SYOK ANAFILAKTIF
DISUSUN OLEH:
NOVITASARI 20186323029
1. Definisi
Syok anafilaktif adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reaksi
alergi. (Prof. Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal. 1033).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang di picu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang di perantai oleh IgE menyebebkan vasodilatasi sisremik dan
peningkatan permeabilitas vascular. (Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit
Edisi 7,hal 144) ).
Syok anafilaktik adalah suatu resiko pemberian obat,maupun melalui suntikan
atau cairan lain.(Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran edisi III J ilid I , hal
622).
Anafilaktik adalah kumpulan gejala yang di timbulkan karena reaksi akut
terhadap zat asin pada seseorang yang sebelumnya telah mengalami sensitisasi
(segera/reaksi immunitas hipersensitif tak langsung ).
2. Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun
melalui non-IgE. Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain
seperti makanan,kegiatan jasmani ,serangan tawon ,faktor fisis seperti udara yang
panas ,air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis
penyebabnya tidak di ketahui.
Mekanisme dan obat pencetus anafilaksis :
a. Anafilaksis (melalui IgE )
1) Antibiotik ( penisilin , sefalosporin )
2) Ekstra alergen ( bisa tawon, polen )
3) Obat ( glukokortikoit, thiopental, suksinikolin )
4) Protein manusia ( insulin, vasopresin, serum )
b. Anafilaktoid ( tidak melalui IgE )
Zat pelepas histamin secara langsung :
1) Obat ( opiat, vankomisin, kurare )
2) Cairan hifertonik ( media radiokontrks, manitol )
3) Obat lain ( dekstran, flouresens)
4) Aktivasi komplemen
5) Protein manusia ( imunoglobulin, dan produk darah lainya )
6) Bahan dialisis
7) Modulasi metabolisme
8) Asam asetilsalisilat
9) Antiinflamasi nonsteroid
3. Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediantor. Aktivasi sel mast dapat
terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE ) (anafilaktik ) maupun
yang tidak dimediasi IgE ( anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan
atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan;anafilaksis dapat juga bersifat
idiopatik. Mediator gadar meliputi histamine, leukotrine, triptase, dan prostaglandin.
Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan
tonus otot polos brokus, edema saluran nafas, penurunan tonus vaskular, dan
kebocoran kapiler.konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan
dan kolaps kardiovakular. ( Michel I.Greenberg, teks-atlas kedokteran kedaruratan,
hal 24 ).
Atigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak
langsung melalui kuli, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada
reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antiken yang paling sering adalah melalui
tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik (
seperti albumin ). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag
dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel
precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE )
antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan
menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan
ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil
membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan
pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses
sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antugen yang sama, maka antigen
ini akan segera dikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat
membentuk ikatan IgE –Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan
basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen serpeti
histamine, kini, serotoni, platelet activating factor ( PAF ). Mediator-mediator ini
selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses
merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasam endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena
dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan
hanya memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi
piula proses yang lain. Fasolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh
pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan
menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA (Slow Reacting Substance
of Anaphylaxis ) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis.
Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut
dengan fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme berbeda, bahan yang masuk kedalam tubuh dapat langsung
mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan
histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan
IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda
serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat
mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine
secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : dtubokurarin, atrakurium,
antibiotika :vankomisin, polimiksin B.
Pada reaksi anafilasis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan
dapat berupa :
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus mengakibatkan
sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan inkontinensia uri, kontraksi
usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan hipovolemi
intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit, bronkus,
epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat hebat
dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi
juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Meningkatkan pelepasan histamine ini
dapat pula disebabkan oleh PAF.
4. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
a. umum : lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukisan
Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasagatal di hutung dan palatum.
b. Pernapasan :
1) Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat.
2) Laring : rasa tercekik,suara serak, sesak napas, srtidor, edema.
3) Lidah : edema.
4) Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
c. Kardiovaskuler : pisang, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok,
aritmia.
Kalainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard .
d. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang disertai
darah, peristaltik usus meninggi.
e. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau elstermitas.
f. Mata : gatal,lakrimasi.
g. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang.
5. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mengetahui beberapa penyebab terjadinya syol anafilatik, maka dilakukan
beberapa tes untuk mengidentifiakasi elergennya :
a. Skin tes
Skin tes meruoakan cara yang banyak digunakan,untuk mengevaluasi
sensitivitas eerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu dan
adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping serius
yang datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000.000 dari dosis
intial.
b. Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan IgE menurun setelah reaksi
anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini
penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati kadar
IgE nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.
6. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai
penyakit dan lamanya gejala amafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan
demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1:1000 yang diberikan adalah 0,01
ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap
15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakitnya bertambah buruk atau
awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara
intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikkan
sampao 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kenaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau
sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1:1000 0,1-0,3 ml di
bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin
dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit.
Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal
yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan :
a. Sistem pernafasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan
memadai. Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernafasan dan
kardiovaskular, tidak bearti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati.
Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernafasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian
pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema
laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin
sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema
laring kadang-adang diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi
trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering
menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi
larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3
menit umtuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter
ahli atau yanng berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan
dengan segera adalah melakukan fungsi membran krikotiroid dengan
jarum besar. Kemudian pasien sgera dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 1/menit sangat penting naik pada gangguan
pernapasan maupun pada kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat
diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc
dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminifilin 5-6
mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekrosa 5% atau 0,9% dan
diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipertensi atau syok yang tidak berhiasi dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular.
Pasien ini membutuhkan cairan itravena secara cepat baik dengan
kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk
memberikan cairan koloid 0,5 – 1 L dan sisanya dalam bentuk cairan
kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang
merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan
splagnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstavaskular.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat menolong untuk membedakan kasus yang luar
biasa atau menilai penatalaksanaan yang sedang dikerjakan.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menentukan penyakit hematokrit yang
meningkat akibat hemokonsentrasi.
Bila terjadi kerusakan miokard maka pada pemeriksaan kimia darah dapat
ditemukan peninggian enzim SGOT, CPK (fosfokinase kreatin) dan LDH
(dehidrogenase laktat).
Foto toraks mungkin memperlihatkan emfisema (hiperinflasi) dengan atau tanpa
atelektasis. Pada beberapa kasus dapat terlihat edema paru.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) bila tidak terjadi infark miokard
maka perubahan EKG biasanya bersifat sementara berupa depresi gelombang S-T,
bundle branch block, fibrilasi atrium dan berbagai aritmia ventrikular.
8. Komplikasi
Komplikasi meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten.
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan kemungkinan
rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I. Greenberg, Teks-Atlas
Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24).
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
DENGAN SYOK ANAFLAKTIK
1. Pengkajian
a. Anamnesa
Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang
dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan sebelum kita
memberikan setiap obat, terutama obat suntikan.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien dengan reaksi anafilaksis ditemukan ditemukan gejala awal dengan
rasa gatal dan panas. Biasanya selalu disertai dengan gejala sistemik misal
dispnea, mual, kulit sianosis, kejang. Anamnesa yang tepat dapat memperkecil
gejala sistemik sebelum berlanjut pada fase yang lebih parah/gejala sistemik berat.
c. Riwayat penyakit dahulu
Apakah klien mempunyai riwayat alergi terhadap sesuatu. Pernahkah klien
mengalami hal yang sama saat setelah kontak dengan alergen misal debu, obat-
obatan, makanan, atau kontak dengan hewan tertentu.
d. Riwayat penyakit keluarga
Apakah salah satu dari anggota keluarga pernah mengalami alergi. Punyakah
keluarga riwayat penyakit alergi lain misal, asma.
1) Pemeriksaan fisik
Jalan napas atas
Inspeksi : bersin, pilek, dispneu.
Palpasi : edema laring, edema lidah dan faring
Auskultasi : ronchi
Jalan napas bawah
Inspeksi : dispnu emfisema akut, asma, bronkospasme
GIT
Peningkatan peristaltik, muntah, disfagia, mual, kejang perut, diare.
Susunan saraf pusat
Gelisah, kejang.
2. Primary Survey
1) Airway
a) Pengkajian
Adanya rasa tercekik di daerah leher, suara serak sebab edema pada laring.
Hidung terasa gatal, bersin hingga tersumbat. Serta adanya batuk, dan bunyi
mengi. Ditemukan edema pada lidah.
b) Diagnosa
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan napas
c) Intervensi
Kaji frekuensi kedalaman upaya bernapas.
R/ untuk mengetahui kemampuan ekspirasi inspirasi pasien
Buka jalan napas dengan headtill dan shinlift.
R/ membantu pembukaan jalan napas
Lakukan suction.
R/ untuk mengeluarkan faktor penyebab obstruksi.
Broncholitic, pemasangan entotracheal tube.
R/ untuk mengeluarkan secret.
2) Breathing
a) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik ditemukan adanya batuk dan sesak napas akibat
spasme pada bronkus, bunyi stridor pada auskultasi paru.
b) Diagnosa
Ketidakefektifan pola napas b/d spasme otot bronkus.
c) Intervensi
Kaji frekuensi napas
R/ untuk mengetahui kelainan pada saluran pernapasan.
Berikan posisi semifowler
Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan
R/ untuk menurunkan hipoksia
Pemberian bronkodilator
R/ mengatasi bronkospasme
3) Circulation
a) Pengkajian
Terjadi hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar,
terbalik, atau tanda-tanda infark miokard. Gelisah, pusing
b) Diagnosa
Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b/d penurunan curah jantung dan
vasodilatasi arteri.
c) Intervensi
Kaji kulit pucat, dingin atau lembab, catat kekuatan nadi.
R/ penurunan curah jantung dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit
dan penurunan nadi.
Pertahankan kepatenan kardiovaskular. Berikan cairan IV.
R/ meningkatan volume tekanan darah saat terjadi penurunan tahanan
kardiovaskular.
Pemberian epinefrin
R/ memengaruhi tekanan darah.
4) Disability
a) Pengkajian
Pada pasien syok anafilaktik, akan mengalami penurunan kesadaran.
Diakibatkan transport oksigen ke otak yang tidak mencukupi (menurunnya
curah jantung-hipotensi) yang akhirnya darah akan sulit mencapai jaringan
otak. Pasien dengan syok anafilaktik biasanya terjadi gelisah dan kejang.
5) Exposure
Kaji kelainan kulit seperti urtikaria dibagian ekstermitas.
3. Secondary Survey
1) Catat adanya drainase dari mata dan hidung
2) Inspeksi lidah dan mukosa oral
3) Kaji mengenai mual muntah pada saluran GI
4) Kaji peristaltik saluran IG
5) Pemeriksaan diagnostic eosinifil
6) Pemeruksaan fisik
4. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi ditandai dengan sesak napas, takikardia, kulit pucat, hipotensi renjatan,
dan ada spasme bronkus.
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah
sekunder terhadap gangguan veskuler akibat reaksi anafilaktik ditandai dengan
ada palpitasi, kulit pucat, akral dingin, hipotensi, amgioedema, aritmia, gambaran
EKG gelombang T mendatar dan tebalik.
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pembengkakan dinding mukosa
hidung ditandai dengan sesak napas, napas dengan bibir, ada rintis.
4. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi gastrik ditandai dengan sakit perut, tampak
meringis sambil memegang perut.
5. Resiko terhadap penghentian pernapasan, dengan faktor resiko terjadi oedema
laring.
6. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual dan muntah.
7. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi anfilaktik ditandai
dengan pruritus/ gatal, ada hives berbatas jelas.
8. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi ditandai
dengan bengkak dan gatal pada kulit dan hidung, ada hives, urtikaria, dan hidung
berair.
DAFTAR PUSTAKA