Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN RESIKO PERILAKU

KEKERASAN (RPK)

LAILI SITA FITRI


19.025

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


POLITEKNIK YAKPERMAS BANYUMAS
TAHUN AJARAN 2021/2022
A. DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psiklogis. Berdasarkan definisi tersebut maka perilaku
kekerasan dapat dilakukakn secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu sedang berlangsung
kekerasan atau perilaku kekerasan terdahulu (riwayat perilaku kekerasan) (Direja, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan yang dapat membahayakn secara fisik,
baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak
disertai derkontrol (Prabowo, 2014). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri
sendiri maupun orang lain dan lingkungan yang dirasakan sebagai ancaman (Hawari,
2011)
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Menurut (Prabowo, 2014), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan adalah:
a. Teori Biologis
Neurologic Faktor Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,
neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem
limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100). Lobus frontalis memegang
peranan penting sebagai penengah antara perilaku yang berarti dan pemikiran
rasional, yang merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi antara rasional dan
emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan tindakan agresif yang
berlebihan (Nuraenah, 2012: 29).
a) Genetic Faktor Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen
manusia terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika
terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype
XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-
orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti,
2012: hal 100).
b) Cycardian Rhytm Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut
penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk
lebih mudah bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
c) Faktor Biokimia Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak
contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan
dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila
ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan
akan dihantarkan melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya
melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta
penurunan serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada
cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku
agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).
d) Brain Area Disorder Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom
otak, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 100).
b. Teori Psikogis
a) Teori Psikoanalisa Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan
fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap
agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa
aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan
pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya
harga diri perilaku tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 –
101).
b) Imitation, modelling and information processing theory Menurut teori ini
perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolelir
kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau
lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam
suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menontn tayangan
pemukulan pada boneka dengan reward positif ( semakin keras pukulannya akan
diberi coklat). Anak lain diberikan tontonan yang sama dengan tayangan
mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward yang sama (yang baik
mendapat hadiah). Setelah anak – anak keluar dan diberi boneka ternyata
masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontnan yang pernah dilihatnya
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).
c) Learning Theory Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima
kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah
Damaiyanti, 2012: hal 101).
C. PATHOFISIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposis,
artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut
dialami oleh individu:
a. Psikologis
Menurut Townsend (1996, dalam jurnal penelitian) Faktor psikologi perilaku
kekerasan meliputi:
1) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan meningkatkan citra diri (Nuraenah, 2012: 30).
2) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajarai,
individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhioleh peran eksternal (Nuraenah, 2012: 31).
b. Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini
menstiumulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal
142).
c. Sosial budaya
Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberikan
dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya pada masyarakat. Di sisi lain, tidak
semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk mnyesuaikan dengan
berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stress (Nuraenah, 2012: 31).
d. Bioneurologi
Banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal dan ketidak
seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan
(Eko Prabowo, 2014: hal 143).
2. Faktor Presipitasi Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,
baik berupa injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri. Beberapa faktor
pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lungkungan.
c. Lingkungan: panas, padat dan bising.
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala :
1. Muka merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Jalan mondar-mandir
6. Bicara kasar
7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Mengancam secara verbal atau fisik
9. Melempar atau memukul benda atua orang lain
10. Merusak barang atau benda
11. Tidak memiliki kemampuan mencegah atau mengendalikan oerilaku kekerasan.

E. RENTANG RESPON
Menurut Direja (2011) rentang respon perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
Adaptif Mal adaptif

Asetif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Keterangan:
1. Asetif: individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan ketenangan.
2. Frustasi: individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
3. Pasif: individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
4. Agresif: perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tapi tidak
terkontrol.
5. Kekerasan: perasan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
F. MEKANISME KOPING
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien, sehingga dapat membantu klien
untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan
kemarahannya. Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego
seperti displacement, sublimasi, proyeksi represif, denial dan reaksi formasi (Grabb,
2010).
G. POHON MASALAH

