Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH EKONOMI ISLAM

“PERILAKU KONSUMSI”

Disusun oleh kelompok 6 :

1. Namira Addelia 201810160311560


2. Nurul Firdaus 201810160311570
3. Nadia Safira 201810160311583

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUMMADIYAH MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari peulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah perilaku
konsumen. Dan semoga makalah yang kami buat ini dapat menambah wawasan bagi
penulis juga pembaca baik sekarang atau dimasa yang akan datang.

Kami menyadari adanya kekurangan pada makalah yang kami buat. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 04 April 2020

Penyusun kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................................1
1 PENDAHULUAN................................................................................................................1
Latar Belakang......................................................................................................................1
Rumusan Masalah................................................................................................................1
Tujuan Masalah....................................................................................................................2
BAB II............................................................................................................................................3
2 PEMBAHASAN..................................................................................................................3
Konsep Penting dalam Konsumsi..........................................................................................6
Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami..............................................................7
Prinsip-Prinsip Konsumsi......................................................................................................7
BAB III.........................................................................................................................................15
PENUTUP................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA 16

ii
BAB I

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa


ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu
maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya
yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan
barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan
(keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya
barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan
dan keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi,
yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah
membedakan dengan jelas antara keinginan (ragh bah dan syahwat) dan kebutuhan
(hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat
besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan
(needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu
ekonomi konvensional.
Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam
hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk
menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk
menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara
keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara
homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa
tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya
mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap
sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang
beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang
melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan
kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala
manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak
berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan urgensi konsumsi?


2. Apa tujuan konsumsi?
3. Apa saja sifat-sifat atau norma etika konsumen?
4. Bagaimana konsep penting dalam konsumsi?

1
5. Bagaimana konsep maslahah dalam perilaku konsumsi islami?
6. Apa saja prinsip-prinsip konsumsi?
7. Apa saja kaidah-kaidah dalam konsumsi?
8. Apa saja hal-hal yang mempengaruhi konsumsi?

Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian urgensi konsumsi


2. Untuk mengetahui tujuan konsumsi
3. Untuk mengetahui sifat-sifat atau norma etika konsumen
4. Untuk mengetahui konsep penting dalam konsumsi
5. Untuk mengetahui konsep maslahah dalam perilaku konsumsi islami
6. Untuk mengetahui prinsip-prinsip konsumsi
7. Untuk mengetahui kaidah-kaidah dalam konsumsi
8. Untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi konsumsi

2
BAB II

2 PEMBAHASAN

2.1 Urgensi Konsumsi


Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian,
karena tidak ada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karenanya, kegiatan
ekonomi yang mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia.
Mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan yang juka mengabaikan
penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan. Begitu pentingnya pengaturan
konsumsi, maka Kholifah Umar bin Khattab di masa kekhalifahannya memberikan
perhatian penting terhadap konsumsi. Antara lain (Hakim, 2012: 87-88):
 Khalifah umar sangat antusias dalam memenuhi tingkat konsumsi yang layak
bagi setiap rakyatnya.
 Khalifah umar berpendapat bahwa, seorang muslim bertanggung jawab dalam
memenuhi tingkat konsumsi yang layak bagi keluarganya dan mengingkari
orang-orang yang mengabaikan hal tersebut.
 Khalifah Umar memaklumi beberapa hamba sahaya Hathib yang mencuri onta
milik kabilah Muzainah dikarenakan Hathib tidak memberi makan yang
semestinya, sehingga mereka melakukannya untuk bertahan hidup.
 Khalifah Umar tidak memperkenankan keengganan mengkonsumsi hal-hal yang
mudah, sampai tingkat yang membahayakan diri meskipun dengan tujuan
ibadah.
2.2 Tujuan konsumsi
Tujuan konsumsi seseorang dalam agama Islam adalah (Hakim, 2012: 88-
89):
1. Untuk mengharap Ridlo Allah SWT. Tercapainya kebaikan dan tuntutan jiwa yang
mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah SWT
telah memberikan tuntutan kepada para hambanya agar menjadikan alokasi dana
sebagai bagian dari amal shaleh yang dapat mendekatkan seorang muslim kepada
Tuhannya untuk mendapatkan surga dengan segala nikmat yang ada di dalamnya.
2. Untuk mewujudkan kerjasama antar anggota masyarakat dan ketersediaannya
jaminan sosial. Takdir manusia hidup di dunia ini berbeda-beda ada yang

3
ditakdirkan menjadi kaya dan sebaliknya, di antara mereka berada di level
pertengahan. Sementara yang lain adalah golongan atas, ada juga sekelompok
masyarakat yang ditakdirkan untuk memperhatikan kehidupan kaum miskin. Para
pengambil kebijakan memiliki posisi untuk menanggung kebutuhan mereka,
menyelesaikan persoalan mereka, dan bertanggung jawab atas kemiskinan mereka.
3. Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri
keluarga dan masyarakat Sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi.
Kewajiban memberi nafkah akan menumbuhkan rasa tanggung jawab pribadi yang
dibentuk oleh rasa tanggung jawab. Pribadi yang dibentuk oleh rasa tanggung
jawab akan memenuhi nafkah yang dibebankan itu. Ia dituntut untuk bekerja demi
mewujudkan kemakmuran diri dan keluarganya, bahkan masyarakat sekitarnya
melalui usaha dan pencarian rejeki.
4. Untuk meminimalisasi pemerasan dengan menggali sumber-sumber nafkah. Media
dan sumber nafkah media dan sumber nafkah sangat banyak dan beragam. Negara
mempunyai kewajiban untuk menjaganya baik dengan membuka lapangan kerja,
meningkatkan upah dan juga dengan memenuhi kebutuhan orang-orang yang
kekurangan.
5. Supaya negara melakukan kewajibannya terhadap warga negara yang masih miskin.
Negara lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengambil peran dengan jalan:
 Penyediaan lapangan kerja bagi para pengangguran.
 Pemberian nafkah kepada golongan masyarakat yang tidak memiliki sumber
penghasilan serta tidak ada orang yang menjamin nafkahnya.
 Menyediakan pendidikan dan sarana kesehatan secara gratis, karena
sesungguhnya penyakit dan kebodohan merupakan musuh bersama suatu
bangsa. Kemudian sarana pendidikan, sarana kesehatan dan pelayanan
penyembuhan orang-orang sakit.
 Penyediaan tempat tinggal untuk menampung orang-orang lemah, orang orang
jompo, orang gila dan orang-orang yang terganggu mentalnya.
 Negara harus menanggung masyarakat kekurangan yang terancam oleh adanya
bahaya kelaparan, tertimpa wabah penyakit, kehilangan hak-hak, sarana
beribadah, dan sebagainya.

4
2.3 Sifat-Sifat atau Norma Etika Konsumen
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan
dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain sebagai berikut:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun
atau sekedar dihitung-hitung. Akan tetapi digunakan untuk kemaslahatan
manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya,
penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah
diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-
kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana
seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan
membelanjakannya untuk hal yang haram.
Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
1. Menjauhi berhutang Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan
pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan,
kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa atau dharurat.
2. Menjaga asset yang mapan dan pokok. Tidak sepatutnya seorang muslim
memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan
pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset
maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya
tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
4. Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan.
Hal ini sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak
pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan
dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi
nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika
agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak
masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas
mayoritas miskin. Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya
adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang
sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap
sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-
benar bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan
pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya
dilarang oleh agama islam.

5
Konsep Penting dalam Konsumsi

Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan (hajat) dan
kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah
mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus
mendapatkan manfaat darinya.
Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat
(interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika
konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik
dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka sudah tentu motivasi yang
mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas konsumsi juga harus sesuai
dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan
manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
1. Kebutuhan (Hajat)
Manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal,
badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan
yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah
kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh
terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain,
misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan
yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh”.
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya
sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh
unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara
aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri.
Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada
salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki
manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras,
memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya. Selain itu, dalam kapasitasnya
sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun
dan menjaganya, yaitu sebuah aktivitas berkelanjutan dan terus berkembang
yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan
penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting
pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber
daya secara wajar. Sehingga arti kata kebutuhan dalam prespektif Islam adalah
keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia guna mendorong
pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan
isinya.
2. Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana penjelasan kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak
bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya

6
sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu
barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen
untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan
tingkat harga yang berbeda. Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi
dari pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini
saling mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat
kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada
pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan
kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan perilaku konsumsi itu sendiri.
Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai
jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan
tertinggi.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan
terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah
berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an  mengisyaratkan bahwa manfaat adalah
antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam
pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang
yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari
itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Jelas bahwa
manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan
tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa
dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan
cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang
tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari.

Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami

Imam Shatibi menggunakan istilah ‘maslahah’, yang maknanya lebih luas dari
sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional.
Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa
yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di
muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut
beliau, yakni:
1. kehidupan atau jiwa (al-nafs)
2. properti atau harta benda (al mal)
3. keyakinan (al-din)
4. intelektual (al-aql)
5. keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang
mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di
atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Prinsip-Prinsip Konsumsi

7
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip
dasar, yaitu:
 Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan
tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan
secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak
boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum
agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki
berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang
tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan
yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan
baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang
terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk
dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang
dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
 Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat
merusak
fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi
Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan
kemubaziran atau bahkan merusak.“Makanan diberkahi jika kita mencuci
tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).  Prinsip
kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan
menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak
meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah
meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
 Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan
pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini
mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung
memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru
menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas
konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola
konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial. “Makan
dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-
ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh,
demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan
berpengaruh pada perut.

8
 Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman
untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96).  Maka sifat konsumsi manusia juga
harus dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih
banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita
sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka
yang sangat membutuhkannya. Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak
ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang
halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini
merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi
kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah
maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
 Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai
oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata
memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman
untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-
nilai moral dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama
Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
Prinsip dasar ekonomi ini juga tentu berlandasakan kepada Rukun Islam, Dasar
Hukum Islam, Fungsi Iman Kepada Allah SWT, Sumber Syariat Islam, dan
Rukun Iman. Berikut adalah Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam islam yang
senantiasa ada dalam aturan islam.

1. Tidak Menimbulkan Kesenjangan Sosial

Prinsip dasar islam dalam hal ekonomi senantiasa berpijak dengan masalah keadilan.
Islam tidak menghendaki ekonomi yang dapat berdampak pada timbulnya kesenjangan.
Misalnya saja seperti ekonomi kapitalis yang hanya mengedepankan aspek para
pemodal saja tanpa mempertimbangkan aspek buruh, kemanusiaan, dan masayrakat
marginal lainnya.

Untuk itu, islam memberikan aturan kepada umat islam untuk saling membantu dan
tolong menolong. Dalam islam memang terdapat istilah kompetisi atau berlomba-lomba
untuk melaksanakan kebaikan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti mengesampingkan
aspek keadilan dan peduli pada sosial.

Hal ini sebagaimana perintah Allah, “Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat,
dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS An-Nur : 56)

Zakat, infaq, dan shodaqoh adalah jalan islam dalam menyeimbangkan ekonomi. Yang
kaya atau berlebih harus membantu yang lemah dan yang lemah harus berjuang dan
membuktikan dirinya keluar dari garis ketidakberdayaan agar mampu dan dapat
produktif menghasilkan rezeki dari modal yang diberikan padanya.

9
2. Tidak Bergantung Kepada Nasib yang Tidak Jelas

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya.”…” (QS Al-Baqarah : 219)

Islam melarang umatnya untuk menggantung nasib kepada hal yang sangat tidak jelas,
tidak jelas ikhtiarnya, dan hanya mengandalkan peruntungan dan peluang semata. Untuk
itu islam melarang perjudian dan mengundi nasib dengan anak panah sebagai salah satu
bentuk aktivitas ekonomi.

Pengundian nasib adalah proses rezeki yang dilarang oleh Allah karena di dalamnya
manusia tidak benar-benar mencari nafkah dan memakmurkan kehidupan di bumi. Uang
yang ada hanya diputar itu-itu saja, membuat kemalasan, tidak produktifnya hasil
manusia, dan dapat menggeret manusia pada jurang kesesatan atau lingkaran setan.

Untuk itu, prinsip ekonomi islam berpegang kepada kejelasan transaksi dan tidak
bergantung kepada nasib yang tidak jelas, apalagi melalaikan ikhtiar dan kerja keras.

3. Mencari dan Mengelola Apa yang Ada di Muka Bumi

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al
Jumuah : 10)

Allah memberikan perintah kepada manusia untuk dapat mengoptimalkan dan mencari
karunia Allah di muka bumi. Hal ini seperti mengoptimalkan hasil bumi,
mengoptimalkan hubungan dan transaksi dengan sesama manusia. Untuk itu, jika
manusia hanya mengandalkan hasil ekonominya dari sesuatu yang tidak jelas atau
seperti halnya judi, maka apa yang ada di bumi ini tidak akan teroptimalkan. Padahal,
ada sangat banyak sekali karunia dan rezeki Allah yang ada di muka bumi ini. Tentu
akan menghasilkan keberkahan dan juga keberlimpahan nikmat jika benar-benar
dioptimalkan.

Untuk itu, dalam hal ekonomi prinsip islam adalah jangan sampai manusia tidak
mengoptimalkan atau membiarkan apa yang telah Allah berikan di muka bumi
dibiarkan begitu saja. Nikmat dan rezeki Allah dalam hal ekonomi akan melimpah jika
manusia dapat mencari dan mengelolanya dengan baik.

4. Larangan Ekonomi Riba

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Al-Baqarah :278)

10
Prinsip Islam terhadap ekonomi yang lainnya adalah larangan riba. Riba adalah
tambahan yang diberikan atas hutang atau transaksi ekonomi lainnya. Orientasinya
dapat mencekik para peminam dana, khususnya orang yang tidak mampu atau tidak
berkecukupan. Dalam Al-Quran Allah melaknat dan menyampaikan bahwa akan
dimasukkan ke dalam neraka bagi mereka yang menggunakan riba dalam ekonominya.

5. Transaksi Keuangan yang Jelas dan Tercatat

Transaksi keuangan yang diperintahkan islam adalah transaksi keuangan yang tercatat
dengan baik. Transaksi apapun di dalam islam diperintahkan untuk dicatat dan ditulis
diatas hitam dan putih bahkan ada saksi. Dalam zaman moderen ini maka ilmu
akuntansi tentu harus digunakan dalam aspek ekonomi. Hal ini tentu saja menghindari
pula adanya konflik dan permasalahan di kemudian hari. Manusia bisa saja lupa dan
lalai, untuk itu masalah ekonomi pun harus benar-benar tercatat dengan baik.

Hal ini sebagaimana Allah sampaikan, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar” (QS Al Baqarah : 282)

6. Keadilan dan Keseimbangan dalam Berniaga

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca
yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS Al Isra :
35)

Allah memerintahkan manusia ketika melaksanakan perniagaan maka harus dengan


keadilan dan keseimbangan. Hal ini juga menjadi dasar untuk ekonomi dalam islam.
Perniagaan haruslah sesuai dengan neraca yang digunakan, transaksi keuangan yang
digunakan, dan juga standar ekonomi yang diberlakukan. Jangan sampai ketika
bertransaksi kita membohongi, melakukan penipuan, atau menutupi kekurangan atau
kelemahan dari apa yang kita transaksikan. Tentu saja, segalanya akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Dari prinsip-prinsip tersebut dapat dipahami bahwa manusia diberikan aturan dasar
mengenai ekonomi islam agar manusia dapat menjalankan kehidupannya sesuai dengan
Tujuan Penciptaan Manusia, Proses Penciptaan Manusia , Hakikat Penciptaan Manusia ,
Konsep Manusia dalam Islam, dan Hakikat Manusia Menurut Islam sesuai dengan
fungsi agama , Dunia Menurut Islam, Sukses Menurut Islam, Sukses Dunia Akhirat
Menurut Islam, dengan Cara Sukses Menurut Islam. Tentu saja dari prinsip tersebut
dapat terlihat bahwa islam hendak memberikan rahmat bagi semesta alam, terlebih bagi
mereka yang beriman dan taat dalam melaksanakan perintah Allah tersebut.

2.8 Kaidah-Kaidah Konsumsi


Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah
konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa
memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.[12]

11
Adapun konsumen muslim berkomitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum
yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan
konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan
dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya.

Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:[13]


1. Kaidah Syariah. Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam
melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
2. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk
ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang
mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati rizki yang
dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya
bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia
senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
3. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang
barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan dengannya, apakah
merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun
tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya,
maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah
dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika
sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang
halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.
5. Kaidah Kuantitas. Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam
sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam
penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
- Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara
menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah,
tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela,
dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial.
Karena itu terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari
garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang
buruk.
- Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam
mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.

12
- Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya
tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan
untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
6. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi. Yaitu, di mana konsumen harus
memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi
kemudharatan, yaitu:
- Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia
dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan
agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi
manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni
memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa
kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung.
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat
tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
- Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat
kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk
memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini
tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
- Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan
kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini
tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan
sekunder.
7. Kaidah Sosial. Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam
kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di
sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
- Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong
sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah
satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan
sakitnya.
- Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam
berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang
banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
- Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru
tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.
8. Kaidah Lingkungan

Dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya
alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya alam), serta
tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.

13
- Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru. Yaitu tidak meniru atau
mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika
konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi
masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya:
suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan
kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.

2.9 Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi.

Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat
menentukan tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan
juga oleh factor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:

1. Selera
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan
keadaan keluarga.
3. Kekayaan
4. Keuntungan atau kerugian capital
5. Tingkat bunga
6. Tingkat harga

Teori konsumsi ekonomi Islam dan ekonomi konvensional memiliki perbedaan yang
sangat mencolok dari segi tujuannya. Dalam Islam sangat memperhatikan Maslahah
akan barang atau jasa yang akan dikonsumsi,agar mendapatkan keridhoan_Nya dan
bermanfaat untuk akhirat serta dunianya. Sedangkan dalam ekonomi konvensional lebih
memperhatikan utility dengan tingkat kepuasan yang tinggi, lebih mementingkan
kepuasannya dibandingkan, apabila barang atau jasan tersebut lebih memuaskan akan
lebih baik baginya. Persamaannya dalam hal ini yaitu tujuan secara umum oleh manusia
yaitu untuk memenuhi kebutuhannya serta mempertahankan hidup di dunia.

14
BAB III

PENUTUP

Perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat
mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan
memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Focus dari perilaku konsumen adalah
bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang
telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.
Teori perilaku konsumen muslim yang dibangun berdasarkan syariah Islam,
memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini
menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga
teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://pustakamediasyariah.blogspot.com/2015/05/makalah-pes-konsep-konsumsi-
dalam-islam.html

http://caracepatnontonnaruto.blogspot.com/2014/01/makalah-perilaku-konsumen-
islam.html

http://caracepatnontonnaruto.blogspot.com/2014/01/makalah-perilaku-konsumen-
islam.html

16

Anda mungkin juga menyukai