Anda di halaman 1dari 52

TESIS

URGENSI PENYATUAN KEWENANGAN MEMBUAT AKTA

PERTANAHAN KE DALAM JABATAN NOTARIS


Diajukan Oleh:
WAHYU ADY RAMADHANI
NIM. 2020216310037

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

BANJARMASIN

2022
URGENSI PENYATUAN KEWENANGAN MEMBUAT AKTA

PERTANAHAN KE DALAM JABATAN NOTARIS

TESIS

Diajukan oleh :
WAHYU ADY RAMADHANI
NIM. 2020216310037

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

BANJARMASIN

2022
Tesis ini telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Penguji

Pada Tanggal ……………………..

Susunan Panitia Penguji Tesis

Ketua : Dr. Hj. Yulia Qamariyanti, S.H., M.Hum


Sekretaris : Dr. Hj. Erlina, S.H., M.H

Anggota : 1. Dr. Djoni S Gozali, S.H., M.H

2. Dr. Achmad Faisal, S.H., M.H

3. Dr. H. Bachrudin, S.H., M.Kn


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG MASALAH............................................................1

B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................7

C. KEASLIAN PENELITIAN........................................................................7

D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN..........................................11

E. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................12

F. METODE PENELITIAN.........................................................................29

G. SISTEMATIKA PENULISAN.................................................................35

BAB II Ratio Legis Atas Kewenangan Jabatan Notaris Membuat Akta Pertanahan........36

BAB III Politik Hukum Pemerintah Berkaitan Dengan Tumpang Tindih Kewenangan
Membuat Akta Pertanahan Oleh Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah...37

BAB IV PENUTUP........................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................39

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Notaris menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris, “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya”. Notaris

adalah tergolong pejabat umum yang merupakan salah satu profesi di bidang

hukum, yang berwenang untuk membuat akta autentik dalam bidang hukum

perdata.1

1
Rahmida Erliyani dan Siti Rosyidah Hamdan. 2020. Akta Notaris Dalam Pembuktian
Perkara Perdata dan Perkembangan Cyber Notary. Yogyakarta; Dialektika, hlm. 59

1
1

Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam membuat akta autentik telah

diberi kewenangan oleh negara di dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014, yang berbunyi “Notaris berwenang

membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan

yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki

oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin

kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan

dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan

oleh Undang-Undang.”. Sedangkan kewenangan lain seorangNotaris menurut

Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014,

adalah:

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;


2

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau;

7. Membuat akta risalah lelang.

Akta autentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

adalah, “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai

umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Bahwa akta autentik merupakan sebutan yang diberikan kepada pejabat

tertentu yang dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, seperti akta autentik tidak

saja dapat dibuat oleh Notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah,

Pejabat Lelang, dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.2

2
Habib Adjie. 2015. Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris. Bandung: Refika Aditama,
hlm. 6
3

Akta yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi alas hukum atas status harta benda,

hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta yang dibuat Notaris dapat

menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas suatu

kewajiban, oleh karena itu Notaris dalam menjalankan tugasjabatannya harus

mematuhi berbagai ketentuan yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan

Notaris.3

Berdasarkan penjelasan mengenai akta autentik di atas, salah satu

kewenangan yang diberikan kepada notaris sebagai pejabat umum adalah dalam

hal pembuatan akta autentik di samping kewenangan lainnya yang ditentukan oleh

Undang-Undang, salah satu akta autentik yang dapat di buat oleh Notaris salah

satunya adalah akta-akta yang berkaitan dengan pertanahan, sebagaimana yang

tercantum di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2014 yang berbunyi “membuat Akta yang berkaitan dengan

pertanahan“

Sehingga Notaris secara hukum memiliki kewenangan dalam pembuatan

akta-akta yang berhubungan dengan pertanahan, namun hal ini menjadi masalah,

karena pembuatan akta tanah merupakan tugas dan wewenang dari Pejabat

Pembuat Akta Tanah, yang bernaung secara langsung di bawah Badan Pertanahan

Nasional, yang secara langsung mempunyai tugas dan fungsi mengenai sistem

pertanahan di Indonesia.

Pejabat Pembuat Akta Tanah sendiri menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas

3
Abdul Ghofur Anshori. 2009. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan
Etika. Yogyakarta: UII Press, hlm. 46
4

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah, adalah “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya PPAT,

adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas

Satuan Rumah Susun “

Pejabat Pembuat Akta Tanah sendiri berawal dari amanat Undang-Undang

Pokok Agraria tentang pendaftaran tanah, yang kemudian diperjelas dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang

kemudian lebih diperjelas lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian

diperbarui dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah ini menetapkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah

diberikan kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2016 tersebut, menjelaskan bahwa Profesi Pejabat Pembuat Akta

Tanah juga merupakan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat

akta-akta autentik yang berkaitan dengan bidang pertanahan, khususnya mengenai

perbuatan hukum tertentu berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun. Sehingga Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk di dalam hukum
5

pertanahan sebagaimana yang termuat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria

dan peraturan pelaksanaannya harus berfungsi sebagai sarana pembangunan.4

Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai tugas pokok melaksanakan

kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran dan

perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu 5.

Adapun perbuatan hukum yang dimaksud tersebut menurut Pasal 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 adalah:

1. Jual beli;

2. Tukar menukar;

3. Hibah;

4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5. Pembagian hak bersama;

6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;

7. Pemberian Hak Tanggungan;

8. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

4
Riduan Syahrani. 1985. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung: Penerbit
Alumni, hlm. 305
5
Mustofa. 2010. Tuntutnan Pembuatamn Akta-Akta PPAT. Yogyakarta: KaryaMedia, hlm. 2
6

Berdasarkan semua penjelasan diatas, kehadiran Pasal 15 ayat (2) huruf f

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris telah

menimbulkan suatu permasalahan mengenai siapa yang berhak dalam pembuatan

akta-akta yang berkaitan dengan pertanahan. Karena jika dibandingkan dengan

teori hukum hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dan asas hukum

bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka Peraturan Pemerintah 24

Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang merupakan cikal bakal dari Pejabat

Pembuat Akta Tanah itu sendiri maka akan kalah kekuatannya karena telah

dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris.

Namun jika digunakan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generali

bahwa peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, dan asas hukum Lex

posterior derogat legi priori bahwa Undang-Undang yang terbaru (lex posterior)

mengesampingkan Undang-Undang yang lama (lex prior), maka fungsi dan

wewenang dari seorang Notaris yang diatur dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris akan dikesampingkan karena adanya

peraturan perundang-undangan yang baru dan lebih mengatur mengenai


7

kewenangan pembuatan akta-akta tanah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24

tahun 2016 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

mengangkat permasalahan hukum ini ke dalam sebuah usulan penelitian tesis

yang berjudul: URGENSI PENYATUAN KEWENANGAN MEMBUAT AKTA

PERTANAHAN KE DALAM JABATAN NOTARIS.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas maka, usulan dirumuskan dan

dibatasi permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan usulan

penelitian tesis ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Ratio Legis atas kewenangan jabatan Notaris dalam membuat

akta pertanahan?

2. Bagaimana politik hukum pemerintah berkaitan dengan tumpang tindih

kewenangan membuat akta pertanahan oleh Notaris dan Pejabat Pembuat

Akta Tanah?

C. KEASLIAN PENELITIAN
8

Penelusuran penelitian kepustakaan di lingkungan Universitas Lambung

Mangkurat dengan judul “Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta-Akta

Yang Berkaitan Dengan Pertanahan” belum pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya. Meskipun demikian, penulis menemukan beberapa hasil penelitian

yang berkaitan dengan judul penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

1. Anka Sitat al Kahf dari Program Magister Kenotariatan Universitas Islam

Indonesia pada tahun 2017 dengan judul Tesis: Kewenangan Notaris Dalam

Membuat Akta Pertanahan (Analisis Terhadap Pasal 15 Ayat (2) Huruf f

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris).6

Dengan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apakah Notaris dapat melaksanakan kewenangannya

dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 Tentang Jabatan Notaris.7

b. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan akta Notaris di bidang

pertanahan, khususnya dalam hal pendaftaran tanah.8

Hasil penelitiannya adalah:

a. Notaris dalam praktiknya belum dapat melaksanakan kewenangannya

dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dengan


6
Anka Sitat al Kahf. Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Pertanahan (Analisis
Terhadap Pasal 15 Ayat (2) Huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). 2017. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia. hlm, 1
7
Ibid, hlm. 8
8
Ibid
9

sepenuhnya, dikarenakan kewenangan tersebut dimiliki pejabat umum

lain yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah.9

b. Kedudukan akta tanah yang dibuat oleh Notaris merupakan akta yang

sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagai akta

autentik, karena dibuat berdasarkan Undang-Undang akan tetapi tidak

dapat dijadikan suatu dasar peralihan hak, aktanya hanya sebagai

pendukung peralihan hak. Akta yang berkaitan dengan Pertanahan yang

dibuat oleh Notaris yang berkaitan dengan pertanahan yaitu Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan.10

2. Abdulloh dalam Jurnal Hukum Universitas Brawijaya tahun 2016 dengan

judul penelitian: Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang

Berkaitan Dengan Pertanahan Dalam Konteks Pendaftaran Tanah.11

Rumusan Masalahnya adalah:

a. Apa makna dari akta yang berkaitan dengan pertanahan sebagaimana

disebutkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dalam konteks

pendaftaran tanah?12

b. Apa yang menjadi dasar dari para pembuat Undang-Undang (eksekutif

dan legislatif) dengan memberikan kewenangan kepada notaris untuk

membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan?13

Hasil penelitiannya adalah:

9
Ibid, hlm. 98
10
Ibid, hlm. 99
11
Abdulloh. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta
Yang Berkaitan Dengan Pertanahan Dalam Konteks Pendaftaran Tanah. 2020. Artikel
dalam jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Hlm. 1
12
Ibid, hlm. 6
13
Ibid
10

a. Selama jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Notaris masih terpisah,

maka kewenangan notaris dalam membuat akta yang berkaitan dengan

pertanahan sifatnya adalah sempit, artinya notaris bisa membuat akta

yang berkaitan dengan pertanahan tetapi yang bukan merupakan

kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah.14

b. Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris maksud

dari pembuat Undang-Undang memberi kewenangan kepada notaris

dalam membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan adalah adanya

gagasan atau tujuan kedepannya bahwa notaris berhak membuat semua

akta yang berkaitan dengan pertanahan yang selama ini menjadi

kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah serta adanya suatu ide

unifikasi jabatan antara Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Notaris, hal ini

dapat dilihat dari pembahasan pada risalah rapat dan juga pada pendapat

akhir fraksi (fraksi PPP dan Fraksi Reformasi) sebelum menyatakan

menyetujui diundangkannya Rancangan Undang-Undang Jabatan

Notaris.15

Berdasarkan penelitian terdahulu diatas, diketahui bahwa penelitian tesis

mengenai kewenangan Notaris dalam pembuatan akta yang berkaitan dengan

bidang pertanahan telah banyak dilakukan. Namun, terdapat perbedaan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, baik dilihat dari tema judul

atau topik penelitian maupun subtansi permasalahan yang lebih berfokus pada

akta-akta yang berkaitan dengan bidang pertanahan yang menjadi objek kajian

14
Ibid, hlm. 19
15
Ibid, hlm. 20
11

pembahasan. Dengan demikian jelaslah bahwa tesis ini berbeda dengan

penelitian–penelitian sebelumnya, akan tetapi penelitian-penelitian sebelumnya

yang terkait dengan penelitian ini tetaplah digunakan sebagai bahan analisa dalam

penelitian tesis ini.

D. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Sesuai dengan latar belakang masalah dan perumusan masalah, maka yang

menjadi tujuan dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji dasar-dasar dan pertimbangan atas pemberian

kewenangan kepada Notaris dalam melaksanakan pembuatan akta-akta

yang berkaitan dengan pertanahan, sebagaimana yang tercantum di

dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2014.

2. Untuk mengetahui apakah pemberian kewenangan kepada Notaris

dalam pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan pertanahan,

sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf F

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris tidak tumpang tindih dengan kewenangan Pejabat


12

Pembuat Akta Tanah di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998.

Sedangkan kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Kegunaan Teoritis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dan bahan informasi dalam kerangka

pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan dalam disiplin ilmu

hukum, khususnya hal kewenangan Notaris di dalam pembuatan

sebuah akta yang berkaitan dengan pertanahan.

2. Kegunaan Praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

solusi yang tepat bagi pengambil kebijakan bila timbul masalah yang

berkaitan dengan kurangnya prinsip kehati-hatian Notaris dalam

pembuatan akta yang berkaitan dengan akta pertanahan, sehingga

adanya implikasi konflik kewenangan tentang pembuatan akta yang

berkaitan dengan pertanahan, dan agar dapat diterapkan dalam kasus

hukum guna memperoleh hak dan kewajiban yang terlindungi dalam

pembuatan akta yang berkaitan dengan pertanahan di kemudian hari.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Jabatan Notaris

Dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta


13

autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris”.

Kewenangan lain terkait dengan ketentuan tersebut adalah

kewenangan membuat akta autentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dan/atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan

kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak

juga di tegaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan

undang-undang.16

Notaris merupakan jabatan kepercayaan, hal ini mempunyai makna

bahwa Notaris yang menjalankan tugas jabatan harus dapat dipercaya.

Ditegaskan pula, bahwa untuk merahasiakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk

melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta

tersebut.17

Akta sebagai bukti, berfungsi memberikan kepastian dan

perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang membuat kesepakatan

hukum, atau memiliki fungsi administratif berkaitan dengan aktivitas

administrasi negara18. Sedangkan Menurut Pasal 1867 Kitab Undang-


16
Sjaifurrachman. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta.
Bandung: Mandar Maju, hlm. 228
17
Habib Adji. 2014. Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, hlm. 12
18
Bachrudin. 2019. Hukum Kenotariatan Teknik Pembuatan Akta dan Bahasa Akta.
Bandung: Refika Aditama, hlm. 54
14

Undang Hukum Perdata, “akta autentik merupakan bukti yang utama

karena di dalam keperdataan seringkali orang dengan sengaja

menyediakan bukti yang bisa digunakan apabila timbul suatu

perselisihan dan bukti yang berupa tulisan”.

Notaris dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, memiliki

kewenangan yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) tentang

Jabatan Notaris, berbunyi:

a) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh

yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik,

menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,

memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-

undang.

b) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Notaris berwenang pula:


15

(1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian

tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus;

(2) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan

mendaftar dalam buku khusus;

(3) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa

salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan

digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

(4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya;

(5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan

pembuatan akta;

(6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

(7) Membuat akta risalah lelang.


16

Tanggung jawab yang dimiliki oleh Notaris menganut prinsip tanggung jawab

berdasarkan kesalahan (based on fault of liability), dalam pembuatan akta

autentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas akta yang dibuatnya

terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris. Sebaliknya

apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak penghadap,

maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan, Notaris

bersangkutan tidak dapat diminta pertanggung jawabannya. Dengan demikian,

suatu akta yang terkuat dan akan dipergunakan untuk dijadikan alat bukti di dalam

masyarakat sangat dibutuhkan, yakni akta autentik yang dibuat oleh atau di

hadapan Notaris.19

Notaris tidak bertanggung jawab terhadap isi akta yang dibuat di

hadapannya karena akta tersebut merupakan kehendak dan

kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Notaris hanya

menuangkan kesepakatan tersebut kedalam bentuk akta autentik

sehingga dalam hal ini Notaris hanya bertanggung jawab terhadap

bentuk formal sebagaimana yang ditetapkan oleh undang-undang.

Hal ini mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak

memihak serta memberikan nasihat hukum bagi pengguna jasanya

yang meminta petunjuk hukum pada Notaris yang bersangkutan.

Kecuali isi akta, setiap perbuatan yang dilakukan oleh Notaris dapat

dimintakan pertanggung jawabannya apabila ada suatu pelanggaran

yang dilakukannya dan perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi

19
Herlien Budiono. 2017. Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris. Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm. 1
17

para pihak. Jika terjadi kesalahan baik disengaja maupun karena

kelalaiannya mengakibatkan orang lain (akibat dibuatnya akta)

menderita kerugian, yang berarti Notaris telah melakukan perbuatan

melanggar hukum. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh Notaris

dapat dibuktikan, maka Notaris dapat dikenakan sanksi berupa

ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang

Jabatan Notaris.

2. Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan sebuah profesi yang

berkaitan langsung dengan sistem pertanahan di Indonesia.

Pengaturan tentang profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah terdapat di

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengalami perubahan

sehingga menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Pejabat Pembuat Akta, dikeluarkan sebagaimana amanat

dari Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas

tanah didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar

Pokok-Pokok Agraria dengan memerintahkan kepada Pemerintah

untuk melaksanakan pendaftaran tanah. Dalam rangka pelaksanaan

pendaftaran tanah tersebut didalam Peraturan Pemerintah Nomor 24


18

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah telah menetapkan jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah diberikan kewenangan untuk membuat

alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan

dasar pendaftaran.

Seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan dinamika di

lapangan, maka Badan Pertanahan Nasional selaku pengelola sistem

pertanahan di Indonesia menerbitkan pengaturan tambahan sebagai

ketentuan pelaksanaannya mengenai Profesi jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37

Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang

diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, dan akta

pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan. Pejabat

umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang

dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan

tertentu.20

20
Boedi Harsono. 2003. Hukum agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, isi, dan pelaksanannya. Jakarta: Penerbit Djambatan, hlm. 72
19

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta

Tanah menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah

pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta

otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas

Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah

menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah, disebutkan bahwa

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa Pejabat Pembuat

Akta Tanah memiliki satu wilayah kerja yang sama dengan Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Namun dalam perkembangannya,

wilayah kerja yang telah di atur di dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tersebut dirubah di dalam pasal

12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016, sehingga

wilayah kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah saat ini meliputi satu

wilayah provinsi.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa Pejabat Pembuat

Akta Tanah mempunyai kewenangan dan fungsi untuk melaksanakan

untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan dengan membuat akta-


20

akta sebagai alat bukti bahwa telah dilakukannya sebuah perbuatan

hukum tertentu yang berkaitan dengan Hak Atas Tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, yang kemudian akan dijadikan sebagai

dasar untuk pendaftaran tanah. Adapun perbuatan hukum yang

dimaksud berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 adalah :

a. Jual beli;

b. Tukar menukar;

c. Hibah;

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e. Pembagian hak bersama;

f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah

Hak Milik;

g. Pemberian Hak Tanggungan;

h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.


21

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat di katakan bahwa

kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya membuat 8 (delapan)

macam akta diatas, yang hanya sebatas pada bendan tidak bergerak,

yang berupa :

a. Hak atas Tanah, dan;

b. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

Sehingga, untuk akta yang berkenaan dengan benda bergerak,

semisal Akta Hipotek atas Kapal, bukan merupakan kewenangan

Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk membuatnya.

Namun pada peraktik dilapangan, seringkali Pejabat Pembuat

Akta Tanah mengurus ha-hal yang tidak ada hubungannya dengan

kewenangannya, hal tersebut timbul atas permintaan dari masyarakat,

yang menyebabkan Pejabat Pembuat Akta Tanah membantu

menyelesaikannya. Jadi hanya semacam bantuan Pejabat Pembuat

Akta Tanah untuk membantu kepentingan masyarakat, semisal 21:

a. Pembuatan sertifikat untuk pertama kalinya, yang dalam

bahasa teknis ke agrarian dikenal dengan istilah

“konversi” hak-hak lama;

b. Pembuatan sertifikat karena pemecahan sertifikat hak

atas tanah;

c. Pembuatan sertifikat karena penggabungan sertifikat hak

atas tanah
21
Mustofa. 2010. Tuntutnan Pembuatamn Akta-Akta PPAT. Yogyakarta: KaryaMedia, hlm.
3
22

d. Perpanjangan masa Hak Guna Bangunan (HGB) atau

Hak Pakai;

e. Pembaharuan Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak

Pakai;

f. Roya sertifikat yaitu pembersihan sertifikat dari catatan

“sedang dijaminkan”;

g. Proses turun waris, yaitu proses merubah data

kepemilikan tanah yang terjadi akibat dari data

kepemilikan tanah yang terjadi akibat dari adanya

kematian, nama dalam sertifikat akan dirubah dari nama

pewaris menjadi nama ahli warisnya;

h. Peningkatan hak atas tanah, semisal dari Hak Guna

Bangunan (HGB) menjadi Hak Milik, atau dari Hak

Guna Bangunan (HGB) menjadi Hak Pakai;

i. Penurunan Hak Atas Tanah, semisal dari Hak Milik

menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Guna

Bangunan menjadi Hak Pakai.

3. Akta Pertanahan
23

Akta pertanahan adalah sebuah akta yang lahir dari adanya

perjanjian dan perikatan. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.22 Sedangkan perikatan adalah

suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang di atur dan diakui

oleh hukum.23 Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah

Nomor 37 tahun 1998 menyatakan bahwa, akta yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum

tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah

Susun. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan alat bukti surat

akta yang terdiri atas tanggal dan diberi tanda tangan yang menurut

peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang

digunakan dalam pembuktian. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah yang diberi wewenang membuat akta-akta merupakan akta

autentik. Dalam melaksanakan tugasnya Pejabat Pembuat Akta Tanah

menerapkan prinsip kehati-hatian guna meminimalisir terjadinya gugat

menggugat di kemudian hari.

Dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama

kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat.

Kepemilikan hak atas tanah yang selama ini belum mempunyai sertifikat

dari Kantor Pertanahan, melainkan hanya berdasar pada bukti

kepemilikan hak yang ter administrasi dari desa seperti Letter C, dapat

22
Subekti. 2010. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, hlm. 1
23
R. Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, hlm.3
24

segera melakukan pendaftarannya ke Kantor Pertanahan terkait agar

segera memperoleh sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah. Dalam

melakukan pengurusan tanah yang masih Letter C, maka secara hati-hati

Pejabat Pembuat Akta Tanah memperhatikan pengurusan di

Kelurahan/Desa, serta pengurusan di Kantor Pertanahan agar tidak

mengalami permasalahan di kemudian hari. Selain itu, dalam

pengurusan pendaftaran tanah yang masih Letter C, Pejabat Pembuat

Akta Tanah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka menjaga

harkat dan martabat jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, serta

menerapkan hal-hal yang ditentukan oleh Undang-Undang. Prinsip

kehati-hatian Pejabat Pembuat Akta Tanah ini sangat diperlukan karena

mendukung kualitas kerja dalam pembuatan akta dan pelayanan

masyarakat.

Sebuah akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dikatakan sah apabila akta

yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat-syarat yang telah

ditentukan dalam perundang undangan. Namun apabila syarat

kesepakatan dan kecakapan tidak terpenuhi maka, akta yang telah dibuat

dapat di mintakan pembatalannya melalui Pengadilan. Apabila objek

tertentu dan kausa halal tidak terpenuhi maka, akta yang dibuat batal

demi hukum. Ini berarti bahwa akta tersebut dianggap tidak ada.

Pejabat Pembuat Akta Tanah melaksanakan tugas pembuatan akta di

kantornya dengan dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang

bersangkutan atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan.


25

Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat membuat akta di luar kantornya

hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya

tidak dapat datang di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah karena alasan

yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak

harus hadir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah di tempat

pembuatan akta yang disepakati.

Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dibuat dengan mengisi blangko

akta yang tersedia secara lengkap sesuai petunjuk pengisiannya.

Pengisian blangko akta dalam rangka pembuatan akta Pejabat Pembuat

Akta Tanah harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data

yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-

undangan. Pembuatan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dilakukan

dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang akan memberi

kesaksiannya.

Sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum tertentu,

Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib melakukan pemeriksaan

kesesuaian/keabsahan sertifikat dan catatan lain pada Kantor Pertanahan

setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuannya. Pejabat Pembuat

Akta Tanah dapat saja menolak pembuatan akta, yang tidak didasari data

formil. Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak diperbolehkan membuat akta

atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat,

sebelum diukur oleh Kantor Pertanahan dan diberikan Nomor

Identifikasi Bidang Tanah (NIB). Dalam pembuatan akta, Pejabat


26

Pembuat Akta Tanah wajib mencantumkan NIB dan atau nomor hak atas

tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB,

penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.

Setiap pembuatan akta, Pejabat Pembuat Akta Tanah bertanggung jawab

secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya.

4. Teori Kewenangan

Kewenangan adalah kekuasaan yang didapatkan oleh seseorang atau

kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan

kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan

melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau

kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain

sesuai dengan keinginan atau kekuasaan merupakan kemampuan

mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai kehendak

yang memengaruhi.

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang diartikan

sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk

melakukan sesuatu adalah kemampuan untuk bertindak yang diberikan

oleh undang-undang dan berlaku untuk melakukan hubungan hukum

maupun perbuatan hukum. Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum

Bahasa Indonesia diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan

kekuasaan untuk melakukan sesuatu.

Kewenangan dan wewenang memiliki arti yang berbeda,

kewenangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang diberikan secara


27

langsung oleh Undang-Undang atau legislatif, juga dari kekuasaan

eksekutif maupun administratif.

Teori kewenangan mengenal tiga macam kewenangan, yaitu

kewenangan atribusi, kewenangan delegasi dan kewenangan mandat.

Kewenangan atribusi adalah sebuah kewenangan yang melekat pada

suatu jabatan yang bersifat asli berasal dari peraturan perundang-

undangan, dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh

kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam peraturan

perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat

menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah

ada.24

Kewenangan delegasi adalah pelimpahan wewenang antar organ

pemerintah satu dengan organ pemerintah lain, tidak ada penciptaan

wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu

kepada pejabat lainnya, sehingga tanggung jawab yuridis tidak lagi

berada pada pemberi delegasi, tetapi beralih pada penerima delegasi.

Sedangkan kewenangan mandat adalah kewenangan yang

menitikberatkan penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama

pemberi mandat, tanggung jawab akhir keputusan yang diambil penerima

mandat tetap berada pada pemberi mandat.

Notaris menggunakan kewenangan atribusi dalam melakukan fungsi

dan tugasnya. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris memberikan kewenangan kepada Notaris untuk dapat


24
HR Ridwan. 2016. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers. hlm, 105
28

membuat akta autentik. Sehingga segala kewenangan dalam membuat

akta autentik telah sah secara hukum yang berlaku di Indonesia.

5. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Menurut sistem hukum Indonesia, Peraturan Perundang-undangan

(Hukum tertulis) disusun dalam suatu tingkatan yang disebut dengan

hierarki Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan menunjukkan

tingkatan masing-masing bentuk yang bersangkutan, dimana yang

disebutkan terlebih dahulu mempunyai kedudu kan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan yang disebutkan setelahnya.

Sistem hierarki perundang-undangan di Indonesia juga mempunyai

konsekuensi hukum yang berbeda. Bentuk peraturan atau ketetapan yang

tingkatannya lebih rendak tidak boleh mengandung muatan materi yang

bertentangan dengan materi yang dimuat di dalam suatu peraturan

perundang-undangan yang bentuknya lebih tinggi, terlepas dari soal

siapakah yang berwenang memberikan penilaian terhadap materi

peraturan serta bagaimana nanti konsekuensinya apabila materi suatu

peraturan itu dinilai bertentangan dengan materi peraturan yang lebih

tinggi.

Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:

1. Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945)

2. Ketetapan MPR (TAP MPR)


29

3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPU)

4. Peraturan Pemerintah (PP)

5. Peraturan Presiden (PERPRES)

6. Peraturan daerah (PERDA) Provinsi

7. Peraturan daerah (PERDA) Kabupaten/Kota

Tata urutan diatas menunjukkan tingkatan masing-masing bentuk yang

bersangkutan, dimana yang disebut terlebih dahulu mempunyai kedudukan

yang lebih tinggi daripada bentuk-bentuk yang tersebut di belakangnya (di

bawahnya). Di samping itu, tata urutan di atas mengandung konsekuensi

hukum, baik peraturan maupun ketetapan yang tingkatannya lebih rendah

tidak boleh mengandung materi yang bertentangan dengan materi yang

bertentangan dengan peraturan yang dimuat di dalam suatu peraturan yang

bentuknya lebih tinggi, terlepas dari soal siapakah yang berwenang

memberikan penilaian terhadap materi peraturan serta bagaimana nanti

konsekuensi apabila materi suatu peraturan itu dinilai konsekuensi apabila

materi suatu peraturan itu dinilai bertentangan dengan materi peraturan yang

lebih tinggi.

Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut

mengandung beberapa prinsip sebagai berikut:25

Ni’matul Huda. 2012. HUKUM TATA NEGARA INDONESIA edisi Revisi. Jakarta:
25

RAJAWALI PRES, hlm. 37-38


30

1. Peraturan Perundangan-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat

dijadikan sebagai landasan atau dasar hukum bagi peraturan yang lebih

rendah atau berada di bawahnya.

2. Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau

memiliki dasar hukum dari Peraturan Perundangan-undangan yang tingkat

nya lebih tinggi.

3. Isi atau muatan Peraturan Perundangan-undangan yang lebih rendah tidak

boleh menyimpang atau bertentangan dengan Peraturan Perundangan-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

4. Suatu Peraturan Perundangan-undangan hanya dapat dicabut, diganti, atau

di ubah dengan Peraturan Perundangan-undangan yang lebih tinggi atau

paling tidak sederajat.

5. Peraturan Perundangan-undangan yang sejenis apabila mengatur materi

yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak

dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang mengatur.

Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai

ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan

daerah. Sedangkan peraturan perundang-undangan selain yang tercantum di

atas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,

Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang

dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-


31

Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa

atau yang setingkat diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum yang

bersifat normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Data

sekunder penelitian hukum normatif yaitu berupa penelitian kepustakaan

(library research)26 yang digunakan untuk memperoleh bahan-bahan berupa

dokumen hukum, baik yang berupa Peraturan Perundang-undangan,

Peraturan Pemerintah, Keputusan/Peraturan Menteri, Yurisprudensi, Jurnal-

jurnal, Hasil Penelitian, Publikasi ilmiah, buku-buku dan bahan-bahan

referensi lainnya yang berhubungan dengan kewenangan Notaris dalam

pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan pertanahan.

2. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

tipe penelitian dengan Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach)

26
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji. 2015. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 15.
32

yaitu menelaah peraturan perundang-undangan.27 Tipe penelitian Konseptual

(Conceptual Approach) yaitu beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.28

3. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti bersifat preskriptif analisis,

yaitu peneliti menjelaskan bagaimana yang seharusnya, yang kemudian

dikaji berdasarkan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan ketentuan

hukum yang berlaku untuk mencapai tujuan sehingga memiliki arah dan

tujuan yang jelas terkait dengan objek yang diteliti, yaitu tentang

kewenangan Notaris dalam pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan

pertanahan.

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah

pendekatan Undang-Undang (Statute approach) yaitu pendekatan Undang-

Undang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi

yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani 29, pendekatan

historis (Historical Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dalam

kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu untuk

dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofis yang melandasi

27
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, hlm. 177
28
Ibid. hlm. 178
29
Ibid. hlm 136
33

aturan hukum30, serta pendekatan konseptual (Conceptual Approach) yaitu

pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan sudut pandang

analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari

aspek konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau bahkan dapat

dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan sebuah peraturan

kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan.

5. Jenis Bahan Hukum

Bahan Pustaka bidang hukum dari sudut kekuatan mengikatnya

dibedakan menjadi tiga golongan, yakni bahan hukum primer, sekunder dan

tersier (yang juga dinamakan bahan penunjang).31

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu yang berkaitan erat dengan bahan-bahan

hukum dengan permasalahan yang akan peneliti teliti, antara lain

sebagai berikut:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek,

Staatsblad 1847 Nomor 23)

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara

Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2043);

30
Ibid. hlm 166
31
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji.2012. Penelitian Hukum Normatif. Cet. XXI. Jakarta.
Rajawali: Pers, hlm 33
34

3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 4432);

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491);

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997

Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696);

6) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun

1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746);

7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(Lembaran Negara Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran

Negara Nomor 5893);

8) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;

9) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perubahan Peraturan Kepala


35

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2006.

b. Bahan Hukum Sekunder

Selain bahan hukum primer, terdapat bahan hukum sekunder dalam

penelitian yang diperoleh dari hasil kepustakaan (Library Research).

Bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan hukum yang

mendukung bahan hukum primer seperti buku-buku teks, artikel

dalam berbagai majalah ilmiah atau jurnal hukum, makalah-makalah,

dan literatur pendapat para sarjana.32 Bahan hukum sekunder yang

utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-

prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana

yang mempunyai kualifikasi yang sesuai dengan penelitian ini. Selain

buku teks, bahan hukum sekunder lainnya berupa tulisan tentang

hukum baik dalam bentuk hasil-hasil penelitian, karya penelitian,

karya tulis kalangan hukum, literatur-literatur ilmu hukum, lokakarya,

artikel-artikel hukum, maupun jurnal-jurnal hukum.

c. Bahan Hukum Tersier

32
Rahmida Erliyani. 2020. Metode Penulisan dan Penelitian Hukum. Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama. hlm. 45
36

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

sebagai pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya, berupa:

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat

dibuktikan kebenarannya, serta dapat dipertanggungjawabkan, maka dalam

penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan bahan hukum. Dalam

penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan, menggunakan studi

atau teknik kepustakaan (library research) yaitu melakukan penelusuran

terhadap bahan-bahan hukum yang ada relevansi nya dengan topik masalah

yang menjadi kajian dalam penulisan ini. Kemudian diinventariskan dan

dikumpulkan sebelum dijadikan acuan dalam penulisan hukum ini.

7. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik pengolahan bahan Hukum Primer dan Sekunder dilakukan

menurut prinsip-prinsip kajian hukum normatif, dimana bahan hukum yang

telah dihimpun dan memiliki relevansi dengan menggunakan langkah-

langkah berpikir secara deduksi, sistematis, logis, kritis yang hasilnya

diharapkan dapat berguna dalam rangka menjawab persoalan tentang

kewenangan Notaris dalam pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan

pertanahan.

G. SISTEMATIKA PENULISAN
37

Untuk lebih memudahkan dalam proses penguraian serta pembahasan

mengenai isi dan materi dalam penyusunan tesis ini, maka masing-masing isi dan

materinya tersebut dibagi-bagi ke dalam beberapa bab, yang mana masing-masing

babnya terdiri atas beberapa sub bab, yang pada prinsipnya dapat digambarkan

sebagai berikut.

BAB I, dalam bab ini penulis memberikan gambaran penulisan hukum yang

berisikan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Keaslian Penelitian Tujuan

dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, serta Sistematika

Penulisan,

BAB II, dalam bab ini penulis menguraikan tentang tinjauan umum yang

berisikan tentang jabatan Notaris, dan akta pertanahan, yang berkaitan dengan

rumusan masalah.

BAB III, dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab

permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yang berisikan tentang

kewenangan Notaris dalam pembuatan akta-akta yang berkaitan dengan

pertanahan, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Kemudian pada Bab IV merupakan Penutup, yang berisikan Kesimpulan

terhadap apa yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan Saran terhadap

apa yang telah diuraikan tersebut.


38

BAB II
Ratio Legis Atas Kewenangan Jabatan Notaris Dalam Membuat Akta
Pertanahan
39

BAB III
Politik Hukum Pemerintah Berkaitan Dengan Tumpang Tindih Kewenangan
Membuat Akta Pertanahan Oleh Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah
40

BAB IV
PENUTUP
41

DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh. 2020. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan AktaYang Berkaitan


Dengan Pertanahan Dalam Konteks Pendaftaran Tanah. Artikel dalam
jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Adji, Habib. 2014. Merajut Pemikiran Dalam Dunia Notaris & PPAT. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
-------. 2015, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung: Refika
Aditama.
Al Kahf, Anka Sitat. 2017. Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta
Pertanahan (Analisis Terhadap Pasal 15 Ayat (2) Huruf f Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). Tesis. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia.
Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif
Hukum dan Etika. Yogyakarta: UII Press.
Bachrudin. 2019. Hukum Kenotariatan Teknik Pembuatan Akta dan Bahasa Akta.
Bandung: Refika Aditama.
Budiono, Herlien. 2017. Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Erliyani, Rahmida. 2020. Metode Penulisan dan Penelitian Hukum. Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama.
Erliyani, Rahmida dan Siti Rosyidah Hamdan. 2020. Akta Notaris Dalam
Pembuktian Perkara Perdata dan Perkembangan Cyber Notary.
Yogyakarta; Dialektika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Mustofa. 2010. Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT. Yogyakarta: KaryaMedia.
R. Setiawan. 1977. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta.
Sjaifurrachman. 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan
Akta. Bandung: Mandar Maju.
Soekanto, Soerjono, Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Normatif. Cet. XXI.
Jakarta : Rajawali: Pers.
42

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. 2015. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers.
Subekti. 2010. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa,
Syahrani, Riduan. 1985. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung:
Penerbit Alumni.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847
Nomor 23).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4432).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5491).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3696).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3746).

Anda mungkin juga menyukai