METAKOGNISI
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat tiada habisnya kepada seluruh umat-Nya terutama kepada
kami selaku tim penyusun makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan lancar. Shalawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya dari
jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni islam.
Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, tidak ada kata yang dapat
kami ucapakan selain kata maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kesalahan dalam segi penulsian maupun isi. Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi penulisan
makalah selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang kami sajikan dapat
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Semoga Allah
senantiasa memberi hidayah kepada setiap hamba-Nya yang selalu berusaha dan
belajar.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Metakognisi......................................................................................3
B. Indikator Metakognisi ...................................................................................4
C. Tipe Aktivitas Metakognisi ...........................................................................5
D. Proses Metakognisi .......................................................................................6
E. Cara Pengukuran Metakognisi ......................................................................6
F. Permasalah Berkaitan dengan Metakognisi...................................................15
G. Solusi Masalah Metakognisi..........................................................................16
A. Kesimpulan....................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai penelitian menyatakan bahwa perkembangan manusia sudah
dimulai pada masa prenatal tidak hanya aspek fisik tetapi aspek-aspek lainnya
seperti kognitif, emosi, dan bahkan spiritual. Hal ini tentunya dalam batasan-
batasan tertentu sesuai dengan kondisi janin atau dapat dikatakan sebagai
pembentukan karakter dasar. Seperti emosi janin dan setelah besar nanti
ternyata dipengaruhi oleh kondisi emosi sang ibu. Perkembangan ini akan
terus berlanjut sampai lahir dan besar nanti yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan berupa pola pengasuhan dan pendidikan.
Sementara perkembangan kognitif dianggap sebagai penentu
kecerdasan intelektual anak, kemampuan kognitif terus berkembang seiring
dengan proses pendidikan serta juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan
fisik terutama otak secara biologis. Perkembangan selanjutnya berkaitan
dengan kognitif adalah bagaimana mengelola atau mengatur kemampuan
kognitif tersebut dalam merespon situasi atau permasalahan. Tentunya, aspek-
aspek kognitif tidak dapat berjalan sendiri secara terpisah tetapi perlu
dikendalikan atau diatur sehingga jika seseorang akan menggunakan
kemampuan kognitifnya maka perlu kemampuan untuk menentukan dan
pengatur aktivitas kognitif apa yang akan digunakan. Oleh karena itu,
sesorang harus memiliki kesadaran tentang kemampuan berpikirnya sendiri
serta mampu untuk mengaturnya. Para ahli mengatakan kemampuan ini
disebut dengan metakognitif. Saat ini, kajian tentang metakognitif telah
berkembang bahkan telah diterapkan dalam pembelajaran seperti matamatika,
sains dan bahasa.
Pengetahuan metakognisi terbagi menjadi tiga subjenis yaitu:
pengetahuan strategis, pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif yang
meliputi pengetahuan kontekstual dan kondisional dan pengetahuan diri.
Pengetahuan strategis adalah pengetahuan tentang strategi-strategi belajar
dan berpikir serta pemecahan masalah. Subjenis pengetahuan ini mencakup
pengetahuan tentang berbagai strategi yang dapat digunakan siswa untuk
menghafal materi pelajaran, mencari makna teks, atau memahami apa yang
mereka dengar dari pelajaran di kelas atau yang dibaca dalam buku dan
bahan ajar lain. Strategi-strategi belajar ini dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu pengulangan, elaborasi, dan organisasi. Strategi pengulangan
berupa mengulang-ulang kata-kata atau istilah-istilah untuk memberikan
ingatan pada mereka. Strategi elaborasi menggunakan berbagai teknik,
yakni: merangkum, memparafrase, dan memilih gagasan pokok dalam teks.
Strategi pengorganisasian adalah membuat garis besar materi pelajaran,
membuat pemetaan konsep, dan membuat catatan. Pengetahuan tentang
1
tugas-tugas kognitif yang meliputi pengetahuan kontekstual dan
kondisional.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi metakognisi?
2. Apasajakah indikator metakognisi?
3. Apasajakah tipe aktivitas Metakognisi?
4. Bagaimana proses metakognisi?
5. Bagaimana cara mengukur kemampuan metakognisi?
6. Apasajakah permasalahan berkaitan dengan metakognisi?
7. Bagaimana cara menyelesaikan masalah metakognisi?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi metakognisi?
2. Mengetahui indikator metakognisi?
3. Mengetahui tipe aktivitas Metakognisi
4. Mengetahui proses metakognisi
5. Mengetahui cara mengukur kemampuan metakognisi?
6. Mengetahui permasalahan berkaitan dengan metakognisi?
7. Mengetahui cara menyelesaikan masalah metakognisi?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Metakognisi
Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada
tahun 1976. John Flavell, mendefinisikan metakognisi sebagai kesadaran
peserta didik, pertimbangan, pengontrolan terhadap proses serta strategi
kognisi milik dirinya. Terkait dengan hal tersebut, metakognisi merupakan
suatu kesadaran peserta didik (awarenes), pertimbangan (consideration), dan
pengontrolan atau pemantauan terhadap strategi serta proses kognitif diri
mereka sendiri (Jeni dan Clark, 2004). Kuhn (2000) mendefinisikan
metakognisi sebagai kesadaran dan menajemen dari proses dan produk kognitif
yang dimiliki seseorang, atau secara sederhana disebut sebagai “berpikir
mengenai berpikir”. Secara konseptual metakognisi didefinisikan sebagai
pengetahuan atau kesadaran seseorang terhadap proses berpikirnya sendiri,
kemampuan memantau (memonitor) dan mengarahkan (mengatur) proses dan
hasil berpikirnya sendiri serta mengevaluasi proses berpikir dan hasil
berpikirnya sendiri.
Kuntjojo mengemukakan pokok-pokok pengertian tentang metakognisi
sebagai berikut : 1) Metakognisi merupakan kemampuan jiwa yang termasuk
dalam kelompok kognisi. 2) Metakognisi merupakan kemampuan untuk
menyadari, mengetahui, proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri. 3)
Metakognisi merupakan kemampuan untuk mengarahkan proses kognisi yang
terjadi pada diri sendiri. 4) Metakognisi merupakan kemampuan belajar
bagaimana mestinya belajar dilakukan, yang meliputi proses perencanaan,
pemantauan, evaluasi. 5) Metakognisi merupakan aktivitas berpikir tingkat
tinggi. Dikatakan demikian karena aktivitas ini mampu mengontrol proses
berpikir yang berlangsung pada diri sendiri. 6) Metakognisi tidak sama dengan
kognisi atau proses berfikir (seperti membuat perbandingan, ramalan, menilai,
membuat sintesis atau menganalisis). Sebaliknya, metakognisi merupakan
suatu kemampuan dimana individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba
untuk memahami proses kognisi yang dilakukan dengan melibatkan
komponen-komponen perencanaan (functional planning), pengontrolan (self-
monitoring), dan evaluasi (self evaluation) (Desmita, 2011).
3
strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita dimasa yang akan
datang.
B. Indikator Metakognisi
Metakognitif merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh John
Flavell, seorang psikolog dari Universitas Stanford, pada Tahun 1976 dan
menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Kegiatan
metakognitif pada dasarnya merupakan kegiatan ”berpikir tentang berpikir”,
yaitu merupakan kegiatan mengontrol secara sadar tentang proses kognitifnya
sendiri. Kegiatan metakognitif meliputi kegiatan berfikir untuk merencanakan,
memonitoring, merefleksi bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Metakognitif adalah secondorder cognition yang memiliki arti berpikir tentang
berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan, atau refleksi tindakan-tindakan.
Metakognisi secara umum berkaitan dengan dua dimensi berpikir, yaitu (1)
self-awareness of cognition, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang
berpikirnya sendiri, dan (2) self-regulation of cognition, yaitu kemampuan
seseorang menggunakan kesadarannya untuk mengatur proses kognitifnya
sendiri (Bruning, Schraw dan Ronning, 1995). Kedua dimensi metakognitif
tersebut memiliki sifat interdependen yaitu saling bergantung satu dengan
lainnya. Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam kaitannya dengan
pemecahan masalah, Brown membagi metakognisi kedalam dua kategori besar
yaitu: (1) pengetahuan tentang kognisi, sebagai aktifitas yang meliputi refleksi
sadar pada kemampuan berpikir dan aktifitas seseorang, (2) pengaturan
kognisi, sebagai aktifitas memperhatikan mekanisme pengaturan-diri selama
berlangsung usaha untuk belajar atau memecahkan masalah (Gama, 2004).
Dua kategori besar / dimensi metakognitif memiliki beberapa indikator
(OLRC News. 2004)
1. Pengetahuan tentang kognisi
a) Pengetahuan deklaratif
b) Pengetahuan prosedural
c) Pengetahuan kondisional
2. Regulasi tentang kognisi
a) Perencanaan
b) Strategi managemen informasi
c) Monitoring omprehensif
d) Strategi debugging
e) Evaluasi
Pengetahuan metakognisi merujuk pada pengetahuan umum tentang
bagaimana seseorang belajar dan memproses informasi, seperti pengetahuan
seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001)
mengemukakan bahwa 3 pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang
kognisi secara umum, seperti kesadaran-diri dan pengetahuan tentang kognisi
4
diri sendiri. Pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan
tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses
kognitif. Indikator pertama, pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang
diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber
belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar. Indikator kedua,
pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan
apa saja yang telah diketahui dalam penegtahuan deklaratif tersebut dalam
aktivitas belajarnya. Indikator ketiga adalah pengetahuan kondisional adalah
pengetahuan tentang apabila menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau
strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur
berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa
suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain.
Regulasi kognisi terdiri dari beberapa indikator. Pertama, perencanaan,
adalah kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya. Kedua, strategi
managemen informasi adalah kemampuan strategi mengelola informasi
berkaitan dengan proses belajar yang dilakukan. Ketiga, monitoring
komprehensif merupakan kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan
hal-hal yang berhubungan dengan proses tersebut. Keempat, strategi debugging
adalah strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang
salah dalam belajar. Kelima, evaluasi, adalah kemampuan mengevaluasi
efektivitas strategi belajarnya, apakah ia akan mengubah strateginya, menyerah
pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut (Kuntjojo, 2009).
5
D. Proses Metakognisi
6
namun, masihlah mempunyai kekuatan dan kelemahan yang berbeda beda.
Berikut ini beberapa instrumen Metakognisi:
a. Metacognitive Awareness Inventory (MAI)
Metacognitive Awareness Inventory (MAI) dikembangkan oleh
Schraw & Dennison pada tahun 1994 untuk menilai metakognisi. MAI
terdiri dari 52 item pada 5 titik skala Likert yang dibagi 2 skala bagian
yaitu skala pengetahuan kognisi dan pengaturan atau keterampilan
kognisi. Skala pengetahuan kognisi mengukur kesadaran keterampilan
dan kemampuan kognisi seseorang, pengetahuan tentang strategi, dan
penggunaan strategi tersebut. Untuk lebih spesifiknya, mencakup tiga
komponen yang umum yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan
prosedural, dan pengetahuan kondisional.
Skala pengaturan atau keterampilan kognisi mengukur seberapa
baik siswa mengontrol pembelajaran mereka sendiri. Skala ini memenuhi
5 komponen bagian yaitu perencanaan, manajemen informasi,
pemantauan atau monitoring, debugging, dan evaluasi. MAI mengukur
metakognisi didasarkan pada pandangan metakognisi yang melibatkan
pengetahuan tentang kemampuan dan keterampilan kognisi seseorang,
dan pengetahuan dari strategi kognisi, serta memutuskan strategi yang
tepat ketika diberikan sebuah tugas, menilai efektivitas strategi yang
digunakan, dan mengubah strategi yang digunakan ketika tidak efektif.
MAI terbukti valid dan dapat diandalkan untuk menilai metakognisi yang
berkaitan dengan tugas belajar akademik. MAI adalah yang paling
banyak diterima, diuji, dan dikutip dari semua alat penilaian metakognisi.
7
Petunjuk Penggunaan Metacognitive Awarenes Inventory (Mai)
Untuk Mengukur Kemampuan Dan Kesadaran Metakognis
8
9
10
b. Memory and Reasoning Competence Inventory (MARCI)
MARCI adalah ukuran konsep diri yang menilai keyakinan diri
tentang kompetensi proses kognitif digunakan selama pengambilan
keputusan. MARCI dirancang oleh Kleitman & Stankov pada tahun 2003
sesuai dengan model konsep diri oleh Marsh, Byrne & Shavelson.
MARCI dikembangkan untuk menilai aspek tertentu dari pengetahuan
tentang komponen kognisi dari metakognisi.
Menurut Kleitman & Stankov, MARCI dirancang untuk
menangkap aspek deklaratif dari metakognisi dan kesadaran diri sebagai
pelajar. Pengembangan instrumen didasarkan dari konstruk konsep diri
11
yaitu sebuah istilah umum yang mengacu pada prespeksi subjektif dari
kelebihan dan kekurangan yang relatif seseorang miliki dalam hubungan
dengan beberapa kegiatan umum atau khusus.
Schraw & Dennison menyebut MARCI sebagai pengetahuan
seseorang tentang diri sendiri dan strategi, atau pengetahuan tentang
aspek kognisi dari metakognisi. MARCI terdiri dari 16 item dan
memerlukan laporan tanggapan diri 6 poin skala Likert.
12
tugas, pengendalian keyakinan belajar, self-efficacy, tes kecemasan,
strategi latihan, strategi elaborasi, strategi organisasi, berpikir kritis,
metakognisi pengaturan diri, waktu dan lingkungan belajar, regulasi
usaha, teman belajar, dan mencari bantuan. Tobias and Everson’s
Knowledge Monitoring Assessment (KMA) hanya memfokuskan menilai
pengetahuan dan pemantauan dari komponen metakognisi (Katerine)
13
Dari kedua komponen tersebut dapat dibentuk pola penilaian metakognisi
dengan berbagai macam instrument di dalamnya baik yang langsung
maupun yang tidak langsung.
