Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BY.

F
DENGAN ABSES CEREBRI DI RUANG ANAK
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

Dosen Pembimbing :
Netha Damayantie, Ners, M.Kep

Pembimbing Klinik :
Ns. Dwi Handayani, M.Kep

Disusun Oleh :
Sumarni PO. 71202210031

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAMBI
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konsep Dasar
1. Definisi
Abses otak adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim otak,
terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatanoleh
penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melalui sistem vaskuler.
Berdasarkan lokasinya 80% abses terdapat pada cerebrum dan 50% pada
cerebelum dan 5-20% terjadi lebih dari satu tempat (Esther).

2. Etiologi

a. Abses Piogenis disebabkan bakteri

Jaringan otak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai mekanisme


pertahanan yang baik, pembentukan kapsul kolagen merupakan respons yang
terpenting dalam membatasi penyebaran abses. Untuk terjadinya abses otak
harus ada daerah nekrosis terlebih dahulu dalam jaringan otak.

Pada penderita meningitis bakteri tidak selalu terjadi abses otak, hal ini
dipengaruhi faktor-faktor :

1.1. Virulensi Bakteri

Komponen permukaan subkapsular bakteri (dinding sel dan


lipopolisakarida) memegang peranan yang penting untuk timbulnya radang di
selaput otak dan memperluas daerah yang nekrosis ke dalam jaringan otak.

Bakteri pneumokokus mempunyai dua polimer dinding sel


(peptidoglikan dan asam trikoik fosfat ribitol) menyebabkan timbulnya
peradangan. H.Influenza mempunyai kapsul lipoolisakarida, bila terjadi
inokulasi ke dalam intrasisternal menyebabkan radang dan merusak sawar
darah otak.
1.2. Rusaknya sawar darah otak

Hanya bakteri tertentu yang bisa merusak sawar darah otak.


Kerusakan sawar darah otak menimbulkan eksudasi albumin yang
mempercepat timbulnya edema otak, dengan kerusakan sel endotel dan
mikrovaskuler otak.

1.3. Imunopatologis

Satu sampai 3 jam setelah inokulasi lipopolisakarida terjadi


pelepasan secara cepat dari TNF (Tumor Necrotic Factor), Interleukin-1
dan Interleukin-2 ke dalam CSS, menyebabkan neutrofil melekat pada
epitel serta merangsang sel-sel di susunan saraf pusat (astroglia, endotel,
dan magrofag selaput otak) untuk melepaskan sitokin. Sitokin dieksresikan
dan merusak sawar darah otak. Kondisi imunologis penderita yang kurang
baik akan mempercepat terjadinya proses peradangan di jaringan otak.

Bakteri yang tersering adalah Stapylococcus aureus, Steptococcus


anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha
hemolyticus, E.Coli dan Bacteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya
berkembang dari perjalanan otitis media atau fractur kranii. Bila infeksi
berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan
anaerob, Staphylococcus dan Haemoplylus influenzae. Abses oleh
Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi
paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh
streptococcus anaerob.

b. Abses disebabkan jamur

Abses yang disebabkan jamur umumnya merupakan abses


metastatik. Awalnya akan tampak invasi vaskuler oleh jamur, disusul
trombosis sekunder dan infark otak. Hal ini menyerupai abses piogenik,
dimana di dalam bagian nekrotik terdapat sel radang, makrofag, fibroblast,
dan sel besar berinti banyak terisi jamur yang tela difagosit.
Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium
trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang,
Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AO
secara hematogen.

c. Abses disebabkan parasit

Amoeba menyebabkan terjadinya pusat nekrotik yang berisi debris


dan terutama sel mononuclear, dikelilingi kongesti vaskular, nekrosis
jaringan saraf dan sel limfotik, sel plasma dan mononuklear lain, disini
pembentukan kapsul tidak ada atau hanya sedikit serta dapat ditemukannya
kista dan trofozoit. Toksoplasma dapat menyebabkan ensefalitis, abses,
dan granuloma dengan atau tanpa pusat nekrotik.

Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari


fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang
jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi.
Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian
otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea,
sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat
permukaan otak pada lobus tertentu.

Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan
otak dengan infiltrasi lekosit disertai edema, perlunakan dan kongesti
jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa
hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat
lesi sehingga membentuk suatu rongga abses, Astroglia, fibroblas dan
makrofag mengelilingi jaringan yang nektorik. Mula-mula abses tidak
berbatas tegas tetapi lama-kelamaan dengan fibrosis yang progresif
terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi
perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :

- Stadium Serebritis dini (Early Cerebritis)


Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymofonuklear
leukosit, limfosit dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi,
yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel
radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan
mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskuler ini
disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekitar otak dan
peningkatan efek massa karena pembesaran abses.
- Stadium serebritis Lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti, Daerah
pusat nekrosis membesar oleh karena peningkatan acellulardebris dan
pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di
tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang. Makrofag-makrofag
besar dan gambaran fibroblas yang terpencar. Fibroblas mulai menjadi
retikulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema
otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar.
- Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular
debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul. Lapisan
fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis.
Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena
kurangnya vaskularisasi di daerah substansi putih dibandingkan
substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan
tengah memungkinkan abses membesar ke dalam sustansi putih. Bila
abses cukup besar, dapat robek ke dalam ventrikel lateralis. Pada
pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar
membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai
meningkat.
- Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)

Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan


gambaran histologis sebagai berikut :

a). Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang
b). Daerah tepi pusat nekrosis terdiri dari sel radang, maksofag, dan
fibroblast.

c). Kapsul kolagen yang tebal

d). Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan


meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat
menimbulkan meningitis.

Infeksi jaringan fasial, sesulitis orbita, sinusitis etmoidalis,


amputasi meningoencefalokal nasal dan abses apikal dental dapat
menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media,
mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan
serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen.

Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis)


hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta komplikasi
infeksi lainnya seperti : paru-paru (bronkiektasis, abses paru,
empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.

Berdasarkan bakteri penyebab, maka etiologi dari abses otak dapat dibagi
menjadi :

1). Organisme Aerobik

a). Gram positif : Streptococcus, Stapilococcus, Pneumococcus.

b). Gram negatif : E.Coli, Hemoplillus influenza, Proteus, Pseudomonas

2). Organisme anaerobik : B.fragilis, Bacteroides sp, Fusobacterium sp,


Prevotella sp, Actinomyces sp, dan Clostridium sp.

3). Fungi : Kandida, Aspergillus, Nokardia

4). Parasit : E.Histolytica, Schistosomiasis, Amoeba


Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi
telinga tengah, sinusitis (paranasal, ethnoidalis dan maxillaries). Abses otak
dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru
sistemik(empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis
bakterial akut dan sebakut dan pada penyakit jantung bawaan Tetralogi Fallot
(abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan otak). Abses
otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan
peredaran darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus
parietalis, atau cerebellum dan batang otak. Dapat juga timbul akibat trauma
tembus pada kepala atau trauma pasca operasi.

Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik


seperti AIDS, penderita kronis yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab abses otak tidak
diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak,
sellulitis, erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada
tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak di kepala, septikemia, Berdasarkan
sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus otak.

Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde


trombophlebitis melalui klep vena diploika menuju lobus frontalis atau
temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak,
dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan
abses dibagian anterior atan inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis
dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis atau temporalis. Sinusitis
maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis
ethmoidalis dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis.Infeksi pada
telinga tengah dapat pula menyebar ke lobus temporalis. Infeksi pada mastoid
dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan
tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat
menyebar ke dalam serebelum.

Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau faktor


lingkungan :
1). Faktor tuan rumah (host)

Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup


kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan
efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral dan
selular yang befungsi sempurna.

2). Faktor kuman

Kuman tertentu cenderung meurotropik seperti yang membangkitkan


meningitis bakterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak
bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki
virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika
terdapat gangguan pada sistem limfoid atau retikuloendotelial.

3). Faktor Lingkungan

Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk


ke dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melalui air atau udara.
3. Pathway (Woc)

Faktor predisposisi, invasi bakteri ke otak langsung,


Penyebaran infeksi dari daerah lain, penyebaran infeksi
Dari organ lain

Infeksi septikemia jaringan otak hipertermia

Proses supurasi dari meningen

Pembentukan eksudat peningkatan TIK Penekanan area fokal


Dan transudat

Edema serebral penekanan area pengatur kesadaran kejang dan nyeri kepala

Gangguan perfusi perubahan tingkat kesadaran,letargi,


Nyeri,
Perubahan perilaku,disorientasi&fotofobia
Resiko tinggi cedera

Kesadaran koma kematian

Koping keluarga tidak


efektif ,kecemasan keluarga

Intake nutrisi tidak


Perubahan Pemenuhan nutrisi
adekuat
pemenuhan nutrisi kurang dr kebutuhan

Gangguan mobilitas fisik

Gangguan persepsi sensorik

Penumpukan secret, kemampuan Bersihan jalan napas


batuk menurun tidak efektif
4. Patofisiologi

Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi
leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari
atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi
pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas
keseluruh otak dan bisa timbul meningitis.

AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di


sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara
langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh
penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada
pertemuan subtansia alba dan grisea, sedangkan yang perkontinuitatum biasanya
berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.

AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada


penyakit jantung bawaan sianotik, adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan
darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia.
Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses
pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis, tempat ini
menjadi rentan terhadap bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru
sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah
infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga AO adalah
soliter, hanya sepertiga AO adalah multipel. Pada tahap awal AO terjadi reaksi
radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai oedema,
perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan.
Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan
pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan
makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas
tegas tetapi lama-kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul
dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4
stadium yaitu :
a. Stadium serebritis dini

b. Stadium serebritis lanjut

c. Stadium pembentukan kapsul dini

d. Stadium pembentukan kapsul lanjut

Abses dalam kapsul substantia alba dapat makin membesar dan meluas ke
arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis. Infeksi
jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel
nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus
frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis
dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara :

a. Implanmentasi langsung akibat trauma, tindakan obrasi,pungsi lumbal,


penyebab infeksi kronik pada telinga, sinus mastoid dimana bakteri masuk ke
otak dengan melalui tulang atau pembuluh darah.

b. penyebab infeksi dari focus primer pada paru-paru seperti abses paru,
bronchiektasis, empyema, pada endokarditis dan perikarditis.

c. Komplikasi pada meningitis purulenta

Mikroorganisme yang umum menyebabkan abses otak adalah streptococci,


bacteriodes fragilis, Esterichia coli, Setelah terjadi implementasi bakteri
kemudian terjadi reaksi peradangan inkal dengan karakteristik edema lokal,
hyperemia adanya infiltrasi dan jaringan menjadi lunak pada tingkat ini lokasi
pembentukan abses nampak kongestik, lunak, mengandung minyak, perdarahan
petechikal dan sebukan neoutrofil. Beberapa hari sampai beberapa bulan
jaringan otak terjadi nekrosis dan mengeluarkan m.issa pus diluar jaringan
nekrotik tampak jaringan granulasi yang mengandung kapiler, fibroslat, limposit
dan sel plasma jika tanpa pengobatan yang memadai pus akan membesar,
menyebar dan meluas subarachnoid dan ventrikel.
5. Manifestasi Klinik

Gejala dan tanda klinis dari abses otak tergantung kepada banyak faktor,
antara lain lokasi, ukuran, stadium dan jumlah lesi, keganasan kuman, derajat
edema otak, respons pasien terhadap infeksi, dan juga umur pasien. Bagian otak
yang terkena dipengaruhi oleh infeksi primernya.

Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala


infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejala-gejala peninggian tekanan
intrakranial berupa muntah, sakit kepala, dan kejang. Dengan semakin besarnya
abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala
infeksi, peningkatan tekanan intrakarnial, dan gejala neurologik fokal.

Manifestasi abses otak sebenarnya didasarkan dengan adanya :

a. Manifestasi peningkatan tekanan intrakranial, berupa sakit kepala, muntah dan


papiledema.

b. Manifestasi supurasi intrakranial berupa iritabel, drowsiness, atau stupor dan


tanda rangsang meningeal.

c. Tanda infeksi berupa demam, menggigil, lekositosis

d. Tanda lokal jaringan otak yang terkena berupa kejang, gangguan syaraf kranial
afasia, ataksia, paresis.

Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim disertai
kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang baik karena
biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel.

Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan


mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan
hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota gerak atas
dapat terjadi bila perluasan abses ke dalamlobus frontalis relatif asimptomatik.
Berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala
sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan
menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan
nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi, biasanya berasal hematogen
dan berakibat fatal.

Gejala lokal yang terlihat pada abses otak

Lobus gejala

a. Frontalis mengantuk, tidak ada perhatian, hambatan dalam mengambil


keputusan, gangguan intelegensi, kadang-kadang kejang

b. Temporalis tidak mampu menyebut objek, tidak mampu membaca, menulis atau
mengerti kata-kata, hemianopia

c. Parietalis gangguan sensori posisi dan persepsi stereognostik, kejang fokal,


hemianopia homonim, disfasia, alkalkulia, agrafia

d. Serebelum sakit kepala subaksipital, leher kaku, gangguan koordinasi,


nistagmus, tremor inensional.

6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan


laboratorium disertai pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga
untuk melibatkan evaluasi neurologis secara menyeluruh, mengingat keterlibatan
infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan penyakit, onset, faktor
resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah
diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya, refleks patologis, dan juga
tanda rangsang meningeal untuk memastikan keterlibatan meningen.

Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem


musculoskeletal dan kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggora
gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya bilateral atau tunggal.

Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu


pemeriksaan leukosit dan laju endap darah, didapatkan peninggian lekosit dan
laju endap darah. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada umumnya
memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang
sedikit meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit
berkurang, kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.

Poto polos kepala memperlihatkan tangga peningkatan tekanan intrakranial,


dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstraserebral, tetapi dengan
pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses. Pemeriksaan EEG
terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG
memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan
frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting
terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui
lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan
setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT-Scan.Dan
scanning otak menggunakan radioisotop tehtetium dapat diketahui lokasi abses,
daerah abses memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak
yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. ST-Scan selain
mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses.
Magnetic Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan
diagnosis yang lebih cepat juga lebih akurat.

7. Komplikasi

Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya


adalah :

a. robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid

b. penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus

c. edema otak

d. herniasi oleh massa abses otak

komplikasi meliputi :

a. Retardasi mental

b. Epilepsi

c. kelainan neurologik fokal yang beih berat


8. Test Diagnostik

Tindakan diagnostik yaitu :

a. ST-Scan : mengidentifikasi dan melokalisasi abses besar dan abses kecil


disekitarnya

b. arteriografi : menunjukkan lokasi abses di lobus temporal atau abses cerebellum

9. Penatalaksanaan

Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek massa dan menghilangkan
kuman penyebab. Terapi definitif untuk abses melibatkan

a. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema)yang dapat


mengancam jiwa

b. terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses

c. terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)

d. Pengobatan terhadap infeksi primer

e. Pencegahan kejang

f. Neurorehabilitasi

Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan
pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang
memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat
digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole.

Jika terdapat riwayat cedera kepala dan komplikasi pembedahan kepala,


maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau vancomycine dengan
sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole . Antibiotik terpilih dapat
digunakan ketika hasil kultur dan tes sensitivitas telah tersedia.
Tabel 1.1. Prinsip Pemilihan antibiotik pada Abses Otak

Etiologi Antibiotik
Infeksi bakteri gram negatif, bakteri Meropenem
anaerob, stafilokokkus dan
streptokokkus
Penyakit jantung sianotik Penisillin dan metrinidazole
Post VP-Shunt Vancomycin dan ceptazidine
Otitis media, sinusitis atau mastoiditis Vancomycin
Infeksi meningitis citrobacter Cefalosporin generasi ketiga, yang
secara umum dikombinasikan dengan
terapi aminoglikosida

Pada abses yang terjadi akibat trauma penetrasi, cedera kepala, atau
sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi napsiline atau vancomycin,
cefottaxime atau cetriaxone, dan juga metronidazole. Mono terapi dengan
meropenem terbukti baik melawan bakteri gram negatif. Bakteri anaerob,
stafilokokkus dan streptokokkus dan menjadi pilihan alternatif .

Pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi
dengan penisilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat
ventrikuloperitoneal shunt dapat diterapi dengan vancomycin dan ceptazidin.
Jika otitis media, sinusitis atau mastoiditis yang menjadi penyebab dapat
digunakan vancomycin karena streptocokkus pneumonia telah resisten terhadap
penilcillin. Jika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada
abses lokal, dapat digunakan sefalosforin generasi ketiga, yang secara umum
dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien dengan
immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Tabel 2.1. Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak

Drug Dose Frekuensi dan Rute


Cefotaxime (Claforan) 50-100 mg/Kg 2-3 kali per hari / IV
BB/Hari
Ceftriaxone (Rocephin) 50-100 2-3 kali per hari/ IV
mg/Kg BB/hari
Metronidazole (Flagyl) 34-5- mg/Kg 3 kali per hari,/IV
BB/hari
Nafcillin (unipen,nafcil) 2 gram Setiap 4 jam, IV
Vancomycin 15 mg/Kg BB/hari Setiap 12 jam, IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat


mempengaruhi penetrasi antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan
kapsul abses. Ttepai penggunaannya dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus
dimana terdapat resiko potensial dalam peningkatan TIK. Dosis yang dipakai 10
mg dexametason setiap 6 jam IV, dan ditapering dalam 3-7 hari.

Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya


TIK yang meningkt, papil edema, dan gambaran edema yang luas serta midline
shift pada SC-Scan. Korticosteroid diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-
off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala berkurang dan pada
pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema.
Penatalaksanaan secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan
menggunakan ST-Scan, yang diperiksa secara dini, untuk mengetahui tingkatan
peradangan seperti cerebritis atau dengan abses yang multiple.

Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara


antimikrobial dan tindakan bedah. Pada studi terakhir, sampai eksisi dan
drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur pilihan. Tetapi pada
center2 tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-guided
aspiration and biobsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel,
abses batang otak dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.
Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyan menguntungkan ,
seperti small deep abscess, multiple abcess dan early cerebritic stage.

Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna


diantara penderita yang mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi
eksisi dalam mengurangi resiko kejang.

Pda penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi


mengingat proses desak ruang yang cukup besar guna mengurangi efek massa
baik oleh edema maupun abses itu sendiri, disamping itu pertimbangan ukuran
abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal

Antibiotik mungkin dapat digunakan tersendiri, seperti pada keadaan


abses berkapsul dan secara umum jika luas lesi yang menyebabkan sebuah
massa yang berefek terjadinya peningkatan TIK. Namun harus ditatalaksanakan
dengan kombinasi antibiotik dan spirasi abses.

Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena


prosedur ini dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas jika dibandingkan
dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika abses berdiameter
lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi
yang terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses
infeksi seperti mastoiditis, sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan
pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik bergantung pada organisme
dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang yata terlihat 4-6
minggu.

Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi jiga oleh lokasi abses dan


posisinya terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan
tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada
tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging).

Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah


mengalami kejang dengan frekuensi yang cukup sering. Penghentian
anticunvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan klinis penderita
selanjutnya.
a. Terapi antibiotik. Kombinasi antibiotik dengan antibiotik spektrum luas.
Atibiotik yang dipakai penicilli, chlorampenikol, (chloramycetin) dan
nafacillen(unipen), Bila telah diketahui bakteri anaerob, metronidazole (flagyl)
juga dipakai.

b. Surgery : aspirasi atau eksisi lengkap untuk evaluasi abses.

10. Pengobatan

Dasar pengobatan penyakit abses otak adalah mengurangi efek masa dan
menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksanaan obses otak dapat dibagi
menjadi pengobatan bedah dan konservatif. Untuk menghilangkan penyebab
dapat dilakukan operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik.

a. Antibiotik

Dengan ditemukannya ST-Scan banyak laporan tentang keberhasilan


pengobatan dengan antibiotik saja atau dengan kombinasi steroid untuk
mengurangi edema. Dikatakan banyak kesulitan dalam pemberian antibiotik.
Karena selain harus mampu menembus sawar darah otak, harus juga mampu
menembus kapsul bial abses telah berkapsul, mempunyai spektrum luas karena
adanya berbagai macam mikroorganisme penyebab abses. Penyuntikan
antibiotik langsung ke dalam abses tidak dianjurkan karena ini dapat
menyebabkan timbulnya fokus epileptikus. Black melaporkan bahwa
clorampenikol, penicilin dan meticilin, dapat masuk ke dalam abses.

Ukuran abses penting dalam pengobatan ringan antibiotik. Rosenblun


melaporkan kesembuhan abses dengan diameter kecil (rata-rata 1-7 cm),
sedangkan abses yang lebih besar intervensi bedah. Namun demikian abses yang
kecil tidak selalu sembuh bahkan dapat membesar. Bila klini makin jelek, CT-
Scan harus diulang dan bila menunjukkan pembesaran abses harus dilakukan
operasi.
Kriteria pasien yang hanya dapat di terapi dengan antibiotik adalah sebagai
berikut:

1). Diperkirakan operasi akan memperburuk keadaan

2). Abses multiple terutama yang jaraknya berjauhan setu sama lain

3). Abses disertai meningitis

4). Abses lokasinya sulit dicapai dengan operasi atau operasi diperkirakan akan
merusak fungsi vital

5). Abses yang disertai hydrosepalus yang mungkin akan terinfeksi bula
dilakukan operasi

b. Korticosteroid

Hanya digunakan bila terdapat efek masa yang menyebabkan manifestasi


neurologis lokal dan penurunan kesadaran. Sebaiknya bila terjadi perbaikan
kesadaran status neurologi memungkinkan, maka pemberian steroid harus secara
berangsur-angsur.

c. Pembedahan

Bisa berup eksisi atau fungsi aspirasi

Pengobatan

a. Antibiotik : penicillin G, Chlorampenikol, nafcillin, metronidazole

b. Glococorticosteroid : dexamethasone

c. Anticonvulsan
B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnesis

1). Identitas klien, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku bangsa, tgl MRS, askes dst.

2). Keluhan utama : nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran

3). Riwayat penyakit sekarang : demam, anoreksia, dan malaise, peninggian


tekanan intrakranial, serta gejala neurologik fokal.

4). Riwayat penyakit dahulu : pernah atau tidak menderita infeksi telinga
(otitis media, mastoiditis), atau infeksi paru-paru (bronkiektasis, abses
paru, empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.

b. Pemeriksaan Fisik

1). Keadaan umum

2). Pola fungsi kesehatan :

a). Aktivitas/istirahat :

Gejala : Malaise

Tanda : Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter

b). Sirkulasi

Gejala : adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis

Tanda : TD meningkat, nadi menurun (berhubungan peningkatan TIK


dan pengaruh pada vasomotor).

c). Eliminasi

Tanda : adanya inkontinensia dan atau retensi

d). Nutrisi

Gejala : kehilangan napsu makan, disfagia (pada periode akut)


Tanda : Anoreksia, muntah, turgor kulit jelek, membran mukosa
kering

e). Higiene

Tanda : ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri


(pada periode akut )

f). Neurosensori

gejala : sakit kepala, parestesia, timbul kejang, gangguan penglihatan

Tanda : penurunan status mental dan kesadaran, kehilangan memori,


sulit dalam mengambil keputusan, afasia, mata : pupil unisokor
(peningkatan TIK), nistagmus, kejang umum lokal.

g). Nyeri/keamanan

gejala : sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan


leher/punggung kaku.

Tanda : tampak terus terjaga, menangis/mengeluh

h). Pernapasan

Gejala : adanya riwayat infeksi sinus atau paru

Tanda : peningkatan kerja pernapasan (episode awal), perubahan


mental (letargi sampai koma) dan gelisah

i). Keamanan

gejala : adanya riwayat ISPA/infeksi lain meliputi : mastoiditis,


telinga tengah, sinus, abses gigi, infeksi pelvis, abdomen atau kulit,
fungsi lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak/cedera kepala

Tanda : suhu meningkat, diaforesis, menggigil, kelemahan secara


umum, tonus otot flaksid atau spastik, paralisis atau parese,
gangguan sensasi.
2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan abses otak,


yaitu :

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan


akulumasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan tingkat
kesadaran

b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan


peradangan dan edema otak dan selaput otak

c. Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak

d. Resiko cedera berhubungan dengan kejang, perubahan status mental


dan penurunan tingkat kesadaran

e. gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan


ketidakmampuan menelan, hipermetabolik

f. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis


penyakit, perubahan psikosis, perubahan persepsi kognitif, perubahaan
aktual dalam struktur dan fungsi ketidakberdayaan dan merasa tidak ada
harapan dan tidak ada teman bermain.

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan - Kaji fungsi paru, adanya
bersihan jalan nafas keperawatan selama 3x24 jam, bunyi napas tambahan,
b.d akumulasi sekret jalan napas kembali efektif perubahan irama dan
dengan K.H : kedalaman, penggunaan
- Sesak napas berkurang otot-otot bantu pernapasan,
- Frekuensi napas normal warna dan kekentalan
- Tidak menggunakan otot sputum
bantu napas - Atur posisi fowler dan semi
- Tidak terdengar ronchi fowler
- Tidak terdengar bunyi - Ajarkan cara batuk efektif
wheezing - Lakukan fisioterapi dada,
vibrasi dada
- Penuhi hidrasi cairan via
oral, seperti minum air putih
dan pertahankan asupan
cairan 2500 ml/hari
- Lakukan pengisapan lendir
di jalan nafas.
2. Perubahan perfusi Setelah dilakukan tindakan - Monitor klien dengan ketat
jaringan otak b.d keperawatan selama 3x24 jam, terutama setelah lumbal
peradangan dan perfusi jaringan meningkat fungsi, anjurkan klien
oedema otak dan dengan K.H: berbaring minimal 4-6 jam
selaput otak - Tingkat kesadaran setelah lumbal fungsi
meningkat menjadi sadar - Monitor tanda-tanda
- Disorientasi negatif peningkatan TIK selama
- Konsentrasi baik perjalanan penyakit (nadi
- Perfusi jaringan dan lambat, TD meningkat,
oksigenasi baik kesadaran menurun, napas
- TTV dalam batas normal irreguler, refleks pupil
- Syok dapat dihindari menurun, kelemahan)
- Monitor TTV dan neurologis
tiap 5-30 menit catat dan
laporkan perubahan2 TIK
- Hindari posisi tungkai
ditekuk atau gerakan2 klien
anjurkan untuk tirah baring
- Tinggikan kepala klien
dengan hati2, cegah gerakan
yg tiba2 dan tidak perlu dari
flexi leher, hindari fleksi
leher
- Bantu seluruh aktivitas dan
gerakan2 klien
- Beri penjelasan kepada klien
tentang keadaan lingkungan
- Evaluasi selama masa
penyembuhan terhadap
gangguan motorik, sensorik
dan intelektual
- Kolaborasi pemberian steroid
osmotik
3. Nyeri kepala b.d Setelah dilakukan asuhan - Berikan lingkungan yang
iritasi selaput dan keperawatan selama 3x24 jam, aman dan tenang
jaringan otak keluhan nyeri berkurang / rasa - Kompres dingin (es ) pd
sakit terkendali dengan K.H : kepala
- Klien dapat tidur dengan - Lakukan penatalaksanaan
tenang, wajah rileks nyeri dengan metode
distraksi dan relaksasi nafas
dalam
- Lakukan latihan gerak
aktif/pasif sesuai kondisi dg
lembut dan hati2
- Kolaborasi pemberian
analgetik
4. Resiko cidera b.d Setelah dilakukan asuhan - monitor kejang pada tangan,
kejang, perubahan keperawatan selama 3x24 jam, kaki, mulut dan otot-otot muka
status mental dan klien bebas dari cedera yang lainnya
penurunan tingkat disebabkan oleh kejang dan - pesiapkan lingkungan yang
kesadaran penurunan kesadaran aman seperti batasan ranjang,
Dengan K.H : papan pengaman, dan alat
- Klien tidak mengalami suction selama berada dekat
cidera apabila ada kejang klien
berulang - pertahankan bedrest total
selama fase akut
- kolaborasi pemberian terapi,
diazepam, fenobarbital
5. Gangguan nutrisi Setelah dilakukan asuhan - observasi tekstur dan
kurang dari keperawatan selama turgor kulit
kebutuhan b.d 3x24 jam , kebutuhan - lakukan oral hygiene
ketidakmampuan klien terpenuhi dengan - observasi asupan dan
menelan, K.H : keluaran
hipermetabolik -Turgor baik - observasi posisi dan
- asupan dapat masuk keberhasilam sonde
sesuai kebutuhan - tentukan kemampuan
- terdapat kemampuan klien dalam
menelan mengunyah,menelan, dan
- sonde dilepas refleks batuk
- BB meningkat - kaji kemampuan klien
- Hb dan albumin DBN dalam menelan, batuk dan
adanya secret
- auskultasi bising usus,
amati penurunan atau
hiperaktivitas bising usus
- timbang BB sesuai
indikasi
- berikan makanan dengan
cara meninggikan kepala
- Letakkan posisi kepala
lebih tinggi pada waktu
selama dan sesudah
makan
- stimulasi bibir untuk
menutup dan membuka
mulut secara manual
dengan menekan ringan
diatas bibir/dibawah dagu
jika dibutuhkan
- letakkan makanan pada
daerah mulut yang tidak
terganggu
- mulailah untuk
memberikan makanan oer
oral setengah cair dan
makanan lunak ketika
klien dapat menelan air
- anjurkan klien
menggunakan sedotan
untuk minum
- kolaborasi dengan tim
dokter untuk memberikan
cairan melalui IV atau
makanan melalui selang
6. Koping individu Setelah dilakukan - Kaji perubahan dari
tidak efektif b.d tindakan keperawatan gangguan persepsi dan
prognosis selama 3x24 jam, harga hubungan dengan derajat
penyakit, diri anak meningkat, ketidakmampuan
perubahan anak menjadi nyaman - Identifikasi arti dari
psikosis, dan terhibur dengan kehilangan atau
perubahan K.H : disfungsi pada anak
persepsi kognitif, - Mampu menyatakan - Orangtua untuk selalu
perubahan aktual atau menemani anak
dalam struktur mengkomunikasika - Bantu dan anjurkan
dan fungsi n dengan orang tua perawatan yang baik dan
ketidakberdayaan ttg situasi dan memperbaiki kebiasaan
dan merasa tidak perubahan yang - Anjurkan orangtua yang
ada harapan dan sedang terjadi, anak terdekat untuk
teman bermain dapat bermain dan mengijinkan anak
lebih tenang melakukan
sebanyak2nya hal untuk
dirinya
- Dukung perilaku atau
usaha seperti
peningkatan minat atau
partisipasi dalam
aktivitas herabilitasi
- Berikan koping individu
dengan mengajak anak
untuk belajar mewanai
dan menggambar
- Monitor gangguan tidur,
peningkatan kesulitan
konsentrasi, letargi dan
menarik diri

4. Implementasi

Implementasi yang akan dilakukan disesuaikan dengan masalah yang ada


berdasarkan perencanaan yang telah disusun atau dibuat (Doenges M.E,
2001)

5. Evaluasi

Evaluasi berdasarkan tujuan dan outcome

a. jalan nafas efektif dan tidak ada batuk

b. peradangan dan oedema teratasi

c. nyeri kepala teratasi

d. tidak ada cedera

e. kebutuhan nutrisi terpenuhi

f. anak menjadi lebih tenang dan mampu bersosialisasi dengan baik


DAFTAR PUSTAKA

Price, sylvia A, 2005 , Patofisologi : Konsep klinis proses-proses penyakit Ed-6


vol.2, Jakarta : EGC

Long, Barbara C, 1996 , Perawatan Medikal Bedah, Suatu Pendekatan proses


keperawatan, Bandung, Yayasan IAPK

Doenges, Moorhouse, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan , Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien , Jakarta, EGC

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan Kreteria Hasil
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai