Anda di halaman 1dari 14

MENTAL MODEL DALAM KEPEMIMPINAN DI ORGANISASI

KAMPUS

Oleh : Pertiwi Fulvi Intan

Program Magister Kesehatan Masyarakat

Abstrak

Mental Model adalah gambaran realitas yang terdapat dalam pikiran kita
seperti persepsi, pengertian, konsep, asumsi, generalisasi, cerita, paradigm. Mental
model yang baik dalam suatu oragnisasi maka dapat memberikan dampakyang
positif untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut. Selain mental model
sebuah organisasi kampus juga membutuhkan kepemimpinan yang dapat menjadi
contoh, mampu mengarahkan, petunjuk arah, menyelaraskan dan dapat
memberdayakan anggotanya sehingga organisasi kampus bisa merasakan manfaat
mental model bagi organisasi yaitu mampu untuk melakukan perbaikan yang
diinginkan untuk diri sendiri, keluarga, tempat kerja dan juga berguna untuk
Pengungkit perubahan, inovasi, menciptakan lingkungan organisasi yang lebih
baik, menumbuhkan rasa tanggung jawab serta respon reflex dan dapat mencapai
tujuan dari organisasi tersebut.

Kata Kunci : Mental Model, Kepemimpinan, organisasion.

Abstract

Mental Model is a picture of reality contained in our minds such as


perception, understanding, concepts, assumptions, generalizations, stories,
paradigm. A good mental model in an organization can have a positive impact on
achieving the goals of the organization. In addition to the mental model of a
campus organization also requires leadership that can be an example, able to
direct, direct, harmonize and empower its members so that campus organizations
can experience the mental benefits of the organization that is able to make desired
improvements for themselves, families, workplaces and also useful for levers of
change, innovation, creating a better organizational environment, fostering a sense
of responsibility and reflex response and can achieve the goals of the organization.

Keywords : Mental Model, leadership, organization.


A. Pendahuluan

Di zaman milenial ini memang sangat dibutuhkan adanya perubahan-


perubahan di lingkungan sosial, ekonomi dan pendidikan untuk
mensejahterakan kepentingan bersama yang disebabkan oleh globalisasi dan
teknologi telah memaksa organisasi untuk mentransformasikan dirinya
dengan tujuan agar dapat beradaptasi dan bertahan hidup di dunia baru. Di
dunia pendidikan organisasi menjadi salah satu penunjang untuk
memperkenalkan kekhalayah ramai. Dimana arti organisasi adalah suatu
penggabungan dari orang-orang, benda-benda, alat-alat perlengkapan, ruang
lingkup kerja dan segala hal yang berhubungan dengannya yang disatukan
dalam sebuah hubungan teratur dan sangat efektif untuk mencapai segala
tujuan yang diinginkan. Dalam suatu organisasi juga dibutuhkan mental
model (J.William Schulze).
Keberadaan seorang pemimpin dalam organisasi sangat dibutuhkan
untuk membawa organisasi kepada tujuan yang telah ditetapkan. Berbagai
gaya kepemimpinan akan mewarnai perilaku seorang pemimpin dalam
menjalankan tugasnya. Bagaimanapun gaya kepemimpinan seseorang
tentunya akan diarahkan untuk kepentingan bersama yaitu kepentingan
anggota dan organisasi. Kepemimpinan seseorang dapat mencerminkan
karakter pribadinya disamping itu dampak kepemimpinannya akan
berpengaruh terhadap stress kerja dan Komitmen organisasi bawahannya.
Senge menemukan bahwa “tim bukanlah penjumlahan individu, namun
tim adalah unit pembelajaran mendasar dalam organisasi moderen.” Senge
menekankan bahwa dialog diantara para anggota tim dapat meningkatkan
kemampuan organisasi untuk tumbuh dan berkembang. Senge
mengidentifikasi tiga kondisi yang diperlukan untuk terjadinya dialog
konstruktif, yakni para peserta perlu “menanggalkan asumsi mereka,” dan
menyetarakan hubungan mereka “sebagai rekan”, dan diperlukan “fasilitator“
untuk menjaga efektivitas dialog, dan dalam hal ini fasilitator diperlukan
setidaknya sampai tim mampu mengembangkan keterampilan dialog tersebut.
Bohm dalam Senge (1990) menyatakan bahwa adanya suatu hierarki sering
menghambat dialog dan tidak mudah untuk melepaskan diri dari hambatan
psikologik hirarki organisasi. Penting juga untuk digaris bawahi bahwa
adanya pola hubungan hirarkis adalah berasal dari model mental budaya
masyarakat.
Peter Senge (1990) menjelaskan bahwa untuk menjadi sebuah
organisasi pendidikan harus mampu mendorong lima hal inti dalam
pembentukan organisasi pembelajar. Kelima hal tersebut adalah Pemikiran
Sistem (System Thinking), Keahlian Pribadi (Personal Mastery), Model
mental (Mental Model), Visi Bersama (Building Shared Vision), dan
Pembelajaran Tim (Team Learning). Dari kelima komponen tersebut, model
mental menjadi salah satu hal paling penting dan berpengaruh karena dengan
memahami manusia, kita bisa merancang interaksi yang paling natural
dengan ekspektasi pengguna sistem yang kita buat. Dengan memahami
mental model, kita juga jadi bisa mengantispasi aksi dari user yang mungkin
bisa mempengaruhi sistem kita. Contoh kayak tombol lift. Kalau orang lagi
buru-buru, dia bakal neken tombol itu berkali-kali. Berarti kita juga harus
memiliki asumsi kalau user ngeklik suatu tombol, tapi gak muncul aksi apa-
apa, user pasti bakal ngeklik tombol itu berkali-kali. Jadi kita harus bisa
mengatasi kondisi tersebut agar tidak mengganggu sistem ataupun membuat
emosi penggunanya.
Cara mencapai tujuan secara efisien dan efektif serta dapat bertahan,
tumbuh, dan berkembang maka sebagai mahluk hidup, organisasi perlu
membenahi dirinya dengan menerapkan mental model melalui belajar.
Betapapun kuat dan besarnya, sebuah organisasi tidak akan mampu bertahan
dan berkembang, serta akan punah apabila tidak melakukan penyesuaian diri
selaras dengan perkembangan dan kemajuan ekonomi, sosial, ilmu
pengetahuan, teknologi, pendidikan serta lingkungan agar dapat bertahan,
berkembang dan mampu berkompetisi dan berkolaborasi dengan organisasi
lain dan organisasi perlu belajar (Marquardt).

