Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KAJIAN PUISI “ANAKISIS PUISI LELAKI TUA DAB

GEROBAK,DANKAJIAN FIKSI

(ANALISIS CERPEN “MULUT” KARYA PUTU WIJAYA)

NAMA : ENDANG ORIANCE FALLO

NIM : 2001010018

KELAS/SEMESTER : A/2

PRODI : PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG 2021
1. ANALISIS PUISI

MENGANALISIS SEBUAH PUISI TENTANG LELAKI TUA DAN GEROBAK

Pada suatu pagi yang tenang Seorang lelaki tua terangguk-angguk di atas gerobak. Siswa
mediskusikan akibat dari perbedaan kedua tekanan pembacaan tersebut. Jelas, yang nomor
(2) lebih tepat pembacaaannya dari yang nomor (1). 4) Guru menugasi memberikan
frasering pada puisi yang akan dibacakannya. 5) Secara bergantian, siswa membacakan
puisi dengan penekanan yang telah ditandainya. 6) Guru mengamati pembacaan puisi siswa
dengan menggunakan format penilaian observasi. 7) Guru mengomentari dan membetulkan
pembacaan puisi oleh siswa yang tekanannya tidak tepat.
 Guru menjelaskan bahwa pembacaan puisi harus sesuai dengan jiwa puisi. Ada puisi
yangbernada kesepian, kegelisahan, kegembiraan, kesyahduan, dsb. Pembacaannya
harus sesuai dengan jiwa puisi tersebut. Jangan puisi berjiwa gembira dibaca dengan
nada syahdu atau sedih , demikian juga sebaliknya.
 Siswa seorang demi seorang berlatih membacakan puisi dengan nada / irama yang
sesuai.
 Guru mengamati pembacaan puisi oleh siswa dengan menggunakan format penilaian
observasi (porto folio).
 Siswa yang lain pun ikut mengamati dengan menggunakan format yang sama.
 Guru bersama siswa memberikan komentar terhadap pembacaan puisi oleh siswa
berdasarkan ketepatan lafal, ketepatan tekanan, dan kesesuaian nada (irama) puisi.
padaParafrase Puisi 1)
Guru menjelaskan teknik memparafrasekan puisi yaitu:
(1) Dengan menambahkan kata-kata bantu pada larik atau antarlarik untuk memperjelas
makna puisi. Kata-kata yang ditambahkan diletakkan di dalam kurung supaya terlihat
perbedaannya
dengan kata-kata yang di dalam puisi.
(2) Dengan cara menceritakan kembali secara bebas dengan kata-kata siswa sendiri yang
tidak menyimpang dari makna puisi. Misalnya: TeknikPada suatu pagi yang (udaranya
) tenang Seorang lelaki (yang telah ) tua (duduk) teranggukangguk di atas gerobak
(nya) (Rodanya) Berderak di atas jalanan menuju kota (Muatannya) sarat dan berat Ia
datang dari pedalaman, bertanya: Jam berapakah sekarang?

Matahari (terik) di atasnya Teknik ke-2 Pada suatu pagi yang udaranya masih terasa enak
dan segar, anginnya berembus tenang, seorang laki-laki tua duduk terangguk-angguk di atas
gerobak. Roda gerobaknya terdengar bunyinya berderak-derak bergerak menuju ke arah
kota. Muatannya sarat dan berat. Ia datang dari pedalaman. matahari telah berada terik di
atas kepalanya.
Setelah lama berjalan, ia berhenti sambil bertanya pada dirinya sendiri pukul berapa hari.
 Tenyata hari sudah tinggi, karena matahari telah berada terik di atas kepalanya.
 Secara berkelompok, siswa memparafrasekan puisi sesuai dengan cara yang telah
ditunjukkan guru.
 Masing-masing kelompok membacakan parafrase yang telah disusun mereka secara
bergiliran.
 Guru memberikan pengukuhan. Guru memberikan pengukuhan terhadap hasil
kerja kelompok dengan menyatakan mana di antara kelompok yang sudah benar
jawabannya mana yang masih perlu perbaikan.)
Kelompok siswa yang pekerjaannya bagus, diberi reward berupa pujian, angka, atau benda
akademik tertentu (seperti pensil, penghapus, dsb. kalau memungkinkan) Kelompok siswa
yang masih memerlukan perbaikan, memperbaiki kembali hasil temuan mereka.Refleksi
Sebagai umpan balik terhadap proses pembelajaran, guru melakukan refleksi terhadap proses
dan hasil belajar siswa. Misalnya:
A. Tentang proses pemantapan lafal
B. Tentang prose pemantapan tekanan pembacaan puisi.
C. Tentang proses pemantapan nada / irama pembacaan puisi
D. Tentang proses parafrase puisi.
Tindak lanjut Hasil refleksi dimanfaatkan agar siswa dapat berlatih membaca puisi dengan
menentukan penekanan, dan nada pembacaan Penilaian
1. Proses Selama proses pembelajaran berlangsung, guru mengamati aktivitas, kreativitas,
dan
keseriusan siswa bekerja dalam kelompok dengan menggunakan format pengamatan
proses belajar (porto folio) terlampir.
2. Hasil Sebagai penilaian hasil belajar, guru mengamati pembacaan puisi dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan sebelumnya. 10 Lembar
Kerja Siswa (LKS) LKS disediakan guru sebagai sarana belajar siswa yang digunakan
dalam melaksanakan tugas selama kegiatan belajar.

