Anda di halaman 1dari 2

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM PRESPEKTIF ILMU ISLAM

TERAPAN

Dunia Pergutuan Tinggi masa kini, secara metodologis, benar-benar sama dengan situasi
dan kondisi umat Islam pada masa Rasul Allah mengajarkan Islam. Sekitar tahun 1997 M, era
Orde Baru diakhiri dengan lengsernnya Presiden Soeharto dan diganti oleh Presiden BJ Habibie.
Momentum ini secara filosofis sering diungkapkan dengan pergantian kehidupan bangsa
Indonesia dari Era Orde Baru menuju Era Reformasi. Jika era terdahulu ditandai oleh dugaan
merebaknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) maka era berikutnya diharapkan
menjadi “Juru Selamat” bagi bangsa dan Negara.

Sense of Beloging Civitas Academika suatu Perguruan Tinggi, sudah barang pasti, atau
paling tidak, juga menyadari pergeseran kesadaran, sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi
masyarakat di sekitarnya. Jika mereka bermaksud memenuhi fungsi sosial ini, maka mereka
harus memahami hakikat Islam, tidak hanya sebagai norma, melainkan yang sama pentingnya
adalah pelaksanaanya dalam kehidupan praktis, termasuk di bumi Indonesia yang tercinta ini.
Karena cakupan ajaran Islam yang menjangkau seluruh segi kehidupan, maka dalam kesempatan
ini, uraian hanya menyoroti dimensi pendidikan sebagai proses pengubahan perilaku atas dasar
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.

Jika teori sosiologi seperti Charles Homans atau Emile Durkheim tentang tumbuhnya
solidaritas kelompok itu benar, maka aspek teologis Perguruan Tinggi Islam merupakan unsur
kehidupan kampus yang peling esensial. Sudah barang pasti, tujuan ini merupakan bagian
integral dari proses panjang pencapaian tujuan risalah yang dirumuskan dalam norma menjadi
“rahmatan lil alamin”. Akan tetapi, aspek filosofis yang harus di pahami betul adalah
perbedaan antara proposisi normative dengan proposisi empiris, baik dalam struktur logis fakta
atau teori. Ada perbedaan metodologis yang sangat mendasar dalam kedua proposisi ini. Unsur
universal dalam proposisi normatifmemiliki kaitan dengan satuan data yang sifatnya moral,
sedang dalam proposisi empiris kaitan ini merupakan suatu keniscayaan eksperimen. Potensi
mendesaknya unsur pengertian memanng dapat ditemukan dalam kedua proposisi, akan tetapi
sifat dan intensitasnya memiliki perbedaan yang cukup esensial.

Konsekuensi logis dari analisis filsafat di atas ini adalah keharusan untuk menjabarkan
rumusan tujuan di atas ini menjadi rumusan yang sifatnya lebih konkrit sehingga memiliki
nuansa operasional. Upaya yang dilakukan oleh ulama’ dan pedagog Islam Athiyah al-Abrasyi,
Abdur Rahman al-Nahlay, Moh. Saih Ramadhan, dan lain-lain ternyata belum sepenuhnya
menunjukkan arah atau bahkan lebih sulit lagi materi yang memenuhi harapan di atas.

Padahal, jika pendidikan Islam adalah bagian dari proses relijiusisasi dalam Islam, maka
tujuan pendidikan Islam adalah juga bagian dari tujuan risalah. Sebenarnya, rumusan formal
tujuan pendidikan yang menjadi bingkai Perguruan Tinggi Islam sudah dengan eksplisit
menyebutkan unsur praktis. Jika formasi perumusan tujuan, umum dan khusus, dalam pedoman
dicermati, maka dapat ditemukan ketidakjelasan dalam beberapa hal. Pertama, apakah tujuannya
adalah knowing that ataukah knowing how yang misalnya dikemukakan oleh John S. Brubacher,
Francis S. Bacon dan yang lain-lain. Meminjam terminologi Muh. Nur Ibrahimi anatara ilmu
Tasawwuri ataukah ilmu Tashdiqi. Kedua, adalah ketidakjelasan kegiatan belajar mengajar untuk
pelatih ataukah pelaku agama. Unsur lain yang juga harus segera dibenahi adalah pertahapan
atau klasifikasi pencapaian tujuan pendidikan yang lazim disebuut taksonomi. Kekaburan atau
ketidakjelasan unsur ini akan sangat menghambat prosses pencapaian tujuan, seperti dirumuskan
dalam berbagai ketentuan dan peraturan resmi yang sudah dikemukakan diatas. Jalan keliar
terbaik aadalah perumusan ulang tujuan pendidikan, sehingga unsur-unsur di atas ini menjadi
semakin konkrit.

Anda mungkin juga menyukai