Anda di halaman 1dari 6

Banjir Kalsel: Warga Dayak Meratus 'paling terdampak', desa yang diterjang longsor dan

banjir tak bisa diakses

 Abraham Utama
 BBC News Indonesia

22 Januari 2021

Sumber gambar, ROBBY

Keterangan gambar,

Warga Dayak Meratus di Desa Patikalain mengungsi secara swadaya ke sekitar hutan setelah
kampung mereka diterjang banjir dan longsor akhir pekan kemarin.

Banjir dan tanah longsor yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 diyakini
sebagai yang terparah dalam 50 tahun terakhir. Komunitas adat Dayak Meratus diklaim
sebagai yang paling terdampak. Selain tinggal di kawasan hilir yang disebut semakin gundul,
bencana alam ini merusak sumber kehidupan warga Dayak Meratus, seperti ladang dan
rumah.

Bantuan gawat darurat kepada mereka pun terhambat karena akses menuju desa hanya dapat ditempuh
dengan berjalan kaki selama beberapa jam.Ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menilai pemerintah daerah gagap, bukan cuma kala mempertahankan ekosistem penyangga banjir,
tapi juga saat menyiasati anomali cuaca akibat perubahan iklim.

Pemerintah lokal kini berencana merelokasi permukiman warga Dayak Meratus agar mereka tidak
lagi rentan dihantam banjir dan tanah longsor.

Dini hari, sekitar pukul empat pagi, tanggal 15 Januari lalu, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain,
Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, kocar-kacir
meninggalkan rumah mereka.

Banjir bandang menerjang kampung itu seiring hujan deras yang turun terus-menerus. Arus deras air
juga memicu tanah longsor di desa itu.

Saat proses evakuasi dilakukan secara swadaya di desa itu, lima orang dinyatakan meninggal karena
rumah mereka tertimbun longsor. Mereka berasal dari satu keluarga yang sama.
Jika keluarganya tidak cepat-cepat melarikan diri dari rumah, dini hari itu, jumlah korban meninggal
mungkin akan lebih banyak, kata Julius, warga Dayak Meratus.

"Di rumah mertua saya waktu itu ada 10 orang. Biasanya rumah itu juga kena banjir, tapi tidak sampai
terbawa arus. Empat lumbung padi kami juga rusak," ujar Julius.

Sumber gambar, JULIUS

Keterangan gambar,

Julius, bersama istri dan dua anaknya, berjalan ke Desa Patikalain untuk memastikan kondisi keluarga
besar mereka usai peristiwa tanah longsor dan banjir bandang, Sabtu (16/01).

Desa Patikalain adalah satu dari dua kampung adat Dayak Meratus yang paling terdampak banjir dan
tanah longsor, Januari ini.

Satu desa lainnya adalah Datar Ajab, yang lokasinya lebih tinggi ketimbang Patikalain. Dalam
peristiwa yang sama, dua orang di Datar Ajab meninggal.

Permukiman komunitas adat Dayak Meratus tersebar di berbagai desa di Pegunungan Meratus,
termasuk yang masuk wilayah administratif Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Sebagian besar tempat tinggal kelompok yang juga dikenal sebagai Dayak Bukit ini tidak dapat
diakses kendaraan. Tidak ada pula sambungan listrik dan sinyal telekomunikasi di kawasan ini.

Sumber gambar, JULIUS

Keterangan gambar,

Banjir bandang dan tanah longsor tidak cuma merusak permukiman warga Dayak Meratus di
Kecaman Hantakan, Hulu Sungai Tengah, tapi juga mengubah lanskap ekosistem.

Julius tinggal di Desa Pembakulan, Kecamatan Batang Alai Timur. Untuk mencapai Desa Patikalain,
dia harus berjalan kaki sejauh 11 kilometer dari desa terdekat yang masih bisa dilalui sepeda motor.

Sebelum tiba di Desa Patikalain, sehari setelah banjir dan longsor itu, Julius tak tahu apakah
keluarganya selamat dari bencana alam tersebut.
"Ini kejadian yang paling parah dibandingkan sebelumnya. Tidak menduga akan seperti ini. Di
Kecamatan Barabai (pusat pemerintahan kabupaten), air bahkan hampir setinggi atap rumah," kata
Julius.

Sumber gambar, JULIUS

Keterangan gambar,

Beberapa rumah milik warga Dayak Meratus yang terendam banjir di Desa Patikalain.

Sumber gambar, JULIUS

Keterangan gambar,

Julius memperlihatkan perbukitan di Desa Patikalain yang longsor.

Menurut Hadi Irawan, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, terdapat sekitar 303 orang di
kampungnya yang terdampak bencana ini. Setengah dari jumlah itu kini mengungsi, kata dia.

Hadi berkata, longsor memutus akses menuju Desa Patikalain. Selama beberapa hari pertama setelah
bencana, warga desa menanggung kebutuhan makan hingga tenda pengungsian secara bersama-sama.

"Untuk sementara, keluarga yang lumbung padinya masih ada membantu korban," ujar Hadi saat
dihubungi dari Jakarta. Dia harus berjalan ke titik tertinggi di desanya agar dapat dikontak via telepon.

"Sekarang musim ladang, walau sebagian tertimbun longsor, warga desa kami tetap beraktivitas
seperti biasa. Kalau tidak, kami harus berharap pada siapa?

"Akses untuk keluar desa sangat susah, menempuh 11 kilometer, sekitar 4-5 jam untuk mengambil
sembako di posko mandiri yang dibangun komunitas," ujar Hadi.

Sumber gambar, BBC INDONESIA

Keterangan gambar,

Dayak Meratus tinggal di kawasan hutan, berjarak puluhan kilometer dari pusat ekonomi dan
pemerintahan kabupaten. Sebagian besar wilayah ini hanya dapat diakses dengan berjalan kaki.

Menurut catatan Robby, pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Hulu Sungai Tengah,
terakhir kali banjir bandang melanda kawasan Dayat Meratus terjadi tahun 2017.

Ketika itu, kata Robby, Sungai Labuan Amas meluap. Namun dampak banjir itu tidak sebesar yang
terjadi pertengahan Januari ini.

Robby berkata, komunitas Dayak Meratus berada dalam posisi yang sangat rentan jika dilanda
bencana alam. Walau memiliki tradisi gotong-royong dan persediaan kebutuhan dasar di hutan,
Robby menyebut warga adat tetap membutuhkan layanan pemerintah.

"Mereka yang rumahnya hilang bisa menumpang rumah keluarga. Ada juga yang membangun tenda
di sekitar hutan," ujar Robby.
"Masyarakat adat selama ada hutan, mereka bisa membangun rumah sementara dari bambu untuk
bertahan. Ini butuh sekitar dua minggu atau satu bulan. Tapi ukurannya hanya 4x6 meter untuk satu
keluarga.

"Tapi untuk membangun rumah permanen, karena ekonomi sulit, akses jalan tidak ada, kami hanya
bisa berdoa semoga Tuhan memberikan solusi yang terbaik," ujar Robby.

Sumber gambar, BBC INDONESIA

Keterangan gambar,

Pegunungan Meratus yang merupakan tempat tinggal komunitas Dayak Meratus atau Dayak Bukit.

Guru besar Institut Pertanian Bogor di bidang limnologi, Profesor Hefni Effendi, menyebut
Pegunungan Meratus sebagai penyangga keseimbangan alam di Kalimantan Selatan.

Meski begitu, dalam bukunya yang terbit tahun 2016, Lingkungan dalam Perspektif Kekinian, Hefni
menyebut Pegunungan Meratus "sangat ringkih terhadap eksploitasi berlebihan".

Hefni menyebut pegunungan ini sebagai menara air. Wilayahnya meliputi sejumlah kabupaten dan
kota, yaitu Hulu Sungai Tengah, Balangan, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut,
Tapin, Tanah Bumbu, serta Banjar.

"Menara air dimaknai sebagai salah satu bagian dalam siklus air yang dapat mengatur debit air di
daerah-daerah ini, sehingga berperan sebagai perendam banjir," tulis Hefni.

"Dapat dibayangkan jika eksploitasi hutan masif terjadi bersamaan dengan penambangan terbuka
yang marak dilakukan, entah banjir seperti apa yang akan dialami masyarakat seantero Kalimantan
Selatan karena tidak ada lagi daerah resapan air yang dapat membendung dan menyerap tumpahan air
dari langit," kata Hefni.

Dalam data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), delapan wilayah yang disebut Hefni
tadi termasuk yang terendam banjir Januari ini.

Berkurangnya tutupan hutan di Kalimantan dikuatkan kajian yang dilakukan peneliti Pusat Riset
Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2017 dengan menggunakan data citra satelit Landsat antara
1973-2015. Kajian itu menyebutkan tutupan hutan di Kalimantan jauh berkurang akibat deforestasi.

'Banjir karena curah hujan ekstrem'

Bagaimanapun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemprov Kalsel
menyimpulkan bahwa anomali cuaca merupakan penyebab utama banjir. Mereka membantah
berkurangnya tutupan hutan berdampak pada masifnya banjir yang terjadi.

"Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektare hanya merupakan bagian dari
DAS Barito Kalsel seluas 6,2 juta hektare," begitu pernyataan KLHK.

"DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3 kawasan hutan dan 60,7% area
penggunaan lain bukan hutan.

"Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel, yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA0 Riam
Kiwa, Kurau, dan Barabai terjadi karena curah hujan ekstrem dan sangat mungkin karena recurrent
periode 50-100 tahun," tulis KLHK.
Namun pemerintah semestinya tidak menihilkan pengaruh berkurangnya tutupan hutan dalam
bencana ini, kata Fakhrudin, ilmuwan di Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Menurutnya, pemerintah semestinya justru membuat kebijakan komprehensif untuk memitigasi


anomali cuaca akibat perubahan iklim. Pengelolaan ekosistem hutan, kata dia, seharusnya masuk
dalam perencanaan itu.

"Memang betul, merujuk data hujan di Stasiun Klimatologi Banjarbaru dan Stasiun Meteorologi
Syamsudin Noor, curah hujann di Kalsel memang sangat tinggi dan bisa dikatakan ekstrem.

"Lima hari sebelum banjir bandang, di sana sudah hujan. Artinya tanah sudah jenuh air," kata
Fakhrudin.

"Hanya saja, kalau tutupan lahan masih bagus, banjir tidak akan separah ini. Jadi memang harus
diatasi secara komprehensif. Di alam tidak ada faktor tunggal, semua saling terkait.

"Pemicu terbesar banjir ini curah hujan. La Nina sekarang terjadi Januari dan Februari, itu sudah
diinformasikan BMKG. Artinya semua pemangku kepentingan semestinya sudah siap," ujarnya.

Keterangan gambar,

Walau dapat bertahan dengan prinsip gotong-royong di antara warga Dayak Meratus, mereka tetap
mengharapkan bantuan dari pemerintah.

Fakhrudin berkata, dalam jangka panjang, pemerintah mesti mengevaluasi semua faktor tadi. Salah
satu yang terpenting, kata dia, adalah pemahaman bahwa daerah aliran sungai di bagian hulu sungai
merupakan kantong air.

Karena DAS merupakan satu kesatuan ekosistem, jika kondisi hulu berubah, maka perubahan juga
akan terjadi hingga hilir, kata Fakhrudin.

"Setiap tahun bencana seperti ini akan terulang jika tidak segera dilakukan terobosan. Gradasi
perubahan iklim kan tidak langsung besar, sejak lama sudah terjadi," ujarnya.

"Yang paling rentan tentu orang yang tinggal di kawasan risiko besar bencana. Banjir berarti orang di
daerah rendah, longsor berarti permukiman di daerah topografi tinggi.

"Yang tidak punya akses terhadap pembangunan biasanya rentan. Orang di kawasan kumuh atau
orang yang rendah secara sosial-ekonomi tidak punya pilihan selain tinggal di situ. Jadi mereka rentan
terdampak bencana alam," kata Fakhrudin.

Sumber gambar, ROBBY

Keterangan gambar,

Permukiman Dayak Meratus yang rusak diterjang banjir bandang.

Pemerintah daerah berjanji akan segera merelokasi warga Dayak Meratus yang tinggal di sekitar
sungai. Proyek ini diklaim akan menjadi bagian dari tahap rekonstruksi.

"Kami akan mendata masyarakat yang tinggal di pinggir sungai. Pemerintah pusat katanya akan
membantu korban yang rumahnya rusak berat dan rusak ringan," kata Sekretaris Daerah Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, Farid Fakhmansyah.
"Kami akan usahakan agar mereka tidak lagi berada di pinggir sungai," tuturnya.

Namun Fakhrudin menyebut program relokasi itu tidak akan berjalan tanpa hambatan. Pendekatan
kepada tokoh adat menurutnya penting untuk memuluskan rencana tersebut.

"Kami akan merangkul tokoh adat dan camat untuk menegosiasikan itu. Kami tidak ingin ada reaksi
berlebihan jadi kami ingin merangkul pihak yang tepat untuk berbicara.

"Kami butuh suasana yang kondusif untuk membangun ulang," kata Farid.

Sumber gambar, ROBBY

Keterangan gambar,

Permukiman di Desa Patikalain yang terdapak banjir bandang.

Merujuk bencana alam yang pernah menerjang komunitas adat di beberapa daerah lain, relokasi
memang bukan urusan sederhana.

Setelah gempa dan tsunami besar di Kepulauan Mentawai tahun 2010 misalnya, komunitas adat di
sana menggugat rencana pemerintah memindahkan mereka ke "daerah yang lebih aman".

Menurut riset riset Perkumpulan Skala--lembaga nirlaba di bidang perubahan iklim, bencana alam,
dan kearifan lokal--relokasi masyarakat adat kerap terhambat karena minimnya pengakuan
pemerintah terhadap hak ulayat mereka.

Dalam konteks Dayak Meratus, bukan cuma hak tenurial, status mereka sebagai masyarakat adat pun
belum disahkan oleh pemerintah setempat.

Mitigasi bencana yang terkait dengan urusan tenurial masyarakat adat juga mencuat saat banjir
bandang melanda pegunungan Cyclop di Jayapura, Papua, tahun 2019.

Anda mungkin juga menyukai