Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MANDIRI

MATA KULIAH

PSIKOLOGI BELAJAR

Dosen Pengampuh : Dra.Amiana Mogot, S.Pd,M.Pd

DIBUAT OLEH :

NAMA : CYNTHIA G.TAKAALUMANG

NIM : 19105225

KELAS : 5G

UNIVERSITAS NEGERI MANADO

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

PRODI PGSD

2021
 Tugas :
1. Teori belajar kognitif Gestald Jean Peaget
2. Teori Pemosesan Informasi
3. Teori belajar sosial Albert Bandura

1. Teori Belajar Kognitif Gestald Jean Peaget

Perkembangan Kognitif Menurut Jean Pieget


Piaget lebih menitik beratkan pembahasannya pada struktur kognitif. Ia meneliti dan
menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai 1980. Berbeda
dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya. Ia menyatakan bahwa cara berfikir anak
bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah
pengetahuan, tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa
tahap-tahap perkembangan intelektual individu serta perubahan umur sangat
mempengaruhi kemampuan individu mengamati ilmu pengetahuan. (Laura A.
King:152). Piaget mengemukakan penjelasan struktur kognitif tentang bagaimana
anak mengembangkan konsep dunia di sekitar mereka. ( Loward s. Friedman and
Miriam. W. Schustack. 2006: 59). Teori Piaget sering disebut genetic epistimologi
(epistimologi genetik) karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan
intelektual, bahwa genetic mengacu pada pertumbuhan developmental bukan warisan
biologis (keturunan). (B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, 2010: 325).
Menurut Piaget, anak dilahirkan dengan beberapa skemata sensorimotor, yang
memberi kerangka bagi interaksi awal anak dengan lingkungannya. Pengalaman
awal si anak akan ditentukan oleh skemata sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya
kejadian yang dapat diasimilasikan ke skemata itulah yang dapat di respons oleh si
anak, dan karenanya kejadian itu akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi
melalui pengalaman, skemata awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung
elemen unik yang harus di akomodasi oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi
dengan lingkungan, struktur kognitif akan berubah, dan memungkinkan
perkembangan pengalaman terus-menerus. Tetapi menurut Piaget, ini adalah proses
yang lambat, karena skemata baru itu selalu berkembang dari skemata yang sudah
ada sebelumnya. Dengan cara ini, pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan
respons refleksif anak terhadap lingkungan akan terus berkembang sampai ke titik di
mana anak mampu memikirkan kejadian potensial dan mampu secara mental
mengeksplorasi kemungkinan akibatnya.
Interiorisasi menghasilkan perkembangan operasi yang membebaskan anak dari
kebutuhan untuk berhadapan langsung dengan lingkungan karena dalam hal ini anak
sudah mampu melakukan manipulasi simbolis. Perkembangan operasi (tindakan
yang diinteriorisasikan) memberi anak cara yang kompleks untuk menangani
lingkungan, dan oleh karenanya, anak mampu melakukan tindakan intelektual yang
lebih kompleks. Karena struktur kognitif anak lebih terartikulasikan. Demikian pula
lingkungan fisik anak, jadi dapat dikatakan bahwa struktur kognitif anak
mengkonstruksi lingkungan fisik. ( B.R. Hergenhahn and Matthew H. Olson,
2010:325).

Perkembangan Intelektual
a. Struktur
Untuk sampai pada pengertian struktur, diperlukan suatu pengertian yang erat
hubungannya dengan struktur yaitu pengertian operasi. Piaget berpendapat
bahwa ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental dan
perkembangan berfikir logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada
perkembangan operasi dan operasi selanjutnya menuju pada perkembangan
struktur. ( Ratna Wilis Dahar, 2011:34). Operasi-operasi ini mempunyai empat
ciri, yaitu: Pertama, Operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi. Ini berarti
antara tindakan-tindakan itu. Baik tindakan mental maupun tindakan fisik tidak
terdapat pemisah-misah, misalnya seorang anak mengumpulkan semua kelerang
kuning dan merah, tindakannya ialah merupakan baik tindakan mental maupun
fisik. Secara fisik ia memindahkan kelereng-kelereng itu, tetapi tindakannya itu
dibimbing oleh hubungan “sama” dan “berbeda” yang diciptakannya dalam
pikirannya. Kedua, Operasi-operasi itu reversible. Misalnya menambah dan
mengurangi merupakan operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang
berlawanan. Sebagai contoh: 2 dapat ditambahkan dengan 1 untuk memperoleh
3, atau 1 dapat dikurangi dari 3 untuk memperoleh 2. Ketiga, tidak ada operasi
yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu berhubungan dengan struktur atau
sekumpulan operasi. Misalnya operasi penambahan-pengurangan berhubungan
dengan operasi klasifikasi, pengurutan, dan konservasi bilangan. Operasi itu asli
saling membutuhkan. Jadi operasi itu adalah tindakan-tindakan mental yang
terinternalisasi, reversible, tetap dan terintegrasi dengan struktur-struktur dan
operasi-operasi lainnya. Selanjutnya yang terakhir struktur juga disebut skemata
merupakan organisasi mental yang tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari individu
waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih
memudahkan individu itu menghadapi tuntutan-tuntutan yang makin meningkat
dari lingkungannya. Diperolehnya suatu struktur atau skemata berarti telah terjadi
suatu perubahan dalam perkembangan intelektual anak. ( Ratna Wilis Dahar,
2011:134).

b. Isi
Hal yang dimaksud dengan isi ialah pola perilaku anak yang khas yang tercermin
pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi-situasi
yang dihadapinya. Anatara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget dalam
penelitiannya tertuju pada isi pikiran anak, misalnya perubahan dalam
kemampuan penalaran semenjak kecil sekali hingga agak besar, konsepsi anak
tentang alam sekitarnya yaitu pohon-pohon, matahari, bulan, dan konsepsi
tentang beberapa peristiwa alam. ( Ratna Wilis Dahar, 2011:134)

c. Fungsi
ialah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan
intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada 2 fungsi
yaitu organisme dan adaptasi. ( Ratna Wilis Dahar, 2011:135). Fungsi organisme
untuk mensistematikkan proses fisik atau psikologi menjadi sistem yang teratur
dan berhubungan atau berstruktur, seperti halnya seorang bayi mempunyai
struktur-struktur perilaku untuk memfokuskan visual dan memegang benda
secara terpisah. Pada suatu saat dalam perkembangannya, bayi itu dapat
mengorganisasi kedua struktur perilaku ini menjadi struktur tingkat tinggi
dengan memegang suatu benda sambil melihat benda itu, dengan organisasi,
struktur fisik dan psikologis diintergrasi menjadi struktur tingkat tinggi. Piaget
melihat perkembangan intelektual sebagai proses membangun model realitas
dalam diri dalam rangka memperoleh informasi mengenai cara-cara membangun
gambaran batin tentang dunia luar, sebagian besar masa kecil kita dihabiskan
untuk aktif mempelajari diri kita sendiri dan dunia luar. Mungkin anda pernah
memperhatikan, anak-anak yang masih sangat belia pun sudah punya rasa ingin
tahu yang besar tentang kemampuan diri dan lingkungan sekitarnya. (Ratna
Wilis Dahar, 2011:136). Fungsi kedua yang melandasi perkembangan intelektual
ialah adaptasi. Sebagai proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan
melalui proses yang tidak dipisahkan, yaitu: Asimilasi ialah penyatuan
(pengintegrasian) informasi, persepsi, konsep dan pengalaman baru kedalam
yang sudah ada dalam benak seseorang. (Wina Sanjaya, 2010:132). Dalam
proses asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah
ada untuk menghadapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya. (Ratna
Wilis, 2011:135)
Proses penyerapan ini saling berkaitan, sebagai contoh ketika seorang anak
belum mengetahui/mengenal api, suatu hari anak merasa sakit karena terpercik
api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk struktur penyesuaian skema
pada struktur kognitif anak tentang “api” bahwa api adalah sesuatu yang
membahayakan oleh karena itu harus dihindari, ini dinamakan adaptasi. Dengan
demikian, ketika ia melihat api, secara refleks ia akan menghindar. Semakin
anak dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah pula. Ketika anak melihat
ibunya memasak memakai api, ketika anak melihat bapaknya merokok
menggunakan api, maka skema yang telah terbentuk disempurnakan, bahwa api
bukan harus dihindari tetapi dapat dimanfaatkan. Proses penyesuaian skema
tentang api yang dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilasi. Semakin anak
dewasa, pengalaman itu semakin bertambah pula. Ketika anak melihat bahwa
pabrik-pabrik memerlukan api, setiap kenderaan memerlukan api, dan lain
sebagainya, maka terbentuklah skema baru tentang api. bahwa api bukan harus
dihindari dan juga bukan hanya sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api
sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Proses penyempurnaan skema itu
dinamakan proses akomodasi. ( Wina Sanjaya, 2010:132).

Tahap Perkembangan Intelektual


Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan berfikir logis dari masa bayi
hingga dewasa, menurut Piaget perkembangan yang berlangsung melalui empat
tahap, yaitu: 1. Tahap sensori-motor : 0 – 1,5 tahum
2. Tahap pra-operasional : 1,5 – 6 tahun
3. Tahap operasional konkrit : 6 – 12 tahun
4. Tahap operasional formal : 12 tahun ke atas
Piaget percaya, bahwa kita semua melalui keempat tahap tersebut, meskipun
mungkin setiap tahap dilalui dalam usia berbeda. Setiap tahap dimasuki ketika
otak kita sudah cukup matang untuk memungkinkan logika jenis baru atau
operasi. (Matt Jarvis, 2011:148). Semua manusia melalui setiap tingkat, tetapi
dengan kecepatan yang berbeda, jadi mungkin saja seorang anak yang berumur 6
tahun berada pada tingkat operasional konkrit, sedangkan ada seorang anak yang
berumur 8 tahun masih pada tingkat pra-operasional dalam cara berfikir. Namun
urutan perkembangan intelektual sama untuk semua anak, struktur untuk tingkat
sebelumnya terintegrasi dan termasuk sebagai bagian dari tingkat-tingkat
berikutnya. (Ratna Wilis, 2011:137).

1) Tahap Sensorimotor
Sepanjang tahap ini mulai dari lahir hingga berusia dua tahun, bayi belajar
tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indera mereka yang
sedang berkembang dan melalui aktivitas motor. ( Diane, E. Papalia, Sally
Wendkos Old and Ruth Duskin Feldman, 2008:212). Aktivitas kognitif
terpusat pada aspek alat dria (sensori) dan gerak (motor), artinya dalam
peringkat ini, anak hanya mampu melakukan pengenalan lingkungan dengan
melalui alat drianya dan pergerakannya. Keadaan ini merupakan dasar bagi
perkembangan kognitif selanjutnya, aktivitas sensori motor terbentuk melalui
proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungan. ( Mohd. Surya, 2003: 57).

2) Tahap pra-operasional
Pada tingkat ini, anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam
menghadapi berbagai hal diluar dirinya. Aktivitas berfikirnya belum
mempunyai sistem yang teroganisasikan. Anak sudah dapat memahami
realitas di lingkungan dengan menggunakan tanda –tanda dan simbol. Cara
berpikir anak pada pertingkat ini bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan
tidak logis. Hal ini ditandai dengan ciri-ciri:
1. Transductive reasoning, yaitu cara berfikir yang bukan induktif atau
deduktif tetapi tidak logis
2. Ketidak jelasan hubungan sebab-akibat, yaitu anak mengenal hubungan
sebabakibat secara tidak logis
3. Animisme, yaitu menganggap bahwa semua benda itu hidup seperti dirinya
4. Artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan itu
mempunyai jiwa seperti manusia
5. Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu berdasarkan apa yang
dilihat atau di dengar
6. Mental experiment yaitu anak mencoba melakukan sesuatu untuk
menemukan jawaban dari persoalan yang dihadapinya
7. Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya kepada sesuatu ciri yang
paling menarik dan mengabaikan ciri yang lainnya

Egosentrisme, yaitu anak melihat dunia lingkungannya menurut kehendak


dirinya. ( Mohd. Surya, 2003: 57-58).

3) Tahap Operasional Konkrit


Pada tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran
logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam
tahap ini, anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan
articialisme. Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas
konservasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka,
anak-anak pada tahap operasional kongkrit masih mengalami kesulitan besar
dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. (Matt Jarvis, 2011:149- 150).
Sebagai contoh anak-anak yang diberi tiga boneka dengan warna rambut yang
berlainan (edith, susan dan lily), tidak mengalami kesulitan untuk
mengidentifikasikan boneka yang berambut paling gelap. Namun ketika
diberi pertanyaan, “rambut edith lebih terang dari rambut susan. Rambut edith
lebih gelap daripada rambut lily. Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-
anak pada tahap operasional kongkrit mengalami kesulitan karena mereka
belum mampu berpikir hanya dengan menggunakan lambanglambang.

4) Tahap Operasional Formal


Pada umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak
dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi
yang lebih kompleks. ( Matt Jarvis, 2011:111). Kemajuan pada anak selama
periode ini ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau
peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Anak-
anak sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh
sisi argumen dan karena itu disebut operasional formal.

Tingkatan Perkembangan Intelektual


a) Kedewasaan
Perkembangan sistem saraf sentral yaitu otak, koordinasi motorik dan
manifestasi fisik lainnya menpengaruhi perkembangan kognitif. Kedewasaan
atau maturasi merupakan faktor penting dalam perkembangan intektual.
( Matt Jarvis, 2011:141).
b) Penalaran Moral
Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk mengabstrakkan
berbagai sifat fisik benda-benda. Bila seorang anak menjatuhkan sebuah
benda dan menemukan bahwa benda itu pecah atau bila ia menempatkan
benda itu dalam air, kemudian ia melihat bahwa benda itu terapung ia sudah
terlibat dalam proses abstraksi sederhana atau abstraksi empiris. Pengalaman
ini disebut pengalaman fisik untuk membedakannya dengan pengalaman
logika-matematika, tetapi secara paradoks pengalaman fisik ini selalu
melibatkan asimilasi pada struktur-struktur logika-matematika. Pengalaman
fisk ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak sebab observasi benda-
benda serta sifat-sifat benda itu menolong timbulnya pikiran yang lebih
kompleks. ( Matt Jarvis, 2011:141).
c) Pengalaman Logika-Matematika
Pengalaman yang dibangun oleh anak, yaitu ia membangun atau
menkonstruks hubungan-hubungan antara objek-objek. Sebagai contoh
misalnya, anak yang sedang menghitung beberapa kelereng yang dimilikinya
dan ia menemukan “sepuluh” kelereng. Konsep “sepuluh” bukannya sifat
kelereng-kelereng itu, melainkan suatu kontruksi lain yang serupa, yang
disebut pengalaman logika-matematika. ( Matt Jarvis, 2011:141).
d) Transmisi Sosial
Dalam tansmisi sosial, pengetahuan itu datang dari orang lain, seperti
pengaruh bahasa, instruksi formal dan membaca, begitu pula interaksi dengan
teman-teman dan orang-orang dewasa termasuk faktor transmisi sosial dan
memegang peranan dalam perkembangan. (Matt Jarvis, 2011:142).

e) Pengaturan Sendiri
Pengaturan sendiri atau ekuilibrasi adalah kemampuan untuk mencapai
kembali keseimbangan (equilibrium) selama periode ketidakseimbangan
(disequlibrium). Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat-
tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi
tingkat demi tingkat. ( Matt Jarvis, 2011:143). Jika pengaturan sendiri sudah
dimiliki anak, ia mampu menjelaskan hal-hal yang dirasakan anak dari
lingkungannya, kondisi ini dinamakan equilibrium. Namun ketika anak
menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pengaturan diri
yang sudah ada, anak mengalami sensasi disequlibrium yang tidak
menyenangkan. Secara naluriah, kita disarankan untuk memperoleh
pemahaman tentang dunia dan menghindari disequlibrium. (Matt Jarvis,
2011:142).

2. Teori Pemrosesan Informasi


Model  belajar  pemrosesan  informasi  ini  sering  pula  disebut  model  kognitif
information processing, karena dalam proses belajar  ini  tersedia  tiga  taraf
struktural sistem informasi, yaitu:

1)      Sensory  atau  intake  register:  informasi  masuk  ke  sistem  melalui  sensory


register,  tetapi  hanya  disimpan  untuk  periode  waktu  terbatas.  Agar  tetap dalam 
sistem,  informasi  masuk  ke  working  memory  yang  digabungkan dengan
informasi di long-term memory.
2)      Working memory: pengerjaan atau operasi  informasi berlangsung di working
memory,  dan  di  sini  berlangsung  berpikir  yang  sadar.  Kelemahan  working
memory  sangat  terbatas  kapasitas  isinya  dan memperhatikan  sejumlah  kecil
informasi secara serempak.
3)      Long-term  memory,  yang  secara  potensial  tidak  terbatas  kapasitas  isinya
sehingga mampu menampung seluruh  informasi yang sudah dimiliki peserta didik. 
Kelemahannya  adalah  betapa  sulit  mengakses  informasi  yang tersimpan di
dalamnya.

Diasumsikan,  ketika  individu  belajar,  di  dalam  dirinya  berlangsung  proses


kendali atau pemantau bekerjanya  sistem  yang berupa prosedur  strategi mengingat,
untuk  menyimpan  informasi  ke  dalam  long-term  memory  (materi  memory  atau
ingatan) dan strategi umum pemecahan masalah (materi kreativitas).
Pengetahuan yang diproses dan dimaknai dalam memori kerja disimpan dalam
memori jangka panjang dalam bentuk skema-skema teratur secara hirarkis. Tahap
pemahaman dalam pemrosesan informasi dalam memori kerja  berfokus pada
bagaimana pengetahuan baru dimodifikasi. Pemahaman berkenaan dan dipengaruhi
oleh interpretasi terhadap stimulus. Faktor stimulus adalah karakteristik dari elemen-
elemen desain pesan seperti ukuran, ilustrasi, teks, animasi, narasi, warna, musik,
serta video.  Studi  tentang  bagaimana  informasi  diidentifikasi, diproses, dimaknai,
dan ditransfer dalam dan dari memori kerja untuk disimpan dalam memori jangka
panjang mengisyaratkan bahwa pendesainan pesan merupakan salah satu topik utama
dalam pendesainan multimedia  instruksional. Dalam konteks ini, desain pesan
multimedia berkenaan dengan penyeleksian, pengorganisasian, pengintegrasian
elemen-elemen pesan untuk menyampaikan sesuatu informasi. Penyampaian
informasi bermultimedia yang berhasil akan bergantung pada pengertian akan makna
yang dilekatkan pada  stimulus elemen-elemen pesan tersebut.
Dalam mengartikan penyampaian informasi dengan multimedia perlu dibedakan apa
yang disebut dengan media pengantar, desain pesan,  serta kemampuan sensorik.
Media pengantar mengacu pada sistem yang dipakai untuk menyajikan informasi,
misalnya media berbasiskan media cetakan atau media berbasiskan komputer. Desain
pesan mengacu pada bentuk yang digunakan untuk menyajikan informasi, misalnya
pemakaian animasi  atau teks audio. Kemampuan sensorik mengacu pada jalur
pemrosesan informasi yang dipakai untuk memproses informasi yang diperoleh,
seperti proses penerimaan informasi visual atau auditorial. Sebagai contoh, suatu
paparan tentang bagaimana sistem sesuatu alat bekerja dapat dipresentasikan melalui
teks tertulis dalam buku atau melalui teks di layar komputer (dua media yang
berbeda), dalam bentuk rangkaian kata-kata atau kombinasi kata-kata dan gambar
(dua desain pesan yang berbeda), atau dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan (dua
sensorik yang berbeda). Sebenarnya istilah desan pesan mengacu pada proses
manipulasi, atau rencana manipulasi dari sebuah pola tanda yang  memungkinkan
untuk mengkondisi  pemerolehan informasi. Penelitian telah menemukan  bukti
bahwa desain pesan yang berbeda pada multimedia instruksional mempengaruhi
kualitas performansi (Pranata, 2004). Beberapa teori yang melandasi perancangan
desain  pesan multimedia instruksional ialah teori  pengkodean ganda, teori muatan
kognitif, dan teori pemrosesan ganda. Menurut teori pengkodean ganda manusia
memiliki sistem memori kerja yang terpisah untuk informasi verbal dan informasi
visual, memori kerja terdiri atas memori kerja visual dan  memori kerja auditori.
Teori muatan kognitif menyatakan bahwa setiap memori kerja memiliki kapasitas
yang terbatas. Sedangkan teori pemrosesan ganda menyatakan bahwa penyampaian
informasi lewat multimedia instruksional baru bermakna jika informasi yang
diterima diseleksi pada setiap penyimpanan, diorganisasikan ke dalam representasi
yang berhubungan, serta dikoneksikan dalam tiap penyimpanan. Temuan-temuan
penelitian (Pranata, 2004) telah menguji kebenaran teori pengkodean ganda (dual-
coding theory): terdapat dua buah saluran pemrosesan informasi yang independent
yaitu pemrosesan informasi visual (atau memori kerja visual) dan pemrosesan
informasi verbal (atau memori kerja verbal); kedua memori kerja tersebut memiliki
kapasitas yang terbatas untuk memroses informasi yang masuk. Hal terpenting yang
dinyatakan oleh teori muatan kognitif adalah sebuah gagasan bahwa kemampuan
terbatas memori kerja, visual maupun auditori, seharusnya menjadi pokok pikiran
ketika seseorang hendak mendesain sesuatu pesan multimedia.

Teori belajar yang oleh Gagne (1988) disebut dengan ‘Information Processing
Learning Theory’.  Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam
otak manusia di saat memroses suatu informasi. Karenanya teori belajar tadi disebut
juga ‘Information-Processing Model’ oleh Lefrancois atau ‘Model Pemrosesan
Informasi’. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-
kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu
keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses
kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan
dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu,

(1) motivasi;

(2) pemahaman;

(3) pemerolehan;

(4) penyimpanan;

(5) ingatan kembali;

(6) generalisasi;

(7) perlakuan;

(8) umpan balik.

Beberapa model telah dikembangkan di antaranya oleh Gagne (1984), Gage dan
Berliner (1988) serta Lefrancois, yang terdiri atas tiga macam ingatan yaitu: sensory
memory atau Ingatan Inderawi (II), Ingatan Jangka Pendek (IJPd) atau
short-term/working memory, Ingatan Jangka Panjang (IJPj) atau long-term memory.
Berdasar ketiga model tersebut dapat dikembangkan diagram pemrosesan informasi
berikut ini:

Ingatan Jangka Panjang (IJPj)


Ingatan Inderawi (II)
Sebagaimana terlihat pada diagram di atas, suatu masukan/informasi yang terdapat
pada stimulus atau rangsangan dari luar akan diterima manusia melalui panca
inderanya. Informasi tersebut menurut Lefrancois akan tersimpan di dalam ingatan
selama tidak lebih dari satu detik saja. Ingatan tersebut akan hilang lagi tanpa
disadari dan akan diganti dengan informasi lainnya. Ingatan sekilas atau sekelebat
yang didapat melalui panca indera ini biasanya disebut ’sensory memory’ atau
‘ingatan inderawi’. Berdasar pada apa yang dipaparkan di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa, seperti yang telah sering dialami para guru dan telah dinyatakan dua orang
siswa di bagian awal tulisan ini, pesan atau keterangan yang disampaikan seorang
guru dapat hilang seluruhnya dari ingatan para siswa jika pesan atau keterangan
tersebut terkategori sebagai ingatan inderawi. Alasanya, seperti sudah dipaparkan
tadi, Ingatan Inderawi hanya dapat bertahan di dalam pikiran manusia selama tidak
lebih dari satu detik saja. Pertanyaan penting yang dapat dimunculkan adalah:
Bagaimana caranya agar informasi atau keterangan seorang guru tidak akan hilang
begitu saja dari ingatan siswa?
Ingatan Jangka Pendek (IJPd)
Suatu informasi baru yang mendapat perhatian siswa, tentunya akan berbeda dari
informasi yang tidak mendapatkan perhatian dari mereka. Suatu informasi baru yang
mendapat perhatian seorang siswa lalu terkategori sebagai IJPd sebagaimana
dinyatakan Gage dan Berliner (1988, p.285) berikut: “When we pay attention to a
stimulus, the informations represented by that stimulus goes into short-term memory
or working memory.” Jelaslah bahwa IJPd adalah setiap Ingatan Inderawi yang
stimulusnya mendapat perhatian dari seseorang. Dengan kata lain, IJPd tidak akan
terbentuk di dalam otak siswa tanpa adanya perhatian dari siswa terhadap informasi
tersebut. IJPd ini menurut Lefrancois dapat bertahan relatif jauh lebih lama lagi, yaitu
sekitar 20 detik. Sebagai akibatnya, pengetahuan tentang perbedaan antara kedua
ingatan ini lalu menjadi sangat penting untuk diketahui para guru dan diharapkan
akan dapat dimanfaatkan selama proses pembelajaran di kelasnya. Sekali lagi,
perhatian para siswa terhadap informasi atau masukan dari para guru akan sangat
menentukan diterima tidaknya suatu informasi yang disampaikan para guru tersebut.
Karenanya, untuk menarik perhatian para siswa terhadap bahan yang disajikan, di
samping selalu memotivasi siswanya, seorang guru pada saat yang tepat sudah
seharusnya mengucapkan kalimat seperti: “Anak-anak, bagian ini sangat penting.” 
Tidak hanya itu, aksi diam seorang guru ketika siswanya ribut, mencatat hal dan
contoh penting di papan tulis, memberi kotak ataupun garis bawah dengan kapur
warna untuk materi essensial, menyesuaikan intonasi suara dengan materi, memukul
rotan ke meja, sampai menjewer telinga merupakan usaha-usaha yang patut dihargai
dari seorang guru selama proses pembelajaran untuk menarik perhatian siswanya.
Namun hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana menumbuhkan kemauan dan
motivasi dari dalam diri siswa sendiri, sehingga para siswa akan mau belajar dan
memperhatikan para gurunya selama proses pembelajaran sedang berlangsung.

