Anda di halaman 1dari 7

Al mutawallid (30100117027), prodi Aqidah dan filsafat islam

Napholion di mesir, Muhammad ali pasha dan al-tahtawi

A. Napholion di mesir

Pada tanggal 2 Juni 1798 M, ekspedisi Napoleon mendarat di


Alexandria (Mesir) dan berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil menguasai
Kairo. Setelah ditinggal Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah
ketika bertempur melawan Inggris. Dan pada saat bersamaan datanglah pasukan
Sultan Salim III (Turki Usmani) pada tahun 1789-1807 M dalam rangka mengusir
Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah Muhammad Ali yang
kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani

Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga


tahun, namun pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan
bangsa Mesir. Napoleon Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini
merupakan momentum baru bagi sejarah umat Islam, khususnya di Mesir yang
menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan
mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan yang kuat,
juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk
mengadakan penelitian.

Harun Nasution menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir tidak


hanya membawa tentara, akan tetapi terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita.
Diantara jumlah tersebut terdapat 167 orang ahli dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan dan membawa 2 unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan
Yunani, tujuannya untuk kepentingan ilmiah yang pada akhirnya dibentuk sebuah
lembaga ilmiah dinamai Institut d’Egypte terdiri dari ilmu pasti, ilmu alam,
ekonomi politik, dan sastera seni. Lembaga ini boleh dikunjungi terutama oleh
para ulama dengan harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan
mulailah terjadi kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing
bagi mereka. Alat percetakan yang dibawa Napoleon tersebut menjadi
perusahaan percetakan Balaq, perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang.
Sedangkan peralatan modern pada Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau
alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan kerja orang Prancis merupakan hal
yang asing dan menakjubkan bagi orang Mesir pada saat itu.1

Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun


1799 berkunjung ke Institut d’Egypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh
Napoleon di Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, “saya
1
Jainuri, Ahmad, Landasan Teologis Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
No. 3 Vol. VI. Tahun 1995.

1
lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-
hal besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada kita”, ungkapan
al-Jabarti itu merefleksikan kemunduran Islam berhadapan dengan Barat, dan
menunjukkan aktivitas ilmiah mengalami kemunduran umat Islam ketika itu. Di
samping kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa ide-ide
baru yang dihasilkan Revolusi Prancis seperti:

1. Sitem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih untuk


waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan
oleh Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan
raja absolut yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh
anaknya, serta tidak tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena
keduanya tidak ada.
2. Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya
rakyat dalam soal pemerintahan, cara mendirikan suatu badan kenegaraan
yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari
Kairo dan daerah-daerah lain.
3. Ide kebangsaan dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu
bangsa (nastion) dan kaum Mamluk merupakan orang asing yang datang
ke Mesir walaupun beragama Islam. Pada saat itu yang ada hanya umat
Islam dan tidak sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.2

B. Muhammad Ali pasha

Muhammad Ali Pasha adalah seorang tokoh pembaruan di Mesir yang


masih keturunan dari Turki. Ia lahir di Kawalla, Yunani pada tahun 1765 dan
meninggal tahun 1849 di Mesir. Ayahnya adalah seorang pedagang dan dapat
dikatakan bahwa Muhammad Ali lahir dalam keadaan keluarga tidak mampu
sehingga ia tidak pernah mengenyam pendidikan yang menjadikannya sebagai
orang yang ummi (buta huruf). Tetapi tidak ada yang menyangka dengan
latarbelakang yang seperti ini, ia mampu menjadi panglima dan tokoh pembaruan
sekaligus pendiri negara Mesir modern. Dari keadaan Muhammad Ali Pasya yang
demikian membuat ia menjadi seorang pemuda yang giat bekerja dan cakap. Sifat
kecakapannya membuat ia lebih dikenal bahkan disayangi oleh gubernur Ustman.
Kecakapannya itu mulai muncul ketika ia berumur dewasa dan bekerja sebagai
pemungut pajak. Dari kecakapan dan kesungguhannya dalam menjalankan amanat
sebagai pemungut pajak, gubernur Utsmani mengambilnya sebagai seorang

2
Fauzi, Jurnal IBDA (Studi Islam dan Budaya), Pembaharuan Islam, Memahami Makna, Landasan,
dan Substansi Metode), P3M STAIN Purwekerto: Vol.2, No. 1, Jan-Jun 200