2. ANALISIS FIKSI

MULUT

Di kota saya ada seorang perempuan yang tidak punya mulut. Di bawah hidungnya tidak
muncul sepasang bibir. Saya tidak tahu apakah ia punya baris gigi dan lidah di balik
wajahnya yang terkatup itu. Tapi dalam keadaan yang tuna mulut itu ia menimbulkan
keadaan yanng khusus. Warga mempersoalkan kehadirannya tak habis-habis. Apakah ia
seorang makhluk yang cantik atau mengerikan.
Matanya begitu indah, diteruskan oleh hidungnya yang bangir namun tidak terasa
kepanjangan. Kulitnya lembut dan hangat. Seluruh penampilan wajahnya membangun
sebuah air muka yang bagi sebagian orang entah kenapa cantik sekali. Ia dianggap amat
mempesona. Kata para pemujanya itu, tanpa kehadiran sebuah mulut, ia justru berada dalam
kecantikan yang sublim. Karena setiap kami pengagumnya, dengan merdeka dan leluasa
dapat menempelkan dalam angan-angan kami jenis-jenis mulut yang kami sukai pada
wajahnya yang bagaikaan kapstok ajaib itu. Ia begitu luwes bagaikan peragawati Titiek
Qadarsih pada masa kejayaanya diberikan mulut apapun cocok.
Seorang pengagum bibir dower, selalu akan melihat di bawah hidungnya itu
bergantung dua baris daging empuk, bagaikan lintah yang sudah kenyang. Tebal,
menggantung dan penuh. Sebaliknya penikmat bibir tipis tak sulit untuk menempelkan
dalam angan-angannya bidang-bidang kue lapis yang lembut, tipis namun empuk lengket,
legi dan lincah. Dan kombinasi dari keduanya dengan semena-mena bisa menggota-ganti
apakah dia mau melekatkan bibir model orang hutan atau bibir bekicot ke atas kanvas yang
sempurna itu.
Namun juga tak urung banyak yang menilai wanita itu sangat buruk. Sangat malang. Bahkan
juga menakutkan. Seindah apa pun mata dan elemen-elemen wajahnya. Bahkan sebening
dan sesempurna apa pun perasaan yang terlontar dari wajah itu, tanpa kehadiran sebuah
mulut, ia adalah makhluk yang invalid, kata sebagian orang. Ketidaklengkapannya seperti
sayur asem yang kurang asem. Bukan saja tawar, tetapi juga menyakitkn dan tak berguna.
Hanya setan yang bisa hadir dalam keadaan yang cantik sekaligus mengerikan. Ia adalah
sebuah bom yang tak punya sumbu peledak. Jadi mampat dan terasa sesak, berteriak
kesakitan namun tak sanggup berbuat apa-apa. Ia bagaikan ledakan yang tersumpal yang
menggelinding dalam kehidupan dan karenanya mengganggu kita.
Pro dan kontra pada wanita yang tak bermulut itu berlangsung lama. Bahkan nyaris jadi
bahan pertengkaran dan permusuhan karena orang-orang seperti didorong untuk bersikap
kemudian memilih blok antara suka atau tidak. Untunglah kemudian harga semen naik deras.
Tidak hanya naik, tetapi lenyap di pasar. Harganya diperintahkan turun oleh pemerintah.
Ada ancaman keras bagi siapa yang menjual dengan harga lewat tarif resmi. Tetapi anehnya
dengan ancaman itu harganya semakin melonjak. Dan semen semakin tak tahu ke mana
ngumpetnya.
Kami berhenti mempersoalkan wanita yang tak bermulut itu Lalu. perlahan-perlahan kami
jadi biasa dengan kehadirannya. Dia sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Tak ada
yang terganggu lagi. Tak ada pro dan kontra. Keberadaannya sudah menjadi sempalan yang
diterima. Ia sudah sama dengan siang dan malam, panas dan hujan. Bertentangan tapi
dibutuhkan untuk kelengkapan. Sudah masuk dalam saku kami. Sudah tidak ditanyakan lagi
kenapa-kenapanya. Bahkan kalau ia tidak lewat di jalan beberapa lama karena sakit, atau
karena sedang berpergian ke mana begitu, kami justru merasa ada yang salah. Lalu kami
akan cari dia. Jangan-jangan dia sakit.
Kami orang pedalaman, rasa keberakyatan masih tebal. Gotong-royong kami masih belum
luntur seperti kota-kota metropolitan. Secara bergiliran kami bantu wanita itu, kalau berada
dalam kesulitan Wanita tanpa mulut itu adalah milik seluruh warga.
Tetapi itulah masalahnya. Karena ketika seorang petugas muncul dari pusat, ia seperti
mewakili masa lalu kami. Tiba-tiba saja bagaikan tabrakan mendadak, petugas itu
membunyikan peluit dan menyeruhkan bahaya. Tangkap, serunya memberikan intruksi
pada suatu pagi yang cerah, ketika para pedagang baru saja memasuki kota dan anak-anak
mencangking bukunya jalan kaki atau naik sepeda ke sekolah yang berada agak di luar kota.
“Tangkap, tangkap, tangkap cepat!”
Hansip-hansip di kota kami sangat patuh pada perintah atasan. Apalagi atasan dari
atasannya. Merasa petugas itu bergigi besar, para hansip kami buru-buru menghunus
pentungannya yang biasanya tak pernah mereka jamah. Rumah wanita itu dikepung. Lalu
wanita itu ditarik keluar dari rumah, untuk diamankan.
“Mana mulut kamu!” teriak petugas itu dengan nafas kembang kempis. Dadanya nampak
turun-naik sehingga kami seperti mendengar suara gemeletuk. Kami yakin ia sangat terkejut
melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya.
“Mana mulut kamu!”
Wanita yang tak bermulut itu tercengang. Bagaimana menjawab kalau tak ada mulut. Hanya
matanya menatap dengan lunak. Dan kami semua yang sudah menjadi saudara-saudaranya
bisa mengerti bahwa itu bukan hanya sebuah tatapan. Itu adalah sebuah jawaban yang
selayaknya. Kami yang biasa bergaul dengan dia bisa mengerti jawaban itu.
Tetapi petugas yang bertanya itu tentu saja tak mendengar apa-apa. Ia pasti tidak bisa
menangkap suara dari pandangan mata wanita itu. Lantas ia bertanya dengan suara yang
lebih keras. Kami percaya kekerasan suaranya dipengaruhi oleh perasaan yang dag-dig-
dug. Kami yakin sekali ia belum pernah menjumpai jangankan wanita, manusia yang tak
bermulut. Di Amerika pun tak ada.
“Di mana mulut kamu?”
Wanita itu terus menjawab terus setiap pertanyaan dengan matanya. Tetapi petugas itu tidak
mengerti. Akhirnya wanita itu dimasukkan ke dalam kamar, untuk diajak bicara empat mata.
Kata para hansip yang tahu, petugas itu menghabiskan dua jam untuk membesut wanita itu
dengan berbagai pertanyaan. Dan ketika semua pertanyaan-pertanyaannya tidak pernah
djawab, ia memutuskan untuk memberi pengamanan.
“Untuk menjaga keamanaan bersama, perempuan ini akan kita amankan dulu, sampai jelas
betul asal-usul dan peranannya dalam kehidupan kita, “ kata petugas itu kemudian pada
seluruh warga. “Kenapa dan mengapa ia tak punya mulut. Apa maksudnya? Dan yang lebih
penting dari semua itu, dari mana asalnya dan siapa yang sudah mengatur sampai semua
warga terkesima sehingga menerima begitu saja kehadirannya tanpa mempersoalkan, kenapa
ia tidak punya mulut. Bukankah itu semacam pengacauan!”
Petugas itu kemudian menahan wanita itu.
Seluruh warga keberatan dengan keputusan itu. Kami menganggap wanita itu tdak bersalah,
kenapa mesti diamankan. Kenapa orang tak punya mulut dianggap bersalah. Belum tentu ia
sendiri suka ia tidak punya mulut.
“Tapi saudara-saudara sendiri secara tidak langsung seperti diajarakan untuk menerima yang
salah. Untuk mentolerir yang tidak betul. Saudara-saudara sudah dikacaukan untuk
membiasakan yang tidak normal. Ini keliru.”
“Tapi kami sama sekali tidak terganggu oleh kehadirannya Pak. Ia seorang warga
yang baik. Dengan tidak punya mulut, ia bukan orang yang cacat. Ia justru menjadi seorang
tetangga yang baik, buat semua tetangganya.”
Petugas itu menggeleng.
“Saudara-saudara salah-kapra. Itu, itulah yang salah. Saudara-saudara sudah diam-
diam ia latih untuk membenarkan kesalahan. Menerima orang cacat sebagai orang normal,
apalagi memujikannya sebagai warga yang baik dan patuh, adalah tindakan kriminal. Itu
kejahatan pikiran!”
“Tapi Pak, wanita itu memang warga yang baik. Coba tanya saja Pak Rt dan Pak
RW. Dia tidak pernah mengganggu apalagi melakukan yang tidak senonoh. Bikin gosip
tidak pernah, bagaimana bikin gosip kalau mulutnya saja tidak ada?”
“Keliru! Saudara-saudara ini sudah ditipu. Saya sudah menanyai dia berjam-jam
empat mata. Saya tahu bahwa ia justru dalam keadaan tidak punya mulut jadi bicara banyak
sekali. Saudara di sini kan tahu, kita sedang belajar demokrasi, belajar berbicara dengan
terbuka dan bebas. Nah dalam keadaan tidak punya mulut, bagaimana dia bisa terbuka dan
bebas, buka mulut saja tidak bisa. Keadaan ini berbahaya, tidak bisa kami diamkan. Untuk
sementara wanita itu kami amankan sampai kami merasa ia cukup aman kembali untuk
dilepaskan hidup bebas di antara saudara-saudara warga yang perlu kami ayomi karena
sudah membayar pajak dengan setia.”
Wanita itu pun diamankan.
Kami sangat mempersoalkan pengamanannya. Keputusan petugas yang kami anggap
salah-kapra dan sewenang-wenang itu menjadi bahan gunjingan dan kemudian ejekan kami.
Sebab atas nama tugas, ia seperti sudah membenarkan segala yang buruk. Barangkali ia
hanya ingin mengejar pujian dari atasannya. Kami sadar bahwa ia bukan cermin dari petugas
yang sebenarnya. Kami anggap ia hanya oknum petugas yang buruk. Bahkan tercelah. Kami
percaya bahwa pusat tidak akan pernah menyetujui tindakan petugas yang mabok itu.
Atasannya pasti memutasikan, kalau tahu sepak terjangnya. Kami percaya itu tindakan
pribadi, bukan tindakan resmi. Kami masih percaya pada korps petugas.
Berapa lama kami rame membicarakan ketidakadilan yang sudah menimpa warga
kami yang tak bermulut itu. Maklum saja kota kecil. Anjing mati saja dibicarakan oleh
seluruh kota. Tapi kemudian penyanyi Nike Ardilla meninggal dalam sebuah kecelakaan
mobil. Harga semen semakin naik lagi. Radio dan koran sibuk sekali membicarakan berita
kunjungan presiden ke Jerman. Berita wanita itu perlahan-lahan hilang.
Setahun kemudian wanita itu pulang.
Kami terkejut. Astaga, kini ia sudah punya sebuah nulut. Dengan sepasang bibir yang
secara sendirian dapat dikatakan mungil. Dua baris giginya seperti iklan pasta gigi. Gigi-gigi
sehat yang sempurna. Dan kalau ia menjulurkan lidahnya, daging itu merah sehat dan
mungil. Walhasil mulut yang sebenarnya sempurna.
Ia bercerita dengan fasih dan panjang lebar. Suaranya terdengar merdu seperti
penyiar-penyiar radio. Ia menjelaskan bagaimana ia sudah menjalankan operasi plastik di
mancanegara dengan tanggungan biaya yang seratus prosen bukan dari koceknya sendiri.
“Kini aku sudah punya mulut. Aku tidak minder lagi. Aku sama dengan kalian yang
lain. Bahkan mulutku ini sudah terlatih dalam banyak hal. Bisa menyanyi. Bisa cas-cis-cus.
Bahkan juga bisa puisi kalau diperlukan. Berbeda dari keadaannya yang semula, wanita itu
dengan amat cepat berubah jadi banyak mulut. Ia ngoceh terus, meskipun tidak ditanya. Tak
peduli kami sudah capek mendengar. Mungkin akibat kediamannya yang sudah bertahun-
tahun. Kami mengerti. Barangkali ia terlalu gembira. Terdorong, jadi tak sengaja. Bahkan
siapa tahu,tersiksa sendiri sebab mulutnya ngomong terus, sementara ia sendiri mungkin
masih terbiasa dalam keadaannya yang lama. Kadang kami melihat matanya mengantuk dan
lelah, sementara mulutnya ngomong terus dengan penuh semangat.“Ia masih ngomong terus
walaupun tidur, kata beberapa tetangganya.
Penilaian kami berubah sesudah wanita itu memiliki mulut. Yang menganggap dia
semula cantik dalam keadaan tanpa mulut, merasa terganggu sekali. Mereka serta-merta
menganggap wanita itu cerewet, bawel dan jelek karena mulutnya merusakkan bukan saja
kecantikannya, tetapi kepribadiannya. Tetapi yang dulunya membencinya pun bukannya
berbalik, mereka jadi semakin membenci, karena merasa wanita itu kini bukan hanya
menteror tapi benar-benar mengganggu karena mulutnya tak bisa ia kuasai. Namun
sebagaimana biasa hal itu juga tak berlangsung lama. Kembali harga semen naik. Yendaka
semakin gila. Dollar melorot terus, sedemikian rupa sehingga kami curiga jangan-jangan dia
sengaja terjun. Lalu kami sibuk membicarakan bagaimana caranya menyelamatkan tabungan
rupiah kami. Kami khawatir kalau-kalau uang yamg kami tabung sedikit demi sedikit itu,
melenyap tiba-tiba seperti kejadian yang lalu.
Hanya satu bulan kami sudah terbiasa dengan wanita tak bermulut yang sekarang
kebanyakan mulut itu. Kami berikan ia sebuah tempat yang lain dalam pergaulan kota.
Setelah jelas tempatnya, ya sudahlah. Mau apa lagi. Lalu kami sibuk kami membicarakan
masalah-masalah sehari-hari yang datang beruntun bersama koran.
Memang begitu selamanya. Kami sudah diajarkan oleh kehidupan untuk cepat
melupakan segala sesuatu, karena terlalu banyak yang datang. Nrimo begitu. Habis, kalau
kamu tidak pelupa sedikit, barangkali selutuh kota sudah sakit jiwa.
Tapi kemudian petugas dari pusat itu, datang lagi.
Begitu muncul, ia sudah sibuk mengerahkan para hansip untuk melakukan
penangkapan.
“Tangkap wanita yang kebanyakan mulut itu,” teriaknya.
Kami semua terkejut.
“Kenapa Pak? Apa kesalahannya?”
“Ia sudah merusakkan citra kalian. Masak ngomong terus, itu namanya memancing
di air keruh. Membakar-bakar itu bukan jiwa orang timur. Itu pengacau, mengapa
kalian diam-diam saja, jangan biarkan dia seperti itu, lama-lama kepribadian kalian
akan sesat semua!”
“Tapi katanya mulut itu Bapak yang memberikan?”
“Memang. Tapi maksud kita bukan untuk dipakai ngoceh begitu. Memang susah
tidak punya mulut tiba-tiba punya mulut, jadi kacau begini. Main gosip, memfitnah,
membakar-bakar, ayo cepat selamatkan dia!”
Wanita itu kembali diamankan.
Setahun ia diungsikan. Kami ribut hendak memprotes. Tetapi sebagaimana biasa,
harga semen pun naik. Kami pun lupa
Ketika wanita itu pulang kembali tanpa mulut, ia kami terima seperti biasa. Kami
tahu mulutnya telah diratakan. Ia dikembalikan kepada asalnya. Di bawah hidungnya
yang cantik itu mendatar. Padang datar yang penuh dengan misteri. Membeku namun
sesak dengan suara-suara terpendam seperti dulu.
Hanya saja tak semuanya bisa dikembalikan persis. Meskipun wanita itu sudah
kembali tak bermulut, ternyata banyak yang berubah. Antara lain matanya. Meskipun
bentuk mata itu tetap saja sempurna, seperti dulu tapi sinarnya sudah berbeda. Ada
bayangan gelap. Sinar mata orang yang biasa bebas ngomong seenaknya yang kini
dibungkemkan. Mata yang meluapkan marah menyala-nyala dan dendam.
Kami tak kuat oleh semburan dendam dari mata itu.
Tapi harga semen naik lagi. Naik lagi.
Kami tak sempat memikirkan pancaran mata seorang wanita tak bermulut yang berkobar
oleh dendam. Kami terkubur oleh kesulitan-kesulitan hidup. Kami sudah terlatih untuk cepat
menjadi terbiasa dalam waktu yang singkat.
Kamu tahu petugas itu akan datang lagi. Entah apalagi perintahnya. Namun sebelum
semuanya terjadi sebagaimana biasa, segalanya berubah.
Pada suatu pagi, seorang tetangga kami menjerit. Ia berteriak melihat wanita yang tak
bermulut itu, bergantung di cabang pohon nagka dalam keadaan sudah tak bernyawa.
Di atas meja kamarnya, tertinggal suaranya dalam secarik kertas.
Suara yang tak mampu ia katakan sendiri. Surat itu namun jelas.
“Barangkali ini salah. Aku minta maaf. Tapi aku sudah putuskan memilih kesalahan
ini, umtuk menghentikan segala kejadian yang berulang-ulang dengan buas itu.”
Warga kota kami gempar. Kami ketakutan. Kami memerlukan penjelasan.
Seharusnya setelah itu, petugas dari pusat itu muncul.
“Tapi beliau sudah lama sakit-sakitan. Dan kemudian sebenarnya sudah mati lebih
dulu dari perempuan yang tak bermulut kalian yang mati menggantung diri itu,”
jawab seorang utusan.
Kami terspesona. Bingung oleh kejadian beruntun itu.
Kemudian kami menunggu, bersiap-siap kalau-kalau harga semen akan naik lagi.
Atau seorang Nike Ardilla yang lain, dapat kecelakaan mobil lagi. Agar kami bisa
mengelak, berpegang, mengalihkan, agar mampu meluapkan.
Tapi semua itu tidak terjadi. Kami jadi terpaksa mengulum kematian perempuan
yang tak bermulut itu lama-lama sampai kenyang. Sampai gembung.
Bertahun-tahun kami masih tetap diganggu oleh peristiwa itu.
Sampai tadi pagi dikabarkan ada lagi seorang wanita tidak bermulut lahir. Kami
buru-buru berebut menengok ke rumah sakit. Sampai-sampai kaca ruangan
penampungan bayi pecah, karena hampir seluruh warga berlomba ingin
memandanginya.
Semua kami melihat ke mulut bayi yang buntu itu. Dataran buntet yang meskipun kecil, pasti
akan menyimpan misteri. Lalu mengerling matanya yang kami harapkan mampu bicara
menggantikan mulutnya yang tiada.
Tapi apa yang kami harapkan tak terjadi. Bayi tak bermulut itu, ternyata seorang bayi cacat
biasa. Ia benar tanpa mulut, tetapi matanya, matanya ternyata mata manusia biasa yang tak
menolong apa-apa ketiadaan mulutnya. Ia berbeda.
“Ia sudah kulino,” bisik zuster.
“Apa Zuster?”

“Dokter bilang, ini generasi kedua. Jadi sudah biasa. Ia sudah tenang. Ia suda terbiasa
tak bermulut.
3. ANALISIS CERPEN

“MULUT”

A . TEMA

Tema yang dapat kami petik dari cerpen tersebut adalah:Gejolak kehidupan
antara yang dianggap tabu dan diterima yang datang secara beruntun
hinggaakhirnya masyarakat setempat sudah biasa dengan masalah tersebut.
Yang menjadi permasalahan utamanya adalah perempuan tak bermulut yang
menjadi tokohutamnya. Ia diselimuti oleh pro dan kontra, antara diterima dan
yang ditolak. Dan beberapakonflik sertaan yang mengecoh pembaca hingga
terhanyut ke dalam cerita. Salah satunya adalahpermasalahan tentang kenaikan
harga semen.

 Kutipan yang mendukung tema yang kami simpulkan adalah sebagai berikut:

Pro dan kontra pada wanita yang tak bermulut itu berlangsung lama. Bahkan
nyaris menjadi bahan pertengkaran dan permusuhan. Karena orang-orang seperti
didorong untuk bersikapkemudian memilih blok antara suka atau tidak. Untunglah
kemudian harga semen naik deras.Tidak hanya naik tetapi lenyap di pasar. Harganya
diperintahkan turun oleh pemerintah. Ada ancaman keras bagi siapa yang menjual
dengan harga lewat tarif resmi. Tetapi anehnya dengan ancaman itu harganya
semakin melonjak. Dan semen semakin tak tahu ke mana ngumpetnya.“Dokter
bilang, ini generasi kedua. Jadi Sudah biasa. Ia sudah tenang. Ia sudah terbiasa
takbermulut.”

B.Penokohan dan perwatakan pada cepen Mulut


 Penokohan dan perwatakan
Penokohan adalah proses menghadirkan tokoh–tokoh dalam sebuah cerita.
 Jenis tokoh atau peran tokoh–tokoh dalam cerepen Mulut

Tokoh utama

Tokoh utama dalam cerita ini adalah wanita tidak bermulut. Ia dikatakan asebagai
tokoh utama karena wanita tidak bermulut ini adalah tokoh yang diceritakan pada
awal cerita sampai kepada ahkir cerita.

Tokoh tambahan dalam cerita ini yang menjadi tokoh tambahan adalah para petugas dari
kota, pemimpin, dan masyarakat. Akan tetapi tokoh tambahan yang paling banyak perannya
adalah para petugas dari kota. Tokoh tambahan ini adalah tokoh yang ikut membuat cerita
ini bergerak.

C. Latar dan Alur

a.Latar Beberapa latar yang dapat kami temukan dalam cerpen karya Putu Wijaya ini
adalah sebagai berikut:

Latartempat: Dirumah,kota-kota,dan rumah sakit

waktu : Suatu pagi hari

Suasana : Mengenangkan,mengedihkan,dan mengesahkan Jenis alur pada cerpen


mulut

Pada cerpen mulut alur yang di gunkana adalah alur maju dengan pergerakan alur dari
pengenalan sampai kepada ahkir konflik dan penyelesaian.

D.Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen Mulut tersebut adalah Sudut
pandang orang ketiga .
E.Gaya Bahasa

Gaya Bahasa yang digunakan dalam cerpen mulut meliputi gaya bahasa yang
dapat di mengerti, mudah di pahami , menggunakan bahasa yang baku, atau bisa
juga meliputi gaya bahasa yang sulit di pahami.

G.Amanat

Setelah kematian perempuan tak bermulut itu, masyarakat menjadi terpukul.


Namunketerpukulannya itu membuat masyarakat sudah terbiasa dengan masalah
kehidupan seperti itu,bahkan telah mampu menerima kelahiran wanita tak bermulut
beberapa tahun setelah kematianperempuan tak bermulut itu.Inilah sebuah amanat
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, bahwa hidup inimemang
banyak lika-likunya. Namun lika-liku inilah yang manjadikan seseorang terbiasa
danmudah menghadapi lika-liku berikutnya. Dan menurut kami amanat brikutnya
adalah sesuatuyang sudah diciptakakan tak perluh diubah, menerima kenyataan lebih
baik jika harusmengubahnya, yang dimana malah menambah persoalan.Kutipan
yang mendukung amanat yang disimpulkan penulis adalah sebagai berikut:o“

Dokter bilang, ini generasi kedua. Jadi Sudah biasa. Ia sudah tenang. Ia sudah
terbiasa takbermulut.”“Berbeda dari keadaannya yang semula. Wanita itu dengan
amat cepat berubah jadi banyakmulut. Ia ngoceh terus, meskipun tidak ditanya.

Ahkir dari cerita ini adalah kembalinya wanita yang tidak bemulut itu dari
kota. Ketika iakembali adri kota ia sudah tidak memiliki mulut lagi. Pada saat ia
kembali dengan tidak memiliki multu lagi ia menjadi penuh dendam matanya penuh
dengan rasa dendam.

NAMA : ENDANG ORIANCE FALLO


KELAS :A
NIM : 2001010018
UAS : ANALISIS NOVEL
ANALISIS

A. Tema : Habis gelap terbit terang oleh R.A Kartini yang ingin melanjutkan
pendidikanya di lua rnegeri namun di larang oleh sang ayah karena ia adalah anak
pertama yang taat dan memberi contoh kepadasaudarannya agar meraka
taat pada peraturan nenek moyang mereka. Karena keluarga kartini
termasuk keturunan raja yang harus memberi contoh kepada masyarakat
yang lain.

B. Tokoh atau penokohan: tokoh yang di ceritakan adalah R,A Kartini


Penokohan:watak dari R.A Kartini memiliki sifat yang baik hati, ramah, selalu
melakukan apa yang di perintahkan sang ayah maupun rumpun keluarga.

Di simpulkan bahwa: dalam novel ini tokoh utama yang di ceritakan adalah R.A
Kartini sedangkan penokohan atau watak tokoh adalah tokoh protogonis karena
didalam novel ini mwmiliki penokohan yang selalu mendapatkan masalah tetapi
ia menyelesaikan secara pribadi.Kita dapat menilai watak tokoh melalui: latar yang
ada dalam novel tersebut

C. Alur atau plot: Pada suatu ketika ayah R.A Kartini mengijinkannya untuk
melanjutkan pendidikan di luar negeri namun, kesehatan sang ayah juga terganggu
sehingga R.A Kartini mendua pikiran karena karena ia memikirkan kesehatan
sang ayah. Alur yang digunakan alur maju karena R.A Kaerini pernah mengirimkan
surat untuk teman_ temannya di luar negeri yang mendukung untuk tetap semangat..

D. Latar atau setingg: waktu ingin melanjutkan pendidkan di luar negeri namun ia di
kurung di rumah ayah selama 6 tahun.

Waktu: Di sekolah mereka ia sedang belajar bahasa prancis karena ia pergi ke


prancis untuk melanjutkan pendidkannya. Tetapi ia di kejutkan dengan sala satu
temannya yang bertannya kepada R. A Kartini katannya engkau akan
melanjykanpendidikan di mana.
Latar suasana: Menyedihkan karena aysah R.A Kartini melarang dia untuk
melanjutkan pendidikannya bahkan kurung R.A Kartini selama 6 tahun

E. Sudut pandang: Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga sebagai
pengamat karena penulis mengamati jalan cerita R. A Kartini dari awal sampai akhir
hingga menyusunnya sebagai sebuah novel

F. Gaya bahasa: Menggunakan bahasa yang di mengerti, di pahami, baikpenulis


maupun pembaca pada halaman 82 bahwa ia kasihan kepada sang ayah atau cinta
pertamanya yang menanggung semua masalah mereka bahkan semua saudara
perempuan yang menjadi perhatiannya.

G. Amanat: Permohonan saya ialah sudilah pemerintah memberikan pertolongan


kepada saya agar cita cita saya dapat tercapai di luar negeri.

Di simpulkan bahwa ia memohon kepada pemerintah untuk mendukung


pendidikannya di luar negeri . pemerintah harus memberikan bantuan berupa
beasiswa agar ia memenuhi kebutuhan selama ia di luar negeri.

SEKIAN JAWABAN ANALISIS DARI SAYA. TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai