Anda di halaman 1dari 4

A.

Dasar Teori
Senyawa antibakteri adalah senyawa kimiawi atau biologis baik alami maupun sintetik
yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Nurhayati, dkk., 2020). Aktivitas
pengendalian yang diarahkan untuk menghancurkan mikroorganisme berbahaya tersebut
dapat dinamakan desinfeksi. Disinfeksi dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahan
kimia, radiasi ultraviolet, air mendidih, atau uap. Bahan kimia dalam disinfeksi yang
digunakan untuk menangani permukaan atau zat yang lembam disebut dengan disinfktan.
Adapun disinfeksi yang ditujukan pada jaringan hidup disebut antisepsis, dan bahan kimia
yang yang digunakan dinamakan antiseptik (Tortora, dkk., 2018). Menurut Boleng (2015),
antiseptik adalah suatu substansi yang melawan infeksi (sepsis) serta mencegah pertumbuhan
atau kerja mikroorganisme dengan cara menghancurkan atau menghambat pertumbuhan dan
aktivitasnya.
Antiseptik dan desinfektan adalah zat kimia yang digunakan untuk mencegah
kontaminasi dan infeksi. Menurut Cappucino dan Sherman (2014), efisiensi semua
disinfektan dan antiseptik dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:
1. Konsentrasi
Konsentrasi bahan kimia antimikroba yang lebih tinggi dapat menjadikan kematian
mikroba yang lebih cepat.
2. Lama paparan
Semua mikroba tidak dimusnahkan dalam waktu paparan yang sama. Bentuk mikroba
yang sensitif seperti pada sel vegetatif dapat dihancurkan lebih cepat daripada bentuk
yang tahan seperti spora. Semakin lama mikroba terpapar agen, semakin besar aktivitas
antimikroba.
3. Jenis populasi mikroba yang akan dimusnahkan
Mikroorganisme mempunyai kerentanan yang bervariasi terhadap kerusakan oleh bahan
kimia. Spora bakteri adalah bentuk yang paling resisten. Bakteri berkapsul lebih tahan
daripada bentuk nonkapsul, Bakteri tahan asam lebih tahan daripada yang tidak tahan
asam, sel yang kurang aktif secara metabolik lebih tahan dibandingkan sel yang lebih
muda.
4. Kondisi lingkungan
Suhu, pH, dan jenis medium mikroba merupakan kondisi lingkungan yang dapa
mempengaruhi bahan kimia antimikroba dalam melawan mikroba. Peningkatan suhu
selama disinfeksi atau antisepsis dapat meningkatkan laju penghancuran populasi
mikroba. Kondisi pH yang ekstrim dapat meningkatkan aksi antimikroba suatu bahan
kimia. Jenis medium mikroba yang bersifat organik seperti darah, dapat menurunkan
aktivitas antimikroba terhadap mikroba.
Salah satu antiseptik yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah
cairan pembersih lantai. Senyawa antimikroba yang biasanya terkandung dalam cairan
pembersih lantai adalah surfaktan. Surfaktan (surface active agent) atau zat aktif permukaan
adalah senyawa kimia yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan merupakan
ampifilik yang mempunyai dua ujung yang berbeda interaksinya dengan air, yakni kepala
yang suka air dan ekor yang tidak suka dengan air. Surfaktan dapat diklasifikasikan menjadi
4 macam, yaitu surfaktan anonik, kationik, nonionik, dan amfoterik (Erlita, 2010). Surfaktan
atau bahan aktif permukaan yang umumnya digunakan sebagai zat pembasah dan pembusa
yang berperan sebagai basis dasar untuk cairan pembersih. Jenis surfaktan anionik, nonionik
dan amfoter yang digunakan merupakan jenis surfaktan yang umumnya digunakan pada
cairan pembersih, sedangkan surfaktan kationik sering digunakan sebagai antimikroba.
Konsentrasi surfaktan yang biasa digunakan dalam cairan pembersih lantai sekitar 0 - 12%
(Gary, et al, 1992).
Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri jika pada
konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Kriteria kekuatan antibakteri
menurut Nazri et al. (2011), adalah sebagai berikut:
1. Diameter zona hambat 15-20 mm : Daya hambat kuat
2. Diameter zona hambat 10-14 mm : Daya hambat sedang
3. Diameter zona hambat 0-9 mm : Daya hambat lemah
Untuk menguji keefektifan agen antimikroba terhadap mikroba, terdapat dua metode
yang dapat digunakan, yaitu metode dilusi dan difusi. Metode dilusi adalah metode yang
digunakan untuk mengetahui potensi suatu senyawa terhadap aktifitas mikroba dengan
menentukan Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) (Fatisa, 2013). Adapun Metode Difusi
merupakan metode pengujian dengan adanya zona hambat yang menunjukkan terdifusinya
senyawa antibakteri ke dalam media yang berisi bakteri (Nurhayati, dkk., 2020). Menurut
Pratiwi dalam Nurhayati, dkk. (2020), metode difusi dibedakan mejadi 3, yaitu metode
sumuran, metode silinder, dan metode cakram. Metode difusi cakram merupakan metode
yang paling sering digunakan karena pengujian dapat berlangsung lebih cepat daripada
metode lain.
Prinsip kerja metode difusi cakram adalah terdifusinya senyawa antibakteri ke dalam
media padat dimana mikroba uji telah diinokulasikan. Hasil pengamatan yang diperoleh
berupa ada atau tidaknya daerah bening yang terbentuk di sekeliling kertas cakram (paper
disk) yang menunjukan zona hambat pada pertumbuhan bakteri (Nurhayati, dkk., 2020).
Zona penghambatan merupakan indikasi aktivitas antimikroba dalam melawan mikroba.
Tidak adanya zona hambatan menunjukkan bahwa bahan kimia tersebut tidak efektif
terhadap organisme uji. Ukuran zona hambatan tidak menunjukkan tingkat keefektifan bahan
kimia tersebut (Cappucino & Sheman, 2014). Semakin besar diameter hambat maka semakin
aktif zat uji tersebut sebagai antibakteri yang menunjukkan bahwa semakin banyak bakteri
yang dapat dihambat pada pertumbuhannya oleh zat uji (Novita, 2016). Penggunaan paper
disk yang berisi antimikroba antiseptik digunakan untuk menentukan kerentanan mikroba
terhadap antimikroba (Tortora, dkk., 2018).
Kerentanan mikroba terhadap antimikroba dapat berbeda-beda di setiap spesies karena
adanya perbedaan struktur mikroba tersebut. Bakteri Gram negatif mempunyai resistensi
yang lebih baik terhadap senyawa antibakteri karena memiliki struktur dinding sel yang lebih
kompleks daripada bakteri Gram positif (Nurhayati, dkk., 2020). Dinding sel bakteri Gram
negatif memiliki konsentrasi lipid yang tinggi sebagai lapisan penghalang. Adapun struktur
dinding sel yang lebih sederhana pada bakteri gram positif, yang hanya mengandung
peptidoglikan, menyebabkan mudahnya senyawa antibakteri masuk ke dalam sel (Septiana &
Simanjuntak, 2015).

Daftar Rujukan

Boleng, D. T. 2015. Bakteriologi: Konsep-Konsep Dasar. Malang: UMM Press.


Cappuccino, J. G., & Natalie, S. 2014. Microbiology A Laboratory Manual. New York:
Addison-Wesley Publishing Company.
Erlita Oktaviani, 2011. Aplikasi Membran Selulosa Asetat Berporogen Nonilfenol Etoksilat
dalam Pemisahan Larutan Detergen. Skripsi. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmua Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
Fatisa, Y. 2013. Daya Antibakteri Estrak Kulit Dan Biji Buah Pulasan (Nephelium mutabile)
terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli secara In Vitro. Jurnal Peternakan, 10(1):
31-38.
Gary A. Davis, et al,. 1992. Housegold Cleaners: Environmental Evauation and Proposed
Standards for General Purpose Household Cleaners. University of Tennessee Center of Clean
Products and Clean Technologies. Green Seal, Inc
Nazri.,et al. 2011. In Vitro Antibacterial and Radical Scavenging Activities of Malaysian Table
Salad. African Journal of Biotechnology
Novita, W. 2016. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Daun Sirih (Piper Betle L) terhadap
Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans Secara In Vitro. Jambi Medical Journal, 4(2): 140-
155.
Nurhayati, L.S., Yahdiyani, N., & Hidayatulloh, A. 2020. Perbandingan Pengujian Aktivitas
Antibakteri Starter Yogurt dengan Metode Difusi Sumuran dan Metode Difusi Cakram. Jurnal
Teknologi Hasil Peternakan, 1(2): 41-46.
Septiana, E. & Simanjuntak, P. 2015. Aktivitas Antimikroba dan Antioksidan Ekstrak Beberapa
Bagian Tanaman Kunyit (Curcuma longa). Fitofarmaka, 5(1): 31-40.
Tortora, G.J., Funke, B. R., dan Case, C. L. 2018. Microbiology An Introduction. Unites States of
America: Pearson.

Anda mungkin juga menyukai