CBR - Kimia Larutan - Kelompok 3
CBR - Kimia Larutan - Kelompok 3
Disusun oleh:
PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
TA. 2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan Critical Book Report (CBR)
pada mata kuliah Kimia Larutan dari Bapak dosen Dr. Ahmad Nasir Pulungan, S.Si.,
M.Sc. Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dosen pengampu yang sudah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Dalam penulisan Critical Book Report (CBR) ini, kami sangat menyadari masih
terdapat banyak kekurangan dalam pengetikan dan penyusunan pada Critical Book Report
(CBR) ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritikan yang
membangun, supaya dapat melakukan perbaikan di tugas-tugas selanjutnya agar menjadi
lebih baik di kemudian hari. Semoga Critical Book Report (CBR) ini dapat berguna bagi
para pembaca dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Terimakasih.
Kelompok 3
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Larutan
Larutan merupakan campuran homogen dari dua zat atau lebih. Suatu larutan
terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut (solvent). Zat yang jumlahnya banyak
biasanya disebut pelarut, sementara zat yang jumlahnya sedikit disebut zat terlarut.
Tetapi hal ini tidak mutlak. Bisa saja dipilih zat yang lebih sedikit sebagai pelarut,
tergantung pada keperluannya, tetapi disini akan digunakan pengertian yang biasa
digunakan untuk pelarut dan terlarut.
Suatu larutan sudah pasti berfasa tunggal. Berdasarkan wujud dari pelarutnya,
suatu larutan dapat digolongkan ke dalam larutan padat, cair ataupun gas. Zat terlarut
dalam ketiga fasa larutan tersebut juga dapat berupa gas, cair ataupun padat.
Campuran gas selalu membentuk larutan karena semua gas dapat saling campur
dalam berbagai perbandingan.
Berdasarkan kemampuannya untuk menghantarkan arus listrik, larutan
digolongkan ke dalam larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Larutan elektrolit
adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik yang selama penghantarannya
disertai dengan terjadinya reaksi redoks. Larutan non elektrolit adalah larutan yang
tidak dapat menghantarkan arus listrik. Berdasarkan pandangan termodinamika
larutan dapat dikelompokkan ke dalam larutan ideal dan tak ideal.
Pada bab ini akan dikaji termodinamika larutan ideal dan tak ideal dan larutan
non elektrolit, sifat koligatifnya, kelarutan terlarut melalui hukum Henry dan
distribusi terlarut dalam dua pelarut yang tidak saling melarutkan (hukum distribusi
Nernst). Tetapi sebelumnya akan diuraikan terlebih dahulu cara menyatakan
komposisi zat dalam suatu larutan .
xi = ni
n
ni merupakan jumlah mol komponen i dan n menyatakan jumlah mol semua
komponen dalam larutan. fraksi mol tidak mempunyai satuan.
b.Kemolaran
Di buku-buku tertentu kita bisa lihat bahwa kemolaran merupakan bagian yang lebih
khusus dari konsentrasi. Konsentrasi komponen i dalam larutan, Ci didefinsikan
sebagai :
Ci = ni
V
Dengan V menyatakan volume larutan. Dalam satuan SI, konsentrasi mempunyai
satuan mol/m3. Berdasarkan konvensi, konsentrasi bisa juga dinyatakan dengan
menggunakan tanda kurung persegi, (B). Kimiawan biasa menggunakan istilah
kemolaran, M yakni jumlah mol terlarut dalam satu liter larutan. Jadi kemolaran
secara khusus merupakan konsentrasi molar dengan satuan mol per liter atau mol per
dm3.
c. Kemolalan
Kemolalan i, mi didefinisikan sebagai jumlah mol i dalam sejumlah massa pelarut.
Jika suatu larutan mengandung nB mol terlarut B dan nA mol pelarut A, maka massa
pelarut, wA =m nAMA, dengan MA menyatakan massa molar pelarut (bukan massa
molekul relatif atau Mr-nya). Massa molekul relatif tidak mempunyai satuan
sementara masa molar mempunyai satuan massa per mol. Satuan MA biasanya gram
per mol atau kilogram per mol.
Kemolalan terlarut B dinyatakan dengan :
wA nAM A
mB = nB = nB
(
5
7
)
Kimiawan hampir selalu menggunakan satuan mol per kilogram untuk satuan
kemolalan, dengan demikian maka satuan massa molar pelarut, MA yang cocok
adalah kg/mol. Pada Persamaan (1.3) sebenarnya untuk kemolalan bisa saja
digunakan satuan mol per gram atau mmol per gram atau mmol per kilogram. Akant
etapi umumnya kita menggunakan satuan mol per kilogram.
d. Persen Massa
Persen massa suatu terlarut B dalam larutan didefinisikan dengan :
wB
% massa B = x 100% (58)
w
Dengan wB massa terlarut B dan w massa total larutan
massa molarnya adalah 18,0 g/mol, sehingga volum molar air murni, V ** pada
*
298,16 K dan 1 atm adalah :
18,0 g mol 1
V * air = Mair
ρair = 0,997 g cm3
VA = n
V
(59)
A T .P.n B
Pada T dan P tetap, volum suatu larutan yang terdiri dari komponen A dan B
merupakan fungsi dari nA dan nB.
V = V (nA, nB) (61)
Jika sejumlah kecil A, dnA dan sejumlah B, dnB ditambahkan ke dalam larutan,
peningkatan volum larutan dinyatakan dengan diferensial dari persamaan (61).
dV = V dnA + V
n n dnB (62)
A T .P.nB B T .P.n A
dV = VA dnA + VB dnB =
Vi dni
i
(63)
Berdasarkan persamaan (1.8) yang secara fisik brarti peningkatan volum larutan
tanpa terjadi perubahan dalam komposisinya (dengan demikian volum molar parsial
A dan B juga nilainya tertentu atau dengan kata lain VA tidak bergantung pada nA
(64)
V = nA + nB =
VA VB niVi
Volum molar parsial dapat ditentukan melalui cara lereng. Untuk larutan yang
terdiri ari zat A dan zat B, VB dapat diukur dengan cara menyiapkan larutan-larutan
(pada T, P yang diinginkan) yang mengandung jumlah mol komponen A yang sama
dan tertentu nilainya (misalnya 1 kg) tetapi dengan jumlah nB yang bervariasi. Lalu
Jika VB sudah ditentukan dengan cara lereng tadi, maka VA dapat ditentukan
dengan menggunakan Persamaan (1.10).
(V nBVB )
VA = n
A
Penentuan besaran molar parsial melalui cara lereng ini agak kurang teliti tetapi
cukup memadai untuk survey yang cepat. Penentuan volum molar parsial, umumnya
dilakukan dengan cara intercept. Suatu besaran yang disebut rata-rata volum molar
larutan, Vm , didefinisikan sebagai volum larutan dibagi dengan jumlah mol total dari
semua komponen dalam larutan. Untuk larutan biner.
V
Vm = , sehingga V = Vm (nA + nB) dan
nA nB
V Vm
VA = Vm + (nA + nB) (65)
A n B .T . A n B .T .P
n P
dV m
V m = xB +V A
dxB
Penerapan dari persamaan ini dapat dilihat pada pembahasan berikutnya, yang
mana rata-rata volum molar larutan V m dialurkan terhadap fraksi mol B, xB. garis
S1S2 digambarkan sebagai garis singgung dari kurva di titik P, yang bersesuaian
f. Larutan ideal
Konsep gas ideal yang telah diuraikan di buku bagian depan materi Kimia
Fisika II, memegang peranan penting dalam termodinamika gas. Banyak hal dalam
praktek yang diperlukan dengan pendekatan gas ideal, dan sistem yang menyimpang
dari keidealan diuraikan dengan cara membandingkannya dengan keadaan ideal.
Konsep yang mirip dengan keidealan gas digunakan sebagai pemandu dalam
menguraikan teori larutan. Gas yang ideal diartikan sebagai gas yang tidak
mempunyai gaya antaraksi antara partikel-partikel gasnya, sementara larutan ideal
didefinisikan sebagai larutan yang mempunyai antaraksi yang sama antara partikel-
partikelnya. Misalnya untuk larutan dua komponen A dan B, gaya antar molekul
antara A dan B, B dan B, serta A dan A, semuanya sama dalam larutan ideal, juga
volum dan ukuran molekul masing-masing spesi adalah sama.
Untuk larutan ideal, kecenderungan A untuk pergi ke fasa uap sebanding
dengan fraksi mol A, xA dalam larutan :
PA = k xA (67)
Dengan k tetapan kesebandingan. Jika xA = 1, maka PA = P*A , tekanan uap murni A.
Dengan demikian persamaan (1.17) berubah menjadi
PA = xA P *
A (68)
Pada tahun 1886, Francois Raoult melaporkan data tekanan parsial komponen-
komponen dalam berbagai larutan yang mendekati Persamaan (68), yang kemudian
dikenal sebagai hukum Raoult. Jadi suatu larutan yang ideal didefinisikan sebagai
larutan yang memenuhi hukum Raoult pada semua rentang konsentrasi. Keidealan
dalam larutan menghendaki keseragaman/kesamaan dalam gaya antar molekul dan
komponen-komponennya dan ini hanya dapat dicapai jika komponen-komponen
tersebut sangat mirip sifat-sifatnya. Sebagai contoh adalah larutan sistem benzen-
toluen yang kurva tekanan uap ter hadap komposisinya dapat dilihat pada Gambar
11.
dalam larutan dengan uapnya maka i = i uap, dengan i potensial kimia komponen i
dalam larutan dan i uap potensial kimia komponen i dalam uapnya di atas larutan.
Jika uapnya diasumsikan sebagai campuran gas ideal maka :
Pi
i. uap = (70)
i . uap + RT In
P
Dengan
i . uap potensial kimia gas ideal pada keadaan standar pada suhu T dan
tekanan standar P° (1 atm) dan Pi tekanan parsial dari uap i di atas larutan. Substitusi
Persamaan (70) ke dalam persamaan I = i. uap menghasilkan :
Pi
i = i . uap
+ RT In (71)
P
Dan dengan menggunakan hukum Raoult, maka :
*
i = i . uap + RT In P i
P
*
atau i = i . + RT In Pi (72)
uap P
tertentu, *i = potensial kimia komponen i murni. Pada suhu T dan tekanan P keadaan
standar dari komponen i dalam larutan ideal adalah cairan atau padatan i murni pada
suhu T dan tekanan P dari larutan. Jadi oi = *i . Oleh karena itu persamaan (74)
menjadi :
i = o - RT In xi dengan o = (75)
*
i i i
Jadi untuk larutan ideal, potensial kimia untuk setiap komponennya memenuhi
Persamaan (75). ini merupakan definisi (dasar) termodinamika untuk larutan ideal.
G = n
i
i μi = n μ i
*
i (T .P) + RT
n i In xi
Gmix = G - Gunmix
= RT n i
i In xi (76)
Karena 0 < xi < 1, maka In xi < 0 dan Gmix < 0, artinya proses pelarutan berlangsung
dengan spontan pada T. P tetap (isotermal, isobar).
Untuk menentukan Smix dan Vmix, sebaiknya ingat kembali persamaan
G
fundamental dG = -SdT + VdP. Dari persamaan tersebut : S = -
dan
T
P
G
. Dengan demikian :
V =
P T
Smix = Gmix
Pi.ni
T
Gmix
dan Vmix =-
T
P
Berdasarkan Persamaan (76) Smix untuk larutan ideal berharga positif, artinya
sistem dalam larutan menjadi semakin tidak teratur.
Untuk menentukan Vmix dan Hmix kita dapat menggunakan yang ada, karena
G
V = , m aka untuk proses pencampuran :
T . ni
T
Vmix =
Gmix
T . ni
P
Untuk larutan ideal, dari persamaan (1.26) terlihat bahwa Gmix bergantung pada T
Gmix
dan fraksi mol tetapi tidak bergantung pada P. oleh karena itu
T . ni
q = VIt
dengan satuan : q = Joule (J) = kg m2 s2
V = Volt (V) = kg m2 s-3 A-1
I = Amper (A)
t = Detik (s)
Hubungan di atas adalah benar. Tapi terjadi kesalahan fatal dengan
menafsirkan bahwa panas yang diproduksi tersebut adalah panas reaksi. (Joule,
Helmholtz, William Thomson).
Penafsiran yang benar diberikan oleh Willard Gibbs (1878) bahwa panas yang
dihasilkan merupakan perubahan bentuk dari kerja yang dilakukan sel (wlistrik).
wlistrik = QV = (It) (IR) = I2Rt
Kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama dengan penurunan energi Gibbs,
yaitu kerja maksimum di luar kerja –PV.
Kerja dilakukan sistem. Karena kerja yang dilakukan oleh sel elektrokimia sama
dengan penurunan energi Gibbs maka :
G = -6.598 x 104 J
Secara umum :
G = -nFE
dan pada keadaan standar :
G° = -nFE°
Melalui hubungan tersebut dapat pula ditentukan kriteria kespontanan melalui E.
suatu proses dikatakan spontan jika G < 0. Dari persamaan G = -nFE, dengan
demikian reaksi spontan jika E > 0 dan tidak spontan jika > 0 atau E < 0. Dan
reaksi ada dalam kesetimbangan saat G = 0 atau E = 0. Oleh akrena itu potensial sel
pada keadaan standar dapat digunakan untuk menentukan tetapan kesetimbangan
melalui perubahabne negri Gibbs.
Untuk reaksi berikut :
aA + bB = yY + zZ
perubahan energi Gibbs untuk reaksi tersebut adalah :
y z
G = G° + RT In aYa a bZ
a a
A B
Saat kesetimbangan G = 0
a y az
G° = -RT In Ya bZ dengan menggunakan G° = -nFE° maka
a a
A B cq
RT
E° = + nF ay a z
In aYa abZ
A B cq
RT
E° = In K
nF
RT aya z
E = E° - nF In aYa abZ (Persamaan Nernst, 1889)
A B
Untuk sel :
Karena aCu = 1 dan H2 pada 1 bar dapat diasumsikan ideal, sehingga afH2 = PH2, maka
:
RT a .2
-nFE = -nFE° + In H
nF aCu 2
RT a
E = E° - .2
In H
nF aCu2