Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KAPITA SELEKTA

METAKOGNISI

Disusun Oleh : Kelompok 1


1. Elma Rosalia Malinda (K4317026)
2. Haifa Nur Azizzah (K4317029)
3. Jonanda Fattah Angrah (K4317033)
4. Maulika Junia Mustika R (K4317038)
5. Nur Rochmah Candra P (K4317045)
6. Nurul Alifah (K4317048)

Dosen Pembimbing : Dr. Bowo Sugiharto S.Pd., M.Pd.

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat tiada habisnya kepada seluruh umat-Nya terutama kepada
kami selaku tim penyusun makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan lancar. Shalawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya dari
jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni islam.

Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan


kepada Dr. Bowo Sugiharto S.Pd.,M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah
Kapita Selekta dan kepada seluruh anggota kelompok yang kompak dalam
menyelesaikan tugas ini, serta kepada pihak-pihak yang turut memberikan
dukungan demi terselesainya makalah ini.

Sebagai manusia yang tak luput dari kesalahan, tidak ada kata yang dapat
kami ucapakan selain kata maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan
makalah ini terdapat kesalahan dalam segi penulsian maupun isi. Kami sangat
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi penulisan
makalah selanjutnya. Harapan kami semoga apa yang kami sajikan dapat
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Semoga Allah
senantiasa memberi hidayah kepada setiap hamba-Nya yang selalu berusaha dan
belajar.

Surakarta, 28 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................2
C. Tujuan.............................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Metakognisi......................................................................................3
B. Indikator Metakognisi ...................................................................................4
C. Tipe Aktivitas Metakognisi ...........................................................................5
D. Proses Metakognisi .......................................................................................6
E. Cara Pengukuran Metakognisi ......................................................................6
F. Permasalah Berkaitan dengan Metakognisi...................................................15
G. Solusi Masalah Metakognisi..........................................................................16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai penelitian menyatakan bahwa perkembangan manusia sudah
dimulai pada masa prenatal tidak hanya aspek fisik tetapi aspek-aspek lainnya
seperti kognitif, emosi, dan bahkan spiritual. Hal ini tentunya dalam batasan-
batasan tertentu sesuai dengan kondisi janin atau dapat dikatakan sebagai
pembentukan karakter dasar. Seperti emosi janin dan setelah besar nanti
ternyata dipengaruhi oleh kondisi emosi sang ibu. Perkembangan ini akan
terus berlanjut sampai lahir dan besar nanti yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan berupa pola pengasuhan dan pendidikan.
Sementara perkembangan kognitif dianggap sebagai penentu
kecerdasan intelektual anak, kemampuan kognitif terus berkembang seiring
dengan proses pendidikan serta juga dipengaruhi oleh faktor perkembangan
fisik terutama otak secara biologis. Perkembangan selanjutnya berkaitan
dengan kognitif adalah bagaimana mengelola atau mengatur kemampuan
kognitif tersebut dalam merespon situasi atau permasalahan. Tentunya, aspek-
aspek kognitif tidak dapat berjalan sendiri secara terpisah tetapi perlu
dikendalikan atau diatur sehingga jika seseorang akan menggunakan
kemampuan kognitifnya maka perlu kemampuan untuk menentukan dan
pengatur aktivitas kognitif apa yang akan digunakan. Oleh karena itu,
sesorang harus memiliki kesadaran tentang kemampuan berpikirnya sendiri
serta mampu untuk mengaturnya. Para ahli mengatakan kemampuan ini
disebut dengan metakognitif. Saat ini, kajian tentang metakognitif telah
berkembang bahkan telah diterapkan dalam pembelajaran seperti matamatika,
sains dan bahasa.
Pengetahuan metakognisi terbagi menjadi tiga subjenis yaitu:
pengetahuan strategis, pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif yang
meliputi pengetahuan kontekstual dan kondisional dan pengetahuan diri.
Pengetahuan strategis adalah pengetahuan tentang strategi-strategi belajar
dan berpikir serta pemecahan masalah. Subjenis pengetahuan ini mencakup
pengetahuan tentang berbagai strategi yang dapat digunakan siswa untuk
menghafal materi pelajaran, mencari makna teks, atau memahami apa yang
mereka dengar dari pelajaran di kelas atau yang dibaca dalam buku dan
bahan ajar lain. Strategi-strategi belajar ini dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu pengulangan, elaborasi, dan organisasi. Strategi pengulangan
berupa mengulang-ulang kata-kata atau istilah-istilah untuk memberikan
ingatan pada mereka. Strategi elaborasi menggunakan berbagai teknik,
yakni: merangkum, memparafrase, dan memilih gagasan pokok dalam teks.
Strategi pengorganisasian adalah membuat garis besar materi pelajaran,
membuat pemetaan konsep, dan membuat catatan. Pengetahuan tentang

