DiSUSUN OLEH :
NOVITASARI 20186323029
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan diagnostik sindrom koroner akut (Irmalita, 2015) :
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengindentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis bansing.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardinal friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgutasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotaraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.
2. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya diruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus
direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik.
Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina
timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukup bervariasi, yaitu : normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian
ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan.
Nilai ambang evelasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan
pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang evelasi
segmen ST V1-V3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada usia <40 tahun
adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di
lead V1-V3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV. Kecuali pria
usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan
V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukan tubuh segmen St elevasi, dapat dijumpai pada pasien
STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi dib V3-V6). Pasien SKA
dengan elevasi segmen ST dikelempokkan bersama dengan LBBB (komplet)
baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi perfusi. Oleh
karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi perfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/ persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-
V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemia akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mermpunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Adanya keluhan angina akut
dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang persisten,
diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS/UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik
untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan
lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen
ST yang tidak persisten (<20 menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan.
Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk
iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria Ekg
diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
4. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh
menunda terapi SKA.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis sindrom koroner akut (Aspiani, 2015) :
1. Tahap awal penatalaksanaan pasien SKA :
a. Oksigenasi
Dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami
cedera serta menurunkan beratnya ST elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien
stabil dengan level oksigen 2-3 liter dengan nasal kanul.
b. Nitrogliserin (NTG)
Digunakan pada klien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual
(SL) (0,3-0,6 mg), atau spray aerosol. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG
setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5-10 pg/menit (jangan lebih 200
pg/menit) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya
ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan
oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah
tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran
kolateral, serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi pentanyaan).
c. Morfin
Morfin diberikan untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan,
mengurangi nyeri akibat iskemia, meningkatkan kapasitas vena (venous
capacitance), menurunkan tahanan pembuluh sistemik, nadi dan tekanan darah
juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard
berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2-4 mg intravena sambil
memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan.
d. Aspirin
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika
tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase -1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan –A2.
Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
3. Penatalaksanaan farmakologi
Menjelaskan penatalaksanaan secara umum penatalaksanaan pada penyakit
STEMI meliputi (Sari, 2014) :
a. Obat anti trombolitik
Terapi anti trombolitik sangat penting dalam memperbaiki hasil
menurunkan resiko kematian, SKA berulang. Saat ini, kombinasi dari
ASA. Clopidogrel, unfactionated heparin (UFH) atau Low Molecular
Weight Heparin (LMWH) dan antagonis GPIIb/IIIa merupakan terapi
yang paling efektif.
b. Obat anti iskemik
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi iskemia dan mencegah terjadinya
kemungkinan yang lebih buruk. Pada keadaain ini, obat-obat anti iskemik mulai
diberikan bersamaan sambil merencanakan strategi pengobatan definitif. Misalnya
: nitrat, Isosorbid dinitrat, dll.
c. Obat analgetik
Tujuan adalah mengurangi rasa sakit akibat nyeri yang hebat, misal
morphin sulfat.
d. Statin
Statin telah menunjukkan efek yang menguntungkan pada pasien SKA,
terutama terhadap kadar lipid serum. Sebaiknya statin diberikan segera setelah
onset SKA.
e. Terapi oksigen
Terapi oksigen dimulai saat awitan nyeri. Oksigen yang dihirup akan
langsung meningkatkan saturasi darah. Efektifitas terapi oksigen ditentukan
dengan observasi kecepatan dan irama pertukaran pernapasan, dan pasien
mampu bernapas dengan mudah.
B. Konsep Dasar Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
(1) Kelemahan, keletihan, tidak dapat tidur
(2) Faktor perangsang nyeri yang spontan
(3) Kualitas nyeri : rasa sakit digambarkan dengan rasa sesak
yang berat
(4) Lokasi nyeri : di bawah atau sekitar leher, dengan dagu
belakang, bahu atau tangan
(5) Beratnya nyeri : dapat dikurangi dengan istirahat atau
pemberian nitrat
(6) Waktu nyeri : berlangsung beberapa jam/hari, selama
serangan pasien memegang dada atau menggosok lengan kiri
(7) Diaforesis, muntah, mual dan kadang-kadang demam, dan
dipsnea
(8) Syndrome syock dalam berbagai tingkatan
b. Riwayat kesehatan dahulu
1) Riwayat pembuluh darah arteri
2) Riwayat merokok
3) Kebiasaan olahraga yang tidak teratur
4) Riwayat diabetes miletus
5) Hipertensi
6) Gagal jantung kongesif
7) Riwayat penyakit pernapasan kronis
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga penyakit jantung/infark miokard, diabetes melitus, stroke,
hipertensi, penyakit vaskuler perifer.
3. Pengkajian fokus
Adapun pengkajian fokus pada sindrom koroner akut yaitu :
a. Aktivitas
Gejala : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap, dan
jadwal olahraga tidak teratur.
Tanda : takikardi dan dipsnea pada istirahat atau aktivitas
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat sebelumnya, penyakit arteri koroner, maslah tekanan
darah, diabetes melitus.
Tanda : tekanan darah tidak stabil, nadi tidak stabil, bunyi jantung ekstra.
c. Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, marah
pada penyakit atau perawatan.
Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah,
marah.
d. Eliminasi
Tanda : normal dan bunyi usus menurun
e. Makanan atau cairan
Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar
Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,
perubahan berat badan.
f. Hygiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
g. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
1. Provokatif (P) : nyeri dada yang timbulnya mendadak, tidak hilang
dengan istirahat
2. Quality (Q) : kualitas : crushing, menyempit, berat, menetap, tertekan
3. Regional (R) : lokasi : tipikal pada dada anterior, substernal,
prekordial, dapat menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu
lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, dan
leher.
4. Scala (S) : intensitas biasanya 10 (pada skala 1-10), 1-3 (ringan) terasa
sakit saat bergerak atau beraktivitas, 4-6 (sedang) terasa sakit saat
tidak bergerak, dan 7-10 (berat) terasa sakit sekali saat tidak bergerak
atau beraktivas.
5. Time (T) : waktu saat nyeri dada biasanya 15-30 menit.
h. Pernapasan
Gejala : dipsnea & riwayat merokok
Tanda : peningkatan frekuensi pernapasan, sesak napas, pucat
i. Interaksi sosial
Gejala : stress dan kesulitan koping dengan stressor yang ada
Tanda : kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi, dan
menarik diri
b. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan pada sindrom koroner akut (Kusuma, 2015) :
- Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat sumbatan terhadap
arteri
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membrane alveolar
- Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan iskemik,
kerusakan otot jantung
- Penurunan curah jantung berhungan dengan perubahan faktor listrik,
penurunan karakteristik miokard
- Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay
oksigen miokard dan kebutuhan,adanya iskemia atau nekrosis jaringan
miokard
- Ansietas berhubungan denganancaman actual terhadap integritas biologis
Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang fungsi
jantung/implikasi penyakit jantung
c. Intervensi keperawatan
a. Diagnosa 1 :
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia miokard akibat sumbatan terhadap
arteri (D. 0077)
Definisi nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang
dari 3 bulan.
b. Diagnosa 2
Penurunan curah jantung berhungan dengan perubahan faktor listrik,
penurunan karakteristik miokard
Definisi:
Ketidakadekuatan jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolism tubuh
Edukasi
- Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
- Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
- Anjurkan pasien berhenti merokok jika merokok
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
- Rujuk ke program rehabilitasi jantung
DAFTAR PUSTAKA
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2019). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnosis, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
file:///C:/Users/GC-COMP/Downloads/document.pdf