Disusun oleh :
Kelompok 3
Ayumi Zahra (20402004 )
Ayu Nisa Maharani (20402006)
Lina Indriani Ariyanto (20402009)
Putu Salsabila Natasya Putri (20402019)
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penulis merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
1. Kesimpulan ...................................................................................................16
2. Saran ..............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan
ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal
ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal
yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual
beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi,
meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang
berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun
(rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan
bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat
sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang
terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum
dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang
hukum pribadi (pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah
suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai
perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum
yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak
yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu
prestasi. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum
4
antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang
atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan
dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain,
yang berhak atas sikap yang demikian itu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari hukum perikatan islam?
2. Bagaimana karakteristik mengenai hukum perikatan islam?
3. Apa saja aspek-aspek yang ada di dalam hukum perikatan islam?
4. Bagaimana asas-asas dari hukum perjanjian?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari hukum perikatan islam.
2. Untuk mengetahui tentang karakteristik mengenai hukum perikatan islam.
3. Untuk mengetahui tentang aspek-aspek didalam hukum islam.
4. Untuk mengetahui tentang asas-asas dari hukum perjanjian.
5
BAB II
PEMBAHASAN
1
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, hlm 3
6
B. Karakteristik Hukum Perikatan Islam
Islam merupakan agama sempurna, ajaran yang bersumber dari Allah
Swt. yang mengatur seluruh bidang kehidupan manusia yang disampaikan
melalui Rasulullah SAW yaitu Nabi Muhammad. Salah satu bidang yang diatur
dalam Islam adalah hukum. Karakteristik hukum dalam Islam berbeda dengan
hukum-hukum yang lain sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat.
Menurut penjelasan beberapa para ahli, karakteristik hukum dalam Islam
adalah komprehensivitas dan realisme, maksudnya adalah dapat terlihat dari
keberlakuan hukum dalam Islam di masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh
Yusuf Qardhawi:
“Hukum dalam Islam tidaklah ditetapkan hanya untuk seorang individu
tanpa keluarga, dan bukan pula ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa
masyarakat, bukan pula untuk suatu masyarakat secara terpisah dari masyarakat
lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu
bangsa saja secara terpisah dari bangsa-bangsa dunia yang lainnya, baik bangsa
Penganut Agama Ahlul Kitab maupun kaum penyembah berhala.” (Sumber:
Pengantar kajian Islam: 156)
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum Islam itu terbagi menjadi dua
lingkup kajian, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum ibadah adalah
hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala atau dalam bahasa Arab biasa disebut sebagai Hablun Minallah
(hubungan vertikal). Sedangkan hukum muamalat adalah hukum yang mengatur
manusia dengan manusia lain, benda, dan alam semesta, mencakup bidang
keluarga sipil dan perdata, pidana, kepemerintahan dan internasional (Hablun
Minannas).
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa karakteristik hukum Islam
dibagi menjadi dua, yaitu komprehensivitas dan realisme. Komprehensifitas
hukum Islam dapat kita lihat dalam implikasi hukumnya yang menyentuh
sampai pada inti terdalam, berbagai permasalahan, faktor yang mempengaruhi
7
hukum dan yang terpengaruh oleh hukum. Sedangkan realisme dinyatakan oleh
Yusuf Qardhawi sebagai berikut:
“Hukum Islam tidaklah mengabaikan kenyataan (realita) dalam setiap
apa yang dihalalkan dan yang diharamkannya dan juga tidak mengabaikan
realita ini dalam setiap apa yang ditetapkannya dari peraturan dan hukum bagi
individu, keluarga, masyarakat, negara dan seluruh umat manusia”. (Sumber:
Pengantar kajian Islam: 159-169)
Contoh kecil, daging Babi yang dengan tegas diharamkan oleh Al-
Qur’an. Hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi
(realita). Al-Qur’an mengharamkan karena secara mutlak (realita) babi tidaklah
bagus untuk dikonsumsi, baik ditinjau dari segi medis atau kesehatan. Jika
hukum Islam melarang, berarti itulah kebenaran dari yang sebenar-benarnya
keburukan. Jika hukum Islam mewajibkan, berarti itulah kebenaran dari yang
sebenar-benarnya kebaikan.
Penghalalan dan pengharaman dalam Islam ini merupakan hal yang
sangat memperhatikan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Selain itu, hukum
Islam pun juga cenderung memudahkan dan meringankan yang dapat
menyesuaikan dengan setiap situasi dan kondisi di setiap zaman dan tempat.
Hal itu dapat dilihat dari sejarahnya bahwa pemberlakuan suatu
ketentuan ini dilakukan secara bertahap. Sumber utama dari hukum Islam itu
sendiri adalah Al-Qur’an, kemudian diperjelas lagi oleh hadis-hadis Nabi
(sumber hukum kedua). Hadis adalah segala perbuatan, perkataan dan ketetapan
Muhammad Saw, Nabi Akhiruzzaman yang menyempurnakan serta melengkapi
semua hal yang berkaitan dengan Islam.
Kemudian sumber hukum Islam yang ketiga adalah kitab-kitab mazhab,
yaitu kitab-kitab hasil ijtihad ulama khusus, yaitu ulama-ulama Mujtahid yang
“berhak” membuat hukum Islam yang kurang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadis. Seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, dan ulama-ulama
mazhab lain yang kecerdasannya di atas rata-rata. Yang keempat dan kelima ada
Ijma’ dan Qiyas.
8
C. Aspek-aspek Hukum Islam
Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan hukum
lainnya. Hukum dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat (hukum muamalat), seperti
yang diatur dalam hukum barat, namun hukum dalam Islam juga mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yaitu sebuah
hukum ibadah yang tidak diatur dalam hukum lainnya. Dalam kajian Islam, kita
sering menyebutnya sebagai Hablun Minannas (Hubungan Horizontal) dan
Hablun Minallah (Hubungan Vertikal). Maksudnya adalah setiap manusia harus
memenuhi keseimbangan hubungannya, baik yang vertikal (hubungan manusia
dengan Allah) maupun horizontal (hubungan manusia dengan manusia lain.
Dalam hubungan vertikal, kita mengenal istilah ibadah yang mencakup
segala aspek yang berkaitan dengan kerohanian batin, seperti ibadah wajib dan
sunnah, perbuatan makruh, mubah dan haram.Sedangkan dalam hubungan
horizontal, kita mengenal istilah muamalat yang mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan hubungan sosial, seperti berkomunikasi, jual beli, cara bergaul,
dan lain sebagainya, intinya adalah segala sesuatu yang melibatkan manusia
lain.Terlepas dari dua unsur tersebut, kita juga harus mengenal tentang aspek-
aspek hukum Islam.
9
Hukum Muamalat adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan
pergaulan hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta
penyelesaian persengketaan-persengketaan, seperti perjanjian jual beli, sewa-
menyewa, utang-piutang, gadai, hibah dan sebagainya.
4. Hukum tata negara dan tata pemerintahan
Hukum tata negara dan tata pemerintahan (Al-Ahkam As-Sulthaniyah
atau As-Syiyasah Asy-Syar’iyah) adalah hukum-hukum yang berhubungan
dengan tata kehidupan bernegara, seperti hubungan penguasa dengan rakyat,
pengangkatan kepala negara,hak dan kewajiban penguasa dan rakyat di balik
dan lain sebagainya.
5. Hukum pidana
Hukum pidana atau Al-Jinayat adalah hukum-hukum yang berhubungan
dengan kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan pidana dan ancaman
pidana.
6. Hukum antar negara
Hukum antar negara atau As-Siyar adalah hukum yang mengatur
hubungan antara negara Islam dengan negara-negara lain, seperti aturan-
aturan hubungan pada waktu damai dan pada waktu perang.
7. Hukum sopan santun
Hubungan sopan santun atau adab adalah hukum-hukum yang
berhubungan dengan budi pekerti kepatutan nilai baik dan buruk, seperti
mengeratkan hubungan persaudaraan, makan minum dengan tangan kanan,
mendamaikan orang yang berselisih dan lain sebagainya
D. Asas-asas Hukum Perjanjian
Asas-asas Hukum Perjanjian Asas hukum adalah suatu pikiran yang
bersifat umum dan abstrak yang melatarbelakangi hukum positif. Dengan
demikian asas hukum tersebut tidak tertuang dalam hukum yang konkrit.
Pengertian tersebut dapat ditarik dari pendapat Sudikno Mertokusumo,
yang memberi penjelasan sebagai berikut: Pengertian asas hukum atau prinsip
hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar
yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit
10
yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum
positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam
peraturan konkrit tersebut2.
Bellefroid berpendapat bahwa asas hukum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal
dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum umum itu merupakan
pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat3.
Bruggink menyebutkan asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran 4
(kriteria) nilai. Asas hukum itu berfungsi sebagai meta-kaidah terhadap kaidah
perilaku. Asas hukum mewujudkan kaidah hukum tertinggi dari suatu sistem
hukum positif. Karena sifatnya yang terlalu umum maka untuk dapat berperan
kaidah hukum harus dikonkritisasikan baik dalam bentuk peraturan-peraturan
hukum maupun putusan-putusan hakim5.
Van Eikema Homes, menjelaskan bahwa asas hukum bukan sebagai
norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-
dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Oleh karenanya
pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut6.
Asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum karena asas
hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan
hukum dan sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan
ratiolegisdari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan
melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya7.
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah :
1. Asas kebebasan berkontrak
2
Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2003, hal.33.
3
Ibid.,hal.5
4
Kaedah atau norma merupakan patokan atau pedoman untuk hidup. Lihat Purnadi Purbacaraka, Soerjono
Soekanto, Perihal 46 Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,1993, hal.7.
5
J.J.H.Bruggink,Refleksi tentang Hukum, dialihbahasakan oleh B.Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, hal.123-132.
6
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal.35.
7
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,2000, hal.45
11
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat
penting dalam hukum kontrak.
Dari perkataan semua yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, dapat disimpulkan bahwa setiap orang atau masyarakat bebas untuk
mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja, baik mengenai bentuknya
maupun objeknya dan jenis perjanjian tersebut.
12
terdapat dalam bagian khusus Buku III KUH Perdata. Dengan kata lain, para
pihak dapat membuat ketentuan-ketentuan yang akan berlaku di antara
mereka. Undang-undang hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang
belum diatur di antara mereka.
2. Asas konsensualisme
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata yang
menentukan untuk syarat sahnya suatu perjanjian memerlukan sepakat
mereka yang mengikatkan diri. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata
penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan
dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang
diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya
baik untuk menciptakan perjanjian.
Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang
berarti pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan
13
dalam perjanjian yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian
yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ini terdapat dalam
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dari perkataan “berlaku
sebagai undang-undang dan tak dapat ditarik kembali” berarti bahwa
perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan perjanjian
tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lawannya.
Jadi para pihak harus mentaati apa yang telah mereka sepakati bersama.
Pelanggaran terhadap isi perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan
pihak lain dapat mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi dari pihak
lawan. Asas ini berarti siapa berjanji harus menepatinya atau siapa yang
berhutang harus membayarnya.
14
Itikad baik dalam segi objektif, berarti kepatuhan, yang berhubungan
dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara
melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma
kepatuhan dan kesusilaan.
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih.
Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak
mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang
dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian
itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam
pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan.
5. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan
seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan pengalihan
kekayaan secara sah. Tidak terpenuhinya keseimbangan, dalam konteks asas
keseimbangan, bukan semata menegaskan fakta dan keadaan, melainkan
lebih dari itu berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal suatu perjanjian.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari Hukum Islam bidang
muamalah yang mengatur prilaku manusia di dalam menjalankan hubungan
ekonominya. Menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH hukum perikatan islam
merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al Qur'an, As
Sunnah, Hadits dan Ar Ra'yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara
dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu
transaksi. Islam merupakan agama sempurna, ajaran yang bersumber dari Allah
Swt. yang mengatur seluruh bidang kehidupan manusia yang disampaikan
melalui Rasulullah SAW yaitu Nabi Muhammad. Salah satu bidang yang diatur
dalam Islam adalah hukum. Karakteristik hukum dalam Islam berbeda dengan
hukum-hukum yang lain sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat.
Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan hukum
lainnya. Hukum dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat (hukum muamalat), seperti
yang diatur dalam hukum barat, namun hukum dalam Islam juga mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala yaitu sebuah
hukum ibadah yang tidak diatur dalam hukum lainnya.
B. Saran
Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan
kami dengan adanya tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya
pada mata kuliah Hukum Perikatan Islam, kita bisa mengetahui tentang “ Asas
Hukum Perikatan Islam”. Kami sadar dalam makalah ini masih banyak
kesalahan dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untuk itu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
16
DAFTAR PUSTAKA
Kaedah atau norma merupakan patokan atau pedoman untuk hidup. Lihat Purnadi
Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Perihal 46 Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung,1993
Hukum Perikatan Islam adalah bagian dari Hukum Islam bidang muamalah yang
mengatur prilaku manusia di dalam menjalankan hubungan ekonominya.
Menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH hukum perikatan islam merupakan
seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari Al Qur'an, As Sunnah, Hadits
dan Ar Ra'yu (Ijtihad) yang mengatur tentang hubungan antara dua orang atau
lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi objek suatu transaksi
Adapun kaidah-kaidah fiqih yang berfungsi sebagai pemahaman dari syariah
yang dilakukan oleh manusia para ulama mazhab yang merupakan suatu bentuk
dari ijtihad. Dari pengertian di atas, tampak adanya kaitan yang erat antara
Hukum
Perikatan yang bersifat hubungan perdata dengan prinsip kepatuhan dalam
menjalankan ajaran agama Islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-
sumber Hukum Islam tersebut. Hal ini menunjukkan adanya sifat
"religioustrasendental" yaitu terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi
Hukum Perikatan Islam itu sendiri yang merupakan pencerminan otoritas Allah
17
SWT Tuhan yang Maha Mengetahui segala tindak tanduk manusia dalam
hubungan antar sesamanya
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa karakteristik hukum Islam dibagi menjadi
dua, yaitu komprehensivitas dan realisme. Komprehensifitas hukum Islam dapat kita
lihat dalam implikasi hukumnya yang menyentuh sampai pada inti terdalam, berbagai
permasalahan, faktor yang mempengaruhi hukum dan yang terpengaruh oleh hukum.
Sedangkan realisme dinyatakan oleh Yusuf Qardhawi sebagai berikut:
“Hukum Islam tidaklah mengabaikan kenyataan (realita) dalam setiap apa yang
dihalalkan dan yang diharamkannya dan juga tidak mengabaikan realita ini dalam setiap
apa yang ditetapkannya dari peraturan dan hukum bagi individu, keluarga, masyarakat,
negara dan seluruh umat manusia”.
Islam merupakan agama sempurna, ajaran yang bersumber dari Allah Swt. yang
mengatur seluruh bidang kehidupan manusia yang disampaikan melalui Rasulullah
SAW yaitu Nabi Muhammad. Salah satu bidang yang diatur dalam Islam adalah hukum.
Karakteristik hukum dalam Islam berbeda dengan hukum-hukum yang lain
sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Menurut penjelasan beberapa
para ahli, karakteristik hukum dalam Islam adalah komprehensivitas dan realisme,
maksudnya adalah dapat terlihat dari keberlakuan hukum dalam Islam di masyarakat.
Menurut penjelasan beberapa para ahli, karakteristik hukum dalam Islam adalah
komprehensivitas dan realisme, maksudnya adalah dapat terlihat dari keberlakuan
hukum dalam Islam di masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum Islam itu terbagi menjadi dua lingkup kajian,
yaitu hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum ibadah adalah hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala atau dalam bahasa Arab
biasa disebut sebagai Hablun Minallah (hubungan vertikal). Sedangkan hukum
muamalat adalah hukum yang mengatur manusia dengan manusia lain, benda, dan alam
18
semesta, mencakup bidang keluarga sipil dan perdata, pidana, kepemerintahan dan
internasional (Hablun Minannas).
Konsep hukum antara hukum dalam Islam berbeda dengan hukum lainnya. Hukum
dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat (hukum muamalat), seperti yang diatur dalam hukum barat,
namun hukum dalam Islam juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah
Subhanahu Wa Ta'ala yaitu sebuah hukum ibadah yang tidak diatur dalam hukum
lainnya.
Asas-asas Hukum Perjanjian Asas hukum adalah suatu pikiran yang bersifat umum dan
abstrak yang melatarbelakangi hukum positif. Dengan demikian asas hukum tersebut
tidak tertuang dalam hukum yang konkrit. Pengertian tersebut dapat ditarik dari
pendapat Sudikno Mertokusumo, yang memberi penjelasan sebagai berikut: Pengertian
asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan
hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam
Peraturan konkrit tersebut.
19