2
menantu. Setelah diambil menjadi menantu, ia ditugaskan menjadi seorang wakil
perwira yang memimpin pasukan militer untuk menggempur pasukan Prancis dan
berhasil.3

Ketika Muhammad Ali Pasya berhasil mengusir pasukan Napoleon


sehingga pasukan Prancis meninggalkan Mesir tahun 1801. Ia berisiatif untuk
mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh Napoleon, tetapi terjadi
perebutan untuk mengisi kekosongan tersebut antara lain adalah Khursyid Pasya
(pimpinan kaum mamluk) yang datang dari Istanbul, Turki, yang sebelumnya
kaum mamluk pergi meninggalkan Mesir karena diperangi dan dikejar-kejar oleh
pasukan Napoleon dan dipihak kedua adalah Muhammad Ali Pasya.

Muhammad Ali Pasya menggunakan siasat mengadu domba antara


pimpinan kaum mamluk dengan rakyat Mesir. Dengan siasatnya ini, ia berhasil
menghasud rakyat Mesir agar benci terhadap kaum mamluk dan dari kebencian
rakyat Mesir inilah yang dimanfaatkan oleh Muhammad Ali untuk mengambil
simpati rakyat Mesir yang akhirnya membawanya menjadi penguasa Mesir.
Akhirnya pada tahun 1805 M, rakyat Mesir mengangkatnya sebagai Gubernur
Mesir. Sebenarnya keberhasilan Muhammad Ali menjadi pemimpin di Mesir
tidaklah hanya karena siasat adu dombanya melainkan ia membohongi dengan
menyerang sekaligus mengepung pasukan Sultan yang dikirim kepadanya. Invasi
Prancis yang juga melemahkan antara Mesir dan Utsmaniyah. Akhirnya
Muhammad Ali berhasil berkuasa didaerahnya dengan memproklamirkan dirinya
sebagai Pasya.

Muhammad Ali Pasya berkuasa sekitar tahun 1804-1849. Langkah


pertama yang dilakukannya adalah dengan menyingkirkan para pemimpin yang
menentang kebijakannya dengan memecatnya bahkan sampai membunuhnya.
Tidak hanya menyingkirkan para pemimpin yang menentangnya, ia juga
menyingkirkan dan kemudian membasmi kaum mamluk. Genosida terhadap kaum
mamluk ini dikarenakan Muhammad Ali Pasya mendengar adanya isu-isu yang
berisi rencana pembunuhan terhadapnya yang akan dilakukan kaum mamluk.
Dalam sebuah cerita disebutkan bahwa ia menggunakan perangkap untuk
membasmi kaum mamluk dengan cara mengundang mereka dalam acara pesta di
istana. Ketika semua kaum mamluk hadir didalam istana, Muhammad Ali
memerintahkan penjaga istana untuk menutup gerbang dan akhrinya semua kaum
mamluk yang berjumlah 470 orang dibantai disana. Menurut sejarah versi Philip
K. Hitti, kaum mamluk dibantai diatas bukit dekat dengan istana. Hanya seorang
saja yang selamat dari peristiwa pembantaian itu.

3
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 2003), 27

3
Mendengar adanya seorang mamluk yang selamat, Muhammad Ali Pasya
mengirimkan pasukan untuk mengejarnya. Sebagian kaum mamluk di Turki
selamat dengan berpindah ke Sudan tetapi kaum mamluk yang berada di Mesir
habis tidak tersisa. Setelah semua saingannya telah tersingkirkan, maka mulailah
Muhammad Ali Pasya fokus dalam kepemimpinannya dengan cara diktator.
Kediktatorannya tampak dalam keputusan-keputusan dan programnya yang
merujuk kepada secularism dan kegiatan Muhammad Ali Pasya menumpas semua
syaikh dan akademisi yang melawannya yang terjadi pada tahun 1809 dan 1813.4

- Pemikiran dan gerakan pembaharu Muhammad ali pasha

Pada tahun 1811, Muhammad Ali melakukan ekspansi ke wilayah Saudi


Arabia dengan mengirimkan pasukannya dengan misi utama adalah memerangi
Wahabi. Penyerangannya terhadap Wahabi dilakukannya karena ia takut gerakan
tersebut akan mengancam kedaulatan Turki Ustmani sebagai pelindung kota Suci
Makkah dan Madinah. Kemudian pada tahun 1822 pasukan Muhammad Ali
bergabung dengan pasukan Turki Utsmani yang masing-masing menaklukan
wilayah Creta dan berhasil mendudukinya tahun 1822 dan 1824. Muhammad Ali
melanjutkan ekspansinya ke Navarino tetapi akhirnya dikalahkan oleh pasukan
Prancis-Inggris-Rusia pada tahun 1827. Setelah menerima kekalahan di Navarino
Muhammad Ali pun menginstruksikan pasukannya untuk mundur dan kembali
menjaga kedaulatan Mesir.

Sekularisme yang diterapkan Muhammad Ali Pasya tampak dalam


sikapnya yang tidak menghiraukan nasihat-nasihat pada ‘ulama’ Mesir tentang
hukum shari’ah dalam masalah pemerintahan. Meskipun Muhammad Ali tidak
menaati dan menghiraukan fatwa atau pendapat ‘ulama’, ia malah mengikuti para
‘ulama’ dalam menerapkan konsep shari’ah, moral dan lain sebagainya dalam
Pendidikan formal di Mesir. Muhammad Ali membiarkan konsep shari’ah dan
moral diaplikasikan dan diimplementasikan dalam pendidikan.

Dalam konsep pembaruan Muhammad Ali Pasya, ia menerapkan


pendidikan militer karena ia percaya bahwa kekuasaannya dapat bertahan dengan
adanya kekuatan militer. Kolonel Steve ditugaskan oleh Muhammad Ali untuk
membangun angkatan bersenjata Mesir yang modern. Selain angkatan bersenjata,
Steve juga membuat angkatan Laut modern yang dilengkapi kapal perang yang
diimpor dari luar negeri dengan persenjataan lengkap yang diproduksi didalam
negeri. Muhammad Ali bahkan mendatangkan tenaga-tenaga militer dari Prancis
dan ia membangun suatu angkatan bersenjata yang disebut Nizam-I Jedid. Tidak
sebatas pembangunan militer, Muhammad Ali juga membangun sekolah perwira
4
Badri Yatim, ”Ali Pasya, Muhammad”, Ensiklopedi Islam, Vol. 1, Ed. Abdul Aziz Dahlan (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),h.150

4
angkatan laut di Iskandariyah. Selain Pendidikan militer ia menerapkan
Pendidikan Teknik dan kedokteran, sekolah obat-obatan pada tahun 1829, sekolah
pertambangan pada tahun 1834, sekolah pertanian tahun 1836, dan sekolah
penterjemahan pada tahun 1836. Muhammad Ali mendatangkan guru dari Eropa
untuk mengisi tenaga pengajar dalam sekolah-sekolah yang didirikannya. Pada
tahun 1822, ia juga mendirikan satu unit percetakan Bulaq yang juga salah satu
titik vital dalam perkembangan produk-produk literer dan kemajuan Mesir pada
saat itu.

Adanya sekolah penterjemahan yang didirikan oleh Muhammad Ali,


sebanyak 311 pelajar dikirim ke Eropa seperti ke Austria, Prancis, Ingris, dan
Jerman yang didanai oleh pemerintah langsung. Dari 311 pelajar tersebut salah
satunya adalah Rifa’ah al-Tahtawi yang belajar di Prancis dan seteah beberapa
tahun sekolah penterjemah berjalan, Muhamad Ali menunjuk Rifa’ah untuk
menjadi pimpinan sekolah ini. Dalam masa kepemimpinan Rifa’ah, sekolah
penterjemah berkembang lebih baik dengan menggencarkan penterjemahan buku-
buku Barat, seperti buku filsafat, ilmu militer, ilmu fisika, ilmu bumi, logika,
antropologi, ilmu politik dan lain sebagainya.5

C. Al tahtawi

Rifā'ah Rāfi 'al-Ṭahṭāwī ; 1801–1873) adalah seorang penulis Mesir , guru,


penerjemah, ahli Mesir , dan intelektual renaissance. Tahtawi adalah salah satu
sarjana Mesir pertama yang menulis tentang budaya Barat dalam upaya untuk
mewujudkan rekonsiliasi dan pemahaman antara peradaban Islam dan Kristen . Ia
mendirikan School of Languages pada 1835 dan berpengaruh dalam
pengembangan sains, hukum, sastra, dan Egyptology di Mesir abad ke-19.
Karyanya memengaruhi banyak sarjana kemudian termasuk Muhammad Abduh.

Tahtawi lahir pada tahun 1801 di desa Tahta , Sohag, pada tahun yang
sama pasukan Prancis mengevakuasi Mesir. Dia adalah seorang Azhar yang
direkomendasikan oleh gurunya dan mentornya Hasan al-Attar untuk menjadi
pendeta sekelompok siswa yang dikirim Mohammed Ali ke Pb aris pada tahun
1826. Awalnya dimaksudkan untuk menjadi seorang Imam , atau "pemandu
agama" Islam, ia diizinkan untuk bergaul dengan anggota misi lainnya melalui
bujukan tokoh-tokohnya yang berwibawa. Banyak misi pelajar dari Mesir pergi ke
Eropa pada awal abad ke-19 untuk mempelajari seni dan ilmu pengetahuan di
universitas-universitas Eropa dan memperoleh keterampilan teknis seperti
pencetakan, pembuatan kapal, dan teknik militer modern. Menurut memoarnya
Rihla ( Perjalanan ke Paris ), Tahtawi mempelajari etika, filsafat sosial dan
5
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013), 43.

5
politik, dan matematika dan geometri. Dia membaca karya Condillac , Voltaire ,
Rousseau , Montesquieu dan Bézout antara lain selama séjour di Perancis.

- Pemikiram modern Al-tahtawi

Tahtawi dianggap sebagai salah satu adapter awal untuk Modernisme


Islam . Modernis Islam berusaha untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam
dengan teori sosial Eropa. Pada tahun 1826, Al-Tahtawi dikirim ke Paris oleh
Mehmet Ali. Tahtawi belajar di sebuah misi pendidikan selama lima tahun,
kembali pada tahun 1831. Tahtawi diangkat sebagai direktur School of
Languages. Di sekolah, ia bekerja menerjemahkan buku-buku Eropa ke dalam
bahasa Arab. Tahtawi berperan dalam menerjemahkan manual militer, geografi,
dan sejarah Eropa. Secara total, al-Tahtawi mengawasi terjemahan lebih dari
2.000 karya asing ke dalam bahasa Arab. Al-Tahtawi bahkan membuat komentar
yang baik tentang masyarakat Prancis di beberapa bukunya. Tahtawi menekankan
bahwa Prinsip-prinsip Islam sesuai dengan prinsip-prinsip Modernitas Eropa.

Dalam karyanya, The Extraction of Gold atau Ikhtisar Paris, Tahtawi


membahas tanggung jawab patriotik kewarganegaraan. Tahtawi menggunakan
peradaban Romawi sebagai contoh untuk apa yang bisa terjadi dengan peradaban
Islam. Pada satu titik semua orang Romawi dipersatukan di bawah satu Caesar
tetapi dibagi menjadi Timur dan Barat. Setelah pecah, kedua negara melihat
"semua perang berakhir dengan kekalahan, dan mundur dari keberadaan yang
sempurna menjadi tidak ada." Tahtawi memahami bahwa jika Mesir tidak dapat
tetap bersatu, itu bisa menjadi mangsa penjajah luar. Tahtawi menekankan
pentingnya warga negara membela tugas patriotik negara mereka. Salah satu cara
untuk melindungi negara seseorang menurut Tahtawi, adalah dengan menerima
perubahan yang datang dengan masyarakat modern.

Al-Tahtawi, seperti yang lain dari apa yang sering disebut sebagai 'Nahda'
(Muslim Nahda), terpesona dan "tergoda" oleh budaya Prancis (dan Barat pada
umumnya) dalam buku-bukunya. Shaden Tageldin telah menyarankan bahwa ini
menghasilkan inferioritas intelektual yang kompleks dalam ide-idenya yang
membantu dalam "penjajahan intelektual" yang tetap sampai hari ini di kalangan
intelektual Mesir. 6

Daftar pustaka

Badri Yatim, ”Ali Pasya, Muhammad”, Ensiklopedi Islam, Vol. 1, Ed. Abdul Aziz
Dahlan (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005

Cleveland, Sejarah Timur Tengah Modern , Westview Press, 2013


6
Cleveland, Sejarah Timur Tengah Modern , (Westview Press, 2013) h. 86-161

6
Fauzi, Jurnal IBDA Studi Islam dan Budaya, Pembaharuan Islam, Memahami
Makna, Landasan, dan Substansi Metode), P3M STAIN Purwekerto:
Vol.2, No. 1, Jan-Jun 200

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan


Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2003, 27

Jainuri, Ahmad, Landasan Teologis Gerakan Pembaharuan Islam, dalam Jurnal


Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI. Tahun 1995.

Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2013

Anda mungkin juga menyukai