Anda di halaman 1dari 10

BAB III

MEMBACA UNTUK MENULIS

Kompetensi Dasar
Mahasiswa memahami organisasi gagasan dalam paragraf dan antarparagraf sehingga
mahasiswa terampil menemukan gagasan pokok dalam membaca berbagai referensi
baik berupa tulisan ilmiah, tulisan ilmiah popular, maupun tulisan yang diakses dari
internet untuk keperluan menulis.

Indikator Pencapaian
1. Mahasiswa dapat menjelaskan hakikat membaca dan menulis.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan membaca dan menulis.
3. Mahasiswa dapat membedakan bahasa (Indonesia) ragam lisan dan ragam tulis.
4. Mahasiswa dapat menganalisis kelengkapan, keruntutan dan kepaduan gagasan dalam
paragraf pada bahan bacaan yang telah disiapkan.

5. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian karya ilmiah.


6. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip karya ilmiah.
7. Mahasiswa dapat menjelaskan jenis-jenis karya ilmiah ditinjau dari berbagai sudut
pandang.
8. Mahasiswa dapat membuat catatan penting dari referensi yang dibacanya berupa
tulisan ilmiah biasa atau tulisan ilmiah populer yang diakses dari internet dengan
menerapkan penulisan kutipan langsung dan/atau tidak langsung.
Materi

Membaca dan menulis merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Dalam membaca, pembaca membutuhkan bahan bacaan berupa tulisan. Bahan
bacaan itu tentunya merupakan hasil dari kegiatan menulis. Sebaliknya, dalam menulis,
penulis membutuhkan banyak informasi tertulis yang dapat dijadikan bahan dan referensi
untuk menulis. Informasi-informasi tertulis itu tentunya akan diperoleh dari kegiatan
membaca.
Membaca merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan oleh mahasiswa untuk
memperkaya wawasan. Selanjutnya, kekayaan wawasan itu akan sangat berguna bagi
pengembangan diri dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Membaca dan menulis merupakan dua kegiatan terintegrasi yang dilakukan dalam
komunikasi tertulis (berbahasa tulis). Oleh karena keduanya dilakukan dalam ragam tulis,
pada bab ini perlu dibahas beberapa hal terkait dengan ragam bahasa; perbedaan bahasa
ragam lisan dan ragam tulis, aspek-aspek bahasa ragam tulis, dan organisasi gagasan dalam
paragraf dan antarparagraf. Sehubungan dengan kegiatan membaca untuk menulis, pada bab
ini juga akan dibahas tentang membaca referensi yang mencakup bahasan tentang karya
ilmiah, membaca tulisan ilmiah, membaca tulisan ilmiah populer, dan mengakses informasi
dari internet.

tulisan/bacaan

menulis membaca

Gambar 3: Siklus Membaca dan Menulis


3.1 Hakikat Membaca dan Menulis
Pada hakikatnya membaca adalah suatu kegiatan memahami informasi yang
disampaikan melalui bahasa tulis, sedangkan menulis adalah suatu kegiatan penyampaian
pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai medianya (Suparno dan
Yunus, 2007:1.3). Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan
merupakan sebuah simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati
pemakainya. Dengan demikian, dalam komunikasi menggunakan bahasa ragam tulis
(membaca dan menulis) minimal terdapat empat unsur yang terlibat, yaitu penyampai pesan,
pesan, media, dan penerima pesan.

3.2 Hubungan Membaca dan Menulis


Membaca dan menulis adalah kegiatan berbahasa tulis. Pesan yang disampaikan oleh
penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani melalui lambang bahasa yang dituliskan.
Menurut Goodman dkk. (dikutip Suparno dan Yunus, 2005:1.7) baca-tulis merupakan suatu
kegiatan yang menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai penulis.

Penulis dapat berperan sebagai pembaca karena ketika aktivitas menulis berlangsung
si penulis membaca tulisannya. Ia membayangkan dirinya sebagai pembaca untuk melihat
dan menilai apakah tulisannya telah menyajikan sesuatu yang berarti, apakah ada yang tidak
layak saji, serta apakah tulisannya menarik dan enak dibaca.

Penulis pun melakukan kegiatan membaca lainnya. Penulis membaca karya penulis
lain untuk memperoleh gagasan dan informasi, menemukan, memperjelas, dan memecahkan
masalah, juga mempelajari bagaimana pengarang menyajikannya dan mengemas tulisannya.
Kualitas pengalaman membaca ini akan sangat mempengaruhi kesuksesannya dalam menulis.
Hal ini terjadi karena ketika membaca secara tidak sadar pembaca seperti menjadi penulis.

Jika penulis dapat berperan sebagai pembaca, sebaliknya pembaca juga dapat
berperan sebagai penulis. Ketika berlangsung kegiatan membaca, pembaca melakukan
aktivitas seperti yang dilakukan penulis. Pembaca menemukan topic, tujuan, gagasan,
hubungan antargagasan, kejelasan uraian, serta pengorganisasian gagasan dalam bacaan.

Terkait dengan hal-hal di atas perlu kiranya dipahami perbedaan ragam lisan dan
ragam tulis dan aspek-aspek bahasa dalam ragam tulis, salah satunya adalah organisasi
gagasan. Selain itu perlu juga dipahami beberapa jenis tulisan (ilmiah, semiilmiah, dan
nonilmiah) sebagai pilihan bahan bacaan.
3.3 Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang berbeda-beda dalam pemakaiannya (Jamal,
2009). Berdasarkan medianya, bahasa dibedakan atas bahasa ragam lisan dan ragam tulis.
Berdasarkan penuturnya, bahasa dibedakan atas bahasa ragam daerah dan ragam pendidikan.
Berdasarkan sikap penuturnya, bahasa dapat dibedakan atas bahasa ragam resmi, ragam
akrab, dan ragam santai. Berdasarkan topiknya, bahasa dapat dibedakan atas bahasa ragam
agama, ragam kedokteran, ragam hukum, ragam seni, dan berbagai ragam dalam bidang
lainnya (Adhyaksa, 2008).
Sesuai dengan topik bab ini, yaitu membaca untuk menulis, pada bagian berikut
pembahasan akan difokuskan pada bahasa ragam lisan dan ragam tulis.

3.3.1 Ragam Bahasa Lisan


Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dihasilkan alat ucap dengan fonem sebagai
unsure dasar. Dalam ragam lisan kita berurusan dengan tata bahasa, kosa kata dan lafal.
Dalam ragam lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendahnya suara, air muka,
gerak tangan atau isyarat lain untuk mengungkapkan ide (Adhyaksa, 2008).

3.3.2 Ragam Bahasa Tulis


Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan
dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan ejaan di
samping aspek kosakata dan tata bahasa. Dengan kata lain, dalam ragam tulis dituntut adanya
kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata atau susunan kalimat, ketepaatan pilihan
kata, kebenaran penggunaan ejaan dalam pengungkapan ide atau gagasan (Adhyaksa, 2008).

3.3.3 Perbedaan Bahasa Ragam Lisan dan Ragam Tulis


Dalam berkomunikasi sehari-hari, penggunaan bahasa yang utuh atau lengkap
sesungguhnya berlangsung pada tataran wacana. Lubis (1993:20) menyatakan bahwa
kesatuan bahasa yang lengkap sebenarnya bukanlah kata atau kalimat melainkan wacana.
Menurut Wahab (dikutip Sumadi, 2000:6) kata ‘wacana’ dapat diartikan sebagai organisasi
bahasa di atas tataran kalimat yang dapat berupa percakapan (wacana lisan) atau wacana tulis.
Wacana lisan pada umumnya berlangsung timbal-balik, sedangkan wacana tulis pada
umumnya berlangsung satu arah (Hayon, 2003:41). Walaupun demikian, kemajuan teknologi
dapat memungkinkan juga adanya wacana tulis yang berlangsung timbal-balik, misalnya
dalam penggunaan internet (chatting) dan telepon selular (short message system/sms).
Wacana merupakan satuan bahasa pada tingkatan fungsional (Tarigan, 1993:28). Hal
ini berarti bahwa dalam wacana terdapat pemakaian bahasa. Dengan kata lain, analisis
wacana adalah analisis bahasa dalam pemakaiannya (Lubis, 1993:3). Pada tingkatan
fungsional, bahasa lisan dan bahasa tulis dipakai dalam fungsi-fungsi yang berbeda dalam
masyarakat. Bahasa lisan dipakai terutama untuk menjalin dan memelihara hubungan
antarmanusia (fungsi interaksional), sedangkan bahasa tulis dipakai terutama untuk
menyusun dan menyampaikan informasi (fungsi transaksional) (Brown dan Yule, 1996:12—
13).
Secara lebih rinci dapat diuraikan beberapa perbedaan bahasa lisan dan bahasa tulis
sebagai berikut (Brown dan Yule, 1996; Zulfikar, 2009).
a. Dilihat dari fungsinya, bahasa lisan pada umumnya dipakai untuk memelihara
hubungan antarmanusia, sedangkan bahasa tulis pada umumnya dipakai untuk
menyusun dan menyampaikan informasi.
b. Dilihat dari cara produksinya, pembicara dapat membuat segala macam efek
(ekspresi, isyarat, sikap tubuh) pada saat berkomunikasi; pembicara harus lebih
banyak memiliki perhatian dan kemampuan untuk memproduksi bahasanya dan
memperhatikan lawan bicaranya. Lain halnya dengan bahasa tulis, bahasa tulis tidak
dipengaruhi efek sikap, isyarat, maupun eskpresi. Pembaca hanya dapat memahami
komunikasi penulis melalui tulisannya.
c. Dilihat dari bentuknya, sintaksis bahasa lisan secara khas kurang terstruktur
dibandingkan dengan sintaksis bahasa tulis.

