Mencari suatu kebenaran tidaklah mudah. Bukan berarti suatu kebenaran itu tidak
dapat dicari. Tetapi menuju sesuatu yang konkret dan riil membutuhkan suatu pemikiran yang
dewasa untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pencarian suatu kebenaran, seperti
halnya seorang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen untuk tujuan mendapatkan hasil
atau mendapatkan suatu jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.Jawaban tesebut
berawal dari hipotesis-hipotesis yang masih menjadi pertimbangan hingga akhir eksperimen.
Ketika seluruh kegiatan eksperimen dilaksanakan, barulah akan muncul hasil yang bisa
menjawab perumusan masalah. Namun tidak selalu eksperimen berhasil dalam satu kali
kegiatan. Eksperimen yang tidak berhasil akan diulang sampai beberapa kali untuk mencapai
keberhasilan, sehingga semua perumusan masalah yang memiliki hipotesa dapat terjawab.
Dari sini dapat dilihat bahwa suatu kebenaran itu tidak didapat melalui sekali pembuktian,
tetapi memerlukan pemikiran dan logika yang matang sehingga suatu maksud yang dicari
dapat ditemukan jawaban yang konkret dan riil. Seperti filsafat, ilmu yang mempelajari
tentang suatu kebenaran.
Filsafat bukanlah ilmu yang terisolasi dari disiplin ilmu yang lain. Menjadi filosof
tidaklah semata-mata merenungkan segala sesuatu di suatu tempat. Filosof juga beorientasi
kepada kenyataan-kenyataan yang realistis, fenomena yang ada didalam kesemestaan hidup
manusia. Filsafat bukanlah sesuatu yang steril, sesuatu yang suci dari persoalan-persoalan
dalam arena kehidupan. Filsafat justru mencari jawaban atas rahasia-rahasia yang ada didalam
kehidupan manusia. Tujuannya untuk menemukan kebenaran yang memuaskan tuntutan
rohaniah manusia. Karena berfilsafat adalah aktivitas pikir murni, jadi merupakan fungsi
rohaniah. Bagi manusia pada perkembangan dan tingkat kematangan tertentu, kecenderungan
berfilsafat akan nampak. Dan dorongan ini tak terlepas dari keseluruhan anta aksi social
didalam kehidupan manusia.
Ilmu filsafat dibutuhkan untuk mencari hakikat atau kebenaran sesuatu. Berfilsafat
diumpamakan seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin
mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan galaksi (Jujun, 2003:20). Maka diperlukanlah
suatu pengetahuan yang mengarah pada keinginan seseorang dalam menemukan suatu
kebenaran dalam dirinya. Disini akan dijelaskan mengenai dasar-dasar yang akan menelusuri
filsafat dalam kajian keilmuan yang meliputi epistimologi yang berarti cara, ontologi yang
berarti hakikat, dan aksiologi yang berarti nilai atau guna.
1
1. Filsafat dan ilmu, keduanya menggunakan metode berpikir reflektif (reflective
thinking) dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup.
2. Keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisasi dan tersusun secara
sistematis.
3. Ilmu membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan-bahan deskriptif
dan faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat.
4. Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang
bertentangan dengan pengetahuan ilmiah.
Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan
beraneka macam ilmu yang berbeda, serta menyusun bahan-bahan tersebut kedalam
suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang menyeluruh dan terpadu.
Sedangkan perbedaannya adalah:
1. Ilmu bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek
formalnya. Filsafat bersifat pengetahuan sinopsis, artinya melihat segala sesuatu
dengan menekankan secara keseluruhan, karena keseluruhan memiliki sifat
tersendiri yang tidak ada pada bagian-bagiannya.
2. Ilmu bersifat deskriptif tentang objeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, netral
dalam arti tidak memihak pada etnik tertentu. Filsafat tidak hanya menggambarkan
sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang
tujuan dan nilai dari tentang apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak
netral, karena faktor-faktor subjektif memegang peranan yang penting dalam
berfilsafat.
3. Ilmu mengawali kerjanya dengan bertolak dari suatu asumsi yang tidak perlu diuji,
sudah diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa merenungkan kembali
asumsi-asumsi yang telah ada untuk dikaji ulang tentang kebenaran asumsi.
Ilmu menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas.
Verifikasi terhadap teori dilakukan dengan jalan menguji dalam praktik berdasarkan
metode-metode ilmu yang empiris. Selain menghasilkan suatu konsep atau teori,
filsafat juga menggunakan hasil-hasil ilmu, dilakukan dengan menggunakan akal
pikiran yang didasarkan pada semua pengalaman insani, sehingga dengan demikian
filsafat dapat menelaah yang tidak dicarikan penyelesaianya oleh ilmu.
2.2 Pngertian dan Jenis-Jenis Dasar-Dasar Keilmuan
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud 1988), ilmu memiliki dua
pengertian, yaitu:
1. Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu
hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya.
2. Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang soal duniawi, akhirat,
lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu
sihir, dan sebagainya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara sistematis, dengan menggunakan metode-metode
tertentu.
Ilmu memiliki karakteristik, Ernest van den Haag (Harsojo, 1977)
mengemukakan ciri-ciri ilmu, yaitu:
1. Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal
(rasio).
2. Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar pengalaman oleh panca
indera.
3. Bersifat umum, hasil ilmu dapat dipergunakan oleh manusia tanpa terkecuali.
2
4. Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk dijadikan objek
penelitian selanjutnya.
Ada dua jenis ilmu menurut Aristoteles.Ilmu diklasifikasikan berdasarkan
tujuan dan objeknya. Berdasarkan tujuan ilmu dapat dibedakan menjadi dua kelompok
besar, yaitu:
1. Ilmu-ilmu teoritis yang penyelidikannya bertujuan memperoleh pengetahuan
tentang kenyataan.
2. Ilmu-ilmu praktis atau produktif yang penyelidikannya bertujuan menjelaskan
perbuatan yang berdasarkan pada pengetahuan.
Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yang membentuk suatu dasar-dasar
keilmuan, yaitu: ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga cabang tersebut
merupakan suatu kesatuan. Ontologi membicarakan hakikat, yaitu berupa pengetahuan
tentang segala sesuatu yang meliputi: logika, metafisika, kosmologi, teologi,
antropologi, etika, estetika, filsafat pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lain.
Epistimologi merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan itu, sedangkan aksiologi
membicarakan tentang nilai atau guna dari pengetahuan itu. Untuk itu disini akan
dibahas mengenai keilmuan dalam ketiga cabang tersebut.
b. Idealisme, idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam
jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam
itu semua berasal dari ruh atau sejenisnya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk
dan menempati ruang. Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat
benda adalah ruhani, spirit dan sebagainya adalah:
- Nilai ruh lebih tinggi dari badandan materi bagi kehidupan manusia. Ruh
itu dianggap sebagai hakikat sebenarnya.
- Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
- Materi adalah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada,
yang ada energi itu saja.
2. Dualisme, aliran ini memandang bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini
berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruh. Materi bukan berasal dari ruh, dan ruh bukan
berasal dari benda. Keduanya sama-sama hakikat.
3. Pluralisme, paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy
and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam
ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
4. Nihilisme, nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti tidak ada. Doktrin
tentang nihilisme sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan
Gorgias yang memberikan tiga proposisi tentang realitas, yaitu:
- Tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada.
- Bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui.
- Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan
kepada orang lain.
5. Agnostisisme, paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda, baik itu hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata agnostisisme
berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown. Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara
kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran
ini dengan tegas menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat
transcendent. Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan
terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun
rohani.
Dalam bidang keilmuan, pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi
masalah utama terutama di dalam pendidikan. Sebab, anak bergaul dengan dunia
lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti sesuatu. Anak-
anak, baik masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita, obyek
pengalaman yang meliputi: benda mati, benda hidup, sub-human, dan human.
4
Bagaimana asas-asas pandangan religius tentang adanya makhluk-makhluk hidup yang
berakhir dengan kematian dapat dimengerti. Begitu pula realita semesta dan eksistensi
manusia yang memiliki jasmani dan rokhani. Bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi
Tuhan Maha Pencipta.
Memang bukanlah kewajiban sekolah atau pendidikan semata-mata
membimbing pengertian anak-anak untuk memahami realita dunia yang nyata ini.
Kewajiban sekolah juga untuk membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal
atas realita itu tadi.Ini berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus untuk
menyelami kebenaran. Anak-anak secara sistematis wajib dibina potensi berpikir kritis
untuk mengerti kebenaran itu. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan di
dalam lingkungan hidupnya, baik tentang adat istiadat, tentang tata sosial dan pola-
pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum. Daya pikir yang kritis
akan sangat membantu pengertian tersebut. Kewajiban pendidikan melalui latar
belakang ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis itu.
5
2. Metode Deduktif. Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-
data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-
hal yang harus ada dalam metode deduktif adalah adanya perbandingan logis
antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu
dengan tujuan apakah teori itu bersifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan
dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara
empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme. Metode yang dikeluarkan oleh August Comte ini berpangkal
dari apa yang telah diketahui, yang faktual, dan yang positif. Ia
mengenyampingkan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
Oleh karena itu, metode ini menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif,
adalah segala yang tampak dan segala gejala.
4. Metode Kontemplatif. Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal
manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun
akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut
dengan intuisi.
5. Metode Dialektis. Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab
untuk mencapai kejernihan filsafat. Kini, dialektika berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam
kehidupan sehari-hari, dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan.
Dalam teori pengetahuan, ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun
dari satu pikiran, tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling
kurang dua kutub.
Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, berarti dia telah memiliki
pengetahuan tentang sesuatu itu. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu kata
yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang.
Pengetahuan senantiasa memiliki subyek, yaitu yang mengetahui dan obyek, yaitu
sesuatu yang diketahui. Pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran, karena
demi mencapai kebenaranlah maka pengetahuan itu eksis. Kebenaran adalah
kesesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan
dengan obyeknya disebut kekeliruan. Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa
memiliki begitu banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak.
Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dari suatu obyek itu,
sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian jelas bahwa
amat sulit untuk mencpai kebenaran yang lengkap dari obyek tertentu, apalagi
mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek
pengetahuan.
Menurut Jan Hendrik Rapar (1996:38) bahwa pengetahuan itu dapat dibagi ke
dalam tiga jenis, yaitu:
1. Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Ini terdiri dari “nir-ilmiah” dan “pra-
ilmiah”. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasil penyerapan dengan indera terhadap
obyek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk pula
pengetahuan intuituf. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasil penyerapan
inderawi dan pengetahuan yang merupakan hasil pemikiran rasional yang tersedia
untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode
ilmiah.
2. Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), pengetahuan yang diperoleh lewat
penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran
yang dicapai. Inilah pengetahuan yang sering disebut sains (science).
6
3. Pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), yang diperoleh lewat pemikiran
rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis
serta pemikiran-pemikiran yang logis, analitis dan sistematis. Pengetahuan filsafat
ini berkaitan dengan hakikat, prinsip dan asas seluruh realitas yang dipersoalkan
selaku obyek yang hendak dicapai atau diketahui.
7
Dalam aspek aksiologi, tujuan dasarnya adalahmenemukan kebenaran atas
fakta “yang ada” atau sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah. Contohnya,
ada Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah mempengaruhi tingkat
kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan pengujian laboratorium dengan simulasi
berbagai variasi kadar air ternyata terbukti bahwa teori tersebut benar.
Amsal bakhtiar telah mengutip beberapa pendapat ahli mengenai definisi
aksiologi dan menyimpulkan bahwa dalam aksiologi, permasalahan utama adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada dua permasalahan, yaitu nilai
etika dan nilai estetika.
1. Etika
Etika sebagai cabang filsafat disebut juga filsafat moral. Secara etimologis
etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti watak, sedang moral berasal dari
kata latin mos (tunggal), mores (jamak) yang bararti kebiasaan atau kesusilaan.
Dalam sejarah filsafat Barat, etika adalah cabang filsafat yang sangat berpengaruh
sejak jaman Sokrates(470-399 SM). Etika membahas baik dan buruk atau benar
tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban -
kewajiban manusia.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti. Pertama, etika merupakan
suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
manusia. Kedua, etika merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan
hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa
objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia. Dapat dikatakan pula
bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak
baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu kondisi yang melibatkan norma-
norma.
2. Estetika
Estetika sebagai cabang filsafat juga disebut filsafat keindahan. Secara
etimologi estetika bersal dari kata Yunani aisthetika yang berarti hal-hal yang
dicerap dengan indra atau aisthesis yang berarti cerapan indra. Kalau etika
digambarkan sebai teori tentang baik dan jahat, maka estetika digambarkan
sebagai kajian filsafati tentang keindahan dan kejelekan.Istilah estetika
diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten lewat
karyanya Reflections on Poetry. Baumgarten mengembangkan filsafat estetika
yang didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat karyanya
yang berjudul Aesthetica Acromatika(1750- 1758).
Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang
dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Menurut Kattsoff (2004), estetika merupakan suatu teori yang meliputi:
penyelidikan mengenai yang indah, penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang
mendasari seni, dan pengalaman yang bertalian dengan seni, termasuk di
dalamnya masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni dan perenungan
terhadap seni.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan,aksiologi disamakan dengan
Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation, antara lain:
a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit
seperti baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakupi sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran.
8
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai yang dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai. Seperti
nilainya, nilai dia dan sistem nilai dia.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai,
dan nilai. Menilai umumnya bersinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara
aktif digunakan untuk menilai perbuatan.
Dari definisi definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang di maksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai.
KESIMPULAN
Suatu kebenaran itu tidak didapat melalui sekali pembuktian, tetapi memerlukan
pemikiran dan logika yang matang sehingga suatu maksud yang dicari dapat ditemukan
jawaban yang konkret dan riil. Seperti filsafat, ilmu yang mempelajari tentang suatu
kebenaran.
Dapat disimpulkan beberapa jawaban dari rumusan permasalahan yang telah
dirangkum dalam makalah ini, antara lain:
a. Filsafat memiliki hubungan dengan ilmu. Filsafat merangkum pengetahuan yang
terpotong-potong, yang menjadikan beraneka macam ilmu yang berbeda, serta menyusun
bahan-bahan tersebut kedalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang
menyeluruh dan terpadu. Selain menghasilkan suatu konsep atau teori, filsafat juga
menggunakan hasil-hasil ilmu, dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang
didasarkan pada semua pengalaman insani, sehingga dengan demikian filsafat dapat
menelaah yang tidak dicarikan penyelesaianya oleh ilmu.
b. Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yang membentuk suatu dasar-dasar keilmuan, yaitu:
ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Ketiga cabang tersebut merupakan suatu kesatuan.
Ontologi membicarakan hakikat, yaitu berupa pengetahuan tentang segala sesuatu yang
meliputi: logika, metafisika, kosmologi, teologi, antropologi, etika, estetika, filsafat
pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lain. Epistimologi merupakan cara untuk
memperoleh pengetahuan itu, sedangkan aksiologi membicarakan tentang nilai atau guna
dari pengetahuan itu.
c. Menurut bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on/ontos yang berarti ada, dan
logos yang berartiilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut
istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, baik yang
berbentuk jasmani maupun rohani. Dalam pemahaman ontologi, ditemukan pandangan-
pandangan pokok pemikiran yang meliputi pemahaman: monoisme, dualisme, pluralisme,
nihilism, dan agnostisisme.
d. Epistimologi merupakan cabang filsafat yang bersangkut paut dengan teori pengetahuan.
Istilah epistimologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme
yang berarti pengetahuan atau kebenaran dan logos yang berarti kata, pikiran, teori atau
ilmu. Dengan demikian, epistimologi berarti teori atau filsafat yang mempersoalkan
tentang pengetahuan yang meliputi antara lain: bagaimana memperoleh pengetahuan,
sifat hakikat pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Dari persoalan-persoalan yang
dikemukakan oleh epistimologi itu terkandung nilai, yaitu berupa jalan atau metode
penyelidikan ke arah tercapainya pengetahuan yang benar.
e. Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan Yunani axios yang berarti nilai dan
logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang di maksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang
9
apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada dua permasalahan, yaitu
nilai etika dan nilai estetika.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ikhwan, Afiful. 2012. Makalah dan Artikel “Aksiologi”.
http://afifulikhwan.blogspot.com/2012_10_01_archive.html (online), diakses 1
April 2013.
Nurhariyanti, Dwi C. Epistemologi : Pengetahuan, Metode Ilmiah, Struktur
Pengetahuan Ilmu. http://dwicitranurhariyanti.wordpress.com/filsafat-
ilmu/epistemologi-pengetahuan-metode-ilmiah-struktur-pengetahuan- ilmu/
(online), diakses 1 April 2013.
Salwinsah. 2011. Ontologi Ilmu. http://salwintt.wordpress.com/artikel/kisah-
islami/ontologi-ilmu/ (online), diakses 15 April 2013.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: bumi aksara.
Syam, M. Noor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional Surabaya.
Yusrizalfirzal. 2011. Dasar-Dasar Ilmu.
http://yusrizalfirzal.wordpress.com/2011/12/30/dasar-dasar-ilmu/ (online),
diakses 1 April 2013.
10