Anda di halaman 1dari 3

Nama : Silvi Andini Anggun Pratiwi Simarmata

Nim : 2132560013
Kelas : 1B AK
Matkul : Pengantar Ilmu Ekonomi

Contoh Kasus Perekonomian Indonesia Sekarang

1. Urgensi Memperbaiki Kuantitas dan Kualitas Pertumbuhan Ekonomi

Indef mencatat, Indonesia mengalami pertumbuhan dengan rata-rata laju 5,27 persen dalam dua
dasawarsa terakhir (2000-2018). Namun untuk keluar dari jebakan status negara berpendapatan
menengah dan menjadi negara maju, laju pertumbuhan tersebut tidak cukup.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi masalah kualitas pertumbuhan ekonomi. Sebab, angka
kemiskinan, ketimpangan sosial, dan pengangguran masih tinggi. Porsi PDB juga masih 58,5
persen terkonsentrasi di Jawa dan mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir.

2. Dilema Pertumbuhan Ekonomi vs. Impor


Tingkat impor Indonesia masih tinggi hal ini dikarenakan output di sektor pertanian dan
peternakan kian merendah sementara pertumbuhan penduduk, terutama kelas menengah, terus
menerus meningkat.
Impor sendiri adalah kegiatan transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara.
Proses impor umumnya adalah kegiatan memasukkan barang atau komoditas dari suatu negara
lain ke dalam negeri.
Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara
pengirim dan penerima. Sektor industri juga masih mengandalkan bahan baku impor yang kini
pertumbuhannya mencapai 9% dalam tiga tahun terakhir.
Hal ini kemudian memperlihatkan bahwa industri dalam negeri tidak mampu memenuhi
kebutuhan dikarenakan kian bergesernya struktur ekonomi ke arah jasa. Selain itu
deindustrialisasi juga terjadi dengan lebih cepat.

Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar 7 persen dalam sepuluh
tahun terakhir padahal Thailand dan Malaysia tidak lebih dari 4 persen. Deindustrialisasi di
Indonesia juga diperparah dengan perubahan pola investasi asing (FDI) yang cenderung berada
di sektor tersier (jasa, ekonomi digital) dibandingkan sekunder (industri manufaktur).
3. Daya Beli Stagnan
Inflasi secara tahunan tercatat 2,48 persen dari tahun ke tahun, meski demikian hal ini tidak
berhasil mengangkat daya beli yang masih stagnan. Sangat mungkin inflasi rendah saat ini
disertai juga dengan penurunan daya beli masyarakat.
Selain itu suku bunga pinjaman yang tetap hingga akhirnya ekspansi dunia usaha pun tidak ikut
terakselerasi. Penyebab daya beli yang stagnan dari masyarakat umumnya dipengaruhi oleh
pendapatan yang ia terima, Harga Barang dan Jasa, hingga berapa Banyaknya Barang yang ia
konsumsi.
4. Daya Saing Rendah
Dalam tiga tahun terakhir Indonesia sebagai negara tujuan investasi langsung terus mengalami
penurunan. Selain itu jumlah perusahaan di Indonesia juga mulai berkurang. Di sisi lain,
Vietnam terus menunjukkan peningkatan performa dalam menarik FDI, salah satunya dari
Jepang. Berkebalikan dengan Indonesia, popularitas Vietnam bagi investor Jepang terus
meningkat dalam tiga tahun terakhir ini.

5. Ketidaksiapan Menghadapi Revolusi Industri 4.0


INDEF memandang, wacana Revolusi Industri 4.0 tidak dilakukan dengan perencanaan matang.
Hal ini disebabkan oleh perencanaan mendasar mengenai apa yang perlu dikembangkan di sektor
prioritas dan tidak ada perencanaan infrastruktur dasar industri 4.0 yaitu Internet of Things (IoT),
selain itu tidak ada perencanaan dalam memitigasi tenaga kerja yang terkena dampak dari
pengimplementasian otomatisasi di sektor ini.
6. Inkonsistensi Kebijakan Subsidi Energi
Pada Tahun 2015, subsidi energi dipangkas hingga 65,16 persen menjadi Rp 119 triliun.
Penurunan subsidi terus berlanjut pada 2016 dan 2017. Namun pada tahun 2018, subsidi energi
kembali melonjak hingga 57 persen, dan tahun 2019 naik lagi 4,23 persen.
Agar subsidi energi tidak terus melonjak, INDEF menilai, pemerintah perlu membenahi sasaran
penerima subsidi agar lebih tepat, seperti Gas 3 kg, pelanggan listrik golongan 900 VA yang
mampu.
Selain itu, komitmen pemerintah menurunkan subsidi energi secara gradual juga harus diikuti
dengan pembangunan infrastruktur untuk Energi Baru Terbarukan (EBT) demi mencapai target
bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025
7. Kinerja Pajak Rendah Sementara Rasio Utang Kian Meningkat
INDEF mencatat tax ratio Indonesia mengalami penurunan selama periode 2012-2017.
Pencapaian tax ratio tersebut juga masih jauh dari target dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 15,2
persen.
Penerimaan pajak yang tidak optimal juga tercermin dari shortfall pajak yang masih terjadi.
Sementara, peningkatan rasio utang terhadap PDB berbanding terbalik dengan tax ratio.
Implikasinya beban pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat semakin tinggi,
dari 11 persen pada 2014 menjadi 17,13 persen per.
8. Dana Desa Bermasalah
Alokasi Dana Desa terus meningkat dari Rp 20,8 triliun menjadi Rp 70 triliun tahun ini. Proporsi
Dana Desa terhadap Transfer ke Daerah juga terus naik dari 3,45 persen menjadi 8,47 persen.
Namun, INDEF mencatat, kenaikan dana tersebut tidak berbanding lurus dengan peningkatan
indikator sosial di pedesaan.

Anda mungkin juga menyukai