14
F. Permasalahan Berkaitan Dengan Metakognisi
Para ahli pendidikan sains memandang sains tidak hanya terdiri dari
fakta, konsep, dan teori yang dapat dihafalkan, tetapi juga terdiri atas kegiatan
atau proses aktif menggunakan pikiran dan sikap ilmiah dalam mempelajari
gejala alam yang belum diterangkan. Dalam pembelajaran sains, siswa
berperan seolah-olah sebagai ilmuan, menggunakan metode ilmiah untuk
mencari jawaban terhadap suatu permasalahan yang sedang dipelajari.
Sehingga siswa dilatih untuk memecahkan suatu masalah.
Berkaitan dengan pemecahan masalah, para ahli pendidikan berpendapat
bahwa pemecahan masalah merupakan objek tak langsung dalam belajar [1] :
“…these objects of mathematics learning are those direct and indirect things
which we want students to learn in mathematics. The direct objects of
mathematics learning are facts, skills, concepts and principles; some of the
many indirect objects are transfer of learning, inquiry ability, problem solving
ability, self-discipline, and appreciation for structure of mathematics...”
Dari pendapat Gagne ini dipandang bahwa pemecahan masalah akan
tumbuh dengan sendirinya jika siswa belajar dengan baik di kelas. Tetapi
sekarang pandangan itu berubah, pemecahan masalah tidak lagi menunggu
untuk tumbuh dengan sendirinya, akan tetapi guru menjadikan pemecahan
masalah sebagai objek langsung yang harus dipelajari siswa. Sehingga
pendidikan sains sekarang mengharapkan guru mengajarkan pemecahan
masalah agar siswa memiliki kemampuan untuk menghadapi tugas-tugas yang
bersifat pemecahan masalah.
15
1. Terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai sumber informasi/ilmu,
sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi
dengan ilmu oleh guru.
2. Hambatan lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit
dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak
didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif
tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses
adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai
sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia
pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang berlaku saat ini sebenarnya
cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan
metakognitif, karena siswa berlaku sebagai pusat belajar. Namun
demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih
cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang
lebih banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal.
3. Kurangnya latihan dalam mengembangkan kemampuan metakognitif
siswa seperti kurang berlatih dalam hal memecahkan suatu masalah.
Kemampuan metakognitif siswa tidak muncul dengan sendirinya, namun
memerlukan latihan sehingga menjadi suatu kebiasaan.
4. Setiap siswa memiliki kemampuan metakognitif yang berbeda-beda
16
diukur pada tes tertulis diakhir. Selain hal tersebut, soal-soal yang
dikeluarkan bisa juga dengan jawaban panjang atau essay dengan soal
yang berisi suatu permasalahan
3. Pelatihan dalam pengembangan kemampuan siswa dapat dilakukan oleh
guru, guru harus berusaha mencari cara untuk mencapai sasaran, dapat
menggunakan variasi media.
Weinstein dan Meyer dalam (Mohamad Nur :2000) menjelaskan bahwa: “
pengajaran yang baik meliputi mengajarkan siswa bagaimana belajar,
bagaimana mengingat, bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi
diri mereka sendiri”.
Contoh lain pada bidang matematika dan bahasa, siswa perlu memiliki
kemampuan metakognitif untuk mengatur strategi pemecahan masalah,
sedangkan dalam pembelajaran bahasa adalah siswa harus memiliki
kemampuan metakognitif dalam membaca buku.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metakognisi adalah suatu kesadaran peserta didik dalam menggunakan
pemikiranya untuk merencanakan, mempertimbangkan, mengontrol dan
menilai terhadap proses serta strategi kognitif milik dirinya dalam menghadapi
masalah. Dua kategori metakognitif adalah pengetauan tentang kognisi dan
pengaturan kognisi. Indikator pengetahuan kognisi meliputi, pengetahuan
deklaratif, pengetahuan procedural, dan pengetahuan kondisional. Sedangkan
indikator regulasi kognitif adalah perencanaan, strategi managemen informasi,
monitoring komprehensif, strategi debugging, dan evaluasi. Untuk mengukur
kemampuan metakognisi dapat digunakan MAI, MARCI, MSLQ, dan KMA.
Permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan metakognisi misalnya
seperti dominansi guru, system penilaian yang menggunakan soal tingkat
rendah, siswa kurang berlatih menyelesaikan masalah, dan adanya kemampuan
kognitif siswa yang berbeda-beda. Solusi yang dapat dilakukan dari
permasalahan tersebut adalah menggunakan pendekatan student center saat
kegiatan belajar mengajar, mengubah system penilaian, memberikan tugas
latihan untuk siswa, dan menyadarkan siswa pentingnya berlatih
bermetakognitif secara mandiri.
18
DAFTAR PUSTAKA
19