Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH SISTEM MUSKULOSKELETAL

OSTEOMYLITIS, OSTEOPOROSIS DAN OSTEOSARCOMA

Oleh
Kelompok 3 B14-A
1. Kadek Dwi Cahyani (213221213)
2. Ni Nyoman Ayu Virse Sutrisni (213221194)
3. Ni Ketut Susilawati (213221204)
4. Ni Wayan Gopi Sudharmadi (213221214)
5. I Made Suardana (213221225)
6. Ni Komang Yuliani (213221237)
7. I Made Ngara Yasa (213221235)

PROGRAM ALIH JENJANG S1 KEPERAWATAN


STIKES WIRA MEDIKA DENPASAR
2022
KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “MAKALAH SISTEM MUSKULOSKELETAL PATOFISIOLOGI
OSTEOMYLITIS,OSTEOPOROSIS DAN OSTEOSARCOMA”. Adapun pembuatan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa Sistem
MUuskuloskeletal, Integumen, Persepsi Sensori Dan Persarafan.

Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak dan sumber. Oleh karena itu kami sangat menghargai bantuan dari semua
pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga semangat, buku dan sumber
lainnya sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu melalui media ini kami
menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan
makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna untuk
menyempurnakan makalah ini.

“Om Santih, Santih, Santih Om”

Denpasar, 16 Februari 2022

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
C. Tujuan...............................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3


A. Osteomyelitis....................................................................................................3
B. Osteoporosis.....................................................................................................7
C. Osteosarcoma....................................................................................................16

BAB III PENUTUP..................................................................................................23


A. Kesimpulan.......................................................................................................23
B. Saran.................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan bursa. Struktur
tulang dan jaringan ikat menyususn kurang lebih 25 % berat badan. Struktur tulang
memberikan perlindungan terhadap organ-organ penting dalam tubuh seperti jantung, paru,
otak. Tulang berfungsi juga memberikan bentuk serta tempat melekatnya otot sehingga
tubuh kita dapat bergerak, disamping itu tulang berfungsi sebagai penghasil sel darah
merah dan sel darah putih (tepatnya di sumsum tulang) dalam proses yang disebut
hamatopoesis. Tubuh kita tersusun dari kurang lebih 206 macam tulang, dalam tubuh kita
ada 4 kategori yaitu tulang panjang, tulang pipih, tulang pendek, dan tulang tidak
baraturan. 
Gangguan muskuloskeletal adalah suatu kondisi yang mempengaruhi sistem
muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan atau saraf
pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak nyaman, kebas pada bagian yang
terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya mulai dari ringan sampai kondisi berat,
kronis dan lemah.Contoh kasus gangguan musculoskeletal diantaranya osteomyelitisyang
merupakan infeksi yang bersifat progresif yang menyebabkan peradangan, kerusakan,
nekrosis dan neoformasi dari tulang, dapat menjadi kronik dan pesisten. Osteoporosis
merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi permasalah global di bidang
kesehatan termasuk di Indonesia. Osteoporosis merupakan penyakit ditandai dengan massa
tulang yang rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro arsitektur tulang dan
penurunan kualitas tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. dan Osteosarcoma
adalah tumor yang muncul dari mesenkim pembentuk tulang. Gangguan muskuloskeletal
merupakan salah satu masalah utama kesehatan diseluruh dunia dengan prevalensi 35 –
50% (Ramadani, 2010). Pada Nord –Trøndelag County di Norwegia terdapat 45% dari
populasi orang dewasa melaporkan nyeri musculoskeletal kronis selama setahun terakhir
(Hoff dkk, 2008). 
Dengan latar belakang tersebut kami tertarik mengangkat kasus osteomyelitis,
osteoporosis dan osteosarcoma.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah diagnostic osteomyelitis ?
2. Bagaimana Terapi Osteomyelitis?
3. Bagaimanakan Patofisiologi Osteomyelitis ?
4. Bagaimanakan Pathway Osteomyelitis ?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui Diagnostik osteomyelitis
2. Dapat mengetahui terapi osteomyelitis
3. Dapat mengetahui patofisiologi osteomyelitis
4. Dapat mengetahui patway osteomyelitis

v
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. OSTEOMYELITIS
1. Definisi
Osteomyelitis adalah infeksi yang bersifat progresif yang menyebabkan
peradangan, kerusakan, nekrosis dan neoformasi dari tulang, dapat menjadi kronik
dan pesisten. Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit
disembuhkan dari pada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah,
respon jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan
involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati).
Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas
hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas (Smeltzer, 2002)

2. Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi
tulang. Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis
meliputi : Proteus, Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan
insiden infeksi resistensi penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik.
Awitan Osteomielitis stelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama (akut fulminan – stadium 1) dan sering berhubungan dengan penumpukan
hematoma atau infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara
4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3)
biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah
pembedahan. Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi,
peningkatan vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada
pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis
tulang sehubungan dengan penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi

vi
kemudian berkembang ke kavitas medularis dan ke bawah periosteum dan dapat
menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi
dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk abses tulang. Pada perjalanan
alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus dilakukan
insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya
terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir
keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada
jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan 7 mengelilingi
sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum
infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang
hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronis. (Smeltzer, 2002)

vii
3. Pathway

viii
Pathway osteomyelitis

Faktor predisposisi: usia, virulensi kuman, riwayat


trauma, nutrisi, dan lokasi infeksi

Infasi mikroorganisme dari tempat lain Fraktur terbuka


yang beredar melalui sirkulasi darah

Kerusakan pembuluh darah


Masuk ke juksta epifisis dan adanya port de entree
tulang panjang
Infasi kuman ke
tulang dan sendi

osteomielitis

fagositosis

Proses inflamasi: hiperemia, pembengkakan, gangguan fungsi,


pembentukan pus, dan kerusakan integritas jaringan

Proses inflamasi Keterbatasan pergerakan Peningkatan Pembentukan pus,


secara umum tekanan jaringan nekrosis jaringan
Penurunan kemampuan tulang dan medula
Demam, malaise, pergerakan
penurunan nafsu makan, Iskemia dan Penyebara Komplikasi
penurunan kemampuan Hambatan Risiko tinggi nekrosis tulang n infeksi ke infeksi
tonus otot mobilitas trauma organ
fisik
Defisit Pembentukan penting
perawatan abses tulang
diri septikemia
Ketidakseimbangan
Involuctum nyeri
nutrisi: kurang dari Kerusaka Kurang
Kelemahan fisik (pertumbuhan n terpajan
kebutuhan tubuh
tulang baru) lempeng pengetahua
pengeluaran pus epifisis n dan
Tirah baring lama,
dari luka Gangguan informasi
penekanan lokal
pertumbuhan
Deformitas,
Kerusakan Risiko
bau dari Defisiensi
integritas kulit osteomieliti
adanya luka pengetahua
s kronis
n dan
Gangguan informasi
Ketidakefektifa Prognosis
citra diri
(Arif
Kelompokmutaqqin,
4, S1 Keperawatan,2008)
UPN”Veter an”Jakarta n koping
1
penyakit
individu

Ansietas

ix
4. Diagnostik
Diagnosis dari osteomyelitis kronik padaorangdewasa sulit. Berbagai indek
