* Tulisan ini pernah dipresentasikan pada Semiloka Praktek Bad Governance Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Dan Uji Kritis Kasus-Kasus Jasa Konstruksi Di Kota Salatiga yang diselenggarakan kerjasama antara Fakultas
Hukum UKSW dan Forum Komunitas Indonesia 1 pada tanggal 4 Agustus 2005.
* Penulis adalah staf pengajar FH UKSW, dan saat ini sedang studi di Program Pascasarjana Magister Hukum
Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta.
[1] Keppres No. 61/2004 ‘hanya’ merubah Pasal 22 ayat (5) mengenai kriteria keadaan tertentu dan keadaaan
khusus dan Lampiran I Bab I Huruf C.1.b4. Sedangkan Keppres No. 32/2005 merubah Pasal 17 ayat (5)
berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang memerlukan kelancaran pengadaan logistik
pilkada.
[2] Pasal 17 ayat (1) Keppres No. 80/2003 menyatakan dalam pemilihan penyedia barang/jasa
pemborongan/jasa lainnya, pada prinsipnya dilakukan melalui metode pelelangan umum.
[3] Kasus ini mencuatkan penodongan oleh penyedia barang/jasa pada saat proses pengadaan barang. Dimana
pihak yang ditodong dianggap mengganggu kepentingan peserta tender RSUD, sehingga penodongan dapat
menjadi salah satu bukti adanya dugaan persekongkolan tender dalam PBJ RSUD.
[4] Kasus ini tidak tertangkap oleh ‘radar’ media cetak karena sifatnya yang internal. Akan tetapi bagi-bagi
proyek yang dilakukan oleh Forum Lintas Asosiasi Jasa Konstruksi (FLAJK) dapat menjadi bukti permulaan
adanya skenario dari masyarakat jasa konstruksi untuk mengatur dan/atau memenangkan salah satu peserta
pengadaan barang/jasa.
[5] Kerugian publik dalam paradigma PBJ yaitu bahwa PBJ dilakukan untuk mendapatkan harga penawaran
terendah sehingga negara tidak terlalu besar mengeluarkan biaya untuk melakukan PBJ. Dimana selisih
anggaran yang ditetapkan dengan harga PBJ dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik yang lain, bukan
malah dijadikan ‘bancaan’ antara pengguna anggaran, panitian pengadaan dan penyedia barang/jasa.
[6] Penjelasan Pasal 3 Keppres No. 80/2003 mengatakan Panitia pengadaan dan/atau pejabat yang berwenang
dalam mengeluarkan keputusan, ketentuan, prosedur, dan tindakan lainnya, harus didasarkan pada nilai-nilai
dasar tersebut. Dengan demikian akan dapat tercipta suasana yang kondusif bagi tercapainya efisiensi,
partisipasi dan persaingan yang sehat dan terbuka antara penyedia jasa yang setara dan memenuhi syarat,
menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat, baik dari segi fisik, keuangan dan manfaatnya bagi kelancaran pelaksanaan tugas institusi
pemerintah.
[7] Pasal 3 Keppres No. 80/ 2003.
[8] Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 80/2003 mengatakan bahwa tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini
adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan
secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.
[9] Pasal 12 Keppres No. 80/2003.
[10] Lihat Lampiran I Keppres No. 80/2003 Bab I huruf D tentang Penyusunan Jadwal Pelaksanaan
Pengadaan.
[11] Perlu ditekankan disini bahwa penentuan alokasi waktu pengadaan barang menjadi tanggung jawab
pengguna barang/jasa bukan panitia pengadaan.
[12] Pasal ini harus dilihat dengan Pasal 14 ayat (6) dan (7) Keppres No. 80/2003 yang menyatakan
bahwa Panitia pengadaan tidak boleh menambah persyaratan prakualifikasi atau pascakualifikasi diluar yang
telah ditetapkan dalam Keppres.
[13] Pasal 1 angka 6 UU Persaingan Usaha.
[14] Pasal 14 ayat (10) jo Lampiran I Bab II Huruf A tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Pemborongan/Jasa Lainnya.
[15] Pasal 17 ayat (1) Keppres No. 80/2003.
[16] Pasal 11 jo Pasal 14 ayat (6) Keppres No. 80/2003.
[17] Pasal 48 ayat (6) Keppres No. 80/2003. Dalam penjelasan pasal tersebut menentukan bahwa informasi
yang wajib diberikan kepada masyarakat adalah (a) perencanaan paket-paket pekerjaan, (b) pengumuman PBJ,
(c) hasil evaluasi prakualifikasi, (d) hasil evaluasi pemilihan penyedia, (e) dokumen kontrak, (f) pelaksanaan
kontrak.
[18] Pasal 16 ayat (3d) Keppres No. 80/2003 jo Lampiran I, Bab I huruf A tentang Perencanaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
[19] Pasal 1 angka 1 Keppres No. 80/2003.
[20] Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 80/2003.
[21] Penjelasan Pasal 22 UU No. 5/1999.
[22] Penjelasan Pasal 22 UU No. 5/1999.
[23] Pengertian mengadakan barang/jasa dipersamakan dengan menyediakan, membeli, mendapatkan atau
memborong. Dalam PBJ pemerintah biaya untuk mengadakan barang/jasa berasal dari APBD/APBN baik
sebagaian atau seluruhnya.
[24] Dalam Pasal 1 angka 5 UU Persaingan Usaha memberikan definisi Pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
[25] Meskipun dalam kasus tersebut KPPU memberikan putusan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan
melakukan persekongkolan tender.
[26] Apabila kerjasama tidak disertai dengan pertemuan secara nyata dan terdapat saksi maka KPPU akan
memutus tidak bersalah. Bahkan KPPU dalam Putusan No. 07/KPPU-l/2003 menyatakan bahwa putusan
internal panitia lelang yang memenangkan salah satu peserta tender tidak termasuk dalam persekongkolan
tender.
[27] Putusan KPPU No. 01/KPPU-l/2000.
[28] Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001.
[29] Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001 dan Putusan KPPU No. 09/KPPU-LI/2001.
[30] Dalam Pasal 1 angka 9 mendefinisikan pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
Dalam PBJ maka pasar diartikan tender atau lelang itu sendiri yaitu tempat dimana melakukan transaksi
perdagangan antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa. Untuk penjelasan mengenai
pengusasaan pasar lihat sub judul pengertian persekongkolan. Bagian ini akan lebih menitikberatkan pada
mengatur/menentukan pemenang tender.
[31] Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000.
[32] Putusan KPPU No. 07/KPPU-LI/2001.
[33] Putusan KPPU No. 09/KPPU-LI/2001.
[34] Alasan digabungkannya dua kasus lelang RSUD dengan pertimbangan bahwa antara dua kasus yang
terjadi hanya merupakan suatu pengulangan atas prosedur yang tidak sesuai dengan Keppres No. 80/2003.
Sehingga analisis kasus dalam makalah ini dijadikan satu pembahasan.
[35] Pasal 17 ayat (2) Keppres No. 80/2003.
[36] Ketentuan ini berlaku baik untuk pelelangan umum dengan prakualifikasi maupun pascakualifikasi. Lamp.
I Bab I angka D tentang Penyusunan Jadual Pelaksanaan Pengadaan.