Ingatan Jangka Panjang (IJPj)


Mengapa Ibukota Indonesia jauh lebih mudah diingat daripada Ibukota Negeria?
Untuk menjawabnya, perlu disadari adanya suatu kenyataan bahwa Jakarta jauh lebih
sering disebut dan didengar namanya daripada Lagos; misalnya dari buku,
pembicaraan, televisi, ataupun koran. Karenanya, Jakarta sebagai Ibukota Indonesia
kemungkinan besar sudah tersimpan di dalam IJPj. Informasi yang sudah tersimpan
di dalam IJPj ini sulit untuk hilang, sehingga Jakarta dapat diingat dengan mudah.
Jelaslah bahwa IJPj adalah IJPD yang mendapat pengulangan. Kata lainnya IJPj tidak
akan terbentuk tanpa adanya pengulangan. Dapatlah disimpulkan sekarang bahwa
pengulangan merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran. Karenanya, latihan
selama di kelas atau di rumah merupakan kata kunci yang akan sangat menentukan
keberhasilan atau ketidak berhasilan suatu pengetahuan yang diingat dalam jangka
waktu yang lama. Itulah sebabnya, ada guru berpengalaman yang menyatakan
kepada siswanya bahwa akan jauh lebih baik untuk belajar 6 × 10 menit daripada 1 ×
60 menit. Selain pengulangan atau latihan, beberapa hal penting yang harus
diperhatikan Bapak dan Ibu Guru agar suatu pengetahuan dapat diingat siswa dengan
mudah adalah:
1.  Sesuatu yang sudah dipahami akan lebih mudah diingat siswa daripada sesuatu
yang tidak dipahaminya. Contohnya, proses untuk mengingat bilangan 17.081.945
akan jauh lebih mudah daripada proses mengingat bilangan 51.408.791 karena
bilangan pertama sudah dikenal para siswa, apalagi jika dikaitkan dengan hari
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 yang dapat ditulis menjadi 17–08–1945.

2.  Hal-hal yang sudah terorganisir dengan baik akan jauh lebih mudah diingat siswa
daripada hal-hal yang belum terorganisir. Contohnya, mengingat susunan bilangan 4,
49, 1, 16, 9, 36, dan 25 akan jauh lebih sulit daripada mengingat bilangan berikut
yang sudah terorganisir dengan baik: 1, 4, 9, 16, 25, 36, dan 49.

3.  Sesuatu yang menarik perhatian siswa akan lebih mudah diingat daripada sesuatu
yang tidak menarik hatinya. Acara televisi yang menarik perhatian para siswa akan
memungkinkan para siswa untuk duduk berjam-jam di depan TV dan jalan
ceriteranya akan mampu mereka ingat dengan mudah. Namun hal yang sebaliknya
akan terjadi juga, yaitu suatu proses pembelajaran yang tidak menarik perhatian
mereka dapat menjadi beban bagi siswa dan tentunya juga bagi para guru.

3. Teori Belajar Sosial

Definisi Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana konsep dari teori ini
menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi.
Menurut Bandura, orang belajar melalui pengalaman langsung atau pengamatan
(mencontoh model). Orang belajar dari apa yang ia baca, dengar, dan lihat di media,
dan juga dari orang lain dan lingkungannya. (Sihnu Bagus)

Albert Bandura mengemukakan bahwa seorang individu belajar banyak tentang


perilaku melalui peniruan/modeling, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement)
sekalipun yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut “observational
learning” atau pembelajaran melalui pengamatan. Albert Bandura (1971),
mengemukakan bahwa teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) Bagaimana
perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan
observational learning, (2) Cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap
informasi, (3) Begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi
lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational
opportunity.

Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran,


yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan
mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang
lain.
Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan
atau modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :

1) Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model
dengan cermat.

2) Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang


ditampilkan oleh model yang diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan
yang bagus terhadap perilaku model.

3) Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian


untuk mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah
ditampilkan oleh modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau
mempraktekkan perilaku yang dilakukan oleh model.

4) Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi


untuk belajar dari model.

Menurut Skinner dan Bandura (dalam Haditono, Knoers, dan Monks 1992)
mempunyai pandangan yang empiris dan mendasarkan diri pada teori belajar untuk
menjelaskan perkembangan bahasa.

Pandangan ini, bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan tidak
membawa kemampuan apapun. Anak masih harus banyak belajar, termasuk juga
belajar berbahasa yang dilakukannya melalui imitasi, belajar model, dan belajar
dengan reinforcement (penguatan, bala bantuan).

Bandura mencoba menerangkannya dari sudut pandang teori belajar sosial. Ia


berpendapat bahwa anak belajar bahasa menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi
ini, tidak mesti harus menerima reinforcememnt sebab belajar model dalam
prinsipnya lepas dari reinforcement luas.

Teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian
besar berpangkal pada dalili bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil
pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan
bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori
sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah
laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang
penting terjadi dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah
laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku
tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.

Sosial adalah interaksi atau hubungan yang dilakukan dengan orang banyak yang
ditemukannya disekelilingnya dalam menjalankan kehidupan individunya sehari-
hari. Sosial membantu tiap anak untuk merasa diterima didalam kelompok,
membantu anak belajar berkomunikasi dan bergaul dengan orang lain, mendorong
empati dan saling menghargai terhadap anak-anak maupun orang dewasa.
Lingkungan pembelajaran yang paling utama berasal dari keluarga, sekolah, dan
teman sebaya. Yang akan dibahas kali ini adalah lingkungan pembelajaran yang
berasal dari teman sebaya, karena melalui teman sebaya, mendorong anak untuk
meningkatkan kemampuannya, sekaligus memberikan dukungan sosial kepada anak
berupa perhatian, persetujuan, penghargaan sekaligus hukuman, model perilaku yang
akan ditiru oleh anak tersebut.

Atkinson Hilgard (1997), mengemukakan pendapatnya bahwa, anak akan


mempelajari sebagian besar keterampilan sosialnya dari interaksi dengan sesamanya.
Mereka akan belajar memberi memutuskan membagi pengalamannya bersama-sama.

Jika dilihat dari penambahan usia anak, maka permainan menguasi atau permainan
yang menampilkan keunggulan akan berkembang menjadi permainan yang
intelektual, seperti bermain dengan kata-kata dan ide. Memasuki usia 2 tahun, anaka
tidak mampu bermain pura-pura dan meniru tingkah laku yang dilihatnya beberapa
waktu sebelumnya, bahkan beberapa hari sebelumnya dengan imajinasi dan bahasa
sesungguhnya yang merupakan cara berpikir dan bermain pada anak. Aspek-aspek
sosial anak yang akan mulai terlihat adalah anak akan mulai bermain sendiri (soliter),
anak mulai bermain parallel (yaitu berada didekat teman sekelas tetapi tanpa
interaksi), anak mulai bermain sosial (mulai ada interaksi dengan teman didekatnya ),
anak mulai bermain asosiatif (secara berpasangan), anak mulai bermain kooperatif
(dalam kelompok-kelompok kecil atau besar, ada peran masing-masing) dan anak
mulai bermain kolaboratif (bersama orang tua, guru, asisten atau orang dewasa lain).

Membantu tiap anak agar merasa diterima didalam kelompok, mengembangkan


kompetensi social, membantu anak belajar berkomunikasi dan bergaul dengan orang
lain, mengembangkan empati (merasakan perasaan orang lain) dan (saling)
menghargai diri dan lingkungannya (sebaya, orang dewasa, aturan, barang dan alam).

Sikap sosial pada anak yang mengikuti pendidikan apresiasi seni dapat tercermin
pola pikir, cara pandang, perasaan dan tingkah laku atau tindakan anak pada objek
atau lingkungan sosial yang ada. Dalam hal ini dapat dilihat dari aspek kognitif
Subjek yang memiliki pengetahuan, pengertian, dan pemahaman bahwa dalam
kehidupan sehari-hari terdapat bermacam-macam perbedaan, namun tetap saling
menghormati dan menerima. Pada aspek afektif dan aspek konatif yang dimiliki oleh
Subjek menunjukkan adanya perasaan senang dapat mengenal, berteman dengan
siapapun serta adanya kepedulian terhadap sesama. Subjek juga bersedia
memberikan pertolongan kepada orang lain tanpa memandang segala perbedaan
seperti beda suku, beda agama, beda budaya , dan lain sebagainya.

Pembentukan sikap sosial pada anak yang mengikuti Pendidikan Apresiasi Seni,
dipengaruhi oleh faktor orang tua dan guru, faktor kebudayaan di tempat tinggal
masing-masing, dan faktor lembaga pendidikan dan ajaran agama. Masing-
masingnya mengarahkan anak mempunyai sikap sosial yang baik melalui penanaman
pengetahuan dan contoh, adanya pembiasaan bersosialisasi dengan orang lain baik
yang memiliki kesamaan suku, agama, budaya dan lainnya maupun yang tidak. Serta
pemberian penjelasan dari sekolah dan ajaran agama tentang berkomunikasi,
berhubungan dengan sesama manusia, termasuk didalamnya didukung oleh kegiatan
Pendidikan Apresiasi Seni yang diikuti anak di sekolahnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sosial

Menurut Prasetyo dalam bukunya Psikologi Pendidikan mengemukakan bahwa:


“Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor
Indogen: faktor pada diri anak itu sendiri seperti faktor imitasi, sugesti, identifikasi,
simpati dan (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar seperti lingkungan
keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah” (Prasetyo, 1997 : 96).

Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap sosial adalah sebagai berikut: (a) Faktor Indogen; faktor
sugesti, identifikasi, dan imitasi  (b) Faktor Eksogen; faktor yang berasal dari luar
seperti lingkunga keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Berikut
ini akan dijelaskan masing-masing faktor yang mempengaruhi sikap sosial tersebut.

a.       Faktor Indogen

Faktor indogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak yang datang dari
dalam dirinya sendiri. Dalam hal ini dapat dibedakan menjadi tiga faktor yaitu: a)
faktor sugesti,  b) faktor identifikasi, dan c) faktor imitasi. Berikut ini akan dijelaskan
secara singkat masing-masing faktor tersebut.

1).    Faktor Sugesti

Dalam buku Psikologi Kepribadian dijelaskan bahwa: “Sugesti adalah proses seorang
individu didalam berusaha menerima tingkah laku maupun prilaku orang lain tanpa
adanya kritikan terlebih dahulu” (Nawawi, 2000 : 72).

Dari pendapat ahli tersebut diatas, dapat dikatakan sugesti dapat mempengaruhi sikap
sosial seseorang sedangkan anak yang tidak mampu bersugesti cenderung untuk tidak
mau menerima keadaan orang lain, seperti tidak merasakan penderitaan orang lain,
tidak bisa bekerjasama dengan orang lain dan sebagainya.

2). Faktor Identifikasi

Identifikasi dilakukan kepada orang lain yang dianggapnya ideal atau sesuai dengan
dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Nawawi dalam bukunya Interaksi Sosial
dijelaskan bahwa: “Anak yang mengidentifikasikan dirinya seperti orang lain akan
mempengaruhi perkembangan sikap sosial seseorang, seperti anak cepat merasakan
keadaan atau permasalahan orang lain yang mengalami suatu problema
(permasalahan)” (Nawawi, 2000 : 82).

Menurut pendapat ahli tersebut diatas jelaslah bahwa seseorang yang berusaha
mengidentifikasikan diri dengan keadaan orang lain akan lebih mampu merasakan
keadaan orang lain, daripada seorang anak yang tidak mau mengidentifikasikan
dirinya dengan orang lain yang cenderung mampu merasakan keadaan orang lain.

3).  Faktor Imitasi

Imitasi dapat mendorong seseorang untuk berbuat baik. Pada buku Psikologi
Pendidikan dijelaskan bahwa: “Sikap seseorang yang berusaha meniru bagaimana
orang yang merasakan keadaan orang lain maka ia berusaha meniru bagaimana orang
yang merasakan sakit, sedih, gembira, dan sebagainya. Hal ini penting didalam
membentuk rasa kepedulian sosial seseorang” (Purwanto, 1999 : 65). Sedangkan ahli
lain mengatakan pula bahwa: “Anak-anak yang meniru keadaan orang lain, akan
cenderung mampu bersikap sosial, daripada yang tidak mampu meniru keadaan
orang lain” (Nawawi, 2000 : 42). 

Dari kedua pendapat tersebut diatas, jelaslah bahwa imitasi dapat mempengaruhi
sikap sosial seseorang, dimana seseorang yang berusaha meniru (imitasi) keadaan
orang lain akan lebih peka dalam merasakan keadaan orang lain, apakah orang
sekitarnya itu dalam keadaan susah, senang ataupun gembira.

b.      Faktor Eksogen

Faktor eksogen adalah faktor yang mempengaruhi sikap sosial anak dari luar dirinya
sendiri. Dalam hal ini menurut Soetjipto dan Sjafioedin dalam bukunya Metodologi
Ilmu Pengetahuan Sosial dijelaskan bahwa: “Ada tiga faktor yang mempengaruhi
sikap sosial anak yaitu: ” a) faktor lingkungan keluarga, b) faktor lingkungan sekolah
dan c) faktor lingkungan masyarakat” (Soetjipto dan Sjafiodin, 1994 : 22) . Berikut
ini akan dijelaskan secara singkat masing-masing faktor tersebut.

1).  Faktor Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan tumpuan dari setiap anak,  keluarga   merupakan lingkungan


yang pertama dari anak dari keluarga pulalah anak menerima pendidikan karenanya
keluarga mempunyai peranan yang sangat penting didalam perkembangan anak.
Keluarga yang baik akan memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan
anak, demikian pula sebaliknya. Dalam buku Psikologi Pendidikan dijelaskan bahwa:
“Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang, perhatian, keluarga yang tidak
harmonis, yang tidak memanjakan anak-anaknya dapat mem-pengaruhi sikap sosial
bagi anak-anaknya” (Purwanto, 1999 : 89).

Dari pendapat tersebut, jelaslah bahwa keharmonisan dalam keluarga, anak yang
mendapatkan kasih sayang serta keluarga yang selalu memberikan perhatian kepada
anak-anaknya merupakan peluang yang cukup besar didalam mempengaruhi
timbulnya sikap sosial bagi anak-anaknya.

2). Faktor Lingkungan Sekolah

Dalam bukunya Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Keadaan sekolah seperti cara
penyajian materi yang kurang tepat serta antara guru dengan murid mempunyai
hubungan yang kurang baik akan menimbulkan gejala kejiwaan yang kurang baik
bagi siswa yang akhirnya mempengaruhi sikap sosial seorang siswa” (Ahmadi,
1996 : 65). Selanjutnaya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Ada
beberapa faktor lain di sekolah yang dapat mempengaruhi sikap sosial siswa yaitu
tidak adanya disiplin atau peraturan sekolah yang mengikat siswa untuk tidak berbuat
hal-hal yang negatif ataupun tindakan yang menyimpang” (Nawawi, 2000 : 66).

Dari kedua pendapat ahli diatas, maka faktor lingkungan sekolah yang dapat
mempengaruhi sikap sosial siswa adalah cara penyajian materi, prilaku maupun sikap
dari para gurunya, tidak adanya disiplin atau peraturan-peraturan sekolah yang betul-
betul mengikat siswa.

3). Faktor Lingkungan Masyarakat

Lingkungan masyarakat merupakan tempat berpijak para remaja sebagai makhluk


sosial. Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa melepaskan diri dari masyarakat.
Anak dibentuk oleh lingkungan masyarakat dan dia juga sebagai anggota
masyarakat, kalau lingkungan sekitarnya itu baik akan berarti sangat membantu
didalam pembentukkan keperibadian dan mental seorang anak, begitu pula
sebaliknya kalau lingkungan sekitarnya kurang baik akan berpengaruh kurang baik 
pula terhadap sikap sosial  seorang anak, seperti tidak mau merasakan keadaan orang
lain. Dalam buku Psikologi Sosial dijelaskan bahwa: “Lingkungan masyarakat yang
bisa mempengaruhi timbulnya berbagai sikap sosial pada anak seperti cara bergaul
yang kurang baik, cara menarik kawan-kawannya dan sebaginya” (Sarwono, 1997 :
59). Selanjutnya dalam buku Interaksi Sosial dijelaskan bahwa: “Pergaulan sehari-
hari yang kurang baik bisa mendatangkan sikap sosial yang kurang baik, begitu
sebaliknya dimana suatu lingkungan masyarakat yang baik akan mendatangkan sikap
sosial yang baik pula terhadap anak” (Nawawi, 2000 : 45).Dengan demikian dari
uraian dan pendapat ahli tersebut diatas, maka lingkungan masyarakat sangat besar
pengaruhnya terhadap pembentukkan sikap sosial seorang anak, begitu pula
sebaliknya lingkungan masyarakat yang kurang baik akan menimbulkan sikap sosial
yang kurang baik pula terhadap anak.

Anda mungkin juga menyukai