Anda di halaman 1dari 14

9

II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1. Deskripsi Domba Garut

Domba merupakan ternak yang sudah umum dipelihara oleh peternak secara

turun temurun. Semua jenis domba memiliki karakteristik yang sama dan

termasuk ke dalam kingdom: Animalia, Phylum : Chordata, kelas : Mamalia, ordo

: Artiodactyla, famili : Bovidae, genus : Ovis, spesies : Ovis aries (Blackely dan

Bade, 1998). Williamson dan Payne (1995) menyatakan domba yang kita kenal

sekarang merupakan hasil domestikasi yang sejarahnya diturunkan dari 3 jenis

domba liar, yaitu :

a. Mouflon (Ovis muximon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari

Eropa Selatan dan Asia kecil.

b. Argali (Ovis ammon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia

Tengah dan memiliki tubuh besar.


c. Urial (Ovis vignei), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia.

Ada tiga bangsa domba asli yang terdapat di pulau Jawa yaitu domba lokal

ekor tipis, domba ekor gemuk, dan domba priangan (Mason, 1980). Domba

priangan berasal dari Jawa Barat, yaitu kabupaten Garut dan sekitarnya, sehingga

disebut juga domba Garut (Mulyono, 1999). Domba Garut merupakan persilangan

dari domba Cape (Afrika) dengan domba lokal (Hardjosubroto dan Astuti, 1980),

namun menurut Mason (1980) domba Garut merupakan peranakan domba ekor

Gemuk. Ciri fisik domba Garut adalah badan besar dan lebar, memiliki leher yang

kuat sehingga digunakan sebagai domba aduan dan penghasil daging, domba

jantan bertanduk besar, kokoh, dan kuat, melengkung ke belakang berbentuk


10

spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, betina tidak memiliki

tanduk, bulu badan lebih panjang dan halus, dan bobot domba jantan adalah 60-80
kg, sedangkan bobot domba betina adalah 30 - 40 kg (Mulyono, 2005).

Menurut Sodiq dan Abidin (2002), beberapa kelebihan domba Garut yang

dapat diperoleh, antara lain:

1. Reproduksinya efisien, yang dapat ditingkatkan dengan jalan usaha perbaikan

tata laksana pemeliharaan.

2. Pada waktu laktasi, penggunaan energi untuk produksi air susu dapat lebih

efisien dibandingkan dengan ternak lain.

3. Daya adaptasi ternak domba terhadap lingkungan yang keras cukup tinggi,

sehingga dapat mengkonsumsi lebih banyak jenis pakan hijauan.

4. Domba memiliki daya seleksi yang lebih efektif dalam kondisi

penggembalaan dibandingkan dengan jenis ternak lain.

5. Domba lebih tahan terhadap beberapa penyakit, terutama Tryponoso miosis

dibandingkan dengan ternak lain.

2.2. Sistem Pencernaan Ruminansia

Pencernaan adalah serangkaian proses yang terjadi dalam saluran

pencernaan yang memecah senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana,

sehingga larut dan dapat diabsorbsi melalui dinding saluran pencernaan,

selanjutnya masuk ke dalam peredaran darah atau getah bening, dan diedarkan
keseluruh tubuh yang membutuhkannya (Kamal, 1994).

Domba merupakan ternak ruminansia yang memiliki perut majemuk yang

memamah dan mengunyah kembali pakannya atau ruminasi dan mengkonsumsi

pakan tinggi serat kasar yang tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh manusia dan
11

ternak non ruminansia (Wodzicka – Tomaszewska dkk., 1993). Proses utama

pencernaan ternak ruminansia adalah secara mekanik, fermentatif dan enzimatik.

Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan pakan dalam mulut dan

gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksi otot (Putro,

2010). Pakan yang masih berbentuk kasar diperkecil menjadi partikel-partikel

sederhana dengan cara pengunyahan dan pembasahan oleh saliva didalam mulut

(Siregar, 1994). Saliva berfungsi sebagai buffer terhadap asam lemak terbang

yang dihasilkan oleh fermentasi mikrobia didalam lambung (Tillman dkk., 1991)
dan selanjutnya proses pencernaan berlangsung didalam rumen.

