampaikan secara elektronis, namun Profesi dapat juga menyampaikan
laporannya tersebut secara non-elektronis apabila dalam keadaan tertentu, seperti
fasilitas komunikasi untuk menyampaikan laporan secara elektronis belum
tersedia di daerah tempat kedudukan profesi, fasilitas komunikasi yang dimiliki
mengalami gangguan teknis, keadaan nyata yang menyebabkan profesi tidak
dapat menyampaikan laporan secara elektronis (force majeure), profesi baru
beroperasi kurang dari 2 bulan dan/ atau sistem pelaporan di PPATK mengalami
kerusakan atau gangguan. Penyampaian laporan transaksi keuangan
mencurigakan secara non-elektronis dapat dilakukan dengan cara mengirimkan
laporan dalam format Microsoft Excel dan disimpan dalam compact disk, flash
disk, atau sarana penyimpanan lainnya melalui jasa pengiriman atau ekspedisi,
jasa kurir, atau pengiriman secara langsung ke kantor PPATK. Bagi profesi yang
menyampaikan laporannya secara non-elektronis maka wajib mengirimkan surat
pemberitahuan kepada PPAT mengenai laporan transaksi keuangan
32
Ibid., Ps. 7.
33
Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang Tata Cara
Penyampaian Laporan Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi, Ps 8.

Universitas Indonesia
19

mencurigakan. Selanjutnya, apabila aplikasi GRIPS belum tersedia, Profesi wajib


menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan secara manual dengan
cara yang hampir sama dengan penyampaian laporan melalui non-elektronis.34
Penyampaian laporan yang tersebut di atas harus dilakukan sesegera mungkin
paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah Profesi mengetahui adanya unsur transaksi
keuangan mencurigakan.
Sebagaimana ternyata pada praktiknya, beberapa Notaris telah melakukan
pendaftaran/ registrasi pada aplikasi GRIPS. Hal ini dapat diketahui dalam hasil
wawancara yang dilakukan penulis dengan Notaris A di Kota Jakarta Timur. Menurutnya,
keefektivifitasan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang kurang
mendalam, karena satu sisi mewajibkan Notaris untuk melaporkan transaksi keuangan
Mencurigakan kepada PPATK, tapi satu sisi lain Notaris juga mempunyai kewajiban
untuk merahasiakan akta. Menurutnya, kewajiban registrasi pada aplikasi GRIPS PPATK
telah ia lakukan karena adanya sifat ‘pemaksaan’ yang diterapkan bagi Notaris apabila
tidak melakukan kewajibannya tersebut, akan tetapi untuk melaksanakan pelaporan
transaksi keuangan mencurigakan bagi para pengguna jasanya, ia belum bisa menerapkan
karena tidak mempunyai akses lebih jauh dan mendalam terkait keuangan mencurigakan
tersebut.
Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dengan Notaris B di Kabupaten Tangerang,
kewajiban registrasi pada aplikasi GRIPS PPATK juga telah ia laksanakan, akan tetapi
untuk melakukan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan tidak dapat ia laksanakan
karena kurangnya informasi lebih mendalam terkait transaksi keuangan seperti apa yang
bisa dikategorikan mencurigakan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa Notaris
di atas tersebut, maka dapat diketahui bahwa Notaris telah melakukan kewajibannya
untuk melakukan registrasi melalui aplikasi GRIPS bersamaan dengan amanat yang
diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia CQ. Direktorat Jenderal
Administrasi Hukum Umum, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dan Ikatan Notaris Indonesia melalui pengumuman bersamanya yang
diterbitkan pada tanggal 25 November 2018. Bersama dengan pengumuman bersama
tersebut, telah diberikan jangka waktu pendaftaran GRIPS PPATK yang jatuh tempo pada
tanggal 1 Februari 2019. Akan tetapi, karena kurangnya informasi ini maka batas waktu
jatuh tempo diperpanjang sampai dengan tanggal 6 Mei 2019. Dan terhitung mulai
tanggal 7 Mei 2019, akan diberlakukan sanksi berupa penutupan sementara akses
terhadap akun AHU Online Notaris yang belu menyelesaikan kewajibannya tersebut.
3) Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi
Sehubungan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
maka Notaris yang merupakan bagian dari kunci dalam pendirian korporasi baik badan
hukum dan bukan badan hukum, maka Notaris tidak hanya berperan sebagai kuasa dari
pemohon untuk pengesahan badan hukum tetapi juga sebagai kuasa dari korporasi untuk
menyampaikan informasi pemilik manfaat dari korporasi kepada instansi yang
berwenang.
Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakan hukumnya telah mengatur penerapan
prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden
Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari

34
Ibid., Ps. 18-22.

Universitas Indonesia
20

Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian


Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (selanjutnya disebut Perpres 13/2018).
Kebijakan tersebut didasarkan pada standar internasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, bahwa perlu adanya pengaturan dan
mekanisme untuk mengenali pemilik manfaat dari suatu korporasi guna memperoleh
informasi mengenai pemilik manfaat yang akurat, terkini dan tersedia untuk umum.
Dalam ketentuan umum Perpres 13/2018 dijelaskan bahwa yang dimaksud Pemilik
Manfaat adalah:
Orang perseroangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan
komisaris, pengurus, Pembina atau pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan
mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/ atau menerima manfaat dari Korporasi
baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dan atau
saham Korporasi dan/ atau memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Presiden ini.35
Selanjutnya, Perpres ini juga menetapkan kriteria pemilik manfaat dari Korporasi
secara lebih rinci, yang kriterianya disesuaikan dengan masing-masing jenis Korporasi
berdasarkan tingkat kepemilikan saham, hak suara, perolehan laba, dan lain sebagainya.
Adapun jenis Korporasi yang menjadi target/ sasaran dalam dibentuknya Perpres ini dapat
dilihat lebih lanjut dalam tabel di bawah ini meliputi: Perseroan Terbatas, Yayasan,
Perkumpulan, Koperasi, Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan bentuk
Korporasi lainnya.
Singkatnya, seluruh Korporasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum yang
telah tersebut di atas diwajibkan untuk menerapkan prinsip mengenali pemilik manfaat
dengan menunjuk pejabat atau pegawai untuk melaksanakan penerapan prinsip mengenali
Pemilik Manfaat dari Korporasi dan menyediakan informasi mengenai Korporasi dan Pemilik
Manfaat dari Korporasi atas dasar permintaan Instansi berwenang dan instansi penegak hukum.
Dengan demikian sejak diterbitkannya Perpres 13/2018 yang mulai berlaku pada
tanggal 5 Maret 2018 ini memberikan konsekuensi bagi semua jenis Korporasi dalam
proses pendirian wajib juga menyampaikan informasi atau dengan Surat Pernyataan
Kesanggupan Memberikan Informasi mengenai penerapan prinsip mengenali Pemilik
Manfaat dari Korporasi. Pasal 24 Perpres 13/2018 memberikan sanksi terhadap pihak-
pihak yang tidak melaksanakan ketentuannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
(penetapan pemilik manfaat), Pasal 14 (penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat),
dan Pasal 18 sampai dengan Pasal 22 (kewajiban menyampaikan) dapat dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adanya klausula terkait
“…diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”, menurut hemat
penulis bagi tiap-tiap korporasi maupun pihak yang telah ditunjuk dalam Perpres 13/2018
yang melanggar ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dapat saja dijerat dengan Undang-
Undang Pencucian Uang dan Undang-Undang Pendanaan Terorisme, sebagaimana
termuat dalam judul utama Perpres 13/2018 ini.

35
Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik
Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Uang dan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme, Perpres Nomor 13 Tahun 2018, LN No. 23 Tahun 2018, Ps. 1 angka 2.

Universitas Indonesia
21

C. PENUTUP
1. Simpulan
Kedudukan dan peran Notaris dalam sistem pelaporan tindak pidana pencucian uang
berkaitan erat dengan tanggung jawabnya dalam membuat akta autentik. Dalam
pembuatan akta autentik Notaris dituntut untuk melakukan pembuatan hukum dengan
baik dan benar yang artinya akta yang dibuat oleh atau dihadapannya harus memenuhi
kehendak hukum dan permintaan para pihak yang berkepentingan. Sehingga, dalam
menjalankan jabatannya tersebut Notaris diberikan kewajiban untuk merahasiakan segala
isi akta baik yang tertuang dalam akta maupun hanya sekedar penyampaian kehendak
oleh para pihak. Notaris harus berpegang teguh pada sumpah/ janji jabatan sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 4 juncto Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris yang mewajibkan Notaris untuk merahasiakan isi akta dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Akan tetapi nyatanya Notaris
dibebankan kewajiban lain sebagai Pihak Pelapor terhadap transaksi keuangan
mencurigakan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian
Uang. Dalam hal tersebut dapat diketahui bahwa Notaris sebagai pejabat umum
mempunyai kewajiban yang telah diatur dalam Undang-Undang, dan oleh karena itu
seharusnya Notaris tidak boleh dibebankan kewajiban lain diluar Undang-Undang. Maka,
diperlukan harmonisasi pembentukan hierarki perundang-undangan secara vertikal dan
horizontal untuk menyelaraskan ketentuan tersebut.
Akan tetapi, nyatanya secara legalitas Notaris bertanggung jawab terhadap adanya
dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang apabila ia bertindak untuk dan atas nama
Pengguna Jasa terhadap obyek yang diwajibkan untuk dilaporkan. Sebaliknya, apabila
Notaris melakukan pekerjaan untuk dan atas nama Pengguna Jasa terhadap obyek laporan
yang wajib dilaporkan, maka Notaris juga memiliki tanggung jawab untuk menerapkan
prinsip-prinsip yang lebih mendalam terhadap pengguna jasanya antara lain, prinsip
mengenali pengguna jasa, prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dan
menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melalui aplikasi Gathering Reports &
Information Processing System (GRIPS) dengan cara melakukan pendaftaran melalui
aplikasi pelaporan berbasis web yang disediakan oleh PPATK yakni Gathering Reports
& Information Processing System (GRIPS) dan menyampaikan laporannya kepada
PPATK terkait transaksi keuangan mencurigakan yang mungkin dilakukan oleh orang
perseorangan ataupun korporasi. Penyampaian laporan tersebut wajib disampaikan
kepada PPATK secara elektronis melalui aplikasi GRIPS dengan mengakses pada alamat
https://grips2.ppatk.go.id.
2. Saran
Untuk menghindari keterlibatan Notaris dalam transaksi keuangan mencurigakan yang
dilakukan oleh pengguna jasa, ada baiknya para pengguna jasa dimintakan
menandatangani surat pernyataan di atas meterai bahwasanya uang yang diperoleh untuk
melakukan transaksi tersebut merupakan sumber yang tidak diperoleh dari hasil tindak
pidana pencucian uang. Dan untuk menciptakan keharmonisasian hukum terhadap
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 yang mewajibkan Notaris sebagai Pihak
Pelapor dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Universitas Indonesia
22

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang juga mewajibkan Notaris
untuk merahasiakan segala isi akta yang dibuat olehnya, maka diperlukan perubahan
regulasi terhadap isi Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang tidak hanya
mengatur kewajiban Pelapor bagi Penyedia Jasa Keuangan dan Penyedia Barang dan
Jasa, melainkan juga meliputi para profesi. Karena, kewajiban Notaris dalam
merahasiakan isi akta sejatinya hanya berlaku ketika undang-undang menentukan lain,
bukan ketentuan di bawah undang-undang yang menentukan sebagaimana yang telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015. Terhadap keberatan yang
timbul akibat keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak
Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
bertentangan dengan peraturan di atasnya yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
maka sebaiknya beberapa kalangan Notaris melalui Ikatan Notaris Indonesia dapat
melakukan permohonan upaya hukum pengujian (judicial review) kepada Mahkamah
Agung Republik Indonesia, agar terciptanya kepastian hukum terhadap Notaris
sehubungan dengan permasalahan kewajibannya sebagai pengemban rahasia jabatan
Notaris.

DAFTAR PUSTAKA
Amrani, Hanafi. Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti
Pencucian Uang dan Implikasinya Terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara,
Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2015.
Atmasasmita, Romli. Globalisasi Kejahatan Bisnis. Jakarta: Prenada Media Group,
2010.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary Sixth Edition. St. Paul Minn: West
Publishing Co., 1990.
Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern. Bandung: PT. Refika Aditama, 2009.
Ganarsih, Yenti. Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahan di
Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015.
Handoyo, Hestu Cipto. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi
Manusia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003.
Husein, Yunus. Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, cet. 1. Bandung: Books
Terrace & Liberty, 2007.
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV.
—. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76
Tahun 1981.
—. Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No. 3 Tahun 2014,
TLN No. 5491.
—. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, UU No. 8 Tahun 2010, LN No. 122 Tahun 2010, TLN No. 5164.

Universitas Indonesia
23

—. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 12


Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234.
—. Peraturan Pemerintah tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PP No. 43 Tahun 2015, LN No. 148
Tahun 2015, TLN No. 5709.
—. Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali
Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Perpres Nomor 13 Tahun 2018,
LN No. 23 Tahun 2018.
Jahja, Juni Sjafrien Jahja. Melawan Money Laundering! Mengenal, Mencegah dan
Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Cet.1. Jakarta: Visimedia, 2012.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa
Bagi Notaris, Permenkumham No. 9 Tahun 2017, BNRI No. 1087 Tahun 2017.
—. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang
Tata Cara Penyampaian Laporan Keuangan Mencurigakan Bagi Profesi, Perka PPATK
No. 11 Tahun 2016, BNRI No. 1896 Tahun 2016.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia, General Konsulat Der Republik Indonesien
Frankfurt, https://www.indonesia-frankfurt.de/ekonomi/peran-indonesia-dalam-
ekonomi-internasional/. Diakses 31 Januari 2019.
Lawrence, Emilly G. Lest Seller Beware of Money Laundering. Merchants and
18USC: College, 1992.
PPATK, Tim Riset. Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I 2016 tentang Red Flag
Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Penyedia Barang dan Jasa Serta Jasa
Profesi Periode Data 2005 s/d 2014. Cet.1. Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, 2016.
Sutiawan, Iwan. “PPATK: Banten Masuk Zona Merah Transaksi Keuangan
Mencurigakan”, https://www.gatra.com/rubrik/nasional/368125-PPATK-Banten-
Masuk-Zona-Merah-Transaksi-Keuangan-Mencurigakan. Diakses 31 Januari 2019.
Tobing, G.H.S Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet. 3. Jakarta: Erlangga, 1983.
Yustiavanda, Ivan. Arman Nefi dan Adiwarman. Tindak Pidana Pencucian Uang di
Pasar Modal. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai