Anda di halaman 1dari 20

Kepada Yth.

Refarat Divisi Alergi - Imunologi


TATALAKSANA DERMATITIS ATOPIK BERAT PADA ANAK
Penyaji : Siti Humairah
Hari / Tanggal :
Pembimbing : dr. Mahrani Lubis, M. Ked (Ped), Sp.A(K)
Supervisor : dr. Lily Irsa, Sp.A(K)
dr. Rita Evalina, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
dr. Mahrani Lubis, M.Ked (Ped), Sp.A(K)

PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai
dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik
ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA,
keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya. 1
Terminologi “atopi” berasal dari kata atopos (bahasa Yunani) yang berarti aneh atau
tidak biasa. Pada tahun 1923, Coca & Cooke menggunakan terminologi ini untuk sekelompok
penyakit pada individu yang mempunyai riwayat atopi (kepekaan) dalam keluarganya,
misalnya asma bronkial, rinitis alergi, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergi. Terdapat
antibodi (IgE) yang terdeteksi pada individu tersebut dan bisa ditransfer ke individu normal
dengan uji Prausnitz-Kùstner (PK). Pada zaman dahulu, penyakit atopik dianggap sesuatu yang
tidak biasa bagi manusia, tetapi sekarang diakui bahwa ada beberapa spesies yang rentan
dengan penyakit ini.2
Dermatitis atopik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum yang
mempengaruhi hingga 20% pada anak-anak dan 1-3% pada orang dewasa di sebagian besar
negara dari dunia. DA sering merupakan dampak utama dalam perkembangan penyakit atopik
lain seperti rhinitis dan asma. Angka prevalensinya meningkat drastis pada dekade terakhir. Di
Indonesia tahun 2012 terdapat 1,1 % pasien dermatitis atopik berusia 13-14 tahun. Sedangkan
tahun 2013 dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu Dr. Hasan Sadikin
Bandung, RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS Adam Malik Medan, RS Dr. Kandou
Manado, RSU Palembang dan RSUD Sjaiful Anwar malang tercatat sejumlah 261 kasus
diantara 2356 pasien baru (11,8%).3 Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan
dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu.
Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan
terus mengalami eksema hingga dewasa. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah
sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak meningkat
5-10% pada 20-30 tahun terakhir.4
Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang menjadi
rhinitis alergi. Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children prevalensi
gejala dermatitis atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama
bervariasi yakni kurang dari dua persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di
Australia, Inggris dan Skandinavia. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di Amerika. Di
Inggris, pada survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita DA dari usia satu sampai
lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang, 2 persen kasus
berat.5 Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada
pada urutan pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak.
Di klinik Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari
2005 sampai Desember 2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi.6
Dermatitis atopik umumnya tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Sebagian
penderita mengalami perbaikan dan perburukan yang sering disebut dengan dermatitis atopik
berat sesuai dengan bertambahnya usia. Dalam penatalaksanaan penderita DA adalah
menghindari atau sedikitnya mengurangi faktor penyebab, misalnya eliminasi makanan, faktor
inhalan, atau faktor pencetus.7 Penatalaksanaan dermatitis atopik berat adalah diberikan terapi
tambahan lainnya dan diperlukan pemantauan selama mengkonsumsi terapi tersebut.
DA sering ditemukan pada pasien dengan latar belakang asma, alergi, dan demam
(kumpulan kondisi disebut diatesis atopik). Pasien seringkali akan menunjukkan berbagai
kombinasi erat terkait kecenderungan atopik. Dari 70% menjadi 80% dari pasien akan memiliki
riwayat keluarga dengan penyakit atopik. Hal ini diyakini bahwa pola pewarisan adalah
poligenik, dengan atopik menjadi interaksigenetik dan faktor lingkungan.7
Referat ini akan membahas tentang tatalaksana dermatitis atopik berat pada anak.
Dengan memahami karakteristik penyakit ini diharapkan kita dapat mendiagnosis dan
menatalaksana pasien dermatitis atopik berat dengan tepat.

Gejala Klinis Dermatitis Atopik

Fenotipe klinis DA bervariasi dengan usia dan mungkin berbeda selama perjalanan penyakit 8.
Lesi ekzematosa dapat muncul dengan bentuk akut (mengalir, berkrusta, erosi vesikel atau
papula pada plak eritematosa), subakut (plak tebal dan ekskoriasi), dan bentuk kronis (plak
likenifikasi, sedikit berpigmen, ekskoriasi). Selain itu, xerosis dan penurunan ambang rasa
gatal merupakan ciri khas DA. Serangan pruritus dapat terjadi sepanjang hari dan memburuk
pada malam hari, menyebabkan insomnia, kelelahan, dan secara keseluruhan secara
substansial mengganggu kualitas hidup. Tiga tahap yang berbeda dapat dibedakan secara
klinis: masa bayi, masa kanak-kanak dan remaja/dewasa.

Komplikasi Dermatitis Atopik

Komplikasi DA yang paling penting adalah karena infeksi bakteri dan virus sekunder yang
kemungkinan besar disebabkan oleh penurunan imunitas yang diperantarai sel yang
disebutkan di atas dan defisiensi peptida antimikroba. Staphylococci sering memicu
impetiginisasi lesi pada anak-anak yang menyebabkan krusta kuning seperti impetigo. Pasien
dengan AD berada pada peningkatan risiko untuk infeksi virus herpes simpleks fulminan
(eksim herpetikum)9. Perjalanan komplikasi ini mungkin parah dengan demam tinggi dan
erupsi yang meluas. Secara klinis banyak vesikel dalam tahap perkembangan yang sama
merupakan tanda yang khas. Sampai sekarang belum jelas, apakah kutil virus atau mollusca
contagiosa juga lebih umum pada AD. Namun, penelitian besar telah menunjukkan bahwa
adalah mungkin untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengembangkan eksim
10,11
herpeticum berdasarkan informasi klinis, imunologis dan genetik.