Resiko tinggi menciderai diri dan orang lain Efeck

Perilaku kekerasan Core

Isolasi Sosial : menarik Diri Causa

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai dosis
efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya
trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer
bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal
145).
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu
diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi
dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung
pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
4. Terapi somatic
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang
diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang
ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo,
2014: hal 146).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi
biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo,
2014: hal 146).
I. PROSES KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari proes keperawatan
terdiri drai pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data
yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Pengelompokkan data pengkajian kesehatan jiwa, dapat berupa faktor presipitasi,
penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan yang dimiliki (Afnuhazi,
2015) :
a. Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelmain, tanggal pengkajian,
tanggal dirawat, nomor rekam medis.
b. Alasan masuk Alasan klien datang ke RSJ, biasanya klien sering berbicara
sendiri, mendengar atau melihat sesuatu, suka berjalan tanpa tujuan,
membanting peralatan dirumah, menarik diri.
c. Faktor predisposisi
1) Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil
dalam pengobatan
2) Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam keluarga
3) Klien dengan gangguan orientasi besifat herediter
4) Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat menganggu
d. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan adanya riwayat
penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina stuktur otak, kekerasan dalam
keluarga, atau adanya kegagalan kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya
aturan atau tuntutan dalam keluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai
dengan klien serta konflik antar masyarakat.
e. Fisik Tidak mengalami keluhan fisik.
f. Psikososial
1) Genogram
Pada genogram biasanya terlihat ada anggota keluarga yang mengalami
kelainan jiwa, pola komunikasi klien terganggu begitupun dengan
pengambilan keputusan dan pola asuh.
2) Konsep diri
Gambaran diri klien biasanya mengeluh dengan keadaan tubuhnya, ada
bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai, identifikasi diri : klien
biasanya mampu menilai identitasnya, peran diri klien menyadari peran
sebelum sakit, saat dirawat peran klien terganggu, ideal diri tidak menilai
diri, harga diri klien memilki harga diri yang rendah sehubungan dengan
sakitnya.
3) Hubungan sosial : klien kurang dihargai di lingkungan dan keluarga.
4) Spiritual Nilai dan keyakinan biasanya klien dengan sakit jiwa dipandang
tidak sesuai dengan agama dan budaya, kegiatan ibadah klien biasanya
menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat sakit ibadah terganggu
atau sangat berlebihan.
g. Mental
1) Penampilan Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak serasi atau
cocok dan berubah dari biasanya
2) Pembicaraan Tidak terorganisir dan bentuk yang maladaptif seperti
kehilangan, tidak logis, berbelit-belit
3) Aktifitas motorik Meningkat atau menurun, impulsif, kataton dan
beberapa gerakan yang abnormal.
4) Alam perasaan Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari faktor
presipitasi misalnya sedih dan putus asa disertai apatis.
5) Afek : afek sering tumpul, datar, tidak sesuai dan ambivalen.
6) Interaksi selama wawancara Selama berinteraksi dapat dideteksi sikap
klien yang tampak komat-kamit, tertawa sendiri, tidak terkait dengan
pembicaraan.
7) Persepsi Halusinasi apa yang terjadi dengan klien. Data yang terkait
tentang halusinasi lainnya yaitu berbicara sendiri dan tertawa sendiri,
menarik diri dan menghindar dari orang lain, tidak dapat membedakan
nyata atau tidak nyata, tidak dapat memusatkan perhatian, curiga,
bermusuhan, merusak, takut, ekspresi muka tegang, dan mudah
tersinggung.
8) Proses pikir Biasanya klien tidak mampu mengorganisir dan menyusun
pembicaraan logis dan koheren, tidak berhubungan, berbelit.
Ketidakmampuan klien ini sering membuat lingkungan takut dan merasa
aneh terhadap klien.
9) Isi pikir Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan
latar belakang budaya klien. Ketidakmampuan memproses stimulus
internal dan eksternal melalui proses informasi dapat menimbulkan
waham.
10) Tingkat kesadaran Biasanya klien akan mengalami disorientasi terhadap
orang, tempat dan waktu.
11) Memori Terjadi gangguan daya ingat jangka panjang maupun jangka
pendek, mudah lupa, klien kurang mampu menjalankan peraturan yang
telah disepakati, tidak mudah tertarik. Klien berulang kali menanyakan
waktu, menanyakan apakah tugasnya sudah dikerjakan dengan baik,
permisi untuk satu hal.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung Kemampuan mengorganisir dan
konsentrasi terhadap realitas eksternal, sukar menyelesaikan tugas, sukar
berkonsentrasi pada kegiatan atau pekerjaan dan mudah mengalihkan
perhatian, mengalami masalah dalam memberikan perhatian.
13) Kemampuan penilaian Klien mengalami ketidakmampuan dalam
mengambil keputusan, menilai, dan mengevaluasi diri sendiri dan juga
tidak mampu melaksanakan keputusan yang telah disepakati. Sering tidak
merasa yang dipikirkan dan diucapkan adalah salah.
14) Daya tilik diri Klien mengalami ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan. Menilai dan mengevaluasi diri sendiri, penilaian terhadap
lingkungan dan stimulus, membuat rencana termasuk memutuskan,
melaksanakan keputusan yang telah disepakati. Klien yang sama seklai
tidak dapat mengambil keputusan merasa kehidupan sangat sulit, situasi
ini sering mempengaruhi motivasi dan insiatif klien
h. Kebutuhan persiapan klien pulang
1) Makan Keadaan berat, klien sibuk dengan halusinasi dan cenderung tidak
memperhatikan diri termasuk tidak peduli makanan karena tidak memiliki
minat dan kepedulian.
2) BAB atau BAK Observasi kemampuan klien untuk BAK atau BAK serta
kemampuan klien untuk membersihkan diri.
3) Mandi : biasanya klien mandi berulang-ulang atau tidak mandi sama
sekali.
4) Berpakaian : biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti.
5) Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam : biasanya
istirahat klien terganggu bila halusinasinya datang.
6) Pemeliharaan kesehatan Pemeliharaan kesehatan klien selanjutnya, peran
keluarga dan sistem pendukung sangat menentukan.
7) Aktifitas dalam rumah Klien tidak mampu melakukan aktivitas di dalam
rumah seperti menyapu.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Berdasarkan pengkajian diatas di peroleh diagnosa keperawatan sebagai berikut (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)

a. Resiko Perilaku kekerasan

b. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah


c. Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi

3. INTERVENSI ASUHAN KEPERAWATAN


Berdasarkan diagnosa di atas intervensi keperawatan yang akan dilaksanakan adalah
sebagai berikut (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Rencana tindakan Paraf

Resiko Setelah dilakukan tidakan Manajemen perilaku:


keperawatan selam 3 x 24 jam Observasi
Perilaku
di harapkan kontrol resiko  Identifikasi harapan untuk
kekerasan
perilaku kekerasan meningkat mengendalikan perilaku.
dengan kriteria hasil (Tim Terapeutik
Pokja SLKI DPP PPNI, 2019):  Diskusikan tanggung jawab
terhadap perilaku.
Awal Akhir  Jadwalkan kegiatan
Verbalisasi 2 3 terstruktur
ancaman  Ciptakan pertahankan
kepada lingkungan dan kegiatan
orang lain. perawatan konsisten
Perilaku 2 3  Tingkatkan kemampuan
menyerang fisik sesuai kemampuan
Perilaku 2 3  \batasi jumlah pengunjung
melukai diri  Bicaea dengan nada rendah
sendiri, dan tenang
orang lain  Lakukan kegiatan
Perilaku 2 3 pengalihan terhadap
merusak agritasi
lingkungan
 Cegah perilaku pasif dan
sekitar
agresif
Perilaku 2 3
 Lakukan pengekangan fisik
agresif
sesuai idikasi
Suara kers 1 3  Hidari bersikap,
menyudutkan, mengancam
Suara ketus 1 3
dan berdebat
Varbalisasi 1 3 Edukasi
keinginan Inforasokan keluarga sebagai
bunuh diri dasar pembentukan kognitif
Verbalisasi 1 3
kehilangan
hubungan
yang
penting.
Euforia 1 3

Alam 1 3
perasaan
depresi
Perubahan Setelah dilakukan tidakan Manajemen halusinasi
keperawatan selam 3 x 24 jam di Observasi:
Persepsi
harapkan perubahan presepsi :  Monitor perilaku yang
Sensori : Halusinasi membaik dengan mengindikasi halusinasi
Halusinasi kriteria hasil :  Monitor dan tingkat
Awal Akhir aktivitas dan stimulasi
Verbalisasi 1 3 lingkungan
mendengar  Monitor isi halusinasi
bisikan Terapeutik:
Distorsi 1 3  Pertahankan lingkungan
sensori aman
Perilaku 1 3  Lakukan tindakan
halusinasi keselamatan ketika tidak
Melamun 1 3 dapat mengontrol perilaku
Curiga 1 3
 Diskusi perasaan dan
respon terhadap halusinasi
 Hindari perdebatan tentang
validasi halusinasi
Edukasi:
 Anjurkan memonitor
sendiri situasi terjadi
halusinasi
 Anjurkan bicara pada orang
yang dipercaya untuk
memberikan dukungan dan
umpan korektif halusinasi
 Anjurkan melakukan
distraksi
 Ajarkan keluarga dan
pasien cara mengontrol
halusinasi
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat
antipsikolitik

Harga diri Setelah dilakukan tidakan Manajemen perilaku


rendah keperawatan selam 3 x 24 jam Observasi
di harapkan harga diri  Identifikasi harapan untuk
meningkat dengan kriteria mengendalikan perilaku.
hasil sebagai berikut (Tim Terapeutik
Pokja SLKI DPP PPNI, 2019):  Diskusikan tanggung jawab
terhadap perilaku.
awal Akhir
 Jadwalkan kegiatan
terstruktur
 Ciptakan pertahankan
Penilaian diri 1 3 lingkungan dan kegiatan
positif perawatan konsisten
 Tingkatkan kemampuan
Berjalan 1 3
fisik sesuai kemampuan
menampilkan
 \batasi jumlah pengunjung
wajah
 Bicaea dengan nada rendah
Postur tubuh 1 3 dan tenang
menampilkan  Lakukan kegiatan
wajah pengalihan terhadap
agritasi
Kontak mata 1 3
 Cegah perilaku pasif dan
Percaya diri 1 3 agresif
berbicara  Lakukan pengekangan fisik

Perasaan 1 3 sesuai idikasi

malu  Hidari bersikap,


menyudutkan, mengancam
Perasaan 1 3 dan berdebat
bersalah Edukasi

Gairah 1 3 Inforasokan keluarga sebagai

aktivitas dasar pembentukan kognitif

Kemampuan 1 2
membuat
keputusan
DAFTAR PUSTAKA

Direja, A. H. S. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika.

Grabb, H. K. & B. S. & J. (2010). Psikiatri Ilmu PengetahuanPerilaku Psikiatri Klinis. Bina
Rupa Kampus.

Hawari, D. (2011). Manajemen Stres Cemas Dan Depresi. FKUI pp.

PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi Dan
Indikator Diagnosis) (1st ed.). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar intervensi Keperawatan Indonesia (1st ed.). Dewan
Pengurus Pusat PPNI.

PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (definisi Dan
Kriteria Hasil (1st ed.). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Prabowo, E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai