Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar belakang

Bisul (furunkel) adalah infeksi kulit yang meliputi seluruh folikel rambut dan
jaringan subkutaneus di sekitarnya. Penyebabnya adalah bakteri stafilokokus,
tetapi bisa juga disebabkan oleh bakteri lainnya atau jamur. Paling sering
ditemukan di daerah leher, payudara, wajah dan bokong. Akan terasa sangat
nyeri jika timbul di sekitar hidung atau telinga atau pada jari-jari tangan.

Furunkel berawal sebagai benjolan keras berwarna merah yang mengandung


nanah. Lalu benjolan ini akan berfluktuasi dan tengahnya menjadi putih atau
kuning (membentuk pustula). Bisul bisa pecah spontan atau dipecahkan dan
mengeluarkan nanahnya, kadang mengandung sedikit darah. Bisa disertai
nyeri yang sifatnya ringan sampai sedang. Kulit di sekitarnya tampak
kemerahan atau meradang. Kadang disertai demam, lelah dan tidak enak
badan. Jika furunkel sering kambuhan maka keadaannya
disebut furunkulosis.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Pembiakan contoh


jaringan kulit bisa dilakukan untuk memastikan bahwa penyebabnya adalah
stafilokokus. Jika bisul timbul di sekitar hidung biasanya akan diberikan
antibiotik per-oral (melalui mulut) karena infeksi bisa dengan segera
menyebar ke otak

Menurut Burns (2005), penyakit kulit bisul merupakan infeksi pada folikel
rambut oleh bakteri S.aureus Dikemukakan pula oleh Burns (2005), bahwa
gambaran infeksi S.aureus berupa suatu abses, reaksi peradangan dan
pernanahan sentral.

Indonesia merupakan negara ’mega biodiversity’ yang mempunyai


keanekaragaman dan kekayaan flora berlimpah termasuk tumbuhan obat.
Dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu di antaranya tumbuh di
Indonesia (Hernani dan Syukur, 2002).
Pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional tersebut sampai
sekarang terus berkembang dan berlangsung dalam masyarakat. Jenis
tumbuhan yang dipakai sebagai obat tradisional sangat banyak macamnya,
namun pemanfaatannya masih terbatas berdasarkan pengalaman turun-
temurun dari nenek moyang. Cabang ilmu yang mempelajari hubungan
manusia dengan alam nabati sekitarnya disebut dengan Etnobotani (Walujo,
2009).

Menurut Kurniawati (2008), bakteri S.aureus menyebabkan penyakit kulit


seperti infeksi pada folikel rambut yang menyebabkan terjadinya abses
permukaan yang terlokalisasi atau disebut bisul. Keefektifan tumbuhan obat
penyakit kulit bisul dapat dilihat dari zona hambat. Metode yang digunakan
adalah metode dilusi dengan uji cakram atau Kirby-Bauer, merupakan uji
daya antibakteri yang relatif umum dan lebih sederhana digunakan untuk
mengetahui zona hambat yang terbentuk dari jenis tumbuhan obat yang
berbeda. Uji Kirby-Bauer memiliki prinsip kerja yaitu untuk mengetahui zona
hambat yang terbentuk pada medium (Pratiwi, 2008).

Penelitian mikrobiologi sebelumnya yang dilakukan Monalisa (2011), tentang


uji daya antibakteri daun tapak liman (Elephantopus scaber L.) terhadap
bakteri S.aureus diperoleh hasil, ekstrak tapak liman yang paling efektif
sebagai antibakteri adalah pada konsentrasi 20%, dengan rata-rata diameter
zona hambat 5,71 mm. Penelitian lain dilakukan Zamrodi (2011), tentang uji
fitokimia dan uji aktivitas antibakteri senyawa aktif tanaman anting-anting
(Acalypha indica L.) diperoleh hasil ekstrak etanol daun anting-anting mampu
menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus pada konsentrasi 125 mg/mL
dengan diameter zona hambat yaitu 5 mm. Dari penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa tumbuhan memiliki potensi antibakteri yang berbeda. Hal
ini disebabkan berbagai tumbuhan memiliki genetis yang berbeda yang
berakibat kandungan senyawa aktif yang berbeda-beda. Menurut Lenny
(2006), tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk
metabolit sekunder seperti alkoloid, flavonoid, saponin, dan lain-lain.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut:
a. Jenis tumbuhan apa sajakkah yang berpotensi obat tradisional penyakit
kulit bisul?
b. Organ apa sajakkah dari tumbuhan berpotensi obat penyakit kulit bisul
yang dimanfaatkan?
c. Bagaimanakah cara pemanfaatan tumbuhan berpotensi obat penyakit kulit
bisul ?

3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka didapat tujuan dari makalah ini
antara lain:
a. Mengetahui jenis tumbuhan apa sajakkah yang berpotensi obat
tradisional penyakit kulit bisul.
b. Mengetahui organ apa sajakkah dari tumbuhan berpotensi obat
tradisional penyakit kulit bisul.
c. Mengetahui cara pemanfaatan tumbuhan berpotensi obat penyakit kulit
bisul.
4. Manfaat Penelitian
a. Makalah ini diharapkan mampu memberikan konstribusi wawasan pada
keilmuan bidang ilmu keperawatan, khususnya dalam keilmuan
fitofarmaka di STIKIM.
b. Makalah ini diharapkan dapat menginventarisasi dan mengidentifikasi
spesies tumbuhan obat dalam mengobati penyakit kulit bisul, bagian yang
digunakan serta cara penggunaannya sebagai warisan budaya yang perlu
dilestarikan.
c. Makalah ini diharapkan dapat memperluas keilmuan, khususnya dalam
mengetahui daya antibakteri tumbuhan obat penyakit kulit bisul yang biasa
dipergunakan.
BAB II
TANJAUAN PUSTAKA

1. Pengetian Bisul
Bisul (Furunkel) ialah infeksi kulit yang supuratif dan bersifat setempat.
(Himawan,dkk.1973). Furunkel adalah abses akut pada folikel rambut yang
disebabkan oleh infeksi S.aureus. Apabila lebih dari satu folikel disebut
Furunculosis. Kumpulan dari furunkel disebut Karbunkel. Bisul disebabkan
oleh infeksi folikel rambut yang timbul sebagai nodul keras dan nyeri tekan
dengan postul ditengah (folikulitis) (Wilkins,dkk. 2002). Gambar penyakit kulit
bisul dapat dilihat pada gambar 2.1 (Elfriadi, 2008):

0,5 cm

Gambar 2.1 Penyakit kulit bisul (Elfriadi, 2008)

Bisul adalah suatu peradangan kulit yang mengenai folikel rambut atau
bagian akar rambut yang disebabkan oleh infeksi dari bakteri Staphylococcus
aureus. Umumnya, bisul muncul pada daerah-daerah yang banyak
mengandung kelenjar keringat, seperti daerah wajah, punggung dan lipatan
paha, serta daerah tubuh yang sering digaruk atau sering mengalami
gesekan (Elfriadi, 2011).

2. Bakteri S.aureus Sebagai Penyebab Penyakit Kulit Bisul


Bakteri S.aureus merupakan bakteri kokus Gram-positif, fakultatif anaerob.
Bakteri ini dapat menimbulkan infeksi supuratif pada kulit (Himawan,2002).
Kulit merupakan bagian penting dari pertahanan tubuh terhadap bahan asing
atau mikroba. Kulit terdiri dari tiga lapisan utama yaitu: epidermis (lapisan
bagian luar tipis), dermis (lapisan tengah), dan subkutis (bagian paling dalam)
(Garna,2001). Gambar morfologi bakteri S.aureus pada gambar 2.2 (a)
(David, 2006), dan anatomi kulit manusia dapat dilihat pada gambar 2.2 (b)
(Laksman dan Ramali, 2007 ).
Gambar 2.2 a). Morfologi Bakteri S.aureus(David, 2006)

Gambar 2.2 b). Anatomi Kulit Manusia (Laksman dan Ramali, 2007 )

Bisul (furunkel) merupakan infeksi pada lapisan dermis kulit sekitar folikel
rambut, dan kelenjar minyak (glandula sebaceus) (Syahrurrachman, 1994).
Dermis merupakan jaringan metabolik aktif, mengandung serat kolagen, serat
elastin, sel saraf, pembuluh darah dan jaringan limfatik. Menurut Jawetz, dkk,
(1995), Supurasi fokal (abses) merupakan ciri khas infeksi oleh bakteri
S.aureus. Bakteri ini dapat menyebar melalui aliran darah dan sitem limfatik
kebagian tubuh lain misalnya, ginjal, paru-paru, tulang dan otak. Setiap
jaringan atau organ tubuh dapat diinfeksi oleh S.aureus dan menyebabkan
timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas, yaitu peradangan,
nekrosis, dan abses. Menurut Campbell (2004), peradangan setempat
merupakan sifat khas dari infeksi Stafilokokkus. Kerusakan jaringan oleh
masuknya mikroorganisme akan memicu suatu respon paradangan (berasal
dari Bahasa Latin, inflammo, yang berarti” membakar”) ditandai dengan
pembengkakan (edema) dan warna merah yang khas. Gambar respon
peradangan dapat dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2.3 Respon Peradangan yang Disederhanakan (Campbell, 2004).

Respon yang terlokalisir dipicu ketika sel-sel jaringan yang rusak oleh bakteri
membebaskan senyawa kimia seperti histamin dan prostaglandin. Sinyal
tersebut merangsang pembesaran kapiler yang mengakibatkan peningkatan
aliran darah dan peningkatan permeabilitas kapiler di daerah yang terserang.
Sel-sel jaringan juga membebaskan zat kimia yang mengandung sel-sel
fagositik dan limfosit. Ketika fagosit tiba ditempat luka, mereka memakan
patogen dan serpihan-serpihan sel. Nanah yang menumpuk dilokasi
beberapa infeksi (abses) sebagian besar terdiri atas sel-sel fagositik mati dan
cairan serta protein yang bocor dari kapiler selama respon peradangan
(Campbell, 2004).

Infeksi S.aureus dipengaruhi beberapa faktor antara lain; Pertama, resistensi


terhadap fagositosis, resistensi ini tergantung pada protein dan bahan kapsul.
Menurut Syahrurrachman (1994), bakteri S. aureus memilki struktur antigen
berupa polisakarida (bahan kapsul) dan protein yang bersifat antigenik.
Polisakarida yang ditemukan pada jenis yang patogen merupakan komponen
dinding sel yang dapat dipindahkan dengan memakai asam trikhlorasetat.
Antigen ini merupakan suatu kompleks peptidoglikan asam teikhoat dan dapat
menghambat fagositose. Antigen protein A terletak bagian luar antigen
polisakarida, keduanya bersama membentuk dinding sel bakteri. Gambar
struktur antigen bakteri S. aureus dapat dilihat pada gambar 2.4 (Brooks,
et.al.1998 dalam Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2008):

Gambar 2.4 Struktur Antigen Bakteri S. aureus (Brooks, et.al.1998 dalam


Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2008)

Faktor kedua, kemampuan mengatasi sifat antibakterial dalam sel fagosit.

S.aureus mempunyai kemampuan antibakterial intraseluler. Menurut

Jawetz, dkk. (1995), S.aureus sering memproduksi -laktamase,

dikendalikan oleh plasmid, dan membuat bakteri ini resisten terhadap

berbagai obat antibakteri seperti, pensilin (penicilin G, ampicilin, piperasilin

dan obat yang serupa). Faktor ketiga, resisten terhadap faktor

antibakterial dalam serum yang ditengahi oleh koagulasi. Menurut

Syahrurrachman (1994), bakteri S.aureus menginvasi dan berkembang

biak dalam folikel rambut dan menyebabkan nekrosis jaringan setempat.

Kemudian terjadi koagulasi fibrin disekitar lesi, sehingga terbentuklah

dinding yang membatasi proses nekrosis. Koagulase adalah suatu antigen

protein yang dihasilkan oleh S.aureus. Enzim ini dapat menggumpalkan

plasma oksalat atau plasma sitrat, karena faktor koagulase aktif dalam

serum. Faktor ini bereaksi dengan koagulase dan menghasilkan suatu

esterase yang dapat membangkitkan aktifitas penggumpalan, sehinggga

terjadi deposit fibrin pada permukaan bakteri yang dapat menghambat

proses fagositosis. Faktor keempat, penyebaran infeksi dipermudah


dengan adanya enzim hialuronidase. Menurut Syahrurrachman(1994),

penyebaran bakteri S.aureus dipermudah dengan adanya enzim

hialuroidase, oleh sebab itu enzim ini juga disebut spreading factor.

Bakteri S.aureusselain memiliki faktor virulensi yang dapat meningkatkan

patogenitasnya, seperti produksi enzim koagulase, hialuronidase dan

sruktur antigen yang dibentuk, S. aureus menghasilkan toksin yakni

epidermolitik toxin yang menyebabkan scalded skin syndrome. Sindrom ini

berupa pengelupasan epidermis kulit sebagai akibat lisisnya perlekatan

antar sel pada startum germinativum, tanpa disertai peradangan dan

kematian sel (Tim Mikrobiologi FK Unibraw, 2008).

3. Senyawa Antibakteri padaTumbuhan Obat

Tumbuhan obat memiliki senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai zat

antibakteri, antara lain:

1). Flavonoid, senyawa flavonoid dapat menggumpalkan protein, dan bersifat

lipofilik sehingga dapat merusak lapisan lipid pada membran sel bakteri

(Monalisa, dkk, 2011).

2). Alkaloid, mekanisme alkoloid sebagai antibakteri yaitu dengan menghambat

sintesis dinding sel (Monalisa,dkk. 2011), Robinson (1995) menambahkan,

alkaloid mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri,

sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan

kematian sel tersebut.

3). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta

dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis

sel darah. Saponin dapat bersifat antibakteri karena kemampuannya menghambat


fungsi membran sel sehingga mengubah permeabelitas membran yang

mengakibatkan dinding sel rusak atau hancur (Absor,2006). Raina (2011)

melaporkan, bahwa saponin dapat mengganggu permeabilitas membran sel dengan

menghalangi saluran ion dan meningkatkan permeabilitas membran.

Anda mungkin juga menyukai