Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH MAZHAB

DAN KONDIFIKASINYA

Dosen Pengampu :

Yahya Rifa‟I M.Pd.I

Disusun oleh :

Kelompok 12

M Farid Al Aziz 2111010420

Rizki Auliyah 2111010431

Titi Anggraini 2111010437

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah -Nya kepada kita semua. Tak lupa Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sejarah perkembangan fiqih mazhab dan kondifikasinya”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih pada Jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung. Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempura
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini, penulis memohon maaf yang sebesar - besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Bapak
yahya Rifa‟i, M.Pd.I selaku Dosen mata kuliah Ushul Fiqih..

Demikian makalah ini kami susun, semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat
dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan tentang Sejarah perkembangan fiqih
mazhab dan kondifikasinya. Kami ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, 18 September 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................................i

KATA PENGANTAR .........................................................................................................ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang .......................................................................................................................1

Rumusan Masalah .................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan Fiqih Klasik ............................................................................................2


B. Sejarah Kondifikasi Fiqih Kalsik .....................................................................................8

BAB III PENUTUP

Kesimpulan ...........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ilmu fiqih adalah salah satu ilmu keislaman yang hingga kini cukup berkembang, hal
ini terbukti dengan kekayaan warisan khazanah klasik yang dimilikinya hingga maraknya
berbagai kegiatan atau forum kajian ilmu fiqih seperti bahts al-masâil fiqhiyah yang
dilakukan lembaga dan ormas-ormas Islam maupun lembaga-lembaga pendidikan Islam
seperti pesantren. Namun yang tampaknya perlu mendapat perhatian khusus adalah
munculnya kesan kuat dalam masyarakat, bahwa Islam yang mereka pahami adalah fiqih itu
sendiri, karena ia menyajikan aturan dan rambu-rambu hukum yang jelas sehingga dapat
mereka jadikan pegangan. Ini mengindikasikan kedudukan fiqih sebagai sebuah ilmu sering
belum dapat dimaknai secara proporsional, sehingga cenderung tidak dibedakan mana ajaran
dasar Islam yang bersifat absolut, dan mana ajaran fiqih yang bisa berkembang dan
mengalami perubahan sesuai dengan dinamika sosial.
Fiqih sering disebut sebagai produk yang lahir dari dinamika kehidupan manusia,
dalam pribahasa Latin dari Cicero diungkapkan :Ubi societas ibi ius, artinya: dimana ada
masyarakat disana ada hukum. Ungkapan serupa juga ditemui dalam kaidah ushuliyah :
Dinamika perubahan hukum di tengah masyarakat tidak terlepas dari dinamika perubahan
waktu, tempat dan kondisi sosial masyarakat tersebut. Realitas masyarakat berkembang terus
menerus mulai dari masyarakat purbakala yang primitif sampai dengan masyarakat yang
maju dan moderen saat ini. Artinya, karena fiqih bukan sumber hidup dan tidak pada posisi
untuk mengubah dirinya, dalam arti apabila fiqih tidak diubah dan dimoderenisasi maka fiqih
tidak akan pernah modern. Hal ini bermakna bukan hanya fiqih dalam arti kaidah atau
regulasi, melainkan fiqih yang merupakan derifasi Syari‟at Islam dalam tataran hakiki, yaitu
fiqih sebagai pandangan hidup.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,maka dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan ilmu fiqih dari jaman Rasululah ?
2. Bagaimana pengkondifikasian hukum fiqih ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Fiqih Klasik

Kata Fiqh secara bahasa berarti Al-Fahm (pemahaman atau paham disertai Ilmu
pengetahuan). Ada juga yang menyatakan bahwa fiqih menyangkut pemahaman yang
diperoleh melalui persepsi berfikir yang mendalam bukan sekedar tahu atau mengerti.
Sedangkan secara istilah, kata fiqh didefiniskan oleh para ulama dengan berbagai definisi
yang berbeda-beda. Adapun definisi istilah fiqh yang dikenal para ulama adalah ilmu yang
membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-
dalil yang terperinci. Klasik menurut kamus besar bahasa Indonesia defines i klasik adalah
sesuatu yang mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolak ukur kesempurnaan
yang abadi atau karya sastra yang bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolak
ukur atau karya sastra zaman kuno yang nilai kekal. Jadi Fiqh Klasik adalah ilmu hukum
yang berkembang pada periode kenabian dan muncul tidak sekedar untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat pada tetapi juga menyiapkan warisan berharga untuk membangun
hukum dimasa depan. Fiqh klasik banyak berisi hukum Islam yang mengatur pelaksanaan
ibadah-ibadah, yang dibebankan pada muslim yang sudah mukkalaf yaitu kaitanya dengan
lima prinsip pokok (wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah) serta membahas tentang
hukum-hukum kemasyarakatan (muamalat)

1. Periode Rasulullah SAW


Perkembangan Fiqih periode ini bermula dari turunnya wahyu dan berakhir dengan
wafatnya Nabi SAW pada tahun ke 11 H, yang berlangsung selama 22 tahun, beberapa
bulan, sejak dari tahun 13 sebelum hijrah s/d tahun 11 hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M.3.
Perkembangan fiqih periode ini tidak terlihat jelas mengingat kompetensi absolut
pembinaan hukum Islam berada di tangan Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para
shahabat periode Rasulullah SAW ada berapa bentuk sebagai berikut :
 Adanya penugasan Rasulullah SAW kepada sahabat ke suatu tempat tertentu, seperti pada
kasus Muaz ibn Jabal :

2
‫ ى‬:‫تقض ؤذإ عرض لك إلقضاء؟ قال‬
‫ فإن لم تجد‬: ‫ قال‬،‫أقض بكتاب هللا‬ ‫كيف ى‬

‫ فإن لم تجد بسنة رسول هللا ل ا ىف‬:‫ قال‬،‫ فبسنة رسول هللا‬: ‫ى يف كتاباهلل؟ قال‬
‫فضب رسول هللا صىل هللا عليه ل سلم‬ ‫ ى‬،‫ أجتهد رأ ى ل ا آلو‬:‫كتاب هللا؟ قال‬

‫يرض رسول هللا‬‫ إلحمد هلل إلذى لفق رسول ل لما ى‬: ‫ لقال‬، ‫بيده عىل صدره‬

)‫(رلإه أبو دإلد‬

Artinya: Bagaimana cara memutuskan perkara jika diajukan masalah kepadamu? Muaz
menjawab : Aku akan memutuskan (perkara tersebut) berdasarkan Kitab Allah (al-Qur‟an).
Nabi bertanya: Jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Muaz Menjawab: aku akan
putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah SAW. Nabi SAW bertanya kembali: Kalau tidak
kamu jumpai dalam sunnah Rasulullah SAW dan Kitab Allah? Muaz menjawab: Aku akan
ijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah SAW menepuk-nepuk dada Muaz dengan
tangannya seraya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada
utusan Rasulullah SAW terhadap apa yang diridhai Nya. (HR. Abu Dawud)
 Ijtihad yang dilakukan sahabat terkadang disetujui Rasulullah SAW atau tidak disetujui
Rasulullah SAW semua itu tidak lepas dari bimbingan langsung dari Allah SWT melalui
wahyu yang dibawa Malaikat Jibril sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Najm(53): 3-4:

Artinya: Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa
nafsunya.(3) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).(4)

 Bila terjadi kasus di kalangan sahabat yang belum ada jawabannya, lalu mereka bertanya
kepada Rasulullah SAW.Terkadang terhadap masalah tersebut, Rasulullah SAW tidak
langsung menjawabnya, akan tetapi Allah SWT menurunkan wahyu untuk
menjawabnya.Inilah yang kemudian menjadi sabab turun ayat tersebut (sabab nuzul.
Adapun beberapa contoh kasus ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW langsung
adalah sebagai berikut:
a. Dalam menghadapi kasus tawanan perang Badar, Rasulullah SAW mengadakan
musyawarah dengan para sahabat untuk mencari solusi pemecaahan masalah tawanan
tersebut. Ketika itu ada dua pendapat yang muncul; Pendapat Abu Bakar al-Shiddik dan
Umar ibn Khattab. Abu Bakar mengajukan pendapat untuk mengambil tebusan (fidyah) dari

3
para tawanan itu.Adapun Umar ibn Khattab berpendapat untuk membunuh seluruh tawanan
perang Badar tersebut. Pada kasus ini, Rasulullah SAW telah memilih salah satu pendapat
sahabat dan menolak pendapat salabat lainnya. Pemilihan dan keberpihakan Nabi SAW
kepada pendapat Abu Bakar al-Shiddik disebut Fiqih ql-Nabi atau Ijtihad al-Nabi. Hasil
ijtihad kemudian dikuatkan dengan turunnya wahyu pada QS. Al-Anfal (8): 67-69:

Artinya: Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
(67). Kalau Sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu
ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil(68). Maka makanlah dari
sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi
baik, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (69).
b. Penolakan seorang laki-laki atas kelahiran seorang anak dari Bani Fazarah yang
dilahirkan dari istrinya karena anak tersebut berkulit hitam, sedangkan ayah ibunya berkulit
putih. Orang tersebut menyampaikan masalahnya kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW
menjawab dengan bahasa analogi dengan mengajukan pertanyaan kembali: Apakah engkau
memiliki unta merah yang di antara anaknya berwarna hitam? Orang itu menjawab: Benar.
Nabi SAW bertanya kembali: Darimana datangnya warna hitam pada ontamu? Orang
tersebut menjawab kembali: Boleh jadi adanya pengaruh keturunan. Kemudian Nabi SAW
menegaskan: Hal ini juga (keadaan anakmu yang berwarna hitam dari kedua orang tua
berwarna putih) boleh jadi disebabkan karena factor keturunan.
c. Kasus penyesalan Umar ibn Khattab atas perbuatannya yang dianggap membatalkan
puasa. Pada suatu hari Umar ibn Khattab memeluk dan mencium istrinya, sementara ia telah
melaksanakan ibadah puasa. Kemudian Umar ibn Khattab menyampaikan hal tersebut kepada
Nabi SAW seraya berkata: Sungguh aku telah melakukan perbuatan luar biasa (mencium
istriku dalam kondisi puasa). Nabi SAW menjawab dengan diplomatis: Bagaimana jika
engkau berkumurkumur padahal engkau berpuasa? Lalu Umar menjawab dengan tegas:
“Menurut pendapatku, tidak membatalkan wudlu”. Kemudian Nabi SAW bersabda: Teruskan
puasamu.
d. Kasus yang terkait dengan dua orang sahabat Nabi SAW dalam perjalanan jauh, mereka
berdua melaksanakan shalat tanpa wudlu dan bertayammum karena tidak memperoleh air.
Setelah melaksanakan shalat, tiba-tiba mereka mendapatkan air.Salah satu sahabat
4
mengulangi shalat karena waktu shalat masih ada dengan berwudlu kembali sebelum shalat.
Sahabat Nabi yang lain tidak mengulangi shalatnya karena ia berkeyakinan shalatnya sah.
Ketika berjumpa dengan Nabi SAW mereka menceritakan apa yang mereka lakukan di
tengah perjalanan yang tidak mendapat air ketika akan shalat. Maka Rasulullah SAW
menjawab: Kalian berdua benar. Kepada yang tidak menglangi shalatnya, Rasulullah SAW
bersabda; Kamu memperolah satu pahala. Sedangkan kepada yang mengulangi shalatnya,
Rasulullah SAW bersabda: kamu memperoleh dua pahala.