Diagnostik Dermatitis Atopik

Diagnosis AD terutama bergantung pada riwayat pasien dan keluarga serta temuan klinis.
Diagnosis klinis DA didasarkan pada fenotipe klinis sesuai dengan morfologi dan distribusi
lesi pada berbagai tahap. Pada tahun 1980, Hanifin dan Rajka mengusulkan kriteria
diagnostik mayor dan minor berdasarkan gejala klinis AD . 12. Revisi kriteria diagnostik
dilakukan oleh Williams13. Keparahan DA dapat dievaluasi dengan sistem penilaian yang
berbeda seperti Skor pada Dermatitis Atopik (Skor pada Dermatitis Atopik: SCORAD) 14 atau
Indeks Area dan Keparahan Eksim (EASI) 65. Sistem penilaian ini dapat membantu dalam
praktik sehari- hari tetapi wajib dalam uji klinis. Status atopik keseluruhan paling baik
dihargai dengan menggunakan skor Diepgen yang divalidasi. Tes kulit dan pemeriksaan
laboratorium (IgE spesifik) sangat membantu dalam mencari faktor provokasi seperti alergen
makanan atau lingkungan. Tes provokasi juga dilakukan untuk menentukan signifikansi
klinis dari tes laboratorium positif sejak tes kulit danin vitro pengujian harus saling
melengkapi namun tidak selalu harus sesuai. Tes tempel atopi (APT) 17 akan distandarisasi
untuk pencarian alergen yang relevan dengan AD. Sementara sensitivitas APT agak rata-rata,
spesifisitasnya tinggi untuk konteks individu pasien tertentu18. Yang terpenting, hasil
laboratorium harus selalu ditafsirkan dalam konteks riwayat pasien dan tes kulit.

Penatalaksanaan

Selain diagnosis alergi, penatalaksanaan DA tetap menjadi tantangan klinis di mana tujuan
utama adalah untuk meningkatkan fungsi penghalang, untuk mengontrol kolonisasi mikroba
dan untuk menekan peradangan. Penatalaksanaan DA harus selalu disesuaikan dengan tingkat
keparahan kondisi. Pendidikan pasien atau orang tua dari anak yang terkena sama pentingnya
dengan strategi lainnya.
1) Terapi dasar

Sebuah fitur kunci dari AD adalah xerosis karena disfungsi penghalang epidermis seperti
yang disaksikan oleh kehilangan air transepidermal meningkat. Emolien yang disesuaikan
secara individual yang mengandung urea (4% atau kurang pada anak-anak; hingga 10% pada
orang dewasa) harus digunakan untuk mendukung fungsi sawar kulit dan memungkinkan
hidrasi kulit. Pasien harus dididik secara memadai untuk menghindari faktor provokasi
tertentu19.

A. Hidrasi kutaneus
Untuk mengurangi gejala secara simptomatis, dapat dilakukan mandi 1-2x sehari dengan air
hangat kuku (suhu 36-37 derajat Celcius) selama 10-15 menit dengan menggunakan sabun
yang mengandung pelembab, pH 5,5-6 dan tidak mengandung pewarna dan pewangi serta
mencegah bahan iritan saat mandi, seperti sabun antiseptik. 3 menit setelah mandi, oleskan
pelembab ke seluruh kulit kecuali kulit kepala. Pada dewasa, untuk mencegah kulit kering
dan iritasi, dianjurkan menggunakan 500-600gram pelembap per minggu. Sementara
pada anak diberikan 250 gram per minggu. Primary Care Dermatology Society dan British
Association of Dermatologists (2009) menganjurkan kuantitas pelembap sebaiknya
melampaui penggunaan steroid dengan perbandingan 10:1. Pelembap diaplikasikan di
seluruh permukaan tubuh, tidak hanya pada daerah lesi.

B.Pelembab Ideal:
1. Pelembab yang direkomendasikan harus mengandung bahan humektan,
emolien dan oklusif
2. Pelembab lain yang mengandung bahan antiinflamasi dan antipruritus (
contoh: glycerrhetinic acid, telmesten, dan vitid vinifera)
3. Pelembab yang mengandung bahan fisiologis ( lipid, seramid dan NMF)
4. Penggunaan pelembab dianjurkan dalam waktu 3 menit setelah mandi,
dapat diulang 2-3 kali sehari atau lebih sering, ketika kulit terasa kering
5. Pastikan jumlah pelembab cukup, yaitu 100-200gr/minggu pada anak,
200-300 gr/minggu pada dewasa
6. Gunakan pelembab Bersama dengan bahan antiinflamasi topikal saat
penyakit sedang aktif, atau sebagai terapi pemeliharaan.
7. Gunakan pelembab berminyak pada kulit kering dan pelembab yang
mengandung lebih banyak air untuk lesi inflamasi dan kemerahan.
8. Bentuk lotion lebih baik digunakan pada kulit yang tidak terlalu kering,
pada wajah, dan pada kulit berambut.
9. Penggunaan pelembab sejenis

Pengolesan pelembab dilakukan dengan cara menggunakan tangan, dioleskan titpis di


seluruh permukaan kulit kecuali kulit kepala, apabila kulit terkena air atau bahan lain dalam
waktu kurang dari 5 menit setelah pengolesan, prosedur diulang kembali. Perawatan kulit
lainnya yaitu memakai pakaian yang ringan, lembut, halus, dan menyerap keringat, mencegah
bahan iritan, seperti deterjen, sabun cair pencuci piring, dan desinfektan saat mencuci pakaian
bayi, menghindari faktor pencetus allergen, seperti tungau debu rumah, binatang peliharaan,
dan serbuk bunga dan menjaga suhu ruangan tempat bayi berada agar tidak ekstrim, seperti
terlalu panas atau terlalu dingin

Kombinasi penggunaan emolien yang efektif dengan terapi hidrasi membantu


mengembalikan dan mempertahankan sawar stratum korneum serta mengurangkan frekuensi
aplikasi glukokortikoid topikal. Pelembap tersedia dalam berbagai sediaan antaranya krem,
losion, atau ointment. Tetapi, setengah losion dan krem bersifat iritatif akibat penambahan
substansi lain seperti preservatif, pelarut, dan pewangi. Losion yang mengandungi air bisa
mengering disebabkan oleh efek evaporasi. Ointment hidrofilik tersedia dalam berbagai
viskositas tergantung dari kebutuhan pasien. Ointment yang oklusif kadangkala tidak bisa
ditoleransi dengan baik karena mengganggu fungsi duktus ekrin dan bisa menginduksi
terjadinya folikulitis. Terapi topikal untuk menggantikan lipid epidermal yang abnormal,
memperbaiki hidrasi kulit, dan disfungsi sawar kulit bisa diberikan pada pasien dermatitis
atopik ini. Hidrasi dengan mandi dan kompres basah (wet dressing) merangsang penetrasi
glukokortikoid topikal. Kompres basah tersebut juga bisa melindungi lesi dari garukan yang
persisten, sehingga mempercepat proses penyembuhan lesi ekskoriasi. Kompresi basah
direkomendasikan pada bagian yang terkena dermatitis atopik berat atau bagian yang
melibatkan terapi dalam jangka waktu yang lama. Namun, penggunaan kompresi basah yang
berlebihan bisa mengakibatkan maserasi dan dipersulit dengan infeksi sekunder.

C. Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal (KST) efektif dan aman apabila digunakan secara tepat dan dibawah
pengawasan:
a. Cara pemberian sesudah mandi, yaitu sekitar 15 menit setelah penggunaan pelembab
b. Gunakan KST mulai dari potensi paling rendah yang masih efektif
c. Pemilihan potensi KST disesuaikan dengan usia pasien, kelainan klinis, dan lokasi
kelainan. Untuk anak usia 0-2 tahun potensi maksimal KST yang diizinkan adalah
potensi IV, anak usia lebih dari 2 tahun potensi maksimum adalah potensi II, dan untuk
anak usia pubertas hingga dewasa dapat menggunakan potensi poten atau super poten
d. Pemilihan potensi, frekuensi aplikasi, dan lama pemberian KST harus tepat
berdasarkan penilaian keadaan klinis dengan mempertimbangkan lokasi, berat serta
lama penyakit, dan usia pasien
e. Jumlah pemakaian sesuai dengan luas lesi yang dihitung berdasarkan ukuran finger tip
unit (FTU)
f. Frekuensi pengolesan yang dianjurkan adalah 1-2x/hari bergantung keadaan lesi.
g. KST harus tetap digunakan sampel lesi kulit aktif terkontrol, yaitu sekitar 14 hari
h. Bila lesi sudah terkontrol, frekuensi pemberian KST dapat dikurangi, misalnya KST 1x
pada pagi hari dan inhibitor kalsineurin topikal (IKT) pada sore hari. Bila harga IKT
tidak terjangkau, dapat digantikan dengan emolien.
i. Pada fase pemeliharaan, KST dapat digunakan pada daerah ‘hot spot’ (didaerah kulit
yang sering timbul lesi) 2 kali seminggu dan dilanjutkan dengan sekali seminggu
j. Untuk lesi yang berat di daerah wajah dan fleksor dapat dikontrol dengan KST potensi
sedang selama 5-7 hari, kemudian diganti dengan KST potensi ringan
k. KST dapat digunakan pada kulit yang tidak utuh
l. KST dapat diberikan pada lesi dengan infeksi, tetapi infeksi tersebut tetap harus diobati
m. Kombinasi KST dengan antibiotik asam fusidat, atau mupirosin dapat digunakan sesuai
indikasi, yaitu
- DA dengan infeksi sekunder ringan
- DA rekalsistran dan inflamasi berat
n. Kombinasi KST dengan antimikotik, misalnya kotrimazol, mikonazol, ketoconazole
dapat diberikan sesuai indikasi

o. Kombinasi KST hanya diberikan dalam jangka waktu singkat, paling lama 7 hari
p. Terapi pemeliharaan yang boleh diberikan pada DA adalah pelembab

D. Kompres basah
a. Tujuan kompres basah adalah untuk mengeringkan lesi dermatitis yang basah, dan
dermatitis dengan infeksi bakteri
b. Pengobatan dengan kompres basah merupakan komponen penting pada tatalaksana lesi
aktif yang berat
c. Cara pengobatan kompres basah adalah dengan menggunakan kasa steril 3-5 lapis yang
dimasukkan ke dalam cairan komprs NaCl 0,9% lalu diperas setengah basah dan
diletakkan pda lesi. Bila kasa hamper mengering dapat ditetesi cairan kompres beberapa
kali selama 10-15 menit. Kompres dilakukan 2-3 kali/hari sampai lesi mengering dan
bersih
d. Cairan kompres yang dapat digunakan, misalnya cairan antiseptic asam salisilat 0,1%

2) Kontrol kolonisasi bakteri

Antiseptik topikal seperti triclosan atau chlorhexidine memiliki potensi sensitisasi yang
rendah dan menunjukkan tingkat resistensi yang rendah.20. Mereka dapat digunakan dalam
emolien atau syndets atau sebagai bagian dari "balutan basah" tambahan. Asam fusidat
jangka pendek lebih disukai digunakan dalam pengobatan infeksi bakteri dengan S. Aureus
karena konsentrasi penghambatan minimal yang rendah dan penetrasi jaringan yang baik21.

Eradikasi intranasal yang resisten terhadap methicillin S. Aureus, sering ditemukan


pada pasien AD, dapat dicapai dengan penggunaan topikal mupirocin. Dalam kasus infeksi
sekunder bakteri yang menyebar luas terlihat terutama pada anak-anak (terutama S. Aureus)
pengobatan antibiotik sistemik diindikasikan. Pengobatan profilaksis hanya meningkatkan
tingkat resistensi dan tidak memiliki manfaat pada perjalanan penyakit. Penggunaan tekstil
berlapis perak dan kain sutra dengan anti- hasil akhir mikroba masih dalam penyelidikan,
tetapi tampaknya menjanjikan, terutama untuk anak-anak22.
3) Terapi anti-inflamasi
Sebagian besar glukokortikosteroid (GCS) topikal menyajikan obat yang aman dan efektif
bila digunakan dengan benar23. Hal ini terutama berlaku untuk GCS dengan ester ganda dan
indeks terapeutik yang menguntungkan, yaitu efisiensi tinggi dengan efek samping yang
rendah. Selain aktivitas anti-inflamasinya, GCS berkontribusi pada pengurangan kolonisasi
kulit dengan S. Aureus24.

Hanya preparat kuat ringan hingga sedang yang boleh digunakan pada area kulit genital,
wajah, atau intertriginosa. Steroid topikal yang kurang kuat seperti hidrokortison juga dapat
digunakan untuk anak-anak di bawah 1 tahun. Skema terapi yang berbeda telah ditetapkan
pengobatan awal harus dengan steroid poten sedang hingga tinggi diikuti dengan pengurangan
dosis atau pertukaran dengan preparat dengan potensi yang lebih rendah. 25. Terapi
glukokortikoid topikal merupakan dasar untuk anti-inflamatorik lesi kulit yang ekzematous.
Disebabkan oleh efek sampingnya, kebanyakan dokter menggunakan glukokortikoid topikal
hanya untuk mengawal eksaserbasi akut dermatitis atopik. Walau bagaimanapun, studi terbaru
menunjukkan bahwa kontrol dermatitis atopik bisa dilaksanakan dengan regimen terapi setiap
hari dengan glukokortikoid topikal. Kontrol untuk jangka waktu yang lama bisa dikekalkan
pada sesetengah pasien dengan mengaplikasikan fluticasone pada bagian kulit yang telah
sembuh tetapi beresiko untuk terjadinya ekzema sebanyak 2 kali dalam seminggu. Jumlah
topikal glukokortikoid yang diperlukan untuk diaplikasi ke seluruh tubuh adalah kira-kira 30
gram krem atau ointment. Jadi, untuk merawat seluruh tubuh sebanyak 2 kali sehari selama 2
minggu memerlukan kira-kira 840 gram glukokortikoid topikal.
Terdapat 7 golongan bagi glukokortikoid topikal dan diatur mengikut potensi
berdasarkan vasoconstrictor assay. Disebabkan oleh efek sampingnya, glukokortikoid yang
sangat poten hanya digunakan untuk jangka waktu pendek dan pada bagian yang mengalami
likenifikasi tetapi bukan pada daerah wajah atau lipatan kulit. Tujuan utama penggunaan
emolien adalah untuk menghidrasi kuli dan glukokortikoid potensi rendah adalah untuk terapi
maintenance. Glukokortikoid potensi sedang bisa digunakan untuk jangka waktu panjang bagi
merawat dermatitis atopik kronik yang melibatkan bagian badan dan ekstrimitas.
Glukokortikoid gel yang disediakan dengan basa glycol propylene sering mengiritasi serta
menyebabkan kekeringan pada kulit. Obat ini tidak boleh diaplikasikan pada daerah kulit
kepala atau jenggot.
Glukokortikoid poten bisa mengakibatkan supresi adrenal (terutamanya pada bayi dan
anak kecil). Pada bentuk anak dan dewasa dengan likenifikasi dapat diberi kortikosteroid kuat
seperti: Betametason dipropionat 0,05%, Deoksimetason 0,25%. Glukokortikoid sedang
(fluticasone propionate) 0.05% krem pada bagian wajah dan bagian tubuh lain yang signifikan
adalah aman untuk digunakan pada anak-anak berumur 1 bulan sampai 3 bulan. Pada
penggunaan fluticason 0.05% krem juga bisa diaplikasikan pada anak-anak seawal umur 3
bulan selama maksimal 4 minggu. Fluticason losion pula bisa digunakan pada anak-anak 12
bulan dan ke atas. Krem dan ointment mometason bisa digunakan pada anak-anak berumur 2
tahun dan ke atas.

Penghambat Kalcineurin topical (IKT)


Inhibitor calcineurin topical (TCI) yaitu Pimecrolimus dan Tacrolimus menekan fase awal
aktivasi sel T, beberapa sitokin yang terlibat dalam imunitas seluler dan mempengaruhi IDEC
tetapi tidak LC pada lesi AD. Potensi anti-inflamasinya mirip dengan GCS dengan potensi
ringan hingga sedang dan memiliki peran penting dalam manajemen anti-inflamasi DA.26,27.
Studi terbaru telah menyoroti pentingnya manajemen proaktif AD menggunakan TCI 28,29. Efek
samping termasuk sensasi terbakar sementara pada kulit. Saat menggunakan inhibitor
kalsineurin, paparan sinar matahari alami atau buatan yang berlebihan (tanning bed atau
perawatan UVA/ B) harus dihindari. Studi keamanan jangka panjang yang menganalisis bukti
hubungan sebab akibat kanker dan penghambat kalsineurin serta peningkatan insiden infeksi
virus sedang berlangsung. Meskipun profil keamanan menguntungkan yang diterima 30,
peringatan kotak hitam telah dirilis oleh FDA dan "surat tangan merah" dari European Agency
(EMA), menekankan pada penggunaan produk ini sebagai terapi lini kedua. Namun,
tampaknya peringatan ini tidak memiliki latar belakang ilmiah yang substansial karena studi
epidemiologis telah menunjukkan bahwa munculnya limfoma kulit 31 atau kanker kulit non-
melanoma32 tidak terkait dengan penggunaan senyawa ini. Studi pasca pemasaran jangka
panjang sedang berlangsung untuk lebih menjamin keamanan TCI.

a. Jenis IKT yang dapat diberikan adalah pimecrolimus untuk lesi inflamasi ringan sedang
dan tacrolimus untuk lesi inflamasi sedang berat
b. IKT dapat digunakan sebagai line kedua untuk pengobatan DA jangka lama, terapi
intermitten, terapi pemeliharaan, bila KST merupakan indikasi kontra, serta pada lokasi
yang berpotensi mudah terjadi efek samping (daerah wajah dan lipatan)
c. IKT diberikan kepada pasein berusia > 2 tahun
d. Cara pemakaian dengan diolekskan 1-2x sehari
e. Dianjurkan menggunakan sunscreen selama pemakaian KST. Sebaiknya tidak
menggunakan IKT secara oklusif karena dapat meningkatkan absorpsi perkutan dan
risiko imunosupresi
f. Efek samping IKT adalah stinging dan eritema pada beberapa hari pertama pemakaian.

Ointment takrolimus 0.03% bisa digunakan untuk terapi intermiten pada penderita
dermatitis atopik anak-anak (≥ 2 tahun) dengan tingkat severitas sedang hingga berat.
Ointment takrolimus 0,1% pula bisa digunakan pada orang dewasa, manakala dalam sedian
krem (1%) digunakan untuk terapi bagi pasien ≥ 2 tahun dengan tingkat severitas dermatitis
atopik dari ringan sampai sedang. Kedua-dua obat ini efektif dan aman digunakan selama 4
tahun (ointment takrolimus) dan 22 tahun (krem pimekrolimus). Takrolimus dan
pimekrolimus dapat dioleskan dua kali sehari selama satu hingga tiga minggu. Bila lesi
membaik, frekuensi pemakaian dapat dikurangi menjadi sekali sehari sampai lesi bersih.

4) Bagaimana cara terbaik untuk memastikan manajemen proaktif dengan senyawa


anti-inflamasi (Gambar. 4)?
Studi tentang kepatuhan pasien dengan DA telah menunjukkan bahwa, setelah suar telah
dimulai, pasien ini mulai mengobati dengan obat anti-inflamasi sangat terlambat, yaitu
setelah rata-rata 6 sampai 7 hari. Jadi, saran penting pertama kepada pasien adalah jangan
menunggu terlalu lama sebelum memulai terapi anti-inflamasi individu. Kedua, pasien harus
dididik untuk melanjutkan terapi anti-inflamasi ini sampai daerah yang terkena hampir
bersih. Ketiga, mereka kemudian harus melanjutkan pengobatan dengan rata-rata sekali atau
dua kali per minggu (tergantung pada tingkat keparahannya) dalam jangka waktu yang lebih
lama. Terapi kombinasi dengan emolien harus rutin selama pengobatan. Untuk bentuk ringan,
pendekatan proaktif ini dapat berlangsung selama 3 bulan, sedangkan bentuk sedang perlu
ditangani secara proaktif selama 6 bulan dan bentuk yang lebih parah selama sekitar 9
bulan.~12 bulan untuk lebih mengontrol peradangan sub-klinis dan terjadinya flare 33,34.

Pada pasien DA yang ekstensif dan refrakter, fototerapi menggunakan UVA atau
UVB atau kombinasi psoralen dengan UVA dapat menjadi pilihan. Pilihan terapi lain untuk
DA berat atau refrakter adalah kompres basah dan oklusi, imunosupresan sistemik misalnya
cyclosporin, dan antimetabolit.
5) Fototerapi

Pasien AD biasanya melaporkan manfaat dari paparan sinar matahari alami. Oleh karena itu,
spektrum sinar UV yang berbeda, yaitu UVB (280~320 nm), UVB pita sempit (311~313 nm),
UVA (320~400 nm), UVA dosis sedang dan tinggi1 (340 ~400 nm), PUVA, dan Balneo-
PUVA telah menjalani uji coba untuk pengobatan AD. Jelas, UVA1 iradiasi tampaknya lebih
unggul daripada fototerapi UVA-UVB konvensional pada pasien dengan AD yang parah35,36.
UVB pita sempit saja juga efektif dan aktivitasnya tampaknya sebagian disebabkan oleh
penurunan kolonisasi mikroba37. Pada anak-anak, terapi UV harus dibatasi karena data
tentang efek samping jangka panjang dari terapi UV masih belum tersedia. Indikasi bagi
fotokemoterapi dengan psoralen dan UVA adalah pasien dengan dermatitis atopik yang parah
dan menyebar. Efek samping jangka waktu pendek bagi fototerapi adalah eritema, nyeri kulit,
pruritus, dan pigmentasi. Efek samping jangka panjang adalah proses penuaan.

Pengobatan sistemik

1. Antihistamin dan Kortikosteroid Oral

Antihistamin H1-generasi reseptor (alimemazin dan prometazin) sebagian besar digunakan


untuk efek sedatifnya dan harus diberikan 1 jam sebelum tidur. Sebagian besar penelitian
menyimpulkan bahwa antihistamin non-penenang tampaknya memiliki sedikit atau tidak ada
nilai dalam pengobatan dari AD38.
Kortikosteroid oral memiliki peran terbatas tetapi pasti dalam pengobatan eksaserbasi
DA yang parah. Kursus singkat dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit parah,
penggunaan kortikosteroid sistemik yang berkelanjutan menyebabkan efek samping yang
signifikan. Setelah penghentian obat, kambuh parah telah dicatat. Data dari uji klinis acak
masih kurang.

2. Siklosporin

Pengobatan berkelanjutan dengan Cyclosporin A (CyA) harus disediakan untuk kasus


penyakit yang sangat parah, tidak menanggapi tindakan lain 39,40. Beberapa penelitian telah
menunjukkan efek positif untuk anak-anak dan orang dewasa. Pengobatan harus dimulai
dengan 5 mg/kg/hari dan diturunkan secara bertahap menjadi sekitar 2 mg/kg/hari. Dosis
terendah untuk efek samping minimal harus diterapkan. Meskipun efektif, efek samping,
terutama mengenai toksisitas ginjal dengan hipertensi dan gangguan ginjal menjadi perhatian
khusus. Pemantauan ketat terhadap kreatinin, tekanan darah, dan kadar serum CyA adalah
penting. Sebagai catatan, CyA jarang efektif sebagai monoterapi untuk mengontrol DA
sepenuhnya tetapi steroid topikal biasanya diperlukan untuk mencapai tujuan ini.
Azathioprine adalah obat imunosupresan yang telah dilaporkan efektif pada AD berat 41,42. Ini
mempengaruhi sintesis dan metabolisme nukleotida purin dan memiliki efek anti-inflamasi
dan antiproliferatif. Uji coba terkontrol masih kurang sejauh ini; efek sampingnya tinggi,
termasuk mielosupresi, hepatotoksisitas, gangguan gastrointestinal, peningkatan kerentanan
terhadap infeksi, dan kemungkinan perkembangan kanker kulit. Karena azathioprine
dimetabolisme oleh thiopurine methyl transferase, defisiensi enzim ini harus disingkirkan
sebelum memulai imunosupresi oral dengan azathioprine.

3. Antimetabolit
Pemberian monoterapi dengan mycophenolate mofetil peroral dalam jangka pendek sebanyak
2 gram setiap hari bisa menghilangkan lesi pada pasien dewasa dermatitis atopik yang resisten
terhadap terapi lain termasuk glikokortikoid topikal dan sistemik, dan fototerapi psoralen dan
UVA. Namun begitu, tidak semua pasien yang berespon baik dengan obat ini. Terapi dengan
obat ini harus dihentikan jika pasien tidak menunjukkan respon setelah 4 hingga 8 minggu
perawatan.
Methotrexate merupakan anti-metabolit yang mempunyai efek poten terhadap sintesis
inflamatorik sitokin dan kemotaksis sel. Methotrexate diberikan kepada pasien dermatitis
atopik dengan penyakit yang menetap. Azathioprine sering digunakan pada pasien dengan
dermatitis atopik berat. Efek samping dari penggunaan obat ini adalah supresi sumsum tulang.

4. Antibiotik
a. Infeksi sekunder harus dicurigai pada pasien dengan eksema sedang/berat (weeping
dermatitis, folikulitis, adanya tanda klinis infeksi, atau tidak responsifterhadap terapi
topical lini pertama
b. Terapi antibiotik topical dapat digunakan pada daerah infeksi yang terlokalisasi
c. Antibiotik sistemik dapat digunakan bila terdapat infeksi Staphylococcus, diberikan
selama 1 minggu sesuai perbaikan klinis
d. Amoksisilin-klavulanat dan sefaleksi dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama
untuk pasien DA pada anak, sedangkan eritromisin dan sefaleksin dapat digunakan
sebagai terapi lini ke-2
Pada kasus MRSA (methicillin-resistant S. aureus) dapat diberikan clindamycin,
trimethoprim-sulfamethoxazole (kortrimoxazol), vancomicyn
Pemberian antibiotik berkaitan dengan ditemukannya peningkatan koloni S.
aureus pada kulit penderita dermatitis atopik sehingga dapat diberi eritromisin dan
azitromisin. Bila ada infeksi virus seperti virus herpes simpleks dapat diberi asiklovir
3 kali 400 mg/hari selama 10 hari atau 4 kali 200 mg/hari selama 10 hari.
 Cephalexin (dewasa 1-2 gr/hari, anak 25-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis)
 Cefadroxil (dewasa dan anak BB>40 kg, 500 mg 2 kali sehari, anak BB<40 kg, 25
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis)
 Eritromisin (dewasa 1-1,5 gr/hari, anak 30-50 mg/kgBB/hari)

Biologis

Strategi anti-IgE (omalizumab) yang disetujui untuk asma telah dicoba dengan hasil yang
bervariasi pada AD 43,44. Karena pasien ini biasanya menunjukkan kadar IgE yang sangat
tinggi, menetralkan kadar ini akan membutuhkan jumlah biologis yang sangat tinggi. Namun
demikian, beberapa laporan kasus baru-baru ini telah menyarankan keberhasilan penggunaan
omalizumab pada pasien tertentu. Infliximab (anti-TNF-) juga telah dilaporkan berhasil
dalam beberapa laporan 45,46. Namun, kita harus ingat bahwa efek samping biologik mungkin
serius dan perlu evaluasi lebih lanjut.

Imunoterapi

Telah diterima dengan baik bahwa imunoterapi spesifik alergen yang telah dilaporkan sejak
tahun 1911 dalam pengelolaan penyakit alergi, merupakan satu-satunya pendekatan
terapeutik penyebab. Sayangnya berkaitan dengan AD hanya terbatas, dan seringkali
informasi yang kontradiktif tersedia. Sebuah studi baru- baru ini diterbitkan, memeriksa
kembali kemanjuran imunoterapi subkutan (SCIT) pada pasien atopik peka terhadap tungau
debu rumah, menunjukkan efektivitas dalam mengurangi eksim dan kepekaan alergi terhadap
HDM 47. Perbaikan eksim disertai dengan pengurangan kortikosteroid topikal yang
dibutuhkan untuk mengobati eksim. Menariknya, karena efek sampingnya yang terbatas,
imunoterapi sublingual (SLIT) dapat menjadi alternatif untuk SCIT. Studi lebih lanjut untuk
memverifikasi manfaat SCIT dan SLIT saat ini sedang berjalan dan kami mungkin
mengalami kebangkitan imunoterapi pada AD dalam waktu dekat 48.

Pendidikan
Seperti disebutkan di atas, pendidikan terutama pasien muda dan orang tua mereka yang
menekankan pada pengetahuan tentang penyakit dan manajemennya akan mengarah pada
kepatuhan yang lebih tinggi serta stabilitas psikologis. 49. Edukasi pasien juga memberikan
kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Program pendidikan yang
memadai sangat berharga bila ditawarkan dalam kerjasama dengan dokter kulit serta anak,
ahli gizi, psikolog, dan staf perawat interdisipliner dengan pasien dan keluarga mereka.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus
Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada Dermatitis
Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr.
Soetomo. Surabaya.
2. Kang K, Polster AM, Nedorost ST. Stevens SR, Cooper KD. Atopic dermatitis. In
Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, Schaffer JV, editors. Dermatology 2 nd ed.
Edinburg: Mosby; 2009. p. 181 – 95.
3. Diana IA, dkk. Panduan Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia.
Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia. Jakarta. 2014.
4. Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;
www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.
5. William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.
6. Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk of
atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 39, No. 4, Hal.
192-198.
7. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Dermatitis actopic. Dalam, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisikelima. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI, 2009
8. Williams HC. Praktek klinis. Dermatitis atopik. N Engl J Med 2005;352: 2314-2324
9. Wollenberg A, Wetzel S, Burgdorf WH, Haas J. Infeksi virus pada dermatitis atopik:
aspek patogen dan manajemen klinis. J Alergi Klinik Imunol 2003;112: 667-674.
10. Beck LA, Boguniewicz M, Hata T, Schneider LC, Hanifin J, Gallo R, dkk. Fenotip
subjek dermatitis atopik dengan riwayat eksim herpetikum. J Allergy Clin Immunol
2009;124:260-269, 269 e261-267.
11. Gao PS, Rafaels NM, Hand T, Murray T, Boguniewicz M, Hata T, dkk. Mutasi
filaggrin yang memberikan risiko dermatitis atopik memberikan risiko yang lebih besar
untuk eksim herpeticum. J Allergy Clin Immunol 2009;124:507- 513, 513 e501-507.
12. Hanifin J, Rajka G. Fitur diagnostik eksim atopik. Acta Derm Venereol 1980;92:44-
47.
13. illiams HC, Burney PG, Hay RJ, Pemanah CB, Shipley MJ, Hunter JJ, dkk. Kriteria
Diagnostik Partai Kerja Inggris untuk Dermatitis Atopik. I. Derivasi set diskriminator
minimum untuk dermatitis atopik. Br J Dermatol 1994; 131:383-396.
14. Skor keparahan dermatitis atopik: indeks SCORAD. Laporan Konsensus Satuan Tugas
Eropa tentang Dermatitis Atopik. Dermatologi 1993;186:23-31.
15. Housman TS, Patel MJ, Camacho F, Feldman SR, Fleischer AB Jr, Balkrishnan R.
Penggunaan Area Eksim yang Dikelola Sendiri dan Indeks Keparahan oleh pengasuh
orang tua: hasil studi validasi. Br J Dermatol 2002;147:1192-1198.
16. Diepgen TL, Sauerbrei W, Fartasch M. Pengembangan dan validasi skor diagnostik
untuk dermatitis atopik yang menggabungkan kriteria kualitas data dan kegunaan
praktis. J Clin Epidemiol 1996; 49:1031-1038.
17. Ring J, Bieber T, Vieluf D, Kunz B, Przybilla B. Eksim atopik, sel Langerhans dan
alergi. Int Arch Allergy Appl Immunol 1991;94:194-201.
18. Darsow U, Vieluf D, Ring J. Uji tempel Atopi dengan kendaraan yang berbeda dan
konsentrasi alergen: pendekatan standarisasi. J Alergi Klinik Imunol 1995;95:677-684.
19. Morren MA, Przybilla B, Bamelis M, Heykants B, Reynaers A, Degreef H. Dermatitis
atopik: faktor pemicu. J Am Acad Dermatol 1994;31:467-473.
20. Wohlrab J, Jost G, Abeck D. Kemanjuran antiseptik dari terapi kombinasi
triclosan/chlorhexidine topikal dosis rendah pada dermatitis atopik. Skin Pharmacol
Physiol 2007;20:71-76.
21. Wilkinson JD. Asam fusidat dalam dermatologi. Br J Dermatol 1998;139 Suppl 53:37-
40.
22. Juenger M, Ladwig A, Staecker S, Arnold A, Kramer A, Daeschlein G, dkk. Khasiat
dan keamanan tekstil perak dalam pengobatan dermatitis atopik (AD). Curr Med Res
Opin 2006;22:739-750.
23. Callen J, Chamlin S, Eichenfield LF, Ellis C, Girardi M, Goldfarb M, dkk. Sebuah
tinjauan sistematis keamanan terapi topikal untuk dermatitis atopik. Br J Dermatol
2007; 156:203-221.
24. Stalder JF, Fleury M, Sourisse M, Rostin M, Pheline F, Litoux
P. Terapi steroid lokal dan flora kulit bakteri pada dermatitis atopik. Br J Dermatol
1994;131:536-540.
25. Thomas KS, Armstrong S, Avery A, Po AL, O'Neill C, Young
S, dkk. Uji coba terkontrol secara acak dari semburan singkat kortikosteroid topikal
ampuh versus penggunaan jangka panjang dari persiapan ringan untuk anak-anak
dengan eksim atopik ringan atau sedang. BMJ 2002;324:768.
26. Alomar A, Berth-Jones J, Bos JD, Giannetti A, Reitamo S, Ruzicka T, dkk. Peran
inhibitor kalsineurin topikal pada dermatitis atopik. Br J Dermatol 2004;151 Suppl 70
Des 2004:3-27.
27. Breuer K, Werfel T, Kapp A. Keamanan dan kemanjuran inhibitor kalsineurin topikal
dalam pengobatan dermatitis atopik masa kanak-kanak. Am J Clin Dermatol
2005;6:65-77.
28. Wollenberg A, Bieber T. Terapi proaktif dari dermatitis atopik matitis--konsep yang
muncul. Alergi 2009;64:276-278.
29. Wollenberg A, Reitamo S, Girolomoni G, Lahfa M, Ruzicka T, Healy E, dkk.
Pengobatan proaktif dermatitis atopik pada orang dewasa dengan salep tacrolimus
0,1%. Alergi 2008;63: 742-750.
30. Bieber T, Cork M, Ellis C, Girolomoni G, Groves R, Langley R, dkk. Pernyataan
konsensus tentang profil keamanan inhibitor kalsineurin topikal. Dermatologi
2005;211:77-78.
31. Arellano FM, Wentworth CE, Arana A, Fernandez C, Paul CF. Risiko limfoma setelah
paparan inhibitor kalsineurin dan steroid topikal pada pasien dengan dermatitis atopik.
J Invest Dermatol 2007;127:808-816.
32. Margolis DJ, Hoffstad O, Bilker W. Kurangnya hubungan antara paparan inhibitor
kalsineurin topikal dan kanker kulit pada orang dewasa. Dermatologi 2007;214:289-
295.
33. Berth-Jones J, Damstra RJ, Golsch S, Livden JK, Van Hooteghem O, Allegra F, dkk.
Dua kali seminggu flutikason propionat ditambahkan ke pengobatan pemeliharaan
emolien untuk mengurangi risiko kambuh pada dermatitis atopik: acak, buta ganda,
studi kelompok paralel. BMJ 2003;326:1367.
34. Bieber T, Vick K, Folster-Holst R, Belloni-Fortina A, Stadtler G, Cacing M, dkk.
Khasiat dan keamanan salep metilprednisolon aceponate 0,1% dibandingkan dengan
tacrolimus 0,03% pada anak-anak dan remaja dengan kekambuhan akut dermatitis
atopik parah. Alergi 2007;62:184-189.
35. RS Dawe. Fototerapi Ultraviolet A1. Br J Dermatol 2003; 148:626-637.
36. Tzaneva S, Seeber A, Schwaiger M, Honigsmann H, Tanew A. Fototerapi UVA1 dosis
tinggi versus dosis sedang untuk pasien dengan dermatitis atopik umum berat. J Am
Acad Dermatol 2001;45:503-507.
37. Silva SH, Guedes AC, Gontijo B, Ramos AM, Carmo LS, Farias LM, dkk. Pengaruh
fototerapi UVB pita sempit pada mikrobiota kulit anak-anak dengan dermatitis atopik.
J Eur Acad Dermatol Venereol 2006;20:1114- 1120.
38. Wahlgren CF, Hagermark O, Bergstrom R. Efek antipruritus dari antihistamin sedatif
dan non-sedatif pada dermatitis atopik. Br J Dermatol 1990;122:545-551.
39. Griffiths CE, Katsambas A, Dijkmans BA, Finlay AY, Ho VC, Johnston A, dkk.
Pembaruan tentang penggunaan siklosporin pada dermatosis yang dimediasi imun. Br
J Dermatol 2006;155 Suppl 2:1-16.
40. Hijnen DJ, ten Berge O, Timmer-de Mik L, BruijnzeelKoomen CA, de Bruin-Weller
MS. Khasiat dan keamanan pengobatan jangka panjang dengan siklosporin A untuk
dermatitis atopik. J Eur Acad Dermatol Venereol 2007;21:85-89.
41. Meggitt SJ, Gray JC, Reynolds NJ. Azathioprine dengan aktivitas thiopurine
methyltransferase untuk eksim atopik sedang hingga berat: uji coba terkontrol acak
tersamar ganda. Lancet 2006;367:839-846.
42. Meggitt SJ, Reynolds NJ. Azathioprine untuk dermatitis atopik. Clin Exp Dermatol
2001;26:369-375.
43. Krathen RA, Hsu S. Kegagalan omalizumab untuk pengobatan dermatitis atopik
dewasa yang parah. J Am Acad Dermatol 2005; 53:338-340.
44. Lane JE, Cheyney JM, Lane TN, Kent DE, Cohen DJ. Pengobatan dermatitis atopik
bandel dengan omalizumab. J Am Acad Dermatol 2006;54:68-72.
45. Cassano N, Loconsole F, Coviello C, Vena GA. Infliximab pada eksim atopik parah
yang bandel terkait dengan alergi kontak. Int J Immunopathol Pharmacol 2006;19:237-
240.
46. Jacobi A, Antoni C, Manger B, Schuler G, Hertl M. Infliximab dalam pengobatan
dermatitis atopik sedang hingga berat. J Am Acad Dermatol 2005;52:522-526.
47. Werfel T, Breuer K, Rueff F, Przybilla B, Worm M, Grewe M, dkk. Kegunaan
imunoterapi spesifik pada pasien dermatitis atopik dan sensitisasi alergi terhadap rumah
tungau debu: studi multi-pusat, acak, dosis-respons. Alergi 2006;61:202-205.
48. Bussmann C, Bockenhoff A, Henke H, Werfel T, Novak N. Apakah imunoterapi
spesifik alergen merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan dermatitis atopik? J
Alergi Klinik Imunol 2006;118:1292-1298.
49. Staab D, Diepgen TL, Fartasch M, Kupfer J, Lob-Corzilius T, Ring J, dkk. Program
pendidikan terstruktur terkait usia untuk pengelolaan dermatitis atopik pada anak-anak
dan remaja: multisenter, uji coba terkontrol secara acak. BMJ 2006;332:933-938.

Anda mungkin juga menyukai