Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita telah mengetahui dua kaidah hukum asal dalam syari’ah. Dalam ibadah,
kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada
ketentuannya berdasarkan al-qur’an dan al-hadis. Sedangkan dalam urusan muamalah,
semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang. Ini berarti ketika suatu
transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum islam, maka
transaksi tersebut di anggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Al-quran
dan hadis yang melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit.
Dengan demikian, dalam bidang mu’amalah, semua transaksi dibolehkan kecuali
yang diharamkan. Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan
kecenderungan yang cukup memprihatinkan, namun sangat menarik untuk dikritisi.
Praktek atau aktivitas hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di
Indonesia pada khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak
menanggalkan nilai-nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis. Padahal
secara tegas Rasulullah pernah bersabda bahwa perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan
yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan
atau bisnis nampaknya merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun
harus dipahami, bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia,
menurut ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam
memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang
(haram).

B. Rumusan Masalah
1. Berapa jenis Transaksi yang dilarang dalam islam ?
2. Sebutkan macam-macam Jual Beli yang dilarang dalam Islam ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui beberapa jenis Transaksi yang diharamkan dakam Islam
2. Untuk mengetahui macam-macam Jual Beli yang dilarang dalam Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Praktik Bisnis yang Dilarang


Dalam Syariah, Nabi telah melarang kita dari beberapa jenis usaha tertentu karena
di dalamnya mengandung dosa dan apa yang di dalamnya terdapat bahaya bagi manusia
dan mengambil harta secara tidak adil. Beberapa jenis transaksi yang dilarang adalah :
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal.
3. Persaingan yang tidak fair.
4. Pemalsuan dan penipuan.

B. Macam-Macam Jual Beli Yang Di Larang


Penyebab terlarangnya sebuah transaksi adalah disebabkan faktor-faktor sebagai
berikut :
1. Haram zatnya (haram li-dzatihi)
Transaksi di larang karena objek (barang atau jasa) yang di transaksikan juga
dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi
jual beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual belinya sah. Contohnya, bila
ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembelian minuman keras kepada bank
dengan menggunakan akad murabahah, maka walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini
haram karena objek transaksinya haram.

2. Haram selain zatnya (haram li-ghairihi)


a. Melanggar Prinsip “An Taradin Minkum” Tadlis (penipuan)
Setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua
belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama sehingga
tidak ada pihak yang merasa di curigai (ditipu) karena terdapat kondisi di mana salah satu
pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Tadlis dapat terjadi dalam 4
(empat) hal, yakni dalam:
1) Kuantitas dan Kualitas
2) Harga dan
3) Waktu penyerahan.

2
b. Melanggar prinsip ‘la tazhlimuna wa la tuzhlamun’
Prinsip kedua yang tidak boleh dilanggar adalah prinsip la tazhlimuna wa la
tuzlamun, yakni jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik-praktik yang melanggar
prinsip ini di antaranya:
a) Taghrir (gharar)
Gharar atau disebut juga tagrir adalah situasi di mana terjadi ketidakpastian dari
kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis, yang terjadi adalah pihak A tidak
mengetahui apa yang diketahui pihak B. Sedangkan dalam taghrir, baik pihak A maupun
pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan.
Gharar ini terjadi bila kita memperlakukan sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi
tidak pasti.

b) Rekayasa pasar dalam supply (ikhtikar)


Rekayasa pasar dalam supply terjadi bila seorang produsen / penjual mengambil
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang di jualnya
naik. Hal ini adalah istilah fiqih disebut ikhtikar.
Ikhtikar biasanya dilakukan dengan menghambat produsen / penjual lain masuk
pasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli). Karena itu, biasanya orang
menyamakan ikhtikar dengan monopoli dan penimbunan, padahal tidak selalu seorang
monopolis melakukan ikhtikar.
BULOG juga melakukan penimbunan, tetapi justru untuk menjaga kestabilan
harga dan pasokan. Demikian pula dengan Negara apabila memonopoli sektor industri
yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, bukan dikategorikan sebagai
ikhtikar. Agama melarang kita menimbun barang saat orang membutuhkan. Namun
praktek bisnis ini justru sering terjadi di negeri kita sendiri. Di saat orang kesulitan
bahan bakar gas misalnya, ternyata di pihak lain ada yang menimbun. Tujuannya hanya
untuk mendapatkan harga jual yang lebih tinggi ketika produk sudah langka di pasaran.
Ikhtikar terjadi bila syarat-syarat di bawah ini terpenuhi :
1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang baik dengan cara menimbun stock
atau mengenakan entri-barriers
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sebelum
munculnya kelangkaan.
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum
komponen 1 & 2 dilakukan.

3
c) Rekayasa pasar dalam demand (bai’ najasy)
Rekayasa pasar dalam demand terjadi bila seorang produsen (pembeli) menciptakan
permintaan palsu, seolah olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga
harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi misalnya, dalam bursa saham, bursa valas,
dan lain-lain. Cara yang di tempuh bias bermacam- macam, mulai dari menyebarkan isu,
melakukan order pembelian, sampai benar- benar melakukan pembelian pancingan agar
tercipta sentiment pasar untuk ramai- ramai membeli saham (mata uang) tertentu. Bila
harga sudah naik sampai level yang di inginkan maka yang bersangkutan akan melakukan
aksi ambil untung dengan melepas kembali saham (mata uang) yang sudah dibeli,
sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Rekayasa demand ini dalam istilah fiqihnya
disebut dengan bai’ najasy.

d) Riba
Riba berarti menukarkan suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih
banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian. Allah sendiri
telah menjelaskan dalam al Quran Surat Al Baqarah ayat 275 :
“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya..” (QS Al- Baqarah : 275)
Wahai Saudaraku! Tidak ada keraguan bahwa perdagangan dan jual beli adalah dua
hal yang dibutuhkan dan diperlukan. Hal ini karena Allah telah memerintahkan kita untuk
mencari rezeki dan untuk makan dan minum bagi diri kita menurut cara yang secara
umum dibenarkan. Dalam ilmu fiqih, dikenal 3 jenis riba, yaitu:
• Riba fadl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang yang sejenis, tapi
tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya, sama kuantitasnya, dan sama waktu
penyerahan barangnya. Pertukaran seperti itu mengandung unsur ketidakjelasan
nilai barang pada masing-masing pihak. Akibatnya, bisa mendorong orang
berbuat zalim.

4
• Riba nasi’ah atau riba yang muncul akibat utang piutang yang tidak
memenuhi kriteria. Keuntungan muncul tanpa adanya risiko dan hasil usaha
muncul tanpa adanya biaya. Padahal, dalam dunia bisnis kemungkinan untung
dan rugi selalu ada. Memastikan sesuatu di luar wewenang sifatnya zalim.
• Riba jahiliyah atau utang yang dibayar melebihi pokok pinjaman, karena
peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai waktu yang ditentukan.

e) Maysir (penjudian)
Secara sederhana, yang dimaksud dengan maysir atau penjudian adalah suatu
pemainan yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak yang lain
akibat permainan tersebut. Setiap permainan atau pertandingan, baik yang berbentuk
game of chance, game of skill ataupun natural events, harus menghindari terjadinya zero
sum game, yakni kondisi yang menempatkan salah satu atau beberapa pemain harus
menanggung beban pemain.
Allah swt. telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas
ekonomi yang mengandung unsur maysir (penjudian). Allah swt berfirman:
“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS Al-Maidah: 90). ”
f) Risywah (suap menyuap)
Yang di maksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak
lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suatu perbuatan baru dapat
dikatakan sebagai tindakan risywah (suap-menyuap) jika dilakukan kedua belah pihak
sukarela. Jika hanya salah satu pihak yang meminta suap dan pihak lain tidak rela atau
dalam keadaan terpaksa atau hanya untuk memperoleh haknya, peristiwa tersebut bukan
termasuk kategori risywah, melainkan tindakan pemerasan.
Allah swt telah menyinggung praktik suap-menyuap pada sejumlah ayat al- quran.
Diantara firman allah swt:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah: 188).”

