Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

SINDROME KORONER AKUT

KOORDINATOR MATA KULIAH :

LEONATUS LIMSON, S.Kep, M.Kes

DiSUSUN OLEH :

NOVITASARI 20186323029

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN SINGKAWANG
PRODI SARJANA TERAPAN
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN

SINDROME KORONER AKUT

A. Definisi Sindrom Koroner Akut


Sindrom Koroner Akut (SKA) di sebut juga penyakit arteri koroner. Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan masalah kardiovasculer yang utama karena
menyebabkan angka kematian yang tinggi, di negara maju dan berkembang, termasuk di
Indonesia. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosis dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk trombus yang
kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh darah
koroner, sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner (Malla, 2019).
Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit tidak menular yang menyebabkan
sebanyak > 17 juta kematian di dunia setiap tahun (30% dari semua kematian), 80% yang
terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah, dan angka ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 23,6 juta pada tahun 2030 (Maykel, 2018).
Menurut data WHO (World Health Organization) pada tahun 2012 penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama dari seluruh penyakit tidak menular
dan bertanggung jawab atas 17,5 juta kematian di dunia atau 46% dari seluruh kematian
penyakit tidak menular. Dari data tersebut diperkirakan 7,4 juta kematian adalah serangan
jantung akibat 16 penyakit jantung koroner (PJK) dan 6,7 juta adalah stroke (Maykel,
2018).

B. Etiologi Sindrom Koroner Akut


Menurut (Aspiani, 2015) sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada
penyempitan pembuluh darah jantung (vasokontriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh
empat hal, meliputi :
1. Adanya timbunan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi
kolesterol tinggi.
2. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
3. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
Infeksi pada pembuluh darah Mulai terjadinya SKA dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, yaitu aktifitas/latihan fisik yang berlebihan (tidak terkondisikan), stress
emosi, terkejut, udara dingin. Keadaan tersebut hubungannya dengan peningkatan
aktifitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat (Aspiani, 2015).
C. Tanda dan Gejala SKA
Gejala sindrom koroner akut berupa keluhan nyeri di tengah dada, seperti rasa ditekanm
rasa diremas-remas, menjalar ke leher, lengan kiri dan kanan, serta ulu hati, rasa terbakar
dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri ini terdapat merambat ke
kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu, serta pinggang. Lebih spesifik, ada juga yang
disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag (Aspiani, 2015).
Gejala klinis SKA meliputi :
1. Terbentuknya trombus yang menyebabkan darah sukar mengalir keotot jantung dan
daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati.
2. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa tebakar di dada berlangsung
selama lebih dari 20 menit. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher,
bahu dan lengan serta ke punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri
ini dapat pula timbul pada penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal
ini atau pada penderita yang pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola
serangannya menjadi lebih berat atau lebih sering.
3. Selain gejala yang khas di atas, dapat juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya terganggu hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas
disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin. Menururt (Sari, 2014) tanda dan
gejalanya :
1. Mual
2. Muntah
3. Sesak napas
4. Tiba-tiba berkeringat, berat (diaforesis)
5. Nyeri di tempat lain di tubuh, seperti lengan atas kiri atau rahang (nyeri alih)
6. Nyeri dada (angina) yang terasa seperti terbakar, tekanan atau sesak dan
berlangsung beberapa menit atau lebih lama Tanda dan gejala yang muncul sangat
tergantung dengan daerah otak yang terkena
1. Pengaruh terhadap status mental : Tidak sadar, confuse
2. Pengaruh secara fisik :
a. Paralise
b. Disfagia
c. Gangguan sentuhan dan sensasi
d. Gangguan penglihatan
e. Hemiplegi (lumpuh tubuh sebelah)
3. Pengaruh terhadap komunikasi
a. Afasia (kehilangan bahasa)
b. Disartria (bicara tidak jelas)
c.
D. Patofisiologi
SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade
pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang
mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak koroner yang kaya lipid dengan fibrous
cap yang tipis (vulnerable plague). Hal ini disebut fase disrupsi plak. Setelah plak
mengalami ruptur maka faktor jaringan dikeluarkan dan bersama faktor VIIa kompleks
mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa sebagai penyebab terjadinya produksi trombin
yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan agergasi, menyebabkan pembentukan
trombus arteri koroner. Ini disebut fase trombosis akut (Aspiani, 2015).
Pada fase trombosis akut terjadi proses inflamasi yang melibatkan aktivasi
makrofag dan limfosit sel T, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak
serta trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut berperan terhadap destabilisasi plak
melalui perubahan dalam antiadesif atau antikoagulan menjadi prokoagulan sel
endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan
ruptur plak. Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan
pertanda inflamasi pada kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostik.
Pada 15% pasien Ima didapatkan kenaikan CRP. Endotelium mempunyai peranan
homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor maupun
vasodilator lokal. Jika mengalami atreosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel
(bahkan sebelum terjadinya plak).
Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid (NO)
oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH
(nicotinamide adenine dinucleotide phospate oxidase), dan endothelial cell nitric oxidase
synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia,
diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada
beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding pembuluh darah,
misalnya lipooksigenasesdan P450-monooksigenases. Angiotensin II juga merupakan
aktivator NADPH oksidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding
pembuluh darah melalui pengerahan makrofag yang meghasilkan monocyte
chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial
(Aspiani, 2015).
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi aretri koroner akibat disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel,
faktor konstriktor lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin
H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan prostaksiklin). Nitrit oksid secara
langsung mengkambat proliferasi sel otot polos dan migrasi edesi leukosit ke endotel,
serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga
menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner,
menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark. Sindrom koroner akut yang diteliti secara
angiografi 60-70% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai
dengan moderet, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis-tebalnya
fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik
stres mekanik. Adapun dimulai terjadinya sindrom koroner akut, khususnya IMA,
dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak
terkondinasikan), stres emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi
hari), dan hari dari suatu mingguan (senin). Keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat.
Dari mekanisme inilah penyekat beta mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi
(Aspiani, 2015).

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan diagnostik sindrom koroner akut (Irmalita, 2015) :
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengindentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis bansing.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardinal friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgutasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotaraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.
2. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya diruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus
direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina
timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukup bervariasi, yaitu : normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian
ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan.
Nilai ambang evelasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan
pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang evelasi
segmen ST V1-V3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada usia <40 tahun
adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di
lead V1-V3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV. Kecuali pria
usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan
V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukan tubuh segmen St elevasi, dapat dijumpai pada pasien
STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi dib V3-V6). Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelempokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi perfusi. Oleh
karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi perfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/ persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-
V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemia akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mermpunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut
dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten,
diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS/UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik
untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan
lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen
ST yang tidak persisten (<20 menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan.
Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk
iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria Ekg
diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.

3. Pemeriksaan marka jantung


Kretinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis
miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T
sebagai nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-
MB. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit tersebut
(penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hopertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufiensi ginjal.
Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan denga jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang
dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu
paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural. Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan dilaboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang gawat darurat atau ruang rawat intensif jantung (point
of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat
(15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin
SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan dilaboratorium sentral memerlukan
waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil
negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral. Kemungkinan SKA
adalah dengan gejala dan tanda :
a. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya
tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat darurat.
b. EKG normal atau nondiagnostik, dan
c. Marka jantung normal
Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda :
a. Angina tipikal
b. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
c. Peningkatan marka jantung
d. Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung
normal perlu menjalani observasi di ruang gawat darurat. Definitif SKA dan
angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di
rumah sakit dalam ruang intensive cardiovaskuler care (CVCU/ICCU).

4. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh
menunda terapi SKA.

5. Pemeriksaan foto polos dada


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat
darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis sindrom koroner akut (Aspiani, 2015) :
1. Tahap awal penatalaksanaan pasien SKA :
a. Oksigenasi
Dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami
cedera serta menurunkan beratnya ST elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 2-3 liter dengan nasal kanul.
b. Nitrogliserin (NTG)
Digunakan pada klien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual
(SL) (0,3-0,6 mg), atau spray aerosol. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG
setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5-10 pg/menit (jangan lebih 200
pg/menit) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya
ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan
oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah
tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran
kolateral, serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi pentanyaan).
c. Morfin
Morfin diberikan untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan,
mengurangi nyeri akibat iskemia, meningkatkan kapasitas vena (venous
capacitance), menurunkan tahanan pembuluh sistemik, nadi dan tekanan darah
juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard
berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2-4 mg intravena sambil
memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan.

d. Aspirin
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika
tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase -1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan –A2.
Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.

e. Antitrombolitik lain (Clopidogrel, Ticlopidine)


Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang
waktu perdarahan dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat
aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet sehingga menurunkan
kejadian iskemia. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian
vaskuler dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk
pencegahan trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami
implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya
trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100
mg/hari) bersama Toclopidine 2x 250 mg/hari. Akan tetapi, perlu diamati efek
samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat
terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel
darah lengkap pada minggu II-III. Clopidogrel sama efektifnya dengan
Ticlopidine bola dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan
netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding
Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya resiko perdarahan.

2. Penatalaksanaan non farmakologi


a. Teknik relaksasi
Teknik relaksasi merupakan teknik untuk mengalihkan respon nyeri pada
klien. Ada berbagai macam cara, misal teknik napas dalam, masase, dll.
b. Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan diperlukan untuk memberikan pemahaman pada
pasien dan keluarga serta mengurangi kecemasan terhadap proses penyakit yang
diderita. Pendidikan kesehatan juga bisa termasuk upaya discharge planning saat
pasien akan pulang.

3. Penatalaksanaan farmakologi
Menjelaskan penatalaksanaan secara umum penatalaksanaan pada penyakit
STEMI meliputi (Sari, 2014) :
a. Obat anti trombolitik
Terapi anti trombolitik sangat penting dalam memperbaiki hasil
menurunkan resiko kematian, SKA berulang. Saat ini, kombinasi dari
ASA. Clopidogrel, unfactionated heparin (UFH) atau Low Molecular
Weight Heparin (LMWH) dan antagonis GPIIb/IIIa merupakan terapi
yang paling efektif.
b. Obat anti iskemik
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya
kemungkinan yang lebih buruk. Pada keadaain ini, obat-obat anti iskemik mulai
diberikan bersamaan sambil merencanakan strategi pengobatan definitif. Misalnya
: nitrat, Isosorbid dinitrat, dll.
c. Obat analgetik
Tujuan adalah mengurangi rasa sakit akibat nyeri yang hebat, misal
morphin sulfat.
d. Statin
Statin telah menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien SKA,
terutama terhadap kadar lipid serum. Sebaiknya statin diberikan segera setelah
onset SKA.

e. Terapi oksigen
Terapi oksigen dimulai saat awitan nyeri. Oksigen yang dihirup akan
langsung meningkatkan saturasi darah. Efektifitas terapi oksigen ditentukan
dengan observasi kecepatan dan irama pertukaran pernapasan, dan pasien
mampu bernapas dengan mudah.
B. Konsep Dasar Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
(1) Kelemahan, keletihan, tidak dapat tidur
(2) Faktor perangsang nyeri yang spontan
(3) Kualitas nyeri : rasa sakit digambarkan dengan rasa sesak
yang berat
(4) Lokasi nyeri : di bawah atau sekitar leher, dengan dagu
belakang, bahu atau tangan
(5) Beratnya nyeri : dapat dikurangi dengan istirahat atau
pemberian nitrat
(6) Waktu nyeri : berlangsung beberapa jam/hari, selama
serangan pasien memegang dada atau menggosok lengan kiri
(7) Diaforesis, muntah, mual dan kadang-kadang demam, dan
dipsnea
(8) Syndrome syock dalam berbagai tingkatan
b. Riwayat kesehatan dahulu
1) Riwayat pembuluh darah arteri
2) Riwayat merokok
3) Kebiasaan olahraga yang tidak teratur
4) Riwayat diabetes miletus
5) Hipertensi
6) Gagal jantung kongesif
7) Riwayat penyakit pernapasan kronis
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga penyakit jantung/infark miokard, diabetes melitus, stroke,
hipertensi, penyakit vaskuler perifer.
3. Pengkajian fokus
Adapun pengkajian fokus pada sindrom koroner akut yaitu :
a. Aktivitas
Gejala : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan
jadwal olahraga tidak teratur.
Tanda : takikardi dan dipsnea pada istirahat atau aktivitas
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat sebelumnya, penyakit arteri koroner, maslah tekanan
darah, diabetes melitus.
Tanda : tekanan darah tidak stabil, nadi tidak stabil, bunyi jantung ekstra.

c. Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, marah
pada penyakit atau perawatan.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah,
marah.
d. Eliminasi
Tanda : normal dan bunyi usus menurun
e. Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar
Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,
perubahan berat badan.
f. Hygiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
g. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
1. Provokatif (P) : nyeri dada yang timbulnya mendadak, tidak hilang
dengan istirahat
2. Quality (Q) : kualitas : crushing, menyempit, berat, menetap, tertekan
3. Regional (R) : lokasi : tipikal pada dada anterior, substernal,
prekordial, dapat menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu
lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, dan
leher.
4. Scala (S) : intensitas biasanya 10 (pada skala 1-10), 1-3 (ringan) terasa
sakit saat bergerak atau beraktivitas, 4-6 (sedang) terasa sakit saat
tidak bergerak, dan 7-10 (berat) terasa sakit sekali saat tidak bergerak
atau beraktivas.
5. Time (T) : waktu saat nyeri dada biasanya 15-30 menit.
h. Pernapasan
Gejala : dipsnea & riwayat merokok
Tanda : peningkatan frekuensi pernapasan, sesak napas, pucat
i. Interaksi sosial
Gejala : stress dan kesulitan koping dengan stressor yang ada
Tanda : kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi, dan
menarik diri

b. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan pada sindrom koroner akut (Kusuma, 2015) :
- Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat sumbatan terhadap
arteri
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membrane alveolar
- Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan iskemik,
kerusakan otot jantung
- Penurunan curah jantung berhungan dengan perubahan faktor listrik,
penurunan karakteristik miokard
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay
oksigen miokard dan kebutuhan,adanya iskemia atau nekrosis jaringan
miokard
- Ansietas berhubungan denganancaman actual terhadap integritas biologis
Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang fungsi
jantung/implikasi penyakit jantung

c. Intervensi keperawatan
a. Diagnosa 1 :
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat sumbatan terhadap
arteri (D. 0077)

Definisi nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang
dari 3 bulan.

Gejala dan tanda mayor


Subjektif objektif
1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis.
Waspada,posisi
menghindar nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur

Gejala dan tanda minor


Subjektif (tidak tersedia) objektif

1. Tekanan darah meningkat


2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaphoresis
Tujuan dan kriteria hasil:
- Luaran (Tingkat nyeri L.08066)
1. Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
2. Keluahan nyeri menurun
3. Meringis menurun
4. Sikap protektif menurun
5. Gelisah menurun
6. Kesulitan tidur menurun
7. Frekuensi nadi membaik
Intervensi keperawatan:
Manajemen nyeri ( I.08238)
Tindakan (Observasi):
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
- Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
- Fasilitas istirahat dan tidur
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik non farmakologs untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

b. Diagnosa 2
Penurunan curah jantung berhungan dengan perubahan faktor listrik,
penurunan karakteristik miokard

Definisi:
Ketidakadekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolism tubuh

Tujuan dan kriteria hasil (L.02008)


- Kekuatan nadi perifer meningkat
- Gambaran EKG aritmia menurun
- Lelah menurun
- Tekanan darah membaik
Intervensi keperawatan
Perawatan jantung (I.02075)
Observasi
- Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan curah jantung
- Monitor tekanan darah
- Monitoe saturasi oksigen monitor keluhan nyeri dada
Terapeutik
- Posisikan pasien semi fowler
- Berikan diet jantung yang sesuai
- Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup sehat
- Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress
- Berikan dukungan emosional dan spiritual
- Berikan oksigen

Edukasi
- Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
- Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
- Anjurkan pasien berhenti merokok jika merokok
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
- Rujuk ke program rehabilitasi jantung

DAFTAR PUSTAKA
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2019). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnosis, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
file:///C:/Users/GC-COMP/Downloads/document.pdf

Anda mungkin juga menyukai