2. Periode Sahabat dan Tabi’in

Periode sahabat, fiqih secara praktis sudah terjadi dan sudah dilakukan oleh para sahabat
karena Rasulullah SAW sebagai sumber informasi dan Pembina hukum telah tiada.
Ilustrasi ini dapat dikemukakan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Siddik ketika ditanya
tentang suatu kasus hukum, maka pertama yang ia lakukan adalah mencermati apakah kasus
tersebut sudah dijelaskan dalam al-Qur‟an. Bila telah dijelaskan, maka ia putuskan dengan
dasar al-Qur‟an. Bila kasus tersebut tidak terdapat dalam al-Qur‟an, maka ia cari jawabannya
dalam sunnah Rasulullah SAW. Bila ia jumpai, maka ia putuskan permasalahan hukum
tersebut berdasarkan sunnah Rasulullah SAW, tapi jika belum ia jumpai, maka ia kumpulkan
para sahabat dan bertanya kepada mereka seraya berkata: Apakah kalian mengetahui bahwa
Rasulullah SAW pernah memutuskan perkara kasus ini? Maka para sahabat terkadang
menjawab pernah dan kadang belum.
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar diikuti oleh Umar ibn Khattab ketika ia
menjumpai suatu masalah. Ia akan bertanya kepada para sahabat apakah Abu Bakar telah
memutuskan kasus ini. Bila sudah, maka akan ia ikuti dan bila belum, maka ia akan
berijtihad.
Corak ijtihad Umar ibn khattab telah dibukukan menjadi madzhab hingga hari ini
yang dikenal dengan Madzhab Umari. Diantara produk ijtihadnya adalah meniadakan hak
menerima zakat bagi muallafatu qulubuhum yang secara tekstual bertentangan dengan nash
QS. Al-Taubah (9): 60.

Umar berpendapat bahwa situasi pada masa Rasulullah dan Abu Bakar berbeda
dengan situasi masanya. Pada masa Umar, umat Islam sudah kuat dan mantap baik ditinjau
dari segi aqidahnya maupun dsosial ekonominya. Oleh sebab itu, motif untuk membujuk
5
mereka (muallafatu qulubuhum) dengan jalan memberi zakat kepada mereka sudah tidak
pantas lagi dijadikan illat hukum.
Selain Abu Bakar dan Umar, kegiatan ijtihad yang melahirkan fiqih juga dilakukan oleh
Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib serta Zait ibn Tsabit, Abdullah ib Mas‟ud dan
lainnya sebagai Kibar al-Shahabah. Adapun dari kalangan Sighar al-Sahabah dan generasi
Tabi‟in yang saat itu tersebar di berbagai kota besar adalah :

a. Mekkah : Aisyah (w. 57 H), Abdullah ibn Umar (w. 74 H), Said ib Musayyab (w. 94 H),
Urwah ibn Zubair (w. 74 H)
b. Kuffah : Alqamah ibn Qais al-Nakho‟i (w. 62 H), Ibrahim ibn Yazid al-Nakho‟i (w. 63
H), Masruq ibn al-Ajda al-Hindi (w. 63 H), Abdullah ibn Amr al-Salimi al-Muridi (w. 92
H).
c. Basrah : Anas ibn Malik al-Anshari (w. 80 H).
d. Syam : Abdurrahman al-Anshari (w. 78 H), Abu Idris al-Karakhi (w. 80 H), Qubasah ibn
Suaib (w. 86 H).
e. Mesir : Abdullah ibn Amr ibn Ash (w. 65 H), Abdul Khair Marsad ibn Abdullah (w. H),
dan Yazid ibn Abi Thalib (w. 128 H).
f. Yaman : Tawus al-Jundi (w. 106 H) dan Yahya ibn Abi Kasis (w. 95 H).14

Muhammad Tahir al-Naifur membagi ijtihad sahabat dan tabi‟in pada tiga macam:
Pertama, penjelasan dan tafsir dari al-Qur‟an maupun al-Sunnah. Kedua, analogi dari hal-
hal yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun Sunnah dan Ketiga, ra‟y (pendapat sahabat) yang
sama sekali tidak berlandaskan nas tapi dibangun atas dasar Maqashid alSyari‟ah.

Berdasarkan sebab terjadinya peristiwa hukum, para sahabat berbeda dalam melakukan
ijtihad dan ifta, sebagai berikut :

Pertama, karena berbeda dalam memahami nas Al-Qur‟an QS. Al-Baqarah: 228 :
ْۤ ُ َ َ ٰ َ ُ َ َ ُ َّ َ ْ
ۗ‫َلإل ُمطلقت َي َتَّبص َن ِبانف ِس ِه َّن ثلثة ق ُر لء‬
Umar ibn Khattab dan Ibn Mas‟ud mengartikan lafaz ” quru‟” dengan “haid” sedangkan Zaid
ibn Tsabit mengartikan “suci”.

6
Kedua, Perbedaan ijtihad dan fatwa karena perbedaan dalam frekuensi penerimaan sunnah.
Beberapa sahabat intensif bersama Nabi SAW sedang lainnya tidak, sehingga menimbulkan
perbedaan khazanah intelektualitas mereka dan pada akhirnya menimbulkan perbedaan ketika
masing-masing dari mereka harus berijtihad atau berfatwa.

Ketiga, Perbedaan fatwa kerena semata-mata perbedaan pendapat karena berbedanya nalar
dan logika yang digunakan dalam melakukan istinbat hukum.

3. Periode Pembentukan Madzhab Fiqih

Periode Keemasan fiqih berbarengan dengan zaman keemasan Islam dalam berbagai
bidang. Adapun indikasi pertumbuhan fiqih adalah terwujudnya fiqih sebagai disiplin ilmu
secara mandiri secara teratur dan sistematis. Disamping itu, digalakkannya pembukuan
tafsir, sunnah, ushul fiqih dan filsafat. Faktor utama yang mendukung perkembangan fiqih
periode ini tidak lain adalah adanya hubungan harmonis antara ulama dan khalifah bahkan
ada khalifah yang merangkap sebagai ulama. Juga adanya realitas kebebasan bagi masyrakat
umum bahwa ijtihad adalah hak setiap warga masyarakat.
Fase ini dalam sejarah dikenal dengan istilah “Periode ijtihad dan keemasan fiqih Islam”
yang melahirkan para imam besar di bidang fiqih, seperti: Abu Hanifah, Malik ibn Anas,
Muhammad Idris al-Syafi‟i, dan Ahmad ibn Hanbal.Juga merupakan periode munculnya
para mujtahid mutlak dan atau mustaqil.
Umat Islam saat itu, bersikap obyektif terhadap madzhab yang dianutnya dan
masing-masing mujtahid tetap mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Periode keemasan fiqih didasari pada etos kerja ijtihadi yang tinggi dan tumbuhnya semangat
toleransi dalam menyikapi berbagai perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka dan
para penganut madzhab tersebut.

4. Periode Kejumudan

Periode ini ditandai munculnya fanatisme madzhab yang mulai tumbuh di kalangan umat
Islam. Mereka saling menyalahkan pendapat Imam Madzhab yang tidak sejalam dengan
pandangan Imam Madzhab mereka. Hal ini mengilhami gairah dan semangat berijtihad
mengendor tidak seperti priode sebelumnya.
7
Begitu pula dalam pola diskusi yang terkait dengan fiqih antara pengikut madzhab pada
saat itu dikenal dengan istilah al-Munadzarah wa al-Jadal. Dari hari ke hari fanatik madzhab
semakin kuat sehingga bila seorang pengikut madzhab sedang berhadapan dengan pengikut
madzhab lain, maka seakan-akan mereka sedang berhadapan dengan orang yang bukan
Islam.Periode ini, ulama tidak lagi melakukan ijtihad mustaqil akan tetapi mereka
memberikan syarah, khulashah, taklimah, taklimah dan koleksi fatwa yang dibutuhkan.

B. Sejarah Kondifikasi Fiqih Klasik

Dalam istinbath hukum Islam terdapat empat ilmu penting yang saling berkaitan, yaitu
ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh sebagai ilmu pokok dan kaidah fiqh serta kaidah ushul fiqh
sebagai ilmu bantu. Ushul fiqh merupakan metodologi hukum dan sekaligus berfungsi
sebagai pengukur terhadap derajat kebenaran istinbath. Sebagai metode, ushul fiqh berperan
dalam menentukan prosedur istinbath hukum dan dengan metode ini kemudian fiqh disusun
dan dikembangkan.Sedangkan kaidah ushul dan kaidah fiqh berkaitan dengan ushul fiqh,
ulama melakukan penyerderhanaan dari ilmu ini sehingga melahirkan rumusan-rumusan yang
dapat dibuktikan kebenarannya yang kemudian rumusan tersebut diberi nama kaidah ushul
fiqh yang berfungsi sebagai media untuk mempermudah hakim dan ulama dalam melakukan
istinbāth hukum. Para peneliti hukum Islam menjelaskan bahwa sejarah kaidah fiqh dengan
menentukan periodesasinya menjadi tiga bagian yaitu zaman pertumbuhan dan pembentukan,
zaman perkembangan dan kodifikasi dan zaman kematangan dan penyempurnaan.

a. Masa Pertumbuhan dan Pembentukan


Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selam tiga abad lebih dari zaman
kerasulan hingga abad ke tiga Hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam dapat
dibagi menjadi tiga dekade yaitu zaman nabi Muhammad Saw yang berlangsung selama 22
tahun lebih dan zaman tabi‟in serta zaman tabi‟ tabi‟in yang berlangsung selama 250 tahun.
Tahun 351 H atau 974 M dianggap sebagai zaman kejumudan karena tidak ada lagi ulama
pendidi mazhab dan ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-thabari (w. 310 H/734
M) yang mendirikan mazhab Jaririah.

8
b. Masa Perkembangan dan Kodifikasi
Dalam sejarah hukum Islam, abad keIV dikenal dengan zaman taqlid yang ditandai
dengan beberapa ulama yang melakukan tarjih pendapat imam mazhabnya masing-masing
dan melakukan ilhāq atau analogi atau qiyas.Pada abad VI H ditemukan hanya satu kitab
yang disusun dalam disiplin ilmu kaidah fiqh yaitu idhāb al-Qawāid karya „Ala al-Din
Muhammad Ibn Ahmad alSamarkandi (w. 540 H). Sedangkan pada abad VII H kitab-kitab
fiqh yang telah disusun oleh ulama adalah al-Qawāid alFuru‟ al-Syafi‟iyyat karya
Muhammad Ibn Ibrāhim al-Jakarmi al-Sahlaki (w. 613 H). Kitab Qawāid al-Ahkām fi
Masālih alAnām karya Izz al-Dīn Abd Salām (w. 660 H). Kitab al-Muzhab fi Dhabt Qawāid
al- Mazhab karya Muhammad Ibn „Abd Allah Ibn Rasyid al-Bakri al-Qafsi (w. 685 H).26
Kitab pertama dan kedua disusun oleh ulama pengikut mazhab Syafi‟i sedangkan kitab ketiga
disusun oleh ulama pengikut mazhab Maliki.

c. Masa Kematangan dan Penyempurnaan


Aliran hukum Sunni yang berjasa dalam pembentukan kaidah fiqh pada zaman
pertumbuhan adalah Hanafiah dengan tokohnya seperti al-Karkhi dan alDabūsi tetapi peran
ini bergeser pada abad VI dan VII H karena aliran Hanafi mengalami stagnasi dan pada
zaman stagnasi ini muncul Kitab Syarh Ushūl alKarkhi yang disusun oleh Najm al-Dīn Abu
Hafs al-Nasāfi (w. 537 H).30 Abad X yang dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah
fiqh tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya dan
salah satu kaidah fiqh yang disempurnakan di abad XIII H adalah kaidahh yang berbunyi
yaitu;

‫ى‬
‫إلغت بال ؤذنه‬
‫ ا يجوز ألحد أن يتضف يف ملك ر‬
Artinya: Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain kecuali ada izin dari
pemilikinya.
‫ى‬
‫إلغت بال ؤذن‬
‫ ا يجوز ألحد أن يتضف يف ملك ر‬
Artinya: Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin.
Sekalipun ditulis sejak lama, kaidah fiqh masih bercampur dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya.
Karena itu, pada abad XII H muncul kodifikasi kitab fiqh yang bernama Majallāt al-Ahkām
al-Adliyyāt yang disusun oleh Laznah Fuqaha Usmāniyah. Para fuqaha ini merangkum dan
memilih kaidah fiqh dari sumber- sumbernya seperti al-Asybāb wa alNazhāir karya Ibn
Nujāim dan Majmu‟ alHaqāiq karya al-Khadīmi.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Kodifikasi kaidah-kaidah fiqh yang meliputi tiga fase perkembangan yaitu masa
pertumbuhan dan pembentukan, masa perkembangan dan kodifikasi dan masa
kematangan dan penyempurnaan.

2. Fiqih periode Rasulullah, sahabat dan tabi‟in adalah produk pemahaman mereka terhadap
permasalahan hukum yang muncul di tengan komunitas masyaarakat berdasarkan
Alqur‟an dan sunnah. Produk ijtihad mereka pada saat itu berdimensi maslahat bagi
mereka baik berupa perintah, larangan, anjuran, maupun kebebasan memilih untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

3. Ilmu fiqih adalah ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar'i yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang merupakan hasil ijtihad ulama atas nash. Ilmu fiqih adalah hasil
interpretasi atau ijtihad yang bersifat dzanny, karena hukum-hukum tersebut digali dari
dalildalil yang khusus, baik melalui nash maupun melalui dalâlah (indikasi) nash. Sebagai
salah satu disiplin ilmu yang memiliki kebenaran ilmiah, ilmu fiqih memiliki bidang atau
obyek bahasan, baik obyek material maupun obyek formal. Obyek material adalah obyek
yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau obyek yang dipelajari oleh suatu
ilmu tersebut. Dengan bertolak dari hakikat ilmu fiqih, maka obyek material ilmu fiqih
adalah ajaran-ajaran Islam. Sedang obyek formal adalah sudut pandang dari mana sang
subyek menelaah obyek materialnya, yang dengan obyek formal tersebut ilmu fiqih akan
berbeda dengan ilmu yang lain. Jadi, obyek formal ilmu fiqih adalah semua ajaran-ajaran
agama Islam yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman. Al-Fikr al-Usuli: Dirasah Tahliliyah


Naqdiyah. Jeddah: Dar al-Syuruq. 1983.
Kisah di atas berasal dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
dan al-Nasa‟i daru Abu Sa„id al-Khudri.
Muhammad Sa„id al-Khinn. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi
Ikhtialaf al-Fuqaha. Beirut: Muassassah al-Risalah. 1994.
Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk Ushūl fiqh
Mazhab Sunni (A History of Islamic Legal Theory) diterjemahkan oleh E.

Kusnadiningrat dan Abdul haris bin Wahid.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushūl al-Fiqi.ttp: Dār al-Fikr al-„Arabi, tt.

Sirri, Mun‟im A. Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar (Surabaya: Risalah

Gusti,1995.

11

Anda mungkin juga menyukai