Ternak ruminansia memiliki empat komponen lambung yaitu, rumen,

retikulum, omasum, dan abomasum (Siregar, 1994). Rumen mengandung

mikroba, bakteri dan protozoa yang menghancurkan bahan-bahan berserat

(Blakely dan Bade, 1998), dan meggunakan campuran makanan juga air sebagai

media hidupnya (Kartadisastra, 1997). Bakteri tersebut memproduksi enzim

pencerna serat kasar dan protein serta mensintesis vitamin B yang digunakan

untuk berkembang biak dan membentuk sel-sel baru. Sel-sel inilah yang akhirnya

dicerna oleh ”induk semang” sebagai protein hewani yang dikenal dengan sebutan
protein mikrobia (Pertiwi, 2010).

Proses penghalusan partikel-partikel ransum didalam rumen terus berlanjut

sampai mengalami proses fermentasi (Siregar, 1994). Proses fermentasi dalam

rumen dipengaruhi oleh kondisi dalam rumen yang anaerob, tekanan osmose pada

rumen yang mirip tekanan darah, temperatur rumen konstan, pH dipertahankan

6,8 oleh adanya absorpsi asam lemak, amonia serta saliva yang berfungsi sebagai

buffer (Arora, 1995). Hasil pencernaan fermentatif dalam rumen berupa Volatile
12

Fatty Acids (VFA), NH3, metan (CH4), dan CO2 (Ørskov dan Ryle, 1990). VFA

yang dihasilkan sebagian langsung diserap melalui dinding rumen (Parakkasi,

1999) dan sebagian lagi diserap dalam omasum dan abomasum (Arora, 1989).

VFA diantaranya terdiri atas asam asetat (C2), asam propionat (C3), asam butirat

(C4), valerat dan format (Parakkasi, 1999), 75% dari total VFA yang dihasilkan

diserap didalam rumen-retikulum (yang kemudian masuk ke dalam darah), 25%

diserap didalam omasum dan abomasum, dan 5% akan diserap dalam usus
(Church, 1971).

Setelah proses pencernaan dalam rumen selesai, selanjutnya secara berturut-

turut dicerna dalam retikulum, omasum dan abomasum. Pakan tersebut kemudian

diteruskan ke usus halus untuk diabsorpsi lebih lanjut melalui dinding usus

(Akoso, 1996). Retikulum adalah komponen perut yang membantu ruminasi

dimana bolus diregurgitasikan kembali kedalam mulut (Arora, 1989). Pakan yang

dikonsumsi ternak juga mengalami fermentasi ketika berada di retikulum

(Wodzicka dkk., 1993). Proses pencernaan kemudian dilanjutkan kedalam

Omasum. Bagian omasum berfungsi sebagai penggiling pakan yang melewatinya

dan menyerap sebagian air (Wodzicka dkk., 1993). Setelah pencernaan dalam

omasum selesai dilanjutkan proses pencernaan dalam abomasum. Abomasum

merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan secara kimiawi karena adanya

sekresi getah lambung. Abomasum berfungsi mengalirkan ingesta dari lambung

menuju usus halus (Arora, 1989). Abomasum adalah bagian perut, tempat hasil

pencernaan mulai diserap oleh tubuh (Kamal, 1994).

2.3. Ransum Komplit Berbasis Bahan Pakan Lokal

Ransum komplit adalah pakan yang cukup tinggi gizi untuk hewan tertentu

dalam tingkat fisiologis, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-
13

satunya makanan dan memenuhi kebutuhan hidup pokok atau produksi, atau

keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Hartadi dkk.,

2005, Purbowati dkk., 2009). Ransum komplit juga merupakan campuran dari

berbagai bahan pakan sesuai proporsinya untuk mendapatkan zat makanan yang

lengkap. Bahan pakan yang dicampur antara lain hijauan, butiran, konsentrat,

suplemen vitamin, dan bahan aditif lain yang memenuhi kebutuhan nutrisi bagi

ternak (Owen, 1966). Pembuatan ransum komplit merupakan salah satu metode

yang dapat digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian yaitu

dengan cara mencampurkan limbah pertanian dengan tambahan pakan

(konsentrat) dengan mempertimbangkan kebutuhan nutrisi ternak baik kebutuhan


serat maupun zat makanan lainnya (Chuzaemi, 2002).

Rendahnya tingkat palatabilitas ternak terhadap sebagian besar bahan pakan

inkonvensional dapat diatasi dengan menggunakan ransum komplit. Efisiensi

penggunaan ransum komplit pada ternak ruminansia juga semakin meningkat

sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam teknologi peralatan atau mesin
pengolahan pakan (Ginting 2009).

Penggunaan ransum komplit akan mendapat beberapa keuntungan antara

lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauannya kurang

palatabel maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan

konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat

dipakai hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat


mempermudah ternak untuk mendapatkan pakan lengkap (Ensminger dkk., 1990).

Ransum komplit sebaiknya disusun dari bahan pakan lokal mengingat

ketangguhan agribisnis peternakan mengutamakan penggunaan bahan baku lokal


14

yang tersedia dalam negeri dan sesedikit mungkin menggunakan komponen impor

(Saragih, 2000), pendayagunaan pakan lokal ini juga dapat meminimalkan porsi

ransum dari pakan impor seperti jagung, kedelai, dan tepung ikan (Kuswandi,

2011). Selain itu, paradigma pembangunan peternakan di era reformasi adalah

terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan

tangguh berbasis sumber daya lokal (Sudardjat, 2000). Penggunaan limbah

pertanian sebagai bahan pakan lokal juga sangat dibutuhkan sebagai salah satu

alternatif pemecahan masalah ketidak-kontinyuan penyediaan bahan pakan untuk

ruminansia. Zainuddin (2011) menyatakan bahwa dalam membuat formulasi

ransum ternak lokal diutamakan untuk memanfaatkan bahan pakan lokal yang

harganya relatif lebih murah, mudah diperoleh pada spesifik lokasi, tidak bersaing

dengan kebutuhan untuk konsumsi manusia serta merupakan hasil ikutan


pertanian dan limbah industri.

Pakan ruminansia sendiri terdiri atas hijauan dan pakan tambahan sumber

protein, energi, mineral, dan vitamin. Adapun industri pengolah hasil pertanian

menghasilkan limbah seperti dedak, pecahan biji (menir), bungkil, ampas, dan

kulit atau pod (Kuswandi, 1990; Darmawidah dkk., 1998; Bamualim dkk., 2007;

Kuswandi, 2007; Pangestu dkk., 2008). Bahan-bahan tersebut merupakan sumber

utama protein, energi, dan mineral dalam pakan, tetapi kandungan, palatabilitas,
dan kecernaannya berbeda.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan pakan komplit berbasis

bahan pakan lokal adalah kandungan zat makanan yang sesuai dengan ternak yang

dipelihara. Menurut Ranjhan (1981), kebutuhan bahan kering (BK) domba yang

digemukkan sekitar 4,30 – 5,00% dari bobot badannya. Setelah kebutuhan BK


15

terpenuhi, energi dan protein adalah kebutuhan utama yang harus tercukupi

(Haryanto dan Djajanegara, 1993). Kebutuhan lainnya adalah air, mineral,


vitamin, dan lemak.

2.4. Kebutuhan Protein dan TDN

Kebutuhan hidup pokok merupakan kebutuhan akan zat makanan yang

digunakan untuk mengganti jaringan yang rusak dan mati serta menyediakan

energi untuk kegiatan metabolisme (Lubis, 1963). Pemberian pakan yang kurang

dari kebutuhan ternak dapat menyebabkan efek negatif dan pada batas tertentu

akan menyebabkan tidak adanya pertumbuhan dan produksi ternak (Umbara,

2009). Ini terjadi karena zat makanan dalam ransum hanya digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup pokok. Untuk itu diperlukan adanya pemberian

ransum yang efisien dan sesuai dengan kebutuhan hidup pokok dan produksi

ternak domba. Karena domba merupakan hewan kecil yang pada umumnya

proses-proses pencernaannya berjalan lebih cepat dan rapi daripada hewan yang

jauh lebih besar (Lubis, 1963). Selain itu kapasitas organ pencernaan juga

merupakan fungsi bobot badan (Dement dan Van Soest, 1983). Sehingga

perbandingan kapasitas organ pencernaan dengan kebutuhan energi akan lebih

rendah pada ternak dengan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan ternak

besar. Efisiensi pencernaan pada ternak yang berukuran lebih kecilpun lebih

sedikit dibandingkan dengan yang lebih besar. Prinsip ini telah menjadi anggapan

bahwa ruminansia kecil termasuk domba kurang mampu memanfaatkan bahan


pakan dengan karakter serat dan keambaan (bulkiness) tinggi, seperti jerami.

Laju pertumbuhan ternak salah satunya dipengaruhi oleh faktor konsumsi

pakan, karena untuk dapat tumbuh dan berkembang, domba yang pada umumnya
16

dipelihara dengan sistem dikandangkan secara terus menerus, kebutuhan zat

makanannya dipenuhi dari pakan yang bersumber dari perolehan bahan yang

tersedia di lapang (Balai Penelitian Ternak, 1996). Adapun zat makanan yang

menjadi faktor pembatas utama adalah protein dan energi, karena efisiensi

penggunaan protein untuk pertumbuhan jaringan tubuh, dipengaruhi oleh

ketersediaan energi (Ensminger dan Parker,1986). Namun demikian, kualitas zat

makanan yang dilihat dari aspek energi yang terkandung didalam pakan yang

dikonsumsi, tidak semuanya dimanfaatkan oleh ternak, karena ada sebagian


lainnya terbuang melalui feses, urin, gas metan dan panas (Tillman dkk., 1991).

Pemanfaatan energi ini dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi,

termasuk imbangan protein kasar dan Total Digestible Nutrient (TDN).

Kebutuhan rasio protein dan energi pakan lebih besar pada ternak ruminansia

muda yang sedang tumbuh dengan cepat (Soeparno, 2005). Rasio protein dan

energi yang sinkron akan menunjukkan efisiensi fermentasi yang optimal, dalam

hal ini energi pakan yang dimanfaatkan untuk proses tersebut akan optimal pula
(Ginting, 2005).

Kebutuhan protein domba dengan bobot hidup 20 kg dan taraf kenaikan

bobot hidup harian 100 g membutuhkan 119 g protein kasar atau sebesar 95 g

protein kasar tercerna (Kearl, 1982). Jumlah tersebut akan meningkat dengan

makin bertambahnya bobot hidup ternak. Kebutuhan energi diperuntukkan dalam

proses metabolisme tubuh, pembentukan protein dan lemak tubuh, tenaga untuk

kegiatan harian, seperti berdiri, berjalan dan sebagainya. Adapun kebutuhan

energi ternak domba yang sedang tumbuh (bobot hidup 20 kg) adalah 5,941 MJ

energi metabolis (EM) per hari (kearl, 1982).


17

Kebutuhan protein kasar (PK) dan Total Digestible Nutrient (TDN) untuk

domba yang sedang tumbuh dengan bobot badan 15-30 kg menurut Ranjhan

(1993) adalah 11,8-16,41 % dan 55,3-69,6 %, sedangkan menurut Haryanto dan

Djajanegara (1993) adalah 14 – 15% dan 45 – 63%. Menurut Umberger (1997),

kebutuhan PK untuk domba yang digemukkan adalah 15% (untuk bobot badan

13,50 – 31,50 kg) dan 13% (untuk bobot badan lebih dari 31,50 kg), sedangkan

TDN 70 – 75% (untuk bobot badan 22,50 – 33,75 kg) dan TDN 65 – 70% untuk

campuran pakan komplit yang dibuat pelet. Stanton dan Levalley (2004)

merekomendasikan PK untuk domba yang digemukkan dengan bobot badan 31,50


kg sebesar 12 – 14%.

2.5. Kecernaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya

Kecernaan nutrient didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak

diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut

dicerna oleh hewan (McDonald dkk., 1991). Kecernaan merupakan persentase

pakan yang dapat dicerna dalam sistem pencernaan yang kemudian dapat diserap

tubuh dan sebaliknya yang tidak terserap dibuang melalui feses (Campbell dkk.,

2003). Kecernaan zat makanan adalah salah satu ukuran dalam menentukan

kualitas pakan. Kecernaan diartikan juga sejauh mana ternak dapat mengubah zat

makanan menjadi unsur kimia sederhana yang dapat diserap oleh sistem

pencernaan tubuh (Damron, 2006). Selisih antara konsumsi zat makanan bahan

pakan dengan ekskresi zat makanan feses menunjukkan jumlah zat makanan
bahan pakan yang dapat dicerna (Suparjo, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum diantaranya adalah

suhu lingkungan, laju aliran pakan saat melewati sistem pencernaan, bentuk fisik
18

pakan dan komposisi zat makanan pakan (Campbell dkk., 2003). McDonald dkk.,

(2002) menyatakan bahwa kecernaan juga dipengaruhi oleh komposisi ransum

antar hijauan dan konsentrat, pengolahan pakan dan jumlah pakan yang

dikonsumsi. Selain itu tingkat kecernaan zat makanan juga dipengaruhi oleh

spesies ternak, bentuk fisik ransum, jumlah bahan makanan yang diberikan,

komposisi ransum, dan perbandingan zat makanan lainnya (Maynard dan Loosli,

1956). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979), faktor yang mempengaruhi kecernaan

pakan adalah umur ternak, jumlah pakan, pengolahan pakan, komposisi bahan

pakan, dan kandungan zat makanan pakan. Selain itu menurut Mackie dkk.,

(2002), adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi

kecernaan. Adapun kambing, domba, rusa, sapi, kerbau memiliki keragaman

spesies bakteri dan protozoa yang hampir sama (Thalib dkk., 2000). Pengetahuan

akan faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum ini sangat penting untuk

diketahui, agar efisiensi konversi ransum dapat ditingkatkan dengan

mempertimbangkan faktor yang mempengaruhinya. Faktor - faktor tersebut


berpengaruh terhadap kecernaan karena:

a. Faktor Hewan

Berbedanya bahan pakan yang diberikan apalagi tinggi rendahnya serat kasar,

akan menentukan spesies ternak yang mengkonsumsinya, karena ternak

nonruminansia hanya mampu mengkonsumsi bahan pakan yang rendah

kandungan serat kasarnya, sementara ternak ruminansia mampu mengkonsumsi

pakan tinggi serat kasar karena nitrogen metabolik pada ruminansia lebih tinggi

sehingga daya cerna protein pada ruminansia lebih rendah dibanding pada non

ruminansia (Tillman dkk., 1998). Selain itu faktor umur dalam ternak ruminansia

juga dapat mempengaruhi tingkat kecernaan karena ternak sangat muda dan
19

sangat tua tidak dapat mengunyah pakan dengan baik sehingga tingkat kecernaan

bahan pakannya akan lebih rendah dari ternak dewasa yang memiliki gigi
sempurna dan dapat mengunyah pakan dengan baik (Anggorodi, 1979).

b. Komposisi pakan

Kecernaan ternak ruminansia sangat berhubungan dengan komposisi kimia

makanannya terutama serat kasar, karena serat kasar berpengaruh sangat besar

terhadap daya cerna ternak, baik susunan kimia maupun proporsi serat kasar

dalam pakan perlu dipertimbangkan. Hal ini karena dinding sel tanaman terdiri

dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terlebih jika mengandung

lignin. Penambahan persentase serat kasar dalam bahan pakan terjadi pada

tanaman yang tua, biasanya disertai dengan penambahan lignifikasi dari selulosa

dan hemiselulosa pada dinding sel (Tillman dkk., 1998). Tingginya kandungan

karbohidrat dalam pakan juga dapat mempengaruhi tingkat kecernaan serat kasar

karena mikroba rumen akan terlebih dahulu mencerna karbohidrat daripada serat

kasar (Anggorodi, 1979). Namun demikian penambahan sejumlah kecil zat

mineral esensial seperti fosfor, ferum, natrium, kalium, kalsium, magnesium,

belerang dan khlor, dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme rumen dan

secara tidak lagsung dibutuhkan untuk pencernaan selulosa dalam jumlah yang
lebih banyak (Anggorodi, 1979).

