Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

DISUSUN OLEH:

NOVITASARI

211121126

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK

JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

Nama Mahasiswa : Novitasari

NIM : 211121126

Laporan Pendahuluan ini telah disetujui dan disahkan pada

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

NOVITASARI

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan/CI

( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

1. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Definisi
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnta
disebabkan oleh tekanan atau trauma.Selain itu fraktur merupakan rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan oleh tekanan eskternal yang datang lebih besar dibandingkan
dengan yang diserap oleh tulang (M.Asikin, 2016)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsug, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan
sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke
otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh
darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur
atau akibat fragmen tulang (Brunner & Suddarth, 2013)
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang, retak atau patah pada tulang yang
utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan
luasnya trauma (Lukman dan Ningsih, 2012).

B. Etiologi
Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagi atas trauma langsung, trauma tidak
langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang,
biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah 7 trokhater mayor
langsung terbentur dengan benda keras (jalanan). Trauma tak langsung yaitu titik
tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi.
Trauma ringan yaitu keadaan yang dapat menyebabkan fraktur bila tulang itu sendiri
sudah rapuh atau underlying eases atau fraktur patologis (Sjamsuhidayat, 2010).
Menurut Wahid (2013), penyebab fraktur meliputi
1. Kekerasan Langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
2. Kekerasan Tidak Langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya dan penarikan.
C. Anatomis Fisiologis

Gambar C.1. Anatomi Tulang (Evelyn 2007)

Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-oto yang menggerakkan kerangka tubuh. Tulang juga merupakan tempat
primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fhosfat. Tulang rangka orang
dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai saraf dan
darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama garam-garam
kalsium) yang membuat tulang keras dan kaku, tetapi sepertiga dari bahan tersebut adalah
fibrosa yang membuatnya kuat dan elastis (Price dan Wilson, 2006). Tulang ekstrimitas
bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang tubuh dengan perantara gelang
pang]gul terdiri dari 31 pasang antara lain: tulang koksa, ]tulang femur, tibia, fibula,
patella, tarsalia, meta tarsalia dan falang (Price dan Wilson, 2006).

a. Tulang Koksa OS koksa turut membentuk gelang panggul, letaknya di setiap sisi dan
di depan bersatu dengan simfisis pubis dan membentuk sebagian besar tulang pelvis.
b. Tulang Femur merupakan tulang pipa dan terbesar di dalam tulang kerangka pada
bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum membentuk kepala sendi yang
disebut kaput femoris. Di sebelah atas dan bawah dari kolumna femoris terdapat laju
yang disebut trokanter mayor dan trokanter minor. Di bagian ujung membentuk
persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang disebut kondilus lateralis dan
medialis. Di antara dua kondilus ini terdapat lakukan tempat letaknya tulang
tempurung lutut (patella) yang disebut dengan fosa kondilus.
c. Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan
terletak medial dari fibula atau tulang betis. Tibia adalah tulang pipa dengan sebuah
batang dan dua ujung.
d. Fibula atau tulang betis adalah tulang sebelah lateral tungkai bawah, tulang itu
adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung (Evelyn, 2007). Sendi tibia
fibula dibentuk antara ujung atas dan ujung bawah, kedua tungkai bawah batang dari
tulang-tulang itu digabungkan oleh sebuah ligamen antara tulang membentuk sebuah
sendi ketiga antara tulang-tulang itu (Drs. H. Syahrifuddin, 2006).
e. Meta tarsalia terdiri dari tulang-tulang pendek yang banyaknya 5 buah yang masing-
masing berhubungan dengan tarsus dan falangus dengan perantara sendi.
f. Falangus merupakan tulang-tulang pipa yang pendek yang masing-masing terdiri
dari 3 ruas kecuali ibu jari sebanyak 2 ruas, pada metatarsalia bagian ibu jari terdapat
dua buah tulang kecil bentuknya bundar yang disebut tulang bijian (osteum
sesarnoid).

Fisiologi Tulang
Sistem musculoskeletal adalah penunjang bentuk tubuh dan peran dalam
pergerakan. Sistem terdiri dari tulang sendi, rangka, tendon, ligament, bursa dan
jaringan-jaringan khusus yang menghubungan struktur tersebut (Price dan Wilson,
2006).
Tulang adalah suatu jarigan dinamis yang tersusun dari tiga jenis sel antara lain:
osteoblast, osteosit dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk
kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang dan jaringan osteoid melalui
suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan
osteoid, osteoblast mengsekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang
peran penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang,
sebagian fosfatase alkali memasuki aliran darah dengan demikian maka kadar
fosfatase alkali di dalam darah dapat menjadi indikator yang baik tentang tingkat
pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang atau pada kasus metastasis
kanker ke tulang. Osteosid adalah sel tulang deawasa yang bertindak sebagai suatu
lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteoklas adalah sel
besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matrik tulang dapat
diabsorpsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang.
Sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa
asam yang melarutkan mineral tulang sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam
aliran darah (Simon & Schuster, 2003).
Metabolisme tulang di atur oleh beberapa hormon. Peningkatan kodar hormon
paratoid mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang yang
menyebabkan kalsium dan fosfat daiabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Di
samping itu peningkatan kadar hormon paratoid secara perlahan menyebabkan
peningkatan jumlah dan aktifitas osteoklas sehingga terjadi demineralisasi.
Peningkatan kadar kalsium serum pada hiperparatiroidisme dapat pula menimbulkan
pembentukan batu ginjal.
Tulang mengandung 99% dari seluruh kalsium tubuh dan 90% dari seluruh fosfat
tubuh. Fungsi penting kalsium adalah dalam mekanisme dan pembentukan darah,
trasmisi impuls neuromuscular, iritabilitas eksitabilitas otot, keseimbangan asam
basah, permeabilitas membrane sel dan sebagai pelekat di antara sel-sel.
Secara umum fungsi tulang menurut Price dan Wilson (2006) antara lain :
1. Sebagai kerangka tubuh. Tulang sebagai kerangka yang menyokong dan
memberi bentuk tubuh.
2. Proteksi sistem. Musculoskeletal melindungi organ-organ penting, misalnya otak
dilindungi oleh tulang-tulang tengkorak, jantung dan paru-paru terdapat pada
rongga dada (cavum thorax) yang dibentuk oleh tulang-tulang kostae (iga).
3. Ambulasi dan Mobilisasi. Adanya tulang dan otot memungkinkan terjadinya
pergerakan tubuh dan perpindahan tempat, tulang memberikan suatu sistem
pengungkit yang digerakkan oleh otot.
D. Patofisiologi
Menurut (Elizabeth, 2009), Ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan
biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang
tersebut. jaringan lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi
yang intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast terakumulasi
sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. fagositosis dan
pembersihan sel dan jaringan mati dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk
di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru. Aktivitas
osteoblas akan segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur, disebut kalus.
Bekuan fibrin segera direabsorpsi dan sel tulang baru secara perlahan mengalami
remodeling untuk 20 membentuk tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan
secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan memerlukan waktu beberapa
minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak sembuh lebih cepat). Penyembuhan
dapat terganggu atau terhambat apabila hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum
tulang sejati terbentuk, atau apabila sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan
pengerasan.
E. Patways
Menurut (Nurarif & Hardhi, 2015).

F. Manisfestasi
Manifestasi klinis fraktur menurut (Smeltzer, Bare, 2009) adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). 19
3. Krepitasi Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
Uji krepitasi dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
4. Pembengkakan dan perubahan warna Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada
kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
5. Fals Moment Merupakan pergerakan/ bentuk yang salah dari tulang (bengkok)

G. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur menurut (Nurarif & Hardhi, 2015) dibagi menjadi beberapa yaitu : a.
Berdasarkan komplet atau ketidakklomplitan fraktur
1) Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran.
2) Fraktur inkomplet : patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang. b.
Berdasarkan sifat fraktur : Fraktur simple/tertutup : tidak menyebabkan robeknya
kulit. Fraktur kompleks/terbuka : merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau
membrane mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi
a) Grade I dengan luka bersih, panjangnya ≤ 1 cm.
b) Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak.
c) Grade III yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan yang paling
berat.
d)Berdasarkan bentuk garis patah
Fraktur Greenstick : fraktur salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok.
Fraktur Tranversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
Fraktur Oblik : fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
Fraktur Spiral : fraktur memuntir seputar batang tulang
H. Komplikasi
Menurut (Elizabeth J. Corwin, 2009)
1. Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan
dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan
sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya
menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena
ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang
berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot
yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur
tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c) Fat Embolism Syndrom Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat
menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak
terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang
lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh –
23 pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari
sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh,
gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d) Infeksi System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai
darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular
femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi
dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang
terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan
nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban
f) Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
g) Osteomyelitis Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk
melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak,
fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union (Penyatuan tertunda) Delayed Union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b)Non union (tak menyatu) Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan
fibrosa. Kadangkadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-faktor
yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi
jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang
bersifat patologis.
c) Malunion Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan
deformitas, angulasi atau pergeseran.

I. Penatalaksaan
Menurut (Rasjad, Chairuddin. 2012), Prinsip terapi fraktur yaitu :
1. Reduksi Adalah pemulihan keselarasan anatomi bagi tulang fraktur. Reposisi
memerlukan pemulihan panjang serta koreksi deformitas angular dan rotasional.
Reposisi mannipulatif biasanya dapat dilakukan pada fraktura ekstremitas distal
(tangan, pergelangan tangan. kaki, tungkai), dimana spasme otot tidak berlebihan.
Traksi bisa diberikan dengan plester felt melekat diatas kulit atau dengan memasang
pin tranversa melalui tulang, distal terhadap ftaktur.
Reduksi terbuka biasanya disertai oleh sejumlah bentuk fiksasi interna dengan plat
& pin, batang atau sekrup. Ada dua jenis reposisi, yaitu reposisi tertutup dan reposisi
terbuka. Reposisi tertutup dilakukan pada fraktur dengan pemendekan, angulasi atau
displaced. Biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan pemberian analgesik.
Selanjutnya diimobilisasi dengan gips. Bila gagal maka lakukan reposisi terbuka
dikamar operasi dengan anestesi umum.Kontra indikasi reposisi tertutup:
a) Jika dilakukan reposisi namun tidak dapat dievaluasi
b) Jika reposisi sangat tidak mungkin dilakukan
c) Jika fraktur terjadi karena kekuatan traksi, misalnya displaced patellar fracture.
d) Imobilisasi. Bila reposisi telah dicapai, maka diperlukan imobilisasi tempat fraktur
sampai timbul penyembuhan yang mencukupi. Kebanyakan fraktur ekstremitas dapat
diimobilisasi dengan dengan gips fiberglas atau dengan brace yang tersedia secara
komersial. Pemasangan gips yang tidak tepat bisa menimbulkan tekanan kuIit,
vascular, atau saraf. Semua pasien fraktur diperiksa hari berikutnya untuk menilai
neurology dan vascular. Bila traksi digunakan untuk reduksi, maka traksi juga
bertindak sebagai imobilisasi dengan ektremitas disokong di atas ranjang atau di atas
bidai sampai reduksi tercapai. Kemudian traksi diteruskan sampai ada penyembuhan
yang mencukupi, sehingga pasien dapat dipindahkan memakai gips/brace.
e) Rehabilitasi Bila penyatuan tulang padat terjadi, maka rehabilitasi terutama
merupakanmasalah pemulihan jaringan lunak. Kapsula sendi, otot dan ligamentum
berkontraksi membatasi gerakan sendi sewaktu gips/bidai dilepaskan. Dianjurkan
terapi fisik untuk mgerakan aktif dan pasif serta penguatan otot.

J. Pemeriksaan Penunjang
Menurut(Rasjad, Chairuddin. 2012), pemeriksaan penunjang fraktur berupa:
1. Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai fraktur, harus mengikuti
aturan role of two, yang terdiri dari
a) Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
b) Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan distal.
c) Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang cidera maupun yang
tidak terkena cidera (untuk membandingkan dengan yang normal)
d) Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
2. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
a) Darah rutin,
b) Faktor pembekuan darah,
c) Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan operasi),
d) Urinalisa
e) Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal).
3. Pemeriksaan arteriografi dilakukan jika dicurigai telah terjadi kerusakan vaskuler
akibat fraktur tersebut

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah pasien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas
1. Pengumpulan Data
a) Identitas pasien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, Pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no
register, tanggal MRS, diagnose medis
b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bias akut atau kronik tergantung dari lamanya serangan. Untuk
memeperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan
(1) Provoking incident: apakah ada pristiwa yang menjadi factor presipitasi nyeri.
(2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan pasien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya. 20
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang
dilakukan untuk menetukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu rencana
tindakan terhadap pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena (Ignatavicius, Dona D, 2006).
c) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
d) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis, yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cendrung diturunkan secara genetik.
e) Riwayat Psikososial Merupakan respon emosi pasien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun masyaakat.
f) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul
ketidakuatan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid
yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, dan apakah pasien berolahraga atau
tidak.
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan.
(3) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan pasien menjadi berkurang dan kebutuhan pasien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas pasien terutama
pekerjaan pasien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur.
(4) Pola Hubungan dan Peran Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena pasien harus menjalani rawat inap.
(5) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada pasien fraktur yaitu
timbul ketidakuatan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan atau melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap
dirinya salah.
(6) Pola Sensori dan kognitif Pada pasien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indra yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
(7) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk pasien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbataan gerak pasien.

2. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum Klien
Penampilan klien, ekspresi wajah, bicara, mood, berpakaian dan kebersihan umum,
tinggi badan, BB, gaya berjalan.
b) Tanda-tanda Vital
Pemeriksaan pada tanda-tanda vital mencakup : suhu, nadi, pernapasan dan
tekanan darah.
c) Pemeriksaan Local
Pemeriksaan fisik pada pasien fraktur biasanya seperti pemeriksaan fisik pada
umumnya, tetapi pada saat pemeriksaan fraktur dilakukan hal – hal sebagai berikut
d) Keadaan Lokal
Harus di perhitungkan keadakan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia,
Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal- hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamarperiksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan
yang memberikan informasi dua arah,baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembabankulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,
tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon
pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan komunitasterhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan. Jenis jenis diagnosis keperawatan yaitu diagnosis actual,
diagnosis resiko, dan iagnosis promosi kesehatan. Diagnosis actual menggunakan respons
pasien terhadap kondisi kesehatan ataub proses kehidupannya yang menyebabkan pasien
mengalami masalah kesehatan. Tanda/gejala mayor dan minor dapat di temukan dan
divalidasi pada pasien. Diagnosis resiko menggambarkan respons pasien terhadap kondisi
kesehatan atau proses kehidupannya yang dapat menyebabkan pasien beresiko
mengalami masalah kesehatan. Tidak ditemukan tanda/gejala mayor dan minor pada
pasien , namun pasien memiliki factor resiko mengalami masalah kesehatan. Diagnosis
promosi kesehatan menggambarkan adanya kenginan dan motivasi pasien untuk
meningkatkan kondisi kesehatannya ke tingkat yang lebih baik atau optimal. Diagnosis
keperawatan memiliki dua komponen utama yaitu masalah (problem) atau label diagnosis
dan indicator diagnostik. Masalah (problem) merupakan label diagnosis keperawatan
yang menggambarkan inti dari respons pasien terhadap kondisi kesehatan atau proses
kehidupannya. Indicator diagnostik terdiri atas penyebab, tanda/gejala, dan factor resiko.
Penyebab (etiology) merupakan factor-faktor yang mempengarui perubahan status
kesehatan. Etiologic dapat mencakup empat katagori yaitu:
a) fisiologis, biologis, atau psikologis
b) efek terapi/tindakan
c) situasional(lingkungan atau personal ), dan
d) muturasional.Tanda (sign) dan Gejala (syimptom). Tanda merupakan data objektif
yang diperoleh dari hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan prosedur
diagnostic, sedangkan gejala merupakan data subjektif yang diperoleh dari hasil
anamnesis. Tanda/gejala dikelompokan menjadi dua yaitu mayor dan minor. Factor
resiko merupakan kondisi atau situasi yang dapat meningkatkan kerentanan pasien
mengalami masalah kesehatan (SDKI, 2016)
Diagnosa keperawatan ditegakan atas dasar data pasien. Kemungkinan diagnosa
keperawatan pada pasien fraktur adalah sebagai berikut :
1. Nyeri akut ( D.0077)
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
2. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau
lebih ekstremitas secara mandiri.
3. Resiko infeksi (D.142)
Resiko infeksi yaitu beresiko mengalami penigkatan terserang organisme
patogenik.
C. Rencana Keperawatan

NO Dignosa Keperawatan (SDKI) Tujuan Dan Kriteria Hasil (SIKI) Intervensi Keperawatan (SIKI)

1. Nyeri Akut ( D.0077) berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 Manajemen Nyeri (I.08238)
Agen Pencedera Fisik x24 jam diharapkan Tingkat nyeri (L.08066)
Observasi:
menurun dengan KH :
- Identifikasi local,
- Keluhan nyeri menurun
karakteristik,durasi,frekuensi,
- Gelisah menurun
kualitas, intensitas nyeri,.
- Meringis menurun
- Identifikasi nyeri.
- Kesulitan tidur menurun
- Identifikasi respon nyeri non verbal.
- Pola tidur Membaik
- Identifikasi factor yang memperberat
dan memperingan nyeri.
- Monitor efek samping penggunaan
analgetik.

Terapeutik:

- Berikan teknik nonfarmakologis


untuk mengurangi rasa nyeri
(mis.tarik napas dalam, kompres
hanagat/dingin).

- Kontrol lingkungan yang


memperberat rasa nyeri .

- Fasilitasi istirahat dan tidur.

- Pertimbangkan jenis dan sumber


nyeri dalam

Edukasi:

- Jelaskan penyebab, periode, dan


pemicu nyeri.

- Jelaskan strategi meredakan nyeri.

- Anjurkan memonitor nyeri secara


mandiri.

- Anjurkan mengunakan analgetik


secara tepat.

- Ajarkan teknik nonfarmakologis


untuk mengurangi nyeri.

Kolaborasi:

- Kolaborasi pemberian analgetik,jika


perlu.
2. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 Pembidaian (I.05180)
kerusakan integritas struktur tulang x24 jam diharapkan Mobilitas Fisik (L.05042)
Observasi:
meningkat dengan KH:
- Identifikasi kebutuhan dilakukan
- Pergerakan eksremitas meningkat
pembidaian.(fraktur).
- Nyeri menurun
- Monitor bagian distal area cidera.
- Kecemasan menurun
- Monitor adanya adanya pedarahan
- Gerakan terbatas menurun
pada daerah cidera.
- Identifikasi material bidai yang
sesuai.

Teraupetik:

- Tutup luka terbuka dengan balutan.


- Atasi perdarahan sebalum bidai di
pasang.
- Berikan bantalan pada bidai.
- Imobilisasi sendi di atas dan di bawah
area cidera.
- Topang kaki mengunakan penyangga
kaki.
- Tempatkan eksremitas yang cidera
dalam posisi fungsional.
- Pasang bidai pada posisi tubuh seperti
saat di temukan
- Gunakan kedua tanagan untuk
menopang area cedera.
- Gunakan kain gendong secara tepat

Edukasi:

- Jelaskan tujuan dan langkah- langkah


prosedur sebelum pemasangan bidai
- Anjurkan membatasi gerak pada area
cedera

3. Resiko Infeksi (D.142) berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 Pencegahan Infeksi (I.14539)
dengan krusakan integritas kulit x24 jam diharapkan Tingkat Infeksi (L.14137)
Observasi:
Menurun dengan KH:
- Monitor tanda dan gejala infeksi local
- Nyeri menurun
dan sistemik
- Kemerahan menurun
- Bengkak menurun Teraupetik:

- Batasi jumlah pengunjung.


- Berikan perawatan kulit pada area
edema.
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien.
- Pemberian teknik aseptik pada pasien
beresiko tinggi

Edukasi:

- Jelaskan tanda dan gejala


infeksi.
- Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar.
- Ajarkan etika batuk.
- Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi.
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi.
Kolaborasi:

- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika


perlu
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria


Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2019). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnosis, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Watulangi, Fajar,(2019). Karya Tulis Ilmiah Laporan Studi Kasus
BRUNNER, Lillian Sholtis. Brunner y Suddarth enfermería medicoquirúrgica.
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins, 2013.
Purnamasari, E. (2014). Efektifitas kompres dingin terhadap penurunan intensitas
nyeri pada pasien fraktur Di RSUD Ungaran. Karya ilmiah.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA.
Elizabeth, M., Leslie, N. S., & Critch, E. A. (2009). Managing polycystic ovary
syndrome: a cognitive behavioral strategy. Nursing for women's
health, 13(4), 292-300.

Anda mungkin juga menyukai