Infeksi saluran nafas atas merupakan penyakit yang sering dialami oleh
anak pada saat akan menjalani operasi. Prosedur pembiusan dan operasi pada
anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas (URI) perlu diperhatikan karena
dapat meningkatkan angka kejadian perioperatif respiratory adverse event
(PRAE) seperti laringospasm, bronchospasm, desaturasi hemoglobin arterial,
batuk parah, dan kejadian menahan nafas. Tujuan dari referat ini diharapkan
pembaca menjadi lebih memahami pengambilan keputusan untuk pembiusan
pada anak dengan URI serta menejemen anestesi perioperatif pada pasien anak
dengan URI
Penilaian dan menejemen anestesi yang baik harus dilakukan untuk
pengambilan keputusan ataupun memaksimalkan kondisi terkait PRAE. Obat
obat seperti golongan alfa 2 agonis, lidocaine, kortikosteroid, bronchodilator
dapat dilakukan untuk menekan resiko terjadinya PRAE. Penggunaan LMA
lebih rendah resikonya untuk kejadian PRAE dari pada penggunaan
endotracheal tube. Propofol sebagai agen anestesi intravena dapat digunakan
karena dapat menumpulkan reflek jalan nafas. Hidrasi dan humidifikasi juga
perlu diperhatikan pada pasien anak dengan URI.
Kesimpulan dari referat ini, pembiusan pada pasien anak dengan URI
masih dapat dilakukan dengan memaksimalkan kondisi perioperatif anak
tersebut.
Kata kunci: Infeksi saluran nafas atas , ISPA, PRAE, alfa 2 agonis, lidocaine,
kortikosteroid, bronchodilator.
1
ABSTRACT
Upper respiratory tract infection is a disease that is often experienced
by children when surgery will be repaired. Anesthetic procedures and
operations in children with upper respiratory tract infections (URIs) should be
noted in relation to adverse events in perioperatif breathing (PRAE) such as
laryngospasm, bronchospasm, desaturation of arterial hemoglobin, severe
coughing, and possible use of breath. The purpose of this referral is expected
to be to discuss the decision for anesthesia in children with URI and the
management of perioperatif anesthesia in pediatric patients with URI
Anesthesia assessment and management must be done to make
decisions or add requirements related to PRAE. Medications such as alpha 2
agonists, lidocaine, corticosteroids, bronchodilators can be used to increase
the risk of using PRAE. The use of LMA is lower risk for the incidence of
PRAE than the use of endotracheal tubes. Propofol as an anesthetic agent can
be used because it can be used to collect airway reflexes. Hydration and
humidification also need to be considered in pediatric patients with URIs.
The conclusion of this referral, anesthesia in pediatric patients with
URIs can still be done by maximizing the child's perioperatif.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan atas atau URI (upper respiratory tract
infection) merupakan masalah yang sering terjadi pada anak-anak. Anak-anak
biasanya terinfeksi beberapa kali dalam setahun. URI bisa disebabkan oleh
bakteri maupun virus. Rhinovirus merupakan penyebab URI paling sering dan
penyebab lainnya bisa dari virus adenovirus dan coronavirus.1
Walaupun sebagian besar URI bersifat singkat, self-limited, dan
terbatas hanya pada saluran nafas atas, namun pengambilan keputusan
pembiusan pada anak dengan riwayat URI dapat menjadi rumit akibat
meningkatnya resiko PRAE (perioperatif respiratory adverse events).1
B. Manfaat Referat
Manfaat referat ini adalah menjelaskan tentang menejemen anestesi
perioperatif pada pasien anak dengan URI yang akan menjalani operasi atau
pembiusan
C. Tujuan Referat
Tujuan dari referat ini diharapkan pembaca menjadi lebih memahami
pengambilan keputusan untuk pembiusan pada anak dengan URI serta
menejemen anestesi perioperatif pada pasien anak dengan URI
3
BAB II
ISI
Rhinorrhea Malaise
Nyeri atau gatal tenggorokan Batuk
Bersin Demam lebih dari 38 derajat
Hidung tersumbat celcius
4
Gejala dari URI ini tergantung dari lokasi anatomis dari infeksi
membran mukosa yang terlibat. Contohnya pada infeksi akibat rhinovirus,
inokulasi paling sering terjadi pada mukosa nasal dan dapat mengakibatkan
hipersekresi dari membran nasal yang dapat meluas ke tenggorokan dan
trakhea. Infeksi virus dari membran mukosa mengakibatkan inflamasi. Mirip
seperti asma, inflamasi pada jalan nafas dapat mengakibatkan peningkatan
sekresi airway, hiperreaktif bronchial dan meningkatkan resiko terjadinya
laringospasm dan bronchospasm. Beberapa virus dapat memproduksi
neuraminidase yang menginhibisi reseptor muskarinik tipe 2 sehingga terjadi
peningkatan rilisnya asetilkolin. Mekanisme lain, virus juga dapat
menginduksi tachykinin dan beberapa neuropeptida yang dapat memicu
bronchospasm.4
Jika dibandingkan dengan anak yang sehat, pembiusan pada anak
dengan URI ataupun riwayat baru saja menderita URI akan meninkatkan
angka kejadian terjadinya PRAE berupa laringospasm, bronchospasm,
desaturasi hemoglobin arterial, batuk parah, dan kejadian menahan nafas.
Pendekatan pada anak dengan URI dilakukan dengan tujuan mendeteksi
proses patologis dan kemungkinan komorbiditas yang dapat terjadi, menggali
keakutan dan keparahan dari URI itu sendiri lalu memilih apakah perlu
dilakukan modifikas terhadap tekhnik anestesi atau bahkan menunda operasi.
Dengan persiapan yang baik diharapkan dapat menekan atau menanggulangi
kejadian PRAE.2,3,5
B. Penilaian Perioperatif
Adanya peningkatan angka kejadian PRAE pada anak dengan URI
yang akan menjalani prosedur operasi atau pembiusan dapat dinilai dari faktor
pasien, jenis operasi dan menejemen anestesinya yang dijabarkan pada tabel
1.6
5
Tabel 1. Faktor resiko kejadian PRAE pada anak dengan URI.6
6
Gambar 1. Algoritma penilaian perioperatif pada anak dengan URI.2
7
sangat diperlukan karena mereka terkadang sangat peka terhadap kesehatan
dan perilaku anaknya sehari hari dan informasi informasi terkait gejala dan
tanda dari keparahan URI itu dapat didapatkan atau dikonfirmasi dari hasil
anamnesis pada mereka.7
Menilai derajat keparahan dari URI dapat pula dijadikan acuan dalam
pengambilan keputusan dalam melakukan prosedur operasi elektiv pada anak
dengan URI yang mana dapat dikategorikan menjadi Mild, Moderate, atau
Severe URI atau URTI (lihat gambar 2).6
Anak dengan URI atau kejadian URI kurang dari 2 minggu dikatakan
dapat meningkatkan angka resiko PRAE hingga 29%, sedangkan pada anak
yang tidak mengalami URI atau dengan kejadian URI antara 2 hingga 4
minggu angka kejadian PRAE menurun darstis hingga 8%.8 Anak dengan
URI ringan (mild) atau gejala URI tanpa demam, sekresi hidung yang jernih,
dan adanya konfirmasi dari orang tua atau pengasuh atau orang tua serta pada
URI yang bersifat non infeksi (alergi atau vasomotor) dapat dilakukan
pembiusan dengan aman karena problem yang biasanya terjadi secara general
mudah teratasi dan tidak menimbulkan sequel jangka panjang. Anak dengan
gejala URI severe seperti sekresi mucopurulen, batuk produktif, demam lebih
8
dari 38 derajat celcius, lethargy, atau tanda adanya gangguan hingga ke
pulmoner, bila operasinya bersifat elektiv perlu ditunda minimal 4 minggu
untuk dapat dilakukan terapi seperti antibiotik dan dievaluasi kembali gejala
URI yang ada pada anak tersebut. Pada anak dengan gangguan jantung
kongenital, diagnosis URI dapat lebih rumit karena gejala URI yang dapat
terkaburkan oleh gejala dari congestive heart failure.7,9
Permasalahan pembatalan operasi akibat adanya resiko dari PRAE
pada pasien anak dengan URI bukan hal yang baru. Pertimbangan resiko dan
benefit dari seorang ahli anestesi sangat diperlukan karena pembatalan operasi
tidak hanya dinilai dari meningkatnya kejadian PRAE namun juga perlu
dipertimbangkan adanya efek secara emosional dan ekonomi dari keluarga
terutama orang tua pasien. Bila memang dirasa operasi perlu dilakukan, maka
penjelasan yang baik tentang resiko PRAE dan bukti nyata diatas kertas
(lembar persetujuan tindakan medis) harus di maksimalkan untuk kepentingan
kedua pihak.2,7
C. Menejemen Perioperatif
Apabila operasi tetap harus dikerjakan atau apabila operasi merupakan
suatu operasi darurat, menejemen perioperatif yang baik tentunya perlu
dilakukan untuk memaksimalkan kondisi pasien dan mengurangi resiko
terjadinya PRAE.
Premedikasi yang dapat dilakukan untuk mencegah brochospasme
adalah golongan alfa 2 antagonis seperti dexmedetomidine dan clonidine.
Golongan ini dapat menumpulkan reflek bronchospasme dengan menginhibisi
tonus saraf sistem parasimpatis melalui supresi transduksi signal kalsium
intraseluler.10 Penggunaan benzodiazepin sebagai premedikasi sebaiknya
dihindari karena ustru akan meningkatkan resiko terjadinya PRAE pada pasien
anak dengan URI.8
Penggunaan lidocaine dapat bersifat memicu ataupun menghindari
kejadian PRAE tergantung dari cara penggunaannya. Lidocaine topikal
biasanya diberikan untuk mencegah terjadinya laryngospasme pada pasien,
namun penggunaan dengan tekhnik ini ternyata juga dapat memicu terjadinya
desaturasi tanpa mengurangi angka kejadian laryngospasme pada anak dengan
9
URI sehingga penggunaannya secara topikal lebih baik dihindari. 11 Namun
cara penggunaan yang lain dapat dilakukan seperti penggunaan lidocaine gel
pada laryngeal mask airway atau LMA yang dapat mengurangi kejadian batuk
postoperative atau penggunaan secara intravena yang dapat mensupresi reflek
laryngospasme.12,13
Penggunaan antisialogogue atau atropine dapat mengurangi
hiperreaktif dari jalan nafas berupa hipersekresi akibat respon vagal dari
reseptor M2 muskarinik yang diakibatkan infeksi virus yang mensekresi
neuraminidase dan takikinin. Namun angka kejadian PRAE itu sendiri tidak
menurun dengan pemberian atropine pada anak dengan URI.15
Kortikosteroid secara intravena dapat mengurangi gejala pada kasus
rhinitis alergika atau hipersensitifitas tipe atopik dan alergi. Biasanya
hidrokortisone (dosis 1mg/kgBB) dipilih karena sifat onset cepat dan durasi
yang lebih singkat dan dexametasone (dosis 0.1 mg/kgBB) dipilih karena efek
ikatan subseluler yang lebih lama. Penggunaan kortikosteroid pada intubasi
menggunakan endotracheal tube dapat menurunkan kejadian stridor paska
extubasi, namun pada penggunaan LMA, kortikosteroid tidak signifikan
menurunkan angka kejadian PRAE.16
Penggunaan bronchodilator golongan salbutamol secara inhalasi 10
sampai 30 menit sebelum induksi dengan dosis 2.5 mg pada anak dibawah 20
kg atau 5 mg pada anak diatas 20 kg dengan riwaya URI kurang dari 2 minggu
dapat menurunkan resiko terjadinya bronchospasme dan batuk parah (severe
coughing).6 Cara ini dapat digunakan untuk menggantikan penggunaan
glikopirolat secara intravena setelah induksi anestesi yang terbukti tidak
efektif dalam mencegah PRAE pada anak dengan URI.2
Pada airway management, jika memungkinkan penggunaan device
yang lebih tidak invasive seperti facemask atau LMA lebih diutamakan
daripada penggunaan endotracheal tube (ETT) dimana insidensi kejadian
komplikasi saluran nafas seperti brochospasme dan desaturasi lebih tinggi
pada penggunaan ETT, namun apabila ETT dirasa perlu digunakan, perlu
diperhatikan dalam pemasangannya karena percobaan insersi berulang kali
dapat meningkatkan kejadian PRAE.2,3,4,5,7,8 Prosedur ekstubasi dalam (deep
extubation) juga lebih superior dari pada ekstubasi sadar (awake extubation)
karena menurunkan kejadian desaturasi dan batuk.14
10
Pemilihan agen anestesi pada pasien anak yang akan menjalani operasi
dengan riwayat URI juga penting. Propofol merupakan agen induksi dan
maintenance anestesi yang ideal pada anak dengan URI. Propofol dikatakan
memiliki sifat menumpulkan reflek airway yang baik (bronchospasme dan
laryngospasme). Sedangkan agen anestesi inhalasi seperti sevoflurane
sebetulnya juga memiliki efek bronchodilator yang lebih kuat dibandinkan
dengan propofol namun efek pada reflek jalan nafas yang lebih minimal. Dari
penelitian dikatakan penggunaan propofol sebagai agen induksi dan
maintenance anestesi lebih signifikan menurunkan kejadian PRAE daripada
penggunaan agen anestesi inhalasi sevoflurane. Penggunaan agen anestesi
inhalasi yang perlu dihindari pada anak dengan URI adalah desflurane yang
terbukti meningkatkan resiko PRAE pada anak dengan URI.8,10
Hal hal lain yang perlu diperhatikan pada anak dengan URI terkait
menejemen perioperatif adalah hidrasi dan humidifikasi. Hidrasi secara
intravena harus dilakukan pada semua pasien kecuali pada prosedur yang
operasi yang sangat singkat. Humidifikasi juga dapat dilakukan untuk
meminimalkan keringnya jalan nafas akibat gas pembawa dan menjaga
adekuatnya mekanisme klirens dari siliary.7
BAB III
11
Kesimpulan
12
BAB IV
Daftar Pustaka
13
12. Erb TO, von Ungern-Sternberg BS, Keller K, Frei FJ. The effect of
intravenous lidocaine on laryngeal and respiratory reflex responses in
anaesthetised children . Anaesthesia. 2013; 68: 13–20.
13. Schebesta K, Geuloglu E, Chiari A. Topical lidocaine reduces the risk
of perioperatif airway complications in children with upper respiratory
tract infections. Can J Anaesth 2010; 57: 745–750.
14. Von Ungern-Sternberg BS, Davies K, Hegarty M. The effect of deep
vs. awake extubation on respiratory complications in high-risk children
undergoing adenotonsillectomy: a randomised controlled trial. Eur J
Anaesthesiol 2013; 30:529–536.
15. Fitiwi G, Gabrezgi AH, Berhe YW, Getu A. Evidence Based
perioperatif management of child with upper respiratory tract
infections (URTIs) undergoing elective surgery. A systematic review.
IJSO 2018; 12: 17-24
16. Kamranmanesh M, Gharaei B. Is Corticosteroid of No Use for
Pediatric Patients with Common Cold Undergoing Anesthesia? A
Randomized, Double-Blind, Clinical Trial. Anesth Pain Med 2017;
7(3):e45166
14