Anda di halaman 1dari 14

KONSEP DASAR INFEKSI NOSOKOMIAL

Pencegahan Dan Penanggulangan


Dalam Tatanan Pelayanan Kesehatan

A.  Definisi Infeksi


Infeksi adalah kolonisasi yang dilakukan oleh spesies asing terhadap
organisme inang, dan bersifat pilang membahayakan inang. Organisme
penginfeksi, atau patogen, menggunakan sarana yang dimiliki inang untuk dapat
memperbanyak diri, yang pada akhirnya merugikan inang. Patogen
mengganggu fungsi normal inang dan dapat berakibat pada luka kronik,
gangrene, kehilangan organ tubuh, dan bahkan kematian. Respons inang
terhadap infeksi disebut peradangan. Secara umum, patogen umumnya
dikategorikan sebagai organisme mikroskopik, walaupun sebenarnya
definisinya lebih luas, mencakup bakteri, parasit, fungi, virus, prion, dan viroid.

B.  Definisi Infeksi Nosokomial


Infeksi Nosokomial (Nosocomial Infections) adalah infeksi yang
didapat penderita ketika penderita itu dirawat disarana pelayanan kesehatan,
baik itu puskesmas, klinik, maupun rumah sakit. Secara umum, pasien yang
masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi kurang dari 72 jam
menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk
rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien
berada dirumah sakit baru dapat disebut infeksi nosokomial.
”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang
paling sering terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai
Infeksi Nosokomial atau disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-
Acquired Infections” merupakan persoalan serius karena dapat menjadi
penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak
berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar
biaya rumah sakit yang lebih banyak.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan
kelompok yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui
penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien
kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dengan
demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas,
peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.
Infeksi nosokomial bersumber pada peralatan kedokteran, makanan
minuman, udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat,
bidan, laboran, staff, pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di
lingkungan sarana pelayanan kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih
banyak lagi yang berada di lingkungan sarana pelayanan kesehatan.
Dalam kasus ini, jenis yang paling sering adalah infeksi luka bedah,
infeksi saluran kemih, dan saluran pernafasan bagian bawah (pneumonia).
Tingkat paling tinggi terjadi di unit perawatan khusus, ruang rawat bedah dan
ortopedi serta pelayanan obstetri (seksio sesarea). Tingkat paling tinggi dialami
oleh pasien usia lanjut, mereka yang mengalami penurunan kekebalan tubuh
(HIV/AIDS, pengguna produk tembakau, penggunaan kortikosteroid kronis),
TB yang resisten terhadap berbagai obat dan mereka yang menderita penyakit
bawaan yang parah.

C.  Epidemologi
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian
terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena
penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian
yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah
sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan
Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara
sebanyak 10,0%.
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi
meningkat pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi
dapat dicegah, tetapi semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit
immunocompromised, bakteri yang resisten antibiotik, infeksi virus dan jamur,
dan prosedur invasif masih menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan
kematian sebanyak 88.000 kasus setiap tahunnya.
Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat,
mikroorganisme yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten
terhadap obat. Oleh karena itu, diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu
kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini dapat meningkatkan resiko infeksi
kepada pasien.
D.    Rantai Penularan Infeksi
Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena
apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah
atau dihentikan. Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah :

1. Agen infeksi  (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat


menyebabkan infeksi.  Pada manusia dapat berupa bakteri , virus,
ricketsia, jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load).
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh,
berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang
paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan
bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia: permukaan kulit, selaput
lendir saluran nafas atas, usus dan vagina.
3. Port of exit (Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi
meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan,
saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana
mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain. 
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport
agen infeksi  dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa
cara penularan yaitu :

 Kontak (contact transmission) :

 Direct/Langsung:   kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara


fisik pada saat pemeriksaan fisik, memandikan pasien.
 Indirect/Tidak langsung (paling sering) : kontak melalui objek (benda/alat)
perantara : melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci.
  Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar
pendek, tidak bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva,
hidung, mulut contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus
influenza type b (Hib),  Virus Influenza, mumps, rubella
  Airborne : partikel kecil ukuran <  5 μm, bertahan lama di udara, jarak
penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis,
virus campak, Varisela (cacar air), spora jamur
  Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan
kehidupan kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada
pejamu yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan
  Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang
dapat menularkan kuman penyebab  cara menggigit pejamu yang rentan
atau menimbun kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh:
nyamuk, lalat, pinjal/kutu, binatang pengerat

5. Port of entry (Pintu masuk) adalah tempat dimana agen infeksi


memasuki pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui :  saluran
pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput
lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).

6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah  orang yang tidak memiliki daya


tahan tubuh yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi
atau penyakit. Faktor yang mempengaruhi: umur, status gizi, status
imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan,
pengobatan  imunosupresan. Sedangkan faktor lain yang mungkin
berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi,
gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

E.     Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial

1.    Agen infeksi


Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat
di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini
tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi
tergantung pada :
  karakteristik mikroorganisme
  resistensi terhadap zat-zat antibiotika
  tingkat virulensi, dan
  banyaknya materi infeksius
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat
menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan
oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal,
yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau
bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini
kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang
normal.

2.    Respon dan toleransi tubuh pasien


Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh
pasien dalam hal ini adalah :
  Usia
  Status imunitas penderita
  Penyakit yang diderita
  Obesitas dan malnutrisi
  Orang yang menggunakan obat-obatan
  Imunosupresan dan steroid
  Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi

Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh
terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit
kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan
AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi
dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat
immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi,
endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi.

3.    Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung


Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung
dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan
baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang
diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan
instrumen kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil
menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya infeksi silang.

4.      Resistensi antibiotika


Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara
tahun 1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi
dan disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan
penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak
mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi
bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap pasien yang
immunocompromised. Resitensi dari bakteri ditransmisikan antar pasien dan
faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang
terus-menerus ini justru meningkatkan multiplikasi dan penyebaran strain yang
resisten. Penyebab utamanya karena :

  Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol


  Dosis antibiotika yang tidak optimal
  Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat
  Kesalahan diagnosa

Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen
yang resisten terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi
kuman terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-
besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi.
Banyak strain dari pneumococci, staphylococci, enterococci, dan tuberculosis
telah resisten terhadap banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan
pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat
nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini
kedua belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas
di rumah sakit, serta menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah
penderita yang dirawat, seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit,
pengobatan atau umur, mikororganisme yang baru (mutasi), dan Meningkatnya
resistensi bakteri terhadap antibiotika.

5.    Faktor alat


Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit,
infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama
yang tidak diganti-ganti. Di ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien
memerlukan terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa
gangguan mekanis, fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa :
  Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
  Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat
dideteksi adanya gangguan lain
  Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena
  Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus
  Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian
kanula yang ada dalam pembuluh darah
  Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
  Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul

Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi


kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui
venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada
tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang
hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan
mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes
obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung
kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.

F.   Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial


Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat penting
untuk melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko
tertularnya infeksi karena dirawat, bertugas, juga berkunjung ke suatu rumah
sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI
perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium, Kesehatan
Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain
sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara
suseptibilitas penjamu, agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta
cara penularan. Identifikasi faktor resiko pada penjamu dan pengendalian
terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs),
baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.
Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :

1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat berupa pemberian imunisasi aktif


(contoh vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif
(imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang
adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan  metode fisik maupun
kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau
sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk
klorinasi air, disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk
mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda
ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.
Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation
Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan,
yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission
based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP)
terhadap petugas kesehatan. Berkaitan  pencegahan agen infeksi yang
ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi
karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang
perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.

G.    Kewaspadaan Isolasi


Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien
terinfeksi/kolonisasi kepada pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi
diterapkan  dengan benar dapat menurunkan risiko transmisi dari pasien
infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan transmisi
mikroba infeksius diantara  petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus
diterapkan kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil
laboratorium keluar.
Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :
       Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau
terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit pelayanan kesehatan. Kewaspadaan
standar disusun untuk mencegah kontaminasi silang sebelum diagnosis
diketahui dan beberapa merupakan praktek rutin, meliputi :
1. Kebersihan tangan/Hand hygiene
2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata
pelindung), face shield (pelindungwajah), dan gaun
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen
6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan
7. Penempatan pasien
8. Hygiene respirasi/Etika batuk
9. Praktek menyuntik yang aman
10.Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

1.    Pentingnya Hand Hygiene/Kebersihan Tangan


 Hal utama dalam PPI
 Pilar PPI
 Komponen sentral dari Patient Safety
 Sederhana dan efektif mencegah HAIs
 Menciptakan lingkungan yang aman
 Pelayanan kesehatan aman
Bagaimana cara mencuci tangan yang baik?
**) Penggunaan sarung tangan tidak dapat menggantikan peran mencuci tangan.
**) Tidak dapat di aplikasikan bila tangan terkontaminasi kotoran kasat mata
seperti cairan darah.
Kapan waktunya mencuci tangan?
      Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi

Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi.


Diterapkan pada pasien  gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman
penyebab infeksi menular yang dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet,
kontak  kulit atau permukaan terkontaminasi.

Tiga jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi :


  Kewaspadaan transmisi kontak
  Kewaspadaan transmisi droplet
  Kewaspadaan transmisi airborne
Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun
kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.
  Kewaspadaan Transmisi Kontak
Penempatan pasien :
  Kamar tersendiri atau kohorting ( Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri
mencegah HAIs)
  Kohorting ( management MDRo )
APD petugas :
  Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak  bahan infeksius,
lepaskan sarung tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan
menggunakan antiseptik
  Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan
Transport pasien :
  Batasi kontak saat transportasi pasien
  Kewaspadaan Transmisi Droplet
Penempatan pasien :
  Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m
  Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka
APD petugas :
  Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien
Transport pasien :
  Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi
  Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
  Kewaspadaan Transmisi Udara/Airborne
Penempatan pasien :
  Di ruangan  tekanan negatif
  Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol
  Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA
  Pintu harus selalu tertutup rapat.
  kohorting
  Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting 
jarak >1 m
  Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah
penyebaran
  Ventilasi  airlock à ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih
mahal)
  Terpisah  jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang
APD petugas :
  Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur
  Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,
  Gaun
  Goggle
  Sarung tangan
(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)
Transport pasien :
  Batasi transportasi pasien, pasien harus pakai masker saat keluar ruangan
  Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
Catatan :
Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi  patogen
yang sama di ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama
dilarang masuk.
Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi
Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat
perawatan pasien rawat inap, sehingga perlu diterapkan hal-hal berikut :
1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan
sekresi dari seluruh pasien
2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu 
lainnya
3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan
infeksius
5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak  darah dan cairan
tubuh serta barang yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah
melepas sarung tangan. Ganti sarung tangan antara pasien
6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke
lubang pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi
bedpan, urinal dan obtainer/container pasien lainnya
7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)
8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah
dibersihkan dan didisinfeksi  benar

Jadi, upaya pencegahan infeksi nosokomial oleh tenaga kesehatan termasuk


bidan diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang
termasuk :
  Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara mencuci
tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan aseptik,
sterilisasi dan disinfektan.
  Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
  Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi
yang cukup, dan vaksinasi.
  Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif.
  Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit, dan mengontrol penyebarannya.
Terdapat beberapa prosedur dan tindakan pencegahan infeksi nosokomial.
Tindakan ini merupakan seperangkat tindakan yang didesain untuk membantu
meminimalkan resiko terpapar material infeksius seperti darah dan cairan tubuh
lain dari pasien kepada tenaga kesehatan atau sebaliknya. Menurut Zarkasih,
pencegahan infeksi didasarkan pada asumsi bahwa seluruh komponen darah dan
cairan tubuh mempunyai potensi menimbulkan infeksi baik dari pasien ke
tenaga kesehatan atau sebaliknya. Kunci pencegahan infeksi pada fasilitas
pelayanan kesehatan adalah mengikuti prinsip pemeliharaan hygene yang baik,
kebersihan dan kesterilan dengan lima standar penerapan yaitu:
1. Mencuci tangan untuk menghindari infeksi silang. Mencuci tangan
merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah infeksi
nosokomial, efektif mengurangi perpindahan mikroorganisme karena
bersentuhan
2. Menggunakan alat pelindung diri untuk menghindari kontak dengan
darah atau cairan tubuh lain. Alat pelindung diri meliputi; pakaian khusus
(apron), masker, sarung tangan, topi, pelindung mata dan hidung yang
digunakan di rumah sakit dan bertujuan untuk mencegah penularan
berbagai jenis mikroorganisme dari pasien ke tenaga kesehatan atau
sebaliknya, misalnya melaui sel darah, cairan tubuh, terhirup, tertelan dan
lain-lain.
3. Manajemen alat tajam secara benar untuk menghindari resiko penularan
penyakit melalui benda-benda tajam yang tercemar oleh produk darah
pasien. Terakit dengan hal ini, tempat sampah khusus untuk alat tajam
harus disediakan agar tidak menimbulkan injuri pada tenaga kesehatan
maupun pasien.
4. Melakukan dekontaminasi, pencucian dan sterilisasi instrumen dengan
prinsip yang benar. Tindakan ini merupakan tiga proses untuk
mengurangi resiko tranmisi infeksi dari instrumen dan alat lain pada klien
dan tenaga kesehatan.
BAB III
PENUTUP

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat penderita ketika penderita


itu dirawat disarana pelayanan kesehatan, baik itu puskesmas, klinik, maupun
rumah sakit, biasanya gejala timbul 72 jam pasca penderita dirawat di
pelayanan kesehatan tersebut.
Infeksi nosokomial dapat bersumber pada peralatan kedokteran, makanan
minuman, udara, debu, air limbah, bahan-bahan desinfektan, dokter, perawat,
bidan, laboran, staff, pengunjung, penderita yang dirawat, hewan yang berada di
lingkungan sarana pelayanan kesehatan, misalnya nyamuk lalat dan masih
banyak lagi yang berada di lingkungan sarana pelayanan kesehatan
Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan
terjadinya infeksi nosokomial. Yang perlu menjadi fokus perhatian dalam upaya
ini adalah rantai penularan infeksi. Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi
sangat penting karena apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka
infeksi dapat dicegah atau dihentikan.
Penelaahan tentang rantai penularan infeksi melahirkan suatu upaya
pencegahan berupa kewaspadaan isolasi, yang meliputi kewaspadaan standar
dan kewaspadaan transmisi.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Infeksi_nosokomial
http://www.edukasiana.net/2013/02/pengertian-dan-faktor-yang-
mempengaruhi.html
http://doktersehat.com/infeksi-nosokomial-penyebab-dan-pencegahannya/
http://anaksilajara-didinyusuf.blogspot.com/2011/12/makalah-infeksi-
nosokomial.html
http://friskillaa24w.blogspot.com/2012/09/makalah-infeksi-nasokomia.html

Anda mungkin juga menyukai