1
tugas-tugas kognitif yang meliputi pengetahuan kontekstual dan
kondisional.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi metakognisi?
2. Apasajakah indikator metakognisi?
3. Apasajakah tipe aktivitas Metakognisi?
4. Bagaimana proses metakognisi?
5. Bagaimana cara mengukur kemampuan metakognisi?
6. Apasajakah permasalahan berkaitan dengan metakognisi?
7. Bagaimana cara menyelesaikan masalah metakognisi?

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi metakognisi?
2. Mengetahui indikator metakognisi?
3. Mengetahui tipe aktivitas Metakognisi
4. Mengetahui proses metakognisi
5. Mengetahui cara mengukur kemampuan metakognisi?
6. Mengetahui permasalahan berkaitan dengan metakognisi?
7. Mengetahui cara menyelesaikan masalah metakognisi?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Metakognisi
Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada
tahun 1976. John Flavell, mendefinisikan metakognisi sebagai kesadaran
peserta didik, pertimbangan, pengontrolan terhadap proses serta strategi
kognisi milik dirinya. Terkait dengan hal tersebut, metakognisi merupakan
suatu kesadaran peserta didik (awarenes), pertimbangan (consideration), dan
pengontrolan atau pemantauan terhadap strategi serta proses kognitif diri
mereka sendiri (Jeni dan Clark, 2004). Kuhn (2000) mendefinisikan
metakognisi sebagai kesadaran dan menajemen dari proses dan produk kognitif
yang dimiliki seseorang, atau secara sederhana disebut sebagai “berpikir
mengenai berpikir”. Secara konseptual metakognisi didefinisikan sebagai
pengetahuan atau kesadaran seseorang terhadap proses berpikirnya sendiri,
kemampuan memantau (memonitor) dan mengarahkan (mengatur) proses dan
hasil berpikirnya sendiri serta mengevaluasi proses berpikir dan hasil
berpikirnya sendiri.
Kuntjojo mengemukakan pokok-pokok pengertian tentang metakognisi
sebagai berikut : 1) Metakognisi merupakan kemampuan jiwa yang termasuk
dalam kelompok kognisi. 2) Metakognisi merupakan kemampuan untuk
menyadari, mengetahui, proses kognisi yang terjadi pada diri sendiri. 3)
Metakognisi merupakan kemampuan untuk mengarahkan proses kognisi yang
terjadi pada diri sendiri. 4) Metakognisi merupakan kemampuan belajar
bagaimana mestinya belajar dilakukan, yang meliputi proses perencanaan,
pemantauan, evaluasi. 5) Metakognisi merupakan aktivitas berpikir tingkat
tinggi. Dikatakan demikian karena aktivitas ini mampu mengontrol proses
berpikir yang berlangsung pada diri sendiri. 6) Metakognisi tidak sama dengan
kognisi atau proses berfikir (seperti membuat perbandingan, ramalan, menilai,
membuat sintesis atau menganalisis). Sebaliknya, metakognisi merupakan
suatu kemampuan dimana individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba
untuk memahami proses kognisi yang dilakukan dengan melibatkan
komponen-komponen perencanaan (functional planning), pengontrolan (self-
monitoring), dan evaluasi (self evaluation) (Desmita, 2011).

Pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para pakar di atas sangat


beragam, namun pada hakekatnya memberikan penekanan metakognisi adalah
suatu kesadaran peserta didik dalam menggunakan pemikiranya untuk
merencanakan, mempertimbangkan, mengontrol dan menilai terhadap proses
serta strategi kognitif milik dirinya dalam menghadapi masalah. Metakognisi
ini memiliki arti yang sangat penting, karena pengetahuan tentang proses
kognisi sendiri dapat memandu kita dalam menata suasana dan menyeleksi

3
strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita dimasa yang akan
datang.

B. Indikator Metakognisi
Metakognitif merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh John
Flavell, seorang psikolog dari Universitas Stanford, pada Tahun 1976 dan
menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Kegiatan
metakognitif pada dasarnya merupakan kegiatan ”berpikir tentang berpikir”,
yaitu merupakan kegiatan mengontrol secara sadar tentang proses kognitifnya
sendiri. Kegiatan metakognitif meliputi kegiatan berfikir untuk merencanakan,
memonitoring, merefleksi bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Metakognitif adalah secondorder cognition yang memiliki arti berpikir tentang
berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan, atau refleksi tindakan-tindakan.
Metakognisi secara umum berkaitan dengan dua dimensi berpikir, yaitu (1)
self-awareness of cognition, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang
berpikirnya sendiri, dan (2) self-regulation of cognition, yaitu kemampuan
seseorang menggunakan kesadarannya untuk mengatur proses kognitifnya
sendiri (Bruning, Schraw dan Ronning, 1995). Kedua dimensi metakognitif
tersebut memiliki sifat interdependen yaitu saling bergantung satu dengan
lainnya. Sejalan dengan pandangan tersebut, dalam kaitannya dengan
pemecahan masalah, Brown membagi metakognisi kedalam dua kategori besar
yaitu: (1) pengetahuan tentang kognisi, sebagai aktifitas yang meliputi refleksi
sadar pada kemampuan berpikir dan aktifitas seseorang, (2) pengaturan
kognisi, sebagai aktifitas memperhatikan mekanisme pengaturan-diri selama
berlangsung usaha untuk belajar atau memecahkan masalah (Gama, 2004).
Dua kategori besar / dimensi metakognitif memiliki beberapa indikator
(OLRC News. 2004)
1. Pengetahuan tentang kognisi
a) Pengetahuan deklaratif
b) Pengetahuan prosedural
c) Pengetahuan kondisional
2. Regulasi tentang kognisi
a) Perencanaan
b) Strategi managemen informasi
c) Monitoring omprehensif
d) Strategi debugging
e) Evaluasi
Pengetahuan metakognisi merujuk pada pengetahuan umum tentang
bagaimana seseorang belajar dan memproses informasi, seperti pengetahuan
seseorang tentang proses belajarnya sendiri. Anderson dan Krathwohl (2001)
mengemukakan bahwa 3 pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang
kognisi secara umum, seperti kesadaran-diri dan pengetahuan tentang kognisi

4
diri sendiri. Pengetahuan kognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan
tentang proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses
kognitif. Indikator pertama, pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang
diri sendiri sebagai pembelajar serta strategi, keterampilan, dan sumber-sumber
belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar. Indikator kedua,
pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan
apa saja yang telah diketahui dalam penegtahuan deklaratif tersebut dalam
aktivitas belajarnya. Indikator ketiga adalah pengetahuan kondisional adalah
pengetahuan tentang apabila menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau
strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur
berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa
suatu prosedur lebih baik dari pada prosedur-prosedur yang lain.
Regulasi kognisi terdiri dari beberapa indikator. Pertama, perencanaan,
adalah kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya. Kedua, strategi
managemen informasi adalah kemampuan strategi mengelola informasi
berkaitan dengan proses belajar yang dilakukan. Ketiga, monitoring
komprehensif merupakan kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan
hal-hal yang berhubungan dengan proses tersebut. Keempat, strategi debugging
adalah strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang
salah dalam belajar. Kelima, evaluasi, adalah kemampuan mengevaluasi
efektivitas strategi belajarnya, apakah ia akan mengubah strateginya, menyerah
pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut (Kuntjojo, 2009).

C. Tipe Aktivitas Metakognisi


Magiera & Zawojewski (2011) menjabarkan tentang tipetipe aktivitas
metakognisi seperti terlihat pada tabel

5
D. Proses Metakognisi

Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa perubahan proses metakognisi


dari awareness ke evaluation terjadi melalui proses refleksi. Awareness dan
evaluation yang disebut sebagai kegiatan monitoring berubah menjadi
regulation juga melalui refleksi. Refleksi adalah proses mediasi dimana
awareness dapat diubah menjadi evaluation dan evaluation dapat diubah
menjadi regulation pada proses berpikir metakognitif. Refleksi yang dilakukan
dari awareness ke evaluation berkaitan dengan diri peserta didik dan tugas
yang diberikan. Refleksi terhadap diri peserta didik berhubungan dengan
memikirkan proses belajar, apa yang dipikirkan, tingkah laku, kemampuan, dan
kemajuan yang dimilikinya. Sementara refleksi yang berhubungan dengan
tugas-tugas adalah memikirkan tentang pemilihan strategi yang dilakukan,
penggunaan strategi dan penggunaan alat-alat selama proses belajar yang
dimilikinya. Setelah proses awareness dan evaluation terjadi proses regulation.
Proses regulation diawali dengan refleksi. Refleksi sebelum proses regulation
juga meliputi refleksi tentang diri peserta didik dan tugas-tugas yang diberikan.
Refleksi tentang diri peserta didik berhubungan dengan memikirkan proses
belajar, berpikir, dan tingkah laku siswa. Sementara refleksi yang berkaitan
dengan tugas adalah memikirkan tentang pemilihan strategi, penggunaan
strategi dan alat-alat yang telah digunakan siswa selama melakukan refleksi
tugas-tugas tersebut.