3.4 Aspek Bahasa dalam Ragam Tulis


Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa komunikasi yang dilakukan
dalam ragam tulis tidak tergantung pada ruang dan waktu melainkan sangat tergantung pada
konteks linguistic (teks). Oleh sebab itu, dalam kegiatan berbahasa tulis, baik membaca
maupun menulis, perlu diperhatikan beberapa aspek bahasa tulis, antara lain, penggunaan
ejaan yang tepat, pemilihan kata yang tepat, penggunaan kalimat yang efektif, dan penataan
gagasan yang terorganisasi dengan baik dalam paragraf dan antarparagraf.
Aspek-aspek bahasa yang mencakup ejaan, pilihan kata, dan kalimat efektif tidak
akan dibahas dalam bab ini karena diasumsikan bahwa mahasiswa telah cukup mendapatkan
pembelajaran mengenai hal itu semasa SLTP dan SLTA. Berikut ini hanya akan dibahas
aspek organisasi gagasan dalam paragraf dan antarparagraf.

3.4.1 Organisasi Gagasan dalam Paragraf dan Antarparagraf


Untuk menyusun dan menyampaikan informasi, bahasa tulis haruslah dapat dipahami
pembaca sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulis, tanpa tergantung pada waktu dan
ruang. Brown dan Yule (1996:13) mengemukakan bahwa bahasa tulis memungkinkan
komunikasi tanpa tergantung pada waktu dan ruang. Bahasa yang demikian itu tentunya
memerlukan pengorganisasian gagasan yang baik. Widyamartaya (2003:10) menyatakan
bahwa penataan organisasi gagasan dilakukan dengan tujuan agar gagasan pengarang dapat
terungkap dan dipahami secara sistematis (teratur) dan komunikatif.
Pengorganisasian gagasan yang baik menjadi lebih penting lagi terutama dalam wacana
tulis ilmiah. Hardjodipuro (1982:34) mengemukakan bahwa dalam penulisan karya ilmiah
harus dicegah adanya pemikiran yang meloncat-loncat karena hal itu menunjukkan kurang
matangnya penulis dalam mengemukakan pendapatnya. Sejalan dengan hal itu, dalam
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Universitas Negeri Malang, 2000:78) dinyatakan pula
bahwa kejelasan dan ketepatan isi karya ilmiah dapat diwujudkan, salah satunya, dengan
struktur paragaraf yang runtut. Paragraf dikatakan runtut apabila gagasan yang dikemukakan
di dalamnya disusun berdasarkan urutan tertentu, tanpa loncatan logika (lihat Hardjodipuro,
1982; Oshima dan Hogue, 1983; Widyamartaya, 2003; Oregon Department of Education,
2004).
Secara singkat dapat dinyatakan bahwa karya ilmiah idealnya dibangun oleh paragraf-
paragraf yang terorganisasi dengan baik. Paragraf yang baik haruslah memenuhi syarat 1)
kelengkapan, 2) keruntutan, dan 3) kepaduan/koherensi dan kohesi. Karena paragraf
merupakan bagian dari wacana tulis, syarat-syarat itu pun diberlakukan pada organisasi
gagasan antarparagraf dalam karya ilmiah.