c. Jumlah pakan

Jumlah pakan yang diberikan pada ternak dapat mempengaruhi nilai

kecernaan ternak karena penambahan jumlah bahan pakan dapat mempercepat

laju makanan dalam usus sehingga daya cerna dapat berkurang. Kebutuhan untuk

hidup pokok hewan biasanya dipakai sebagai acuan dalam mencoba pengaruh
20

jumlah pakan terhadap daya cerna. Daya cerna yang tertinggi didapat pada jumlah

konsumsi sedikit lebih rendah dari kebutuhan hidup pokok. Sementara

penambahan konsumsi lebih lanjut menyebabkan penurunan daya cerna (Tillman


dkk.,1998).

d. Suhu

Suhu dapat berpengaruh terhadap nafsu makan dan jumlah pakan yang

dikonsumsi. Hal ini dapat berpengaruh tidak langsung terhadap derajat daya cerna
dari suatu bahan pakan (Anggorodi, 1979).

e. Laju perjalanan melalui alat pencernaan

Cepatnya bahan pakan yang dikonsumsi melewati saluran pencernaan dapat

mengakibatkan zat-zat makanan tidak di cerna secara menyeluruh oleh enzim-

enzim pencernaan karena waktu yang dibutuhkan untuk mencerna tidak

mencukupi. Namun laju perjalanan dari bahan pakan yang terlalu lambat dapat
menyebabkan kehilangan akibat fermentasi akan lebih besar (Anggorodi, 1979).

f. Bentuk fisik bahan makanan

Bentuk bahan pakan yang sudah digiling dapat memperluas permukaan bahan

pakan terhadap getah pencernaan sehingga tingkat kecernaan dapat meningkat

(Anggorodi, 1979). Namun hal tersebut hanya berlaku terhadap bahan pakan
berbentuk butiran, karena ternak ruminansia mengunyah hijauan dengan cukup

baik sehingga waktu yang diperlukan untuk proses pencernaan cukup, sementara

jika hijauan tersebut digiling maka laju masuknya pakan melalui alat pencernaan

menjadi tinggi, sehingga daya cernanya dapat berkurang (Anggorodi, 1979).

Menurut Anggorodi (1979) pakan yang berbentuk pellet juga dapat mempertinggi
21

laju dan efisiensi pertambahan bobot badan pada domba dan sapi, namun
pengaruhnya terhadap kecernaan belum ada kesesuaian antara para peneliti.

2.6. Kecernaan Bahan Kering

Pengujian kualitas bahan pakan dapat dilakukan dengan cara mengukur

kecernaan bahan kering dan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan

organik merupakan suatu cara untuk menilai kualitas pakan, karena kecernaan

suatu pakan menunjukkan seberapa besar pakan dapat dimanfaatkan khususnya

oleh mikroba rumen. Kecernaan adalah selisih antara zat makanan yang

dikonsumsi dengan yang dieksresikan dalam feses dan dianggap terserap dalam

saluran cerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari jumlah nutrisi dalam

bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan

bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat

makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan (Ismail,
2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain komposisi bahan

pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan

lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf

pemberian pakan (McDonald dkk., 2002). Sutardi (1979), menyatakan bahwa

kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap

sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda.

Kecernaan bahan kering merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai

pakan.
22

2.7. Kecernaan Bahan Organik

Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu,

komponen bahan kering bila difermentasi didalam rumen akan menghasilkan

asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Nilai kecernaan

bahan organik (KBO) didapatkan melalui selisih kandungan bahan organik (BO)

awal sebelum inkubasi dan setelah inkubasi, proporsional terhadap kandungan BO

sebelum inkubasi tersebut (Blümmel dkk., 1997). Kecernaan bahan organik

dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat makanan berupa

komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin

(Gatenby, 1986). Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam

bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat

tersebut menjadi zat yang mudah larut (Tillman dkk., 1998). Faktor yang

mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan

mineral dari bahan pakan (Gatenby, 1986). Kecernaan bahan organik erat

kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering

terdiri dari bahan organik (Ismail, 2011). Penurunan kecernaan bahan kering

mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun, begitu juga sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai