II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Domba merupakan ternak yang sudah umum dipelihara oleh peternak secara
turun temurun. Semua jenis domba memiliki karakteristik yang sama dan
: Artiodactyla, famili : Bovidae, genus : Ovis, spesies : Ovis aries (Blackely dan
Bade, 1998). Williamson dan Payne (1995) menyatakan domba yang kita kenal
a. Mouflon (Ovis muximon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari
b. Argali (Ovis ammon), merupakan jenis domba liar yang berasal dari Asia
Ada tiga bangsa domba asli yang terdapat di pulau Jawa yaitu domba lokal
ekor tipis, domba ekor gemuk, dan domba priangan (Mason, 1980). Domba
priangan berasal dari Jawa Barat, yaitu kabupaten Garut dan sekitarnya, sehingga
disebut juga domba Garut (Mulyono, 1999). Domba Garut merupakan persilangan
dari domba Cape (Afrika) dengan domba lokal (Hardjosubroto dan Astuti, 1980),
namun menurut Mason (1980) domba Garut merupakan peranakan domba ekor
Gemuk. Ciri fisik domba Garut adalah badan besar dan lebar, memiliki leher yang
kuat sehingga digunakan sebagai domba aduan dan penghasil daging, domba
spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, betina tidak memiliki
tanduk, bulu badan lebih panjang dan halus, dan bobot domba jantan adalah 60-80
kg, sedangkan bobot domba betina adalah 30 - 40 kg (Mulyono, 2005).
Menurut Sodiq dan Abidin (2002), beberapa kelebihan domba Garut yang
2. Pada waktu laktasi, penggunaan energi untuk produksi air susu dapat lebih
3. Daya adaptasi ternak domba terhadap lingkungan yang keras cukup tinggi,
selanjutnya masuk ke dalam peredaran darah atau getah bening, dan diedarkan
keseluruh tubuh yang membutuhkannya (Kamal, 1994).
pakan tinggi serat kasar yang tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh manusia dan
11
Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan pakan dalam mulut dan
sederhana dengan cara pengunyahan dan pembasahan oleh saliva didalam mulut
(Siregar, 1994). Saliva berfungsi sebagai buffer terhadap asam lemak terbang
yang dihasilkan oleh fermentasi mikrobia didalam lambung (Tillman dkk., 1991)
dan selanjutnya proses pencernaan berlangsung didalam rumen.
(Blakely dan Bade, 1998), dan meggunakan campuran makanan juga air sebagai
pencerna serat kasar dan protein serta mensintesis vitamin B yang digunakan
untuk berkembang biak dan membentuk sel-sel baru. Sel-sel inilah yang akhirnya
dicerna oleh ”induk semang” sebagai protein hewani yang dikenal dengan sebutan
protein mikrobia (Pertiwi, 2010).
rumen dipengaruhi oleh kondisi dalam rumen yang anaerob, tekanan osmose pada
6,8 oleh adanya absorpsi asam lemak, amonia serta saliva yang berfungsi sebagai
buffer (Arora, 1995). Hasil pencernaan fermentatif dalam rumen berupa Volatile
12
Fatty Acids (VFA), NH3, metan (CH4), dan CO2 (Ørskov dan Ryle, 1990). VFA
1999) dan sebagian lagi diserap dalam omasum dan abomasum (Arora, 1989).
VFA diantaranya terdiri atas asam asetat (C2), asam propionat (C3), asam butirat
(C4), valerat dan format (Parakkasi, 1999), 75% dari total VFA yang dihasilkan
diserap didalam omasum dan abomasum, dan 5% akan diserap dalam usus
(Church, 1971).
turut dicerna dalam retikulum, omasum dan abomasum. Pakan tersebut kemudian
diteruskan ke usus halus untuk diabsorpsi lebih lanjut melalui dinding usus
dimana bolus diregurgitasikan kembali kedalam mulut (Arora, 1989). Pakan yang
dan menyerap sebagian air (Wodzicka dkk., 1993). Setelah pencernaan dalam
menuju usus halus (Arora, 1989). Abomasum adalah bagian perut, tempat hasil
Ransum komplit adalah pakan yang cukup tinggi gizi untuk hewan tertentu
dalam tingkat fisiologis, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-
13
satunya makanan dan memenuhi kebutuhan hidup pokok atau produksi, atau
keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Hartadi dkk.,
2005, Purbowati dkk., 2009). Ransum komplit juga merupakan campuran dari
berbagai bahan pakan sesuai proporsinya untuk mendapatkan zat makanan yang
lengkap. Bahan pakan yang dicampur antara lain hijauan, butiran, konsentrat,
suplemen vitamin, dan bahan aditif lain yang memenuhi kebutuhan nutrisi bagi
ternak (Owen, 1966). Pembuatan ransum komplit merupakan salah satu metode
sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam teknologi peralatan atau mesin
pengolahan pakan (Ginting 2009).
yang tersedia dalam negeri dan sesedikit mungkin menggunakan komponen impor
(Saragih, 2000), pendayagunaan pakan lokal ini juga dapat meminimalkan porsi
ransum dari pakan impor seperti jagung, kedelai, dan tepung ikan (Kuswandi,
terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan
pertanian sebagai bahan pakan lokal juga sangat dibutuhkan sebagai salah satu
ransum ternak lokal diutamakan untuk memanfaatkan bahan pakan lokal yang
harganya relatif lebih murah, mudah diperoleh pada spesifik lokasi, tidak bersaing
Pakan ruminansia sendiri terdiri atas hijauan dan pakan tambahan sumber
protein, energi, mineral, dan vitamin. Adapun industri pengolah hasil pertanian
menghasilkan limbah seperti dedak, pecahan biji (menir), bungkil, ampas, dan
kulit atau pod (Kuswandi, 1990; Darmawidah dkk., 1998; Bamualim dkk., 2007;
utama protein, energi, dan mineral dalam pakan, tetapi kandungan, palatabilitas,
dan kecernaannya berbeda.
bahan pakan lokal adalah kandungan zat makanan yang sesuai dengan ternak yang
dipelihara. Menurut Ranjhan (1981), kebutuhan bahan kering (BK) domba yang
terpenuhi, energi dan protein adalah kebutuhan utama yang harus tercukupi
digunakan untuk mengganti jaringan yang rusak dan mati serta menyediakan
energi untuk kegiatan metabolisme (Lubis, 1963). Pemberian pakan yang kurang
dari kebutuhan ternak dapat menyebabkan efek negatif dan pada batas tertentu
2009). Ini terjadi karena zat makanan dalam ransum hanya digunakan untuk
ransum yang efisien dan sesuai dengan kebutuhan hidup pokok dan produksi
ternak domba. Karena domba merupakan hewan kecil yang pada umumnya
proses-proses pencernaannya berjalan lebih cepat dan rapi daripada hewan yang
jauh lebih besar (Lubis, 1963). Selain itu kapasitas organ pencernaan juga
merupakan fungsi bobot badan (Dement dan Van Soest, 1983). Sehingga
rendah pada ternak dengan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan ternak
besar. Efisiensi pencernaan pada ternak yang berukuran lebih kecilpun lebih
sedikit dibandingkan dengan yang lebih besar. Prinsip ini telah menjadi anggapan
pakan, karena untuk dapat tumbuh dan berkembang, domba yang pada umumnya
16
makanannya dipenuhi dari pakan yang bersumber dari perolehan bahan yang
tersedia di lapang (Balai Penelitian Ternak, 1996). Adapun zat makanan yang
menjadi faktor pembatas utama adalah protein dan energi, karena efisiensi
makanan yang dilihat dari aspek energi yang terkandung didalam pakan yang
Kebutuhan rasio protein dan energi pakan lebih besar pada ternak ruminansia
muda yang sedang tumbuh dengan cepat (Soeparno, 2005). Rasio protein dan
energi yang sinkron akan menunjukkan efisiensi fermentasi yang optimal, dalam
hal ini energi pakan yang dimanfaatkan untuk proses tersebut akan optimal pula
(Ginting, 2005).
bobot hidup harian 100 g membutuhkan 119 g protein kasar atau sebesar 95 g
protein kasar tercerna (Kearl, 1982). Jumlah tersebut akan meningkat dengan
proses metabolisme tubuh, pembentukan protein dan lemak tubuh, tenaga untuk
energi ternak domba yang sedang tumbuh (bobot hidup 20 kg) adalah 5,941 MJ
Kebutuhan protein kasar (PK) dan Total Digestible Nutrient (TDN) untuk
domba yang sedang tumbuh dengan bobot badan 15-30 kg menurut Ranjhan
kebutuhan PK untuk domba yang digemukkan adalah 15% (untuk bobot badan
13,50 – 31,50 kg) dan 13% (untuk bobot badan lebih dari 31,50 kg), sedangkan
TDN 70 – 75% (untuk bobot badan 22,50 – 33,75 kg) dan TDN 65 – 70% untuk
campuran pakan komplit yang dibuat pelet. Stanton dan Levalley (2004)
diekskresikan dalam feses atau dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut
pakan yang dapat dicerna dalam sistem pencernaan yang kemudian dapat diserap
tubuh dan sebaliknya yang tidak terserap dibuang melalui feses (Campbell dkk.,
2003). Kecernaan zat makanan adalah salah satu ukuran dalam menentukan
kualitas pakan. Kecernaan diartikan juga sejauh mana ternak dapat mengubah zat
makanan menjadi unsur kimia sederhana yang dapat diserap oleh sistem
pencernaan tubuh (Damron, 2006). Selisih antara konsumsi zat makanan bahan
pakan dengan ekskresi zat makanan feses menunjukkan jumlah zat makanan
bahan pakan yang dapat dicerna (Suparjo, 2008).
suhu lingkungan, laju aliran pakan saat melewati sistem pencernaan, bentuk fisik
18
pakan dan komposisi zat makanan pakan (Campbell dkk., 2003). McDonald dkk.,
antar hijauan dan konsentrat, pengolahan pakan dan jumlah pakan yang
dikonsumsi. Selain itu tingkat kecernaan zat makanan juga dipengaruhi oleh
spesies ternak, bentuk fisik ransum, jumlah bahan makanan yang diberikan,
komposisi ransum, dan perbandingan zat makanan lainnya (Maynard dan Loosli,
1956). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979), faktor yang mempengaruhi kecernaan
pakan adalah umur ternak, jumlah pakan, pengolahan pakan, komposisi bahan
pakan, dan kandungan zat makanan pakan. Selain itu menurut Mackie dkk.,
spesies bakteri dan protozoa yang hampir sama (Thalib dkk., 2000). Pengetahuan
akan faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan ransum ini sangat penting untuk
a. Faktor Hewan
Berbedanya bahan pakan yang diberikan apalagi tinggi rendahnya serat kasar,
pakan tinggi serat kasar karena nitrogen metabolik pada ruminansia lebih tinggi
sehingga daya cerna protein pada ruminansia lebih rendah dibanding pada non
ruminansia (Tillman dkk., 1998). Selain itu faktor umur dalam ternak ruminansia
juga dapat mempengaruhi tingkat kecernaan karena ternak sangat muda dan
19
sangat tua tidak dapat mengunyah pakan dengan baik sehingga tingkat kecernaan
bahan pakannya akan lebih rendah dari ternak dewasa yang memiliki gigi
sempurna dan dapat mengunyah pakan dengan baik (Anggorodi, 1979).
b. Komposisi pakan
makanannya terutama serat kasar, karena serat kasar berpengaruh sangat besar
terhadap daya cerna ternak, baik susunan kimia maupun proporsi serat kasar
dalam pakan perlu dipertimbangkan. Hal ini karena dinding sel tanaman terdiri
dari selulosa dan hemiselulosa yang sukar dicerna terlebih jika mengandung
lignin. Penambahan persentase serat kasar dalam bahan pakan terjadi pada
tanaman yang tua, biasanya disertai dengan penambahan lignifikasi dari selulosa
dan hemiselulosa pada dinding sel (Tillman dkk., 1998). Tingginya kandungan
karbohidrat dalam pakan juga dapat mempengaruhi tingkat kecernaan serat kasar
karena mikroba rumen akan terlebih dahulu mencerna karbohidrat daripada serat
secara tidak lagsung dibutuhkan untuk pencernaan selulosa dalam jumlah yang
lebih banyak (Anggorodi, 1979).
c. Jumlah pakan
laju makanan dalam usus sehingga daya cerna dapat berkurang. Kebutuhan untuk
hidup pokok hewan biasanya dipakai sebagai acuan dalam mencoba pengaruh
20
jumlah pakan terhadap daya cerna. Daya cerna yang tertinggi didapat pada jumlah
d. Suhu
Suhu dapat berpengaruh terhadap nafsu makan dan jumlah pakan yang
dikonsumsi. Hal ini dapat berpengaruh tidak langsung terhadap derajat daya cerna
dari suatu bahan pakan (Anggorodi, 1979).
mencukupi. Namun laju perjalanan dari bahan pakan yang terlalu lambat dapat
menyebabkan kehilangan akibat fermentasi akan lebih besar (Anggorodi, 1979).
Bentuk bahan pakan yang sudah digiling dapat memperluas permukaan bahan
(Anggorodi, 1979). Namun hal tersebut hanya berlaku terhadap bahan pakan
berbentuk butiran, karena ternak ruminansia mengunyah hijauan dengan cukup
baik sehingga waktu yang diperlukan untuk proses pencernaan cukup, sementara
jika hijauan tersebut digiling maka laju masuknya pakan melalui alat pencernaan
Menurut Anggorodi (1979) pakan yang berbentuk pellet juga dapat mempertinggi
21
laju dan efisiensi pertambahan bobot badan pada domba dan sapi, namun
pengaruhnya terhadap kecernaan belum ada kesesuaian antara para peneliti.
kecernaan bahan kering dan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan
organik merupakan suatu cara untuk menilai kualitas pakan, karena kecernaan
oleh mikroba rumen. Kecernaan adalah selisih antara zat makanan yang
dikonsumsi dengan yang dieksresikan dalam feses dan dianggap terserap dalam
saluran cerna. Jadi kecernaan merupakan pencerminan dari jumlah nutrisi dalam
bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan
bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat
makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan (Ismail,
2011).
pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan
lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf
kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap
Kecernaan bahan kering merupakan faktor penting yang dapat menentukan nilai
pakan.
22
asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Nilai kecernaan
bahan organik (KBO) didapatkan melalui selisih kandungan bahan organik (BO)
(Gatenby, 1986). Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam
bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat
tersebut menjadi zat yang mudah larut (Tillman dkk., 1998). Faktor yang
mineral dari bahan pakan (Gatenby, 1986). Kecernaan bahan organik erat
kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering
terdiri dari bahan organik (Ismail, 2011). Penurunan kecernaan bahan kering