B. Definisi Mental Model Dalam Kepemimpinan Di Organisasi Kampus


Mental model adalah suatu prinsip yang mendasar dari suatu organisasi
pembelajar. Model mental adalah suatu aktifitas perenungan yang dilakukan
dengan terus menerus mengklarifikasi dan memperbaiki gambaran-gambaran
internal kita tentang dunia dan melihat bagaimana hal itu untuk membentuk
suatu tindakan dan keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana
seseorang berfikir dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia
melakukan tindakan atau aktifitas dalam berorganisasi. Mental models’ are
deeply ingrained assumpMons, generalizaMons, or even pictures or images
that influence how we understand the world and how we take acMon (Peter
Senge, The Fi'h Discipline, p.8.).
Mental models exist within the mind and are therefore not available for
direct inspection or measurement. Finding ways of eliciting a mental model
presents a major challenge to any discipline interested in using the construct
as a means to gain insight into people’s internal representations of the world.
A variety of elicitation tools and techniques have been developed and used in
different fields of applied research, including organizational research (Hall et
al. 1994, Swan and Newell 1998, Sterman 2000), risk communication
(Breakwell 2001, Morgan et al. 2002, Hodgkinson et al. 2004, Lowe and
Lorenzoni 2007), human-computer interaction (Cooke 1999), and education
(Osborne and Cosgrove 1983, Vosniaudou and Brewer 1992,
Samarapungavan et al. 1996, Dove et al. 1999). 
Mental models are cognitive representations of external reality. The
notion of a mental model was originally postulated by the psychologist
Kenneth Craik (1943) who proposed that people carry in their minds a small-
scale model of how the world works. These models are used to anticipate
events, reason, and form explanations. Decades later, psychologist Johnson-
Laird (1983) further developed Craik’s idea of a mental model in his
research on human reasoning. For Johnson-Laird, a mental model is a
reasoning mechanism that exists in a person’s working memory. His
research, carried out within the domain of experimental psychology, supports
Craik’s claim that people reason by way of thought experiments using
internal models.
Model mental adalah asumsi yang dipegang oleh individu dan
organisasi yang dapat menentukan bagaimana suatu organisasi berpikir dan
bertindak, sehingga model mental juga dapat menjadi penghalang bagi
organisasi belajar. Dari sisi yang negatif model mental yang sudah usang
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan orientasi penerapan
strategi, sehingga pada gilirannya suatu model mental dapat menjadi faktor
perusak dalam pengembangan organisasi secara keseluruhan.
Menurut Senge, penting untuk membedakan antara teori yang dianut
dan teori yang digunakan. Teori yang dianut berkaitan dengan apa yang kita
katakan, sementara teori yang digunakan adalah apa yang secara aktual kita
lakukan berdasarkan model mental kita sendiri. Sebagai contoh, suatu
individu atau organisasi mengatakan bahwa kerja sama tim dan kolaborasi
adalah nilai utama, bahkan kata-kata tersebut bisa dimasukkan dalam visi atau
misi formal pernyataan organisasi. Artinya, bahwa berdasarkan teori yang
dianut kolaborasi dan kerja sama tim sebagai suatu yang bermanfaat,
meskipun pada kenyataannya organisasi yang sama mungkin membuat sekat
untuk upaya kolaborasi dengan hanya berbagi sebagian dari data-informasi
yang tersedia. Salah satu cara terbaik agar bisa beralih dari model mental
lama yang dipegang adalah melalui percakapan reflektif. Para pemimpin
perlu memfasilitasi praktik percakapan ini, yaitu secara teratur membangun
dialog dalam organisasi tentang apa yang tengah bekerja dan apa yang tidak.
Suatu organisasi yang memberlakukan percakapan ini adalah organisasi
belajar, yang memeluk gagasan bahwa organisasi pembelajaran adalah
organisasi yang baik, yang menempatkan belajar sebagai model mental dalam
dirinya sendiri.
Model mental menurut Harrison and Treagust (2000) merupakan
representasi pribadi (internal) dari suatu objek, ide, atau proses yang
dihasilkan oleh seseorang selama proses kognitif berlangsung, yang
selanjutnya model mental ini digunakan untuk upaya menyelesaikan masalah
dengan cara berpikir, menggambarkan, menjelaskan, memprediksi fenomena,
dan / atau menghasilkan model yang disajikan dalam berbagai bentuk
(misalnya, deskripsi verbal, diagram, simulasi, atau model yang konkrit)
untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka kepada orang lain atau untuk
memecahkan masalah (Borges & Gilbert, Buckley & Boulter, Greca &
Moreira, Harrison & Treagust dalam Wang, 2007).
Model mental dibangun dari pengalaman, menginterpretasikan dan
menjelaskan apa yang mereka lihat,merefleksikan pemahaman mereka pada
level submikroskopik materi (Chittleborough dalam Junaina, 2013).
Junadi P (2014) mengatakan Mental Model adalah gambaran realitas
yang terdapat dalam pikiran kita (persepsi, pengertian, konsep, asumsi,
generalisasi, cerita, paradigm)
Kepemimpinan merupakan salah satu fenomena yang paling mudah
diobservasi, tetapi paling sulit untuk dipahami (Daft;1998). Sebagai faktor
penting yang menggerakkan, mengarahkan, dan mengkordinasikan berbagai
faktor lainnya dalam organisasi, kepemimpinan telah didefinisikan dalam
kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain,
pola-pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi
administratif serta persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh
(Yukl:2001).
Menurut Terry (1997:458) “Leadership is the relationship in which one
person, or the leader, influences others to work together willingly on related
task to attain that which the leaders desire” Pada hakekatnya kepemimpinan
merupakan hubungan dimana diri seseorang atau seorang pemimpin,
mempengaruhi orang-orang lain untuk mau bekerja sama secara sukarela,
sehubungan dengan tugasnyauntuk mencapai yang diinginkan pemimpin.
Sedangkan Musselman dan Jackson (1990:112) mengatakan bahwa
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang lain
untuk berperilaku dalam suatu cara tertentu.Mengingat setiap orang
pemimpin mempunyai cara tersendiri dalam menjalankan kepemimpinannya
maka dalam mencapai tujuan organisasi akan menggunakan seefektif
mungkin kekuasaannya agar orang lain dapat diarahkan perilakunya dalam
berbagai kondisi.
Menurut Davis and Strom (1999:164), membedakan gaya
kepemimpinan menjadi tiga jenis: 1. Pemimpin autokratik, 2. Partispatif dan
3. Bebas kendali (free-rein). Dalam diri pemimpin autokratik memusatkan
perhatian pada kepuasan dirinya sendiri, dimana semua keputusan diambil
oleh pemimpin itu sendiri dan bawahan hanya menerima perintah tanpa
memberi alternatif pemecahan masalah. Namun demikian pemimpin
autokratik memiliki kelebihan yaitu pengambilan keputusan dapat dilakukan
dengan cepat tetapi pada umumnya bawahan kurang dapat menerimanya
karena tidak bisa memperoleh kebebasan dalam memecahkan masalah yang
ada. Pemimpin partisipatif biasanya melakukan desentralisasi wewenang dan
dalam mengambil keputusan mengikutsertakan bawahan untuk berpartisipasi
menyumbangkan pemikirannya terhadap masalah yang dihadapi oleh
organisasi. Pemimpin dan kelompok merupakan unit sosial yang utuh dalam
melaksanakan semua kegiatan organisasi. Tipe kepemimpinan bebas kendali
mempunyai peran yang kecil dan memberikan peluang kepada kelompok
untuk menentukan pilihannya sendiri dan pada umumnya mempunyai
kecenderungan akan terjadinya kekacauan. Timbul suatu pertanyaan dari tiga
tipe kepemimpinan tersebut mana yang paling efektif, hal ini tergantung dari
situasi dan kondisi yang ada dalam organisasi dan dari pengalaman
pribadinya pada saat menangani masalah.
Menurut Yulk (1998:48) bahwa suasana lapangan dapat mementukan
perilaku kepemimpinan akan beorientasi kemana untuk menghasilkan kinerja
dan kepuasan kerja bawahannya. Hersey dan Blanchard (1996:117)
mengatakan bahwa tidak ada gaya kepemimpinan yang sesuai bagi semua
kondisi dalam suatu organisasi tetapi gaya kepemimpinan akan sangat efektif
apabila dapat mengakomodasi lingkungannya (pengikut, atasan dan rekan
kerjanya). Tentunya seorang pemimpin harus mempunyai kewibawaan,
kekuasaan untuk memerintah orang lain dan mempunyai kewajiban serta
tanggung jawab terhadap apa yang telah mereka lakukan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mempengaruhi, memotivasi, dan
membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya secara sukarela dalam
upaya mencapai tujuan organisasi. Saat ini pemimpin dan organisasi
dihadapkan pada tantangan yang lebih berat akibat kemajuan teknologi,
perubahan yang cepat, kebijakan pemerintah yang terbuka, sampai
kompleksnya masalah ketenagakerjaan. Untuk mengantisipasi hal ini dalam
rangka pencapaian tujuan organisasi, berbagai strategi yang tepat sangat
dibutuhkan untuk mewujudkan pemimpin yang efektif, yang memiliki
kompetensi, komitmen, dan integritas.
Sejalan dengan itu, Hughes (1999) mengemukakan bahwa untuk
membedakan keberhasilan atau kegagalan pemimpin tidak dilihat dari
perilaku atau atribut yang dimilikinya, tetapi lebih mempertimbangkan
apakah pengikutnya produktif atau puas.
Saat ini, perdebatan tentang perbedaan kepemimpinan dan manajemen
terus berlanjut, Yukl (2005) berpendapat bahwa memimpin dan mengelola
harus dipandang sebagai peran atau proses yang berbeda. Konsep keduanya
sering dipertukarkan dan disamakan satu dengan lainnya. Manajemen
didefinisikan sebagai pencapaian tujuan organisasi dengan tindakan yang
efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, penempatan,
pengarahan, dan pengontrolan sumber daya organisasi dengan melaksanankan
peran informasional, interpersonal, dan pengambilan keputusan (Daft dalam
Triantoro, 2004).
Kepemimpinan tidak dapat menggantikan peran manajemen, tetapi
ditempatkan sebagai tambahan fungsi manajemen. Manajemen tanpa
kepemimpinan hanya akan menjadikan organisasi bersifat mekanistis dan
kaku. Kepemimpinan tanpa manajemen akan membuat organisasi tidak
efektif dan kehilangan arah, keduanya merupakan satu kesatuan yang saling
melengkapi. Kreitner & Kinicki (2005) menjelaskan bahwa organisasi yang
berhasil adalah 70%- 90% dipengaruhi oleh kepemimpinan dan 10%-30%
oleh manajemen.
Untuk dapat menjadi pemimpin yang efektif, seorang pemimpin harus
mampu mempengaruhi orang lain dengan berbagai tipe kombinasi kekuasaan
agar mau bekerja sesuai dengan tujuan organisasi (Kotter:1992). Kemampuan
mempengaruhi ini akan sangat besar dampaknya terhadap organisasi, karena
menunjukan bahwa pemimpin dapat menjalankan perannya dalam
menggerakkan, mengarahkan, dan mengkordinasikan berbagai faktor lainnya
dalam organisasi dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi. Berkaitan
dengan peran pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya, maka dibutuhkan
suatu pola kepemimpinan yang efektif yang akan diterapkan dalam organisasi
guna mencapai kinerja organisasi kampus yang lebih baik.

C. Karakteristik Model Mental Kepemimpinan Di Organisasi Kampus


Menurut Franco dan Colinvaux (dalam Wang, 2007) terdapat empat
karakteristik model mental, yaitu:
1. Model mental adalah generatif: model mental dapat mengawali
informasi baru dengan memanfaatkan model mental tersebut untuk
meramalkan dan untuk menghasilkan penjelasan.
2. Model mental melibatkan pengetahuan yang tidak dapat diucapkan:
individu menggunakan model mental mereka untuk memecahkan
suatu masalah atau memahami informasi baru, tetapi mereka mungkin
tidak menyadari terhadap model mental yang mereka miliki dan
bagaimana mereka menggunakannya.
3. Model mental adalah sintetik: sebuah model mental adalah dinamis
dan terus menerus dimodifikasi sesuai informasi baru yang
dimasukkan kedalamnya.
4. Model mental dipengaruhi oleh dunia yang dilihat: pengembangan
dan penerapan model mental dipengaruhi oleh pengetahuan individu
sebelumnya, pengalaman, dan keyakinan.

Selanjutnya model mental berguna untuk memberi alasan,


menjelaskan, memprediksi, menguji ide baru dan menyelesaikan suatu
masalah (Wang, 2007).

D. Aspek-Aspek Yang Mempengaruhi Mental Model Dalam Kepemimpinan


Di Organisasi Kampus
Ada beberapa aspek yang mempengaruhi mental model adalah :
1. Tindakan dalam mengambil keputusan.
2. Kepemimpinan itu sendiri, seperti wawasan, pengalaman, dan mau
menerima masukan dan kritikan.
3. Faktor kepercayaan terhadap rekan organisasi.
4. Paradigma-paradigma yang ada.

E. Manfaat Mental Model Dalam Kepemimpinan Di Organisasi Kampus


Manfaat mental model bagi organisasi adalah mampu untuk melakukan
perbaikan yang diinginkan untuk diri sendiri, keluarga, tempat kerja dan juga
berguna untuk :
1. Pengungkit perubahan dalam organisasi.
2. Inovasi.
3. Menciptakan lingkungan organisasi yang lebih baik.
4. Menumbuhkan rasa tanggung jawab atau respon yang reflex.
5. Tercapainya tujuan dari organisasi tersebut.

F. Dimensi - Dimensi Dari Mental Model Dalam Kepemimpinan Di


Organisasi Kampus
Adapun dimensi- dimensi dari mental model yaitu sebagai berikut :
1. Berfikir
Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak.
Walaupun tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia
lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak. Kegiatan berpikir
juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan
dan kehendak manusia.
2. Memilih
Memilih memiliki arti dalam kelas verba atau kata kerja sehingga
memilih dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau
pengertian dinamis lainnya
3. Memutuskan/Keputusan
Keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemiiran tentang
suatu masalah dengan menjatuhkan pilihan pada suatu alternative.
Keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hokum
situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu alternative dari beberapa
alternative.
Dimensi lainnya ialah sebagai berikut:
1. Prinsip dan nilai-nilai : seluruh anggota organisasi mengetahui dan
memiliki prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dimiliki bersama.
2. Mengkaji ulang kebiasaan : mengkaji ulang nilai-nilai bersama yang ada
untuk diseleraskan dengan kondisi lingkungan.
3. Memperkuat kebersamaan : anggota organisasi selalu berusaha untuk
mememlihara dan memperkuat kebersamaan.

G. Hambatan Dari Pelaksanaan Mental Model Di Organisasi


Model mental adalah asumsi yang dipegang oleh individu dan
organisasi yang dapat menentukan bagaimana suatu organisasi berpikir dan
bertindak, sehingga model mental juga dapat menjadi penghalang bagi
organisasi belajar. Dari sisi yang negatif model mental yang sudah usang
dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan orientasi penerapan
strategi, sehingga pada gilirannya suatu model mental dapat menjadi faktor
perusak dalam pengembangan organisasi secara keseluruhan. 
Beberapa diantaranya adalah seperti yang akan dijelaskan oleh Meyer
(1995) dalam bukunya “Battlefield of the Mind”:
1. Merasa Tidak Mampu (Tidak Percaya Diri)
Selalu mengatakan “I can’t help it (saya tidak mampu), “I’m just
addicted to grumbling, faultfinding, and complaining (saya memiliki
kebiasaan menggerutu, menyalahkan orang lain, dan mengeluh).
2. Ketidaksabaran
Hal ini sering terjadi karena di dalam diri seseorang tertanam suatu 
mental model kuat yang mengatakan bahwa “Tidak selayaknya saya
menunggu…. (sesuatu atau seseorang), saya berhak untuk mendapatkan
segala sesuatu yang saya inginkan dengan segera”. Jika mental
model semacam ini terus menerus tertanam, maka
yang bersangkutan cenderung akan  memberontak dan tidak dapat
mengendalikan diri pada saat ia harus menunggu.
3. Tidak Bertanggung Jawab
“My behavior may be wrong, but it’s not my fault”.
Tidak mau bertanggungjawab atas tindakannya dan mencoba untuk meng
alihkan perhatian dengan menyalahkan orang lain. Mental model
semacam ini cenderung membawa seseorang pada suatu kehidupan yang
sulit untuk diatur (wildness living ).
4. Self Pity (Mengasihani Diri Sendiri)
Self-pity merupakan suatu sikap yang cenderung mengasihi diri sendiri.
Hal ini terjadi karena didukung oleh pikiran yang memusatkan
hanya pada diri sendiri dan bukan orang lain. "Orang dengan sikap
semacam ini sulit untuk diajak maju, karena ia hidup di masa lampau,
dan terjebak dalam perangkap masa lalu yang melukainya.
5. Pandangan Negatif Pada Diri Sendiri
I don’t deserve God’s blessings because I am not worthy. Pandangan
negatif tentang diri sendiri akan mempengaruhi seseorang
dalam mencoba menjalani kehidupan yang lebih baik.  Hal ini
dikarenakan setiap kali ada anugerah yang ditawarkan  kepada orang
tersebut, ia selalu merasa tidak layak. Akibat memiliki mental model
yang selalu merasa tidak layak seperti di atas, ia kehilangan anugerah
yang memang sudah dialokasikan untuknya.

H. Hasil Riset Yang Terkait Dengan Mental Model Di Organisasi


Hasil analisis persepsi penerapan organisasi pembelajaran dengan
prinsip lima disiplin masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Terdapat
empat prinsip yang perlu ditingkatkan karena masuk kategori cukup baik
yaitu mental model, system thinking, share vision dan team learning
sedangkan, personal mastery berdasar persepsi responden, dinilai baik
(Bawono dkk, 2015).
Dari hasil riset saat saya masuk organisasi di kampus S1 saya, masih
kurangnya penerapan mental model itu sendiri dimana masih banyaknya
atasan yang masih keras kepala dan sulit menerima masukan dari
bawahannya, masih kurangnya memberikan sebagai model kepemimpinan
yang baik seperti dalam hal waktu untuk datang on time, keterbukaan, dan
masih kurangnya pengalaman, dan itu juga dipengaruhi karna anak
milenial ini sangat kurang motivasi untuk berorganisasi karna hidup
mereka hanya di hp bukan menjadi makhluk sosial di dunia nyata, tetapi
makhluk sosial didunia maya. Untuk itu sangat pentingnya adanya
penerapan mental model di dalam organisasi baik dikampus atau dunia
keja.
I. Langkah-Langkah Penerapan Mental Model Di Organisasi
1. Penghapusan
Dengan cara memilih dan menyaring, menutupi beberapa bagian
(blocking out some part) menghapus sebagian data. Contohnya : ketika
ada sesuatu hal , berita, kejadian yang buruk maka dilakukan
penghapusan dengan menyaring terlebih dahulu.
2. Pembentukan
Dengan cara mencari pola dan makna dari hal yang semu (tidak ada atau
nyata) misalnya eksperimen, menambah atau merekayasa fakta.
Contohnya : setelah penghapusan tadi maka sebuah peraturan tadi di
bentuk lagi peraturan yang baru.
3. Distorsi
Dengan cara mengubah (twisting) pengalaman, mengurangi dan
melengkapi bagian, memberikan arti yang berbeda dengan kenyataan,
memutar balikkan fakta-pelintir. Contohnya : setelah dibentuk barulah
dirubah agar dari pengalaman dan kejadian sebelumnya tidak terjadi lagi.
4. Generalisasi
Dengan cara menciptakan sesuatu dari pengalaman dan
mengenerelisasikan untuk semua atau menyama ratakan. Contohnya :
hasil perubahan tadi di laksanakan agar terlihat apakah ada lebih baik
dari peraturan yang lalu.
Dari 4 poin ini merupakan bagian dari Planning, Organizing,
actuating,controlling, dan evaluating. Agar kita dapat menerapkan mental
model yang cerdas, ikhlas dan berhasil yaitu dengan :
1. menerapkan peran sebagai pemimpin yang mempunyai aspek (modeling,
penemuan arah atau tujuan, menyelaraskan atau mensinergikan,
pemberdayaan) dan aspek manajeman (POACE).
2. menciptakan mental model yang positif agar dapat memberikan energi
positif kembali kepada bawahan, seperti tepat waktu ya kita harus
memberikan contoh datang sebelum jam masuk kerja missal jam 08.00
setidaknya 07.45 kita sudah ada dikantor.
3. Menciptakan mental model yang cerdas yaitu dengan memberikan
pelatihan, membaca buku dan mengayomi, memberdayakan SDM dan
SDA serta sarana dan prasarana. Selain itu kita juga mengajak untuk
membentuk organisasi tersebut membiasakan Gride Mind yaitu
pikiranyang membicarakan ide dan gagasan.
4. Menciptakan mental model yang ikhlas yaitu dengan memberikan contoh
bahwa kita sebagai pemimpin atau leader siap dan tidak berat tangan
dalam melakukan hal atau membantu rekan ketika tidak bisa
melakukannya dan sebagai leader harus membuat bawahannya menjadi
tahu dengan pengetahuan, mau melakukan hingga menhadi reflex atau
kebiasaan sehingga mereka mampu dan tidak adanyanya menunggu
karna mereka sudah reflex.
5. Organisasi itu harus mampu untuk bekerja team sebagus apapun program
jika team diorganisasi tidak mau bekerja sama maka akan sulit mencapai
tujuan dari organisasi tersebut.

J. KESIMPULAN
Junadi P (2014) mengatakan Mental Model adalah gambaran realitas
yang terdapat dalam pikiran kita (persepsi, pengertian, konsep, asumsi,
generalisasi, cerita, paradigm).
Sesuatu yang selalu ada dalam pikiran kita dan mengarahkan semua
tindakan kita dengan menyusun pikiran dan tindakan berdasarkan dengan
pengalaman yang kita miliki. Manfaat mental model bagi organisasi adalah
mampu untuk melakukan perbaikan yang diinginkan untuk diri sendiri,
keluarga, tempat kerja dan juga berguna untuk :
1. Pengungkit perubahan
2. Inovasi
3. Menciptakan lingkungan lebih baik
4. Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan respon reflex.
5. Mencapai tujuan organisasi bersama
DAFTAR PUSTAKA

Bawono, Sri., Mangkuprawira S., et al. Analisis Persepsi Penerapan Model


Organisasi Pembelajaran Di PTN X. Journal of Business Strategy and
Execution, 3(1), 72 – 89 Sjafri.M., Heny.K.D.
Davis, Keith and W. Newstrom, 1999, Perilaku Dalam Organisasi, Edisi Ketujuh
Terjemahan, Erlangga, Jakarta..
Hagee, John. 2009. Telecast: Deception.
Harrison, A. G., & Treagust, D. F. 2000. Learning About Atoms, Molecules, and
Chemical Bonds: A Case Study of Multiple‐Model Use in Grade 11
Chemistry. Science Education. 84(3): 352-381.
Hersey, Paul and Blanchard, Ken, 1996, Manajemen Perilaku Organisasi,
Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Edsisi Bahasa.
https://sbm.binus.ac.id/2015/04/20/model-mental-kepemimpinan-efektif-di-masa-
depan-bagian-2/

http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=MAN
Jamal, Azim, dan Mc. Kinnon, Harvey. The Power of Giving. New York: Pinguin
Group
Junadi, Purnawan. 2014. Kepemimpinan dan Mental Model
Junaina. 2013. Pengaruh Pembelajaran Kerangka IFSO terhadap Peningkatkan
Model Mental dan Penguasaan Konsep Ikatan Kimia Siswa SMA Negeri 1
Way Lima. Tesis. Program S2 Teknologi Pendidikan. Program Pasca
sarjana Universitas Lampung: tidak dipublikasikan.
Jones, N. A., H. Ross, T. Lynam, P. Perez, and A. Leitch. 2011. Mental models:
an interdisciplinary synthesis of theory and methods. Ecology and
Society 16(1):46.URL:http://www.ecologyandsociety.org/vol16/iss1/art46/
Maguni, Wahyudin. 2014. Manajemen Organisasi Pembelajaran dan
Kepemimpinan. Jurnal Al-Ta’dib Vol. 7 No. 1 Januari-Juni
Meyer, Joyce. 1995. Battlefield of the Mind: Winning the Battle in Your Mind.
New York: Hachette Book Group, Inc.
Meyer, Joyce. 2009. Magazine: Enjoying Everyday Life. August, volume 23,
number 5,6
Meyer, Joyce. 2009. Telecast: ‘Establishing Boundaries’. 16, 17 September 2009
Nusanti, Erene. Mental Model Untuk Pemimpin. Yogyakarta
Osteen, Joel. 2004. Your Best Life Now. New York: Faith Words.
Osteen, Joel. 2009. Podcast: Making Plan to Succeed, downloaded Dec 2009.
Rosalina, Aldila., Faddila A., et al. 2012. Mental Model. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia.
Tee, Ng Pak. 2005. The Learning School. Singapore: Prentice Hall.
Tee, Ng Pak. 2005. Grow Me. Singapore: Prentice Hall.
Terry, George R., 1977, Principles of Management, Seventh Edition, Richad
D.Irwin Inc, Homewood Illinois.
Wang, C. Y. 2007. The Role of Mental-Modeling Ability, Content Knowledge,
and Mental Models in General Chemistry Students' Understanding About
Molecular Polarity. Doctoral dissertation. University of
Missouri.Columbia.
Yulk, Gary, 1994, Kepemimpinan Dalam Organisasi, Edisi Bahasa Indonesia,
Jakarta, Victor Jaya Abadi Prenhallindo.

Anda mungkin juga menyukai