NIM : A1A219019
Sekitar tahun 1630 Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan
dasar-dasar militer untuk mendapat hegemoni perdagangan atas perniagaan laut di Nusantara.
Pusat kekuasaan mereka ada di Ambon, dan markas besar mereka ada di Batavia.VOC lalu
merasa hegemoni yang mereka dapat tersebut akhirnya hanya dapat dipelihara dengan suatu
kebijakan militer yang agresif, dengan campur tangan pada urusan dalam negeri beberapa
kerajaan di Nusantara. Beberapa gubernur jenderal VOC yang ekspansionis ini antara lain
Antonio van Diemen (1636-1645), Johan Maetsuyeker (1653-1678), Rijklof van Goens
(1678-1681), dan Cornelis Janszoon Speelman (1681-1684).
Tahap pertama dari periode ekspansionis ini dimulai di Maluku, dimana sejak lama
Belanda berusaha memaksakan monopoli perdagangan dan produksi pala, bunga pala, dan
cengkeh. Namun usaha VOC tersebut mendapat rintangan dari kaum Muslim Hitu dan
pasukan Ternate yang ada di Hoamoal (Seram Barat) yang didukung penuh oleh kerajaan
bangsa Makassar, Gowa. Persekutuan anti-VOC itu dipimpin oleh seorang Muslim Hitu,
Kakiali (saat masih muda ia manjadi murid Sunan Giri). Tahun 1633 ia mengganti ayahnya
menjadi Kapitein Hitoe, pimpinan masyarakat Hitu dibawah naungan Belanda. Ia bersikap
pura-pura bersahabat dengan VOC, tapi mendukung komplotan yang anti VOC. Orang-orang
Hitu membangun benteng di pedalaman dan menjarah perkampungan orang-orang Kristen
Hitu.
Tahun 1634 van Diemen berhasil menawan Kakiali di atas kapal VOC. Dan pada
tahun 1637 VOC mengusir pasukan Ternate dari Hoamoal. VOC lalu merayu rakyat Hitu
agar mau membantunya menegakkan stabilitas dengan membebaskan Kakiali. Namun
agaknya perasaan benci yang sangat besar kepada VOC membuat Kakiali dan rakyatnya lalu
membentuk persekutuan antara Hitu, orang Ternate di Hoamoal, dan Gowa. Tahun 1641
Kakiali menyerang sebuah desa yang penduduknya pro-VOC (ini membuka kedok
persahabatannya dengan VOC) dan membuat prajurit Makassar bergabung bersamanya.
Akhirnya, VOC berhasil meraih hegemoninya di Maluku Selatan dengan menghancurkan
benteng terakhir Hitu di Kapaha serta menewaskan 2 pemimpinnya, yaitu Kakiali dan
Telukabesi.
Sultan Mandarsyah lalu dibawa ke Batavia pada Januari 1652 dan dipaksa
menandatangani persetujuan yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah
Maluku kecuali Ambon dan daerah yang dikuasai VOC. Hal ini dilakukan VOC sebagai
langkah mengatasi kelebihan pasokan rempah-rempah dari Maluku yang berpengaruh
terhadap harganya di pasaran dunia. De Vlaming lalu melancarkan kekuatan senjata untuk
menghancurkan Hoamoal serta sekutu mereka, orang Makassar dan Melayu. Perang itu
terjadi antara tahun 1652-1658 dan dimenangkan oleh VOC. Akhirnya orang-orang di
Hoamoal dibuang ke Ambon dan tanaman rempah-rempah dimusnahkan. Akhirnya,
hegemoni Belanda tercapai seluruhnya karena pada 1663 Spanyol menyerahkan sisa pos
mereka di Ternate dan Tidore dan tahun 1667 Tidore secara resmi mengakui kekuasaan
VOC. Di Maluku VOC beroperasi dari 1607 hingga 1800 dengan markas awalnya di Ternate.
SUMBER