3.4.1.1 Kelengkapan
Kelengkapan adalah asas yang menghendaki agar karangan benar-benar
berbobot. Berbobot maksudnya berisi informasi yang lengkap untuk menjelaskan
gagasan utama. Kita harus menerapkan hukum DM (diterangkan-menerangkan)
dengan sebaik-baiknya dalam membangun paragraf: satu D dengan jumlah M yang
memadai, yang lengkap. Asas ini disebut juga pengembangan yang memadai
(Widyamartaya,2003:38). Pengembangan yang memadai adalah dimuatnya rincian
yang dapat membantu pembaca untuk memahami pernyataan yang dikemukakan
sebagai gagasan utama (Sakri, 1992:6).
Sejalan dengan hal itu, Hardjodipuro (1982:15) mengemukakan bahwa
paragraf dianggap lengkap bila bila telah melakukan apa yang dikehendaki
penulisnya. Dengan kata lain, paragraf yang lengkap adalah paragraf yang memuat
rincian yang sempurna untuk mendukung gagasan utamanya.
Sakri (1992:2,6) mengemukakan bahwa paragraf yang lengkap harus memiliki
isi yang memadai, yakni memiliki sejumlah rincian yang terpilih dengan patut sebagai
pendukung gagasan utama paragraf. Rincian terpilih yang dimaksud adalah rincian
yang cocok dengan pokok bahasan.
Selanjutnya, dalam Official Scoring Guide, Writing 2003—2004 (Oregon
Departement of Education) dikemukakan bahwa oraganisasi tulisan yang baik harus
berisi rincian yang diletakkan sesuai pada tempatnya. Artinya, rincian itu berada pada
paragraf yang berisi gagasan utama yang akan dikembangkan.

3.4.1.2 Keruntutan
Paragraf yang baik haruslah mempunyai susunan/urutan tertentu
(Hardjodipuro, 1982:15). Gagasan harus dikemukakan dalam urutan yang jelas.
Penyusunan urutan itu dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu 1) urutan alamiah,
dan 2) urutan logis (Hayon, 2003:98—104). Urutan alamiah dibedakan atas (a)
urutan waktu, (b) urutan tempat, dan (c) urutan topik. Urutan logis dibedakan atas (a)
urutan sebab-akibat atau sebaliknya, (b) urutan klimaks-antiklimas atau sebaliknya,
(c) urutan umum-khusus atau sebaliknya, (d) urutan familiaritas, dan (e) urutan
akseptabilitas.

3.4.1.3 Kepaduan
Kepaduan berarti bahwa segala sesuatu yang dikemukakan dalam tulisan
harus berkisar pada satu gagasan utama. Segala pikiran yang disajikan harus
bergayutan dan relevan dengan gagasan utama (Widyamartaya,2003:38). Kepaduan
ini disebut juga kohesi dan koherensi. Kohesi adalah relasi antarbagian yang
dinyatakan secara struktural, sedangkan koherensi adalah relasi antarbagian secara
semantik (Purnomo, 2002:11). Kohesi dan koherensi sangat diperlukan baik dalam
paragraf (sebagai bagian dari wacana) maupun dalam wacana sebagai kesatuan bahasa
yang lengkap. Hayon (2003:108) menyatakan bahwa kepaduan harus terlihat juga
dalam hubungan antara satu paragraf dengan paragraf lain.
Secara ringkas kriteria-kriteria kelengkapan, keruntutan, dan kepaduan
gagasan dalam paragraf dan antarparagraf dapat dilihat pada tabel-tabel 1 s.d. 6
berikut ini (Meirani,2005).

Tabel1: Kriteria Kelengkapan Gagasan dalam Paragraf

Kualifikasi Kriteria Kelengkapan Gagasan dalam Paragraf

Lengkap Dalam satu paragraf terdapat sejumlah kalimat yang dapat


(L) memberikan infomasi khusus yang lengkap untuk mendukung
gagasan utama (tidak ada informasi penting yang ditinggalkan).

Tidak Lengkap Dalam satu paragraf tidak terdapat informasi khusus untuk
(TL) mendukung gagasan utama, atau dalam satu paragraf hanya ada
satu kalimat.

Keterangan:

a. Kalimat yang dimaksukan dalam kriteria ini hanya dilhat secara ortografis (yang
ditandai dengan huruf awal kapital dan diakhiri dengan tanda titik), bukan dilihat
secara struktur.

b. Informasi khusus adalah informasi rinci yang menjelaskan gagasan utama.

Tabel 2 : Kriteria Keruntutan Gagasan dalam Paragraf.

Kualifikasi Kriteria Keruntutan Gagasan dalam Paragraf

Runtut Gagasan disusun berdasarkan urutan tertentu, tidak ada loncatan


(R) logika.

Tidak Runtut Gagasan disusun secara tidak runtut, atau terdapat lebih dari satu
(TR) loncatan logika.

Keterangan :
a. Urutan tertentu yang dimaksudkan dalam kriteria ini dapat berupa urutan alamiah
dan/atau urutan logis.
b. Loncatan logika yang dimaksudkan dalam kriteria ini adalah adanya gagasan yang
muncul secara tiba-tiba, terkait dengan gagasan sebelumnya.

Tabel 3 : Kriteria Kepaduan Gagasan dalam Paragraf

Kualifikasi Kriteria Kepaduan Gagasan dalam Paragraf

Padu Dalam satu paragraf terdapat satu gagasan utama dengan sejumlah
(P) kalimat pendukung yang berhubungan secara semantik (koherensi)
dan/atau struktural (kohesi).

Tidak Padu Dalam satu paragraf terdapat satu atau lebih gagasan utama dengan
(TP) sejumlah kalimat pendukung yang tidak relevan. Atau,dalam satu
paragraf hanya ada stu kalimat.

Tabel 4: Kriteria Kelengkapan Gagasan Antarparagraf

Kualifikasi Kriteria Kelengkapan Gagsan Antarparagraf

Lengkap Dalam sebuah wacana terdapat satu topik wacana dengan sejumlah
(L) paragraf yang dapat memberikan informasi khusus yang lengkap
untuk mendukung topik wacana (tidak ada informasi penting yang
ditinggalkan).

Tidak Dalam sebuah wacana terdapat satu topik wacana dengan paragraf
Lengkap yang sedikit sekali memberikan informasi penting untuk
(TL) mendukung gagasan utama (ada beberapa informai penting yang
ditinggalkan).

Tabel 5 : Kriteria Keruntunan Gagasan Antarparagraf

Kualifikasi Kriteria Keruntunan Gagasan Antarparagraf

Runtut Dalam wacana paragraf-paragraf disusun berdasarkan urutan


(R) tertentu,tidak ada loncatan logika.

Tidak Dalam wacana, paragraf-paragraf disusun secara tidak runtut,atau


Runtut terdapat beberapa lomcatan logika.
(TR)
Tabel 6: Kriteria Kepaduan Gagaan Antarparagraf

Kualifikasi Kriteria Kepaduan Gagasan Antarparagraf

Padu Paragraf satu dengan paragraf yang lain memiliki hubungan secara
(P) semantik dan/atau struktural untuk mendukung satu topik wacana.

Tidak Padu Beberapa paragraf memiliki hubungan semantik dan/atau struktural


(TP) dengan paragraf yang lain,tetapi terdapat pula beberapa paragraf
yang tidak berhubungan, baik secara semantic maupun strktural
dalam membangun wacana.

Berikut ini adalah salah satu contoh analisis organisasi gagasan dalam paragraf.

Mesin pemotong keripik pisang ini digunakan untuk memotong keripik pisang dimana
industri pembuatan makanan ini banyak terdapat di propinsi lampung dan telah
menjadi ciri khas daerah tersebut. Namun dari pengamatan penulis selama ini, bahwa
pada proses pembuatan makanan tersebut masih di produksi secara manual.

Paragraf di atas termasuk paragraf yang kurang lengkap. Pada paragraf di atas dimuat

satu gagasan utama, yaitu proses pembuatan keripik pisang yang masih di produksi secara

manual. Dalam paragraf ini secara implisit termuat gagasan bahwa cara manual dianggap

kurang baik. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata namun. Walaupun demikian,dalam

paragraf ini tidak dimuat gagasan pendukung yang mengungkapkan mengapa cara manual

dianggap kurang baik.

Anda mungkin juga menyukai