5
3. Tidak sah (lengkap) akadnya
Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haramli dzatihi maupun haram li
ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksi
tersebut menjadi haram bila akad atas transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu
transaksi dapat dikatakan tidak sah dan atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah
satu (atau lebih) faktor-faktor berikut ini:
1. Rukun dan syarat tidak dipenuhi
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi (necessary condition),
misalnya ada penjual dan pembeli. Tanpa adanya penjual dan pembeli, maka jual-beli
tidak aka ada. Pada umumnya, rukun dalam muamalah iqtishadiyah (muamalah dalam
bidang ekonomi) ada 3 yaitu: Pelaku, Objek, Ijab-kabul.
Pelaku bisa berupa penjual-pembeli (dalam akad jual-beli), penyewa- pemberi sewa
(dalam akad sewa-menyewa), atau penerima upah-pemberi upah (dalam akad upah-
mengupah), dan lain-lain. Tanpa pelaku maka tidak ada transaksi. Objek transaksi dari
semua akad diatas dapat berupa barang atau jasa. Contohnya dalam akad jualbeli mobil,
maka objek transaksinya adalah mobil. Dalam akad menyewa rumah, maka objek
transaksianya adalah rumah, demikian seterusnya. Tanpa objek transaksi, mustahil
transaksi akan tercipta.
Selanjutnya, faktor lainnya yang mutlak harus ada supaya transaksi dapat tercipta
adalah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam
terminologi fiqih, kesepakatan bersama ini disebut ijab-kabul. Tanpa ijab- kabul, mustahil
pula transaksi akan terjadi. Dalam kaitannya dengan kesepakatan ini, maka akad dapat
menjadi batal bila terdapat :
1. Kesalahan/kekeliruan ojek
2. Paksaan (ikrah)
3. Penipuan (tadlis)
Selain rukun, faktor yang harus ada supaya akad menjadi sah (lengkap) adalah
syarat. Syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Syarat bukan
rukun, jadi tidak boleh dicampur adukkan. Di lain pihak, keberadaan syarat tidak boleh:
1. Menghalalkan yang haram
2. Mengharamkan yang halal
3. Menggugurkan rukun
4. Bertentangan dengan rukun atau
5. Mencegah berlakunya rukun.

6
2. Ta’alluq
Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, maka
berlakunya akad 1 tergantung pada akad 2.

3. Two in one
Two in one adalah kondisi dimana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad
sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus
digunakan (berlaku). Dalam terminologi fiqih, kejadian ini disebut dengan shafqatin fi al-
shafqah.

C. Jual Beli yang Sah atau Tidak Sah dan Terlarang atau tidak Terlarang
 Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi
sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang
Yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2. Jual beli yang terlarang dan tidak sah (bathil)
Yaitu  jual beli yang salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi atau jual beli
itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran islam).
3. Jual beli yang sah tapi terlarang (fasid)
Jual beli ini hukumnya sah, tidak membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang oleh
Islam karena sebab-sebab lain.
4. Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bah"a jual beli dikategorikan sah apabila dilakukan oleh
orang yang bali#h, berakal, dapat memilih.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam bidang mu’amalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.
Perubahan dan perkembangan yang terjadi dewasa ini menunjukkan kecenderungan yang
cukup memprihatinkan, namun sangat menarik untuk dikritisi. Praktek atau aktivitas
hidup yang dijalani umat manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada
khususnya, menunjukkan kecenderungan pada aktivitas yang banyak menanggalkan nilai-
nilai atau etika ke-Islaman, terutama dalam dunia bisnis. Padahal secara tegas Rasulullah
pernah bersabda bahwa perdagangan (bisnis) adalah suatu lahan yang paling banyak
mendatangkan keberkahan. Dengan demikian, aktivitas perdagangan atau bisnis
nampaknya merupakan arena yang paling memberikan keuntungan. Namun harus
dipahami, bahwa praktek-praktek bisnis yang seharusnya dilakukan setiap manusia,
menurut ajaran Islam, telah ditentukan batasan-batasannya. Oleh karena itu, Islam
memberikan kategorisasi bisnis yang diperbolehkan (halal) dan bisnis yang dilarang
(haram).
Jual beli itu sendiri adalah terpuji dan penting, sepanjang tidak melalaikan ibadah
seseorang atau menyebabkan dia menunda pelaksanaan shalat berjama’ah di masjid.
Maka, bersikap jujur dalam dan dalam berdagang adalah cara yang terbaik untuk
memperoleh rezeki. Sebaliknya melakukan bisnis dengan kebohongan, kecurangan dan
tipu muslihat, maka ini merupakan cara memperoleh rezeki yang paling buruk.

B. Saran
Penulisan makalah ini menunjukkan hal yang berkaitan dengan apaapa saja
mengenai hukum-hukum, tata cara pelaksanaan yang terkait tentang hubungan jual beli
yang baik antara penjual juga pembeli, sehingga dapat mendorong munculnya penulisan
makalah yang sejenis dalam pemberi informasi yang lebih baik lagi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan jual beli.

8
DAFTAR PUSTAKA

Syamsuri, Drs, H., 2005, Pendidikan Agama Islam SMA Jilid 2 Untuk Kelas XI, Erlangga,
Jakarta.
http://miftakhulistiqomah.blogspot.co.id/2014/04/makalah-etika-bisnis.html

Anda mungkin juga menyukai