E. Cara Mengukur Kemampuan Metakognisi


1) Alat Penilaian atau Instrumen Metakognisi
Instrumen untuk mengukur kemampuan metakognitif seseorang masihlah
dalam tahap pengembangan. Banyak intrumen yang telah dikembangkan

6
namun, masihlah mempunyai kekuatan dan kelemahan yang berbeda beda.
Berikut ini beberapa instrumen Metakognisi:
a. Metacognitive Awareness Inventory (MAI)
Metacognitive Awareness Inventory (MAI) dikembangkan oleh
Schraw & Dennison pada tahun 1994 untuk menilai metakognisi. MAI
terdiri dari 52 item pada 5 titik skala Likert yang dibagi 2 skala bagian
yaitu skala pengetahuan kognisi dan pengaturan atau keterampilan
kognisi. Skala pengetahuan kognisi mengukur kesadaran keterampilan
dan kemampuan kognisi seseorang, pengetahuan tentang strategi, dan
penggunaan strategi tersebut. Untuk lebih spesifiknya, mencakup tiga
komponen yang umum yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan
prosedural, dan pengetahuan kondisional.
Skala pengaturan atau keterampilan kognisi mengukur seberapa
baik siswa mengontrol pembelajaran mereka sendiri. Skala ini memenuhi
5 komponen bagian yaitu perencanaan, manajemen informasi,
pemantauan atau monitoring, debugging, dan evaluasi. MAI mengukur
metakognisi didasarkan pada pandangan metakognisi yang melibatkan
pengetahuan tentang kemampuan dan keterampilan kognisi seseorang,
dan pengetahuan dari strategi kognisi, serta memutuskan strategi yang
tepat ketika diberikan sebuah tugas, menilai efektivitas strategi yang
digunakan, dan mengubah strategi yang digunakan ketika tidak efektif.
MAI terbukti valid dan dapat diandalkan untuk menilai metakognisi yang
berkaitan dengan tugas belajar akademik. MAI adalah yang paling
banyak diterima, diuji, dan dikutip dari semua alat penilaian metakognisi.

7
Petunjuk Penggunaan Metacognitive Awarenes Inventory (Mai)
Untuk Mengukur Kemampuan Dan Kesadaran Metakognis

8
9
10
b. Memory and Reasoning Competence Inventory (MARCI)
MARCI adalah ukuran konsep diri yang menilai keyakinan diri
tentang kompetensi proses kognitif digunakan selama pengambilan
keputusan. MARCI dirancang oleh Kleitman & Stankov pada tahun 2003
sesuai dengan model konsep diri oleh Marsh, Byrne & Shavelson.
MARCI dikembangkan untuk menilai aspek tertentu dari pengetahuan
tentang komponen kognisi dari metakognisi.
Menurut Kleitman & Stankov, MARCI dirancang untuk
menangkap aspek deklaratif dari metakognisi dan kesadaran diri sebagai
pelajar. Pengembangan instrumen didasarkan dari konstruk konsep diri

11
yaitu sebuah istilah umum yang mengacu pada prespeksi subjektif dari
kelebihan dan kekurangan yang relatif seseorang miliki dalam hubungan
dengan beberapa kegiatan umum atau khusus.
Schraw & Dennison menyebut MARCI sebagai pengetahuan
seseorang tentang diri sendiri dan strategi, atau pengetahuan tentang
aspek kognisi dari metakognisi. MARCI terdiri dari 16 item dan
memerlukan laporan tanggapan diri 6 poin skala Likert.

c. Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ)


Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ)
dikembangkan oleh Pintrich & DeGroot pada tahun 1990. MSLQ terdiri
dari 81 jenis kuesioner, diukur melalui 15 skala yang berbeda dengan dua
bagian utama yaitu bagian motivasi dan strategi belajar atau pengolahan
sumber daya. Lima belas skala terdiri atas motivasi intrinsik, motivasi
ekstrinsik, evaluasi tugas, pengendalian keyakinan belajar, self-efficacy,
tes kecemasan, strategi latihan, strategi elaborasi, strategi organisasi,
berpikir kritis, metakognisi pengaturan diri, waktu dan lingkungan
belajar, regulasi usaha, teman belajar, dan mencari bantuan. 81 jenis
kuesioner dinilai pada Likert 1 (sama sekali tidak seperti saya) sampai 7
(sangat seperti saya), skor dibangun untuk masing-masing 15 skala.

d. Tobias and Everson’s Knowledge Monitoring Assessment (KMA)


Tobias & Everson pada tahun 1996 membuat instrumen penilaian
berbentuk Knowledge Monitoring Assessment (KMA), yang difokuskan
pada pengetahuan pemantauan atau monitoring komponen metakognisi.
KMA ini sebagian berbasis kinerja, mungkin kinerja kelompok atau
kinerja komputer yang diberikan, dan objektif mencetak skor. KMA
mengevaluasi seberapa baik siswa membedakan antara apa yang mereka
ketahui dan yang mereka tidak ketahui dengan mendapatkan perkiraan
pengetahuan dan kemudian membandingkan dengan hasil tes
selanjutnya. Perbedaan antara estimasi dan kinerja diambil sebagai
indeks akurasi pemantauan pengetahuan.
Dari penjelasan beberapa alat penilaian metakognisi, Metacognitive
Awareness Inventory (MAI) merupakan alat penilaian yang tepat dalam
menilai tingkat kemampuan metakognisi siswa. Hal itu disebabkan
karena MAI terbagi dari 2 skala bagian yang relevan dengan pengetahuan
metakognisi dan pengalaman atau keterampilan metakognisi. Pada alat
penilaian yang lain misalnya Memory and Reasoning Competence
Inventory (MARCI) hanya menilai aspek tertentu dari komponen
metakognisi yaitu pengetahuan metakognisinya saja. Motivated
Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) menilai motivasi dan
strategi belajar yaitu motivasi intrinsik, motivasi ekstrinsik, evaluasi

12
tugas, pengendalian keyakinan belajar, self-efficacy, tes kecemasan,
strategi latihan, strategi elaborasi, strategi organisasi, berpikir kritis,
metakognisi pengaturan diri, waktu dan lingkungan belajar, regulasi
usaha, teman belajar, dan mencari bantuan. Tobias and Everson’s
Knowledge Monitoring Assessment (KMA) hanya memfokuskan menilai
pengetahuan dan pemantauan dari komponen metakognisi (Katerine)

2) Komponen dan Pola Penilaian Metakognisi


Pada penelitian-penenlitian, metakognisi dapat dinilai dengan berbagai
prosedur dan isntrumen pengukuran. Menurut Ozturk (2017), pada pola
penilaian metakognisi terdapat dua komponen penilaian dengan berbagai
macam instrument langsung dan tidak langsung:
1. Knowledge about cognition
Dalam komponen ini terdapat 3 aspek di dalamnya, yaitu sebagai berikut:
a. Pengetahuan deklaratif (Declarative Knowledge) adalah pengetahuan
tentang kemampuan dirinya sendiri serta tentang apa yang diketahui
dan strategi yang akan dipilih dalam memecahkan sebuah masalah.
b. Pengetahuan prosedural (Prosedural Knowledge) adalah pengetahuan
untuk menggunakan apa yang diketahui dan strategi yang dipilih
dalam pemecahan masalah.
c. Pengetahuan kondisional (Conditional Knowledge) adalah
pengetahuan tentang apa saja yang tidak dibutuhkan dalam
mengaplikasikan strategi yang dipilih untuk memecahkan sebuah
masalah.
2. Regulation about condition
Dalam komponen ini terdapat 5 aspek di dalamnya, yaitu sebagai berikut:
a. Perencanaan (Planning): kemampuan seseorang untuk merencanakan
apa yang akan dilakukan
b. Strategi pengelolaan informasi (Information Management Strategies):
kemampuan seseorang untuk mengelola informasi dalam proses
belajarnya
c. Kemampuan memantau (Comprehension Monitoring): kemampuan
seseorang untuk memonitor sendiri proses belajarnya.
d. Strategi pengecekan kesalahan (Debugging Strategies): kemampuan
seseorang mengetahui kesalahan yang dilakukan selama proses
belajar.
e. Evaluasi (Evaluation): kemampuan seseorang untuk mengevaluasi
proses belajarnya sendiri dan melakukan perbaikan jika dirasa proses
belajarnya masih belum efektif dalam mencapai tujuannya (Flavell,
1979).

13
Dari kedua komponen tersebut dapat dibentuk pola penilaian metakognisi
dengan berbagai macam instrument di dalamnya baik yang langsung
maupun yang tidak langsung.

Pola penialian metakognisi dapat dilihat melalui tabel di bawah ini:

3) Cara Mengukur Kemampuan Metakognisi


Tahap-1: Penilaian menggunakan kuisioner terdiri dari pertanyaan untuk
pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengaturan
metakognitif (metacognitive regulation). Dalam penelitian ini hanya menilai
kemampuan pada pengetahuan metakognitif yang terdiri dari pengetahuan
deklaratif, pengetahuan prosedural dan pengetahuan kondisional, dengan
contoh pertanyaan seperti dalam Tabel:

Tahap-2: Pengumpulan Hasil Penilaian Metakognitif Siswa. Nilai atau Hasil


siswa dalam tiga kategori pengetahuan metakognitif dimodelkan menjadi
sumbu axis dalam koordinat tiga dimensi.

Tahap-3: Pengelompokan Hasil Metakognisi Siswa berdasrkan Tingkat


Kemampuan Metakognisi Siswa dan Penarikan hasil kesimpulan. (Sumadyo
dan Purwantini, 2018)

14
F. Permasalahan Berkaitan Dengan Metakognisi
Para ahli pendidikan sains memandang sains tidak hanya terdiri dari
fakta, konsep, dan teori yang dapat dihafalkan, tetapi juga terdiri atas kegiatan
atau proses aktif menggunakan pikiran dan sikap ilmiah dalam mempelajari
gejala alam yang belum diterangkan. Dalam pembelajaran sains, siswa
berperan seolah-olah sebagai ilmuan, menggunakan metode ilmiah untuk
mencari jawaban terhadap suatu permasalahan yang sedang dipelajari.
Sehingga siswa dilatih untuk memecahkan suatu masalah.
Berkaitan dengan pemecahan masalah, para ahli pendidikan berpendapat
bahwa pemecahan masalah merupakan objek tak langsung dalam belajar [1] :
“…these objects of mathematics learning are those direct and indirect things
which we want students to learn in mathematics. The direct objects of
mathematics learning are facts, skills, concepts and principles; some of the
many indirect objects are transfer of learning, inquiry ability, problem solving
ability, self-discipline, and appreciation for structure of mathematics...”
Dari pendapat Gagne ini dipandang bahwa pemecahan masalah akan
tumbuh dengan sendirinya jika siswa belajar dengan baik di kelas. Tetapi
sekarang pandangan itu berubah, pemecahan masalah tidak lagi menunggu
untuk tumbuh dengan sendirinya, akan tetapi guru menjadikan pemecahan
masalah sebagai objek langsung yang harus dipelajari siswa. Sehingga
pendidikan sains sekarang mengharapkan guru mengajarkan pemecahan
masalah agar siswa memiliki kemampuan untuk menghadapi tugas-tugas yang
bersifat pemecahan masalah.

Pemberian masalah selama proses pembelajaran berlangsung, berarti


memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun konsep dan
mengembangkan keterampilannya sendiri. Tetapi agar dapat menyelesaikan
suatu masalah setidaknya ada lima aspek kemampuan yang harus dikuasai
siswa yaitu: kemampuan tentang konsep sains, kemampuan dalam menguasai
keterampilan sains, kemampuan proses memahami sains, kemampuan untuk
bersikap positif terhadap sains dan kemampuan metakognitif. Pengetahuan
metakognitif merujuk pada pengetahuan umum tentang bagaimana siswa
belajar dan memproses informasi, seperti pengetahuan siswa tentang proses
belajarnya sendiri.

Hambatan Penerapan Pendekatan Ketrampilan Metakognitif

Di Indonesia, pendekatan keterampilan metakognitif memiliki beberapa


hambatan. Berikut beberapa hambatan atau permasalahan dalam pembelajaran
metakognitif :

15
1. Terlalu dominannya peran guru di sekolah sebagai sumber informasi/ilmu,
sehingga siswa hanya dianggap sebagai sebuah wadah yang akan diisi
dengan ilmu oleh guru.
2. Hambatan lain yang sebenarnya sudah cukup klasik namun memang sulit
dipecahkan, adalah sistem penilaian prestasi siswa yang lebih banyak
didasarkan melalui tes-tes yang sifatnya menguji kemampuan kognitif
tingkat rendah. Siswa yang dicap sebagai siswa yang pintar atau sukses
adalah siswa yang lulus ujian. Ini merupakan masalah lama yang sampai
sekarang masih merupakan polemik yang cukup seru bagi dunia
pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang berlaku saat ini sebenarnya
cukup kondusif bagi pengembangan pengajaran keterampilan
metakognitif, karena siswa berlaku sebagai pusat belajar. Namun
demikian, bentuk penilaian yang dilakukan terhadap kinerja siswa masih
cenderung mengikuti pola lama, yaitu model soal-soal pilihan ganda yang
lebih banyak memerlukan kemampuan siswa untuk menghafal.
3. Kurangnya latihan dalam mengembangkan kemampuan metakognitif
siswa seperti kurang berlatih dalam hal memecahkan suatu masalah.
Kemampuan metakognitif siswa tidak muncul dengan sendirinya, namun
memerlukan latihan sehingga menjadi suatu kebiasaan.
4. Setiap siswa memiliki kemampuan metakognitif yang berbeda-beda

G. Cara Menyelesaikan Masalah Metakognisi


1. Pada era 70-an, Kevin Barry dan Len King menulis seputar eksistensi
pandangan teacher center yang sudah menjadi great paradigm dan
berkembang di alam bawah sadar para guru dan siswa. Pandangan ini
menjelaskan bahwa semua informasi, main resources-nya berasal dari
guru. Guru dianggap sebagai master of knowing- tuan segala tahu. Dialah
yang menjadi nahkoda dari lalu lintas semua informasi. Ada kesan, siswa
tidak mampu memberikan ide-ide cemerlang atau argument beru yang
mendahului master of knowing. Pada pandangan teacher center ini guru
berperan lebih dominan daripada siswa, perlu diubah menjadi pandangan
student center yaitu guru mempunyai fungsi utama yaitu sebagai fasilitator
di dalam kelas. Guru sebaiknya lebih sering memandu siswa untuk
melakukan aktivitas belajar sehingga informasi itu bisa berjalan dari dua
arah, bisa dari guru maupun siswa, dan terjadi proses take and give.
Pengetahuan atau informasi guru bisa sama dengan siswanya, bahkan
siswa bisa lebih dulu tahu dari gurunya. Pandangan student center ini
sejalan dengan perubahan kurikulum dan desentralisasi pendidikan. Guru
perlu mereposisi perannya, ia harus aktif mencari, berimprovisasi, dan
melakukan inovasi baik pada saat merancang pembelajaran.
2. Guru mengubah sistem penilaian yang menilai tugas mandiri, terstruktur,
ketrampilan siswa dalam memecahkan suatu masalah dan tidak hanya

16
diukur pada tes tertulis diakhir. Selain hal tersebut, soal-soal yang
dikeluarkan bisa juga dengan jawaban panjang atau essay dengan soal
yang berisi suatu permasalahan
3. Pelatihan dalam pengembangan kemampuan siswa dapat dilakukan oleh
guru, guru harus berusaha mencari cara untuk mencapai sasaran, dapat
menggunakan variasi media.
Weinstein dan Meyer dalam (Mohamad Nur :2000) menjelaskan bahwa: “
pengajaran yang baik meliputi mengajarkan siswa bagaimana belajar,
bagaimana mengingat, bagaimana berpikir, dan bagaimana memotivasi
diri mereka sendiri”.

Tugas lain yang berkaitan dengan pengetahuan strategi ini adalah


pemecahan masalah. Anderson & Krathwohl (2001) menjelaskan bahwa
pengetahuan strategi adalah pengetahuan tentang strategi umum untuk
belajar, berpikir, dan pemecahan masalah. Lebih lanjut mereka kemukakan
bahwa strategi pemecahan masalah antara lain meliputi berbagai heuristik
yang diperguanakan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah,
penggunaan heuristik dalam menghadapi masalah akan menyalurkan
pikiran siswa, sehingga dia tidak bekerja secara membabi buta atau
mencoba-coba tanpa arah. Misalnya, dalam menghadapi soal-soal
perhitungan yang disajikan dalam bentuk bahasa (soal cerita), maka
membuat gambar merupakan salah satu heuristik yang dapat membantu
untuk menemukan pemecahannya, dan membiasakan siswa dalam
membuat jurnal belajar karena siswa dapat memahami kemampuan
kognisi yang dilakukan dengan melibatkan komponen perencanaan,
pengontrolan, dan evaluasi.

Contoh lain pada bidang matematika dan bahasa, siswa perlu memiliki
kemampuan metakognitif untuk mengatur strategi pemecahan masalah,
sedangkan dalam pembelajaran bahasa adalah siswa harus memiliki
kemampuan metakognitif dalam membaca buku.

Adanya kaitan antara kemampuan metakognisi dengan pemecahan masalah


yang dilakukan siswa. Siswa yang dapat memanfaatkan metakognisinya
dengan baik, dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik.
Sebaliknya, siswa yang tidak dapat memanfaatkan metakognisinya dengan
baik, kurang dapat menyelesaikan masalah dengan baik. Sesuai dengan
pendapat Anggo (2011) yang menyatakan bahwa metakognisi memainkan
peran penting dalam mendukung kesuksesan siswa dalam memecahkan
masalah. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Mohamed and Nail
(2005) di Universiti Teknologi Malaysia tentang the use of metacognitive
process in learning mathematics, terbukti adanya hubungan yang erat antara
metakognisi dan kemampuan dalam pemecahan masalah.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metakognisi adalah suatu kesadaran peserta didik dalam menggunakan
pemikiranya untuk merencanakan, mempertimbangkan, mengontrol dan
menilai terhadap proses serta strategi kognitif milik dirinya dalam menghadapi
masalah. Dua kategori metakognitif adalah pengetauan tentang kognisi dan
pengaturan kognisi. Indikator pengetahuan kognisi meliputi, pengetahuan
deklaratif, pengetahuan procedural, dan pengetahuan kondisional. Sedangkan
indikator regulasi kognitif adalah perencanaan, strategi managemen informasi,
monitoring komprehensif, strategi debugging, dan evaluasi. Untuk mengukur
kemampuan metakognisi dapat digunakan MAI, MARCI, MSLQ, dan KMA.
Permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan metakognisi misalnya
seperti dominansi guru, system penilaian yang menggunakan soal tingkat
rendah, siswa kurang berlatih menyelesaikan masalah, dan adanya kemampuan
kognitif siswa yang berbeda-beda. Solusi yang dapat dilakukan dari
permasalahan tersebut adalah menggunakan pendekatan student center saat
kegiatan belajar mengajar, mengubah system penilaian, memberikan tugas
latihan untuk siswa, dan menyadarkan siswa pentingnya berlatih
bermetakognitif secara mandiri.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R. (2001). A Taxonomy For Learning,


Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational
Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc.
Anggo, Mustamin. (2011). Pelibatan Metakognisi dalam Pemecahan
Masalah Matematika. Jurnal Edumatica. (Online), Vol.1, No.1, h: 25-32
Bruning, R. H., Schraw, G. J., Ronning, R. R. (1995). Cognitive Psychology
and Instruction, Second Edition. New Jersey : Prentice Hall.
Desmita. (2011). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya
Desoete, A. (2008). Multi-method assessment of metacognitive skills in
elementary school children: How you test is what you get. Metacognition and
Learning, 3(3), 189–206. https://doi.org/10.1007/s11409-008-9026-0
Flavell, J. H. (1979). Metacognition and cognitive monitoring: A new area
of cognitivedevelopmental inquiry. American Psychologist, 34(10), 906–911.
Gama, C. A. (2004). Integrating Metacognition Instruction in Interactive
Learning Environment, D. Phil Dissertation. University of Sussex
Jeni Wilson dan Clark David. (2004). Toward the Modelling of
Mathematical Metacognition, Mathematics Education Research Journal,
University of Melbourne. Vol. 16 , No 2 : hlm.26
Kuhn, D. (2000). Theory of Mind, Metacognition and Reasoning: A life-
span Perspective. In P. Mitchell & K. J. Riggs (Eds.). Children’s Reasoning and
The Mind. UK: Psychology Press.
Kuntjojo. (2009). Metakognisi dan Keberhasilan Belajar Peserta Didik.
Diakses dari https://ebekunt.wordpress.com/2009/04/12/metakognisi-dan-
keberhasilan-belajar-peserta-didik
Mohamed, Mohini and Nai, Tan Ten. (2005). The Use Of Metacognitive
Process In Learning Mathematics. The Mathematics Education into the 21st
Century Project. Universiti Teknologi Malaysia Reform, Revolution and
Paradigm Shifts in Mathematics Education. Johor Bahru.
Ozturk, N. (2017). Assesing Metacognition: Theory and Practices.
International Journal of Assesment Tools in Education, 4(2), 134-148
Sumadyo Malikus, dan Lucky Purwantini. (2018). Penilaian Kemampuan
Metakognitif Siswa Sma Dengan Menggunakan Algoritma K-Means. Prosiding
Seminar Nasional Energi & Teknologi (Sinergi). 81-88

19

Anda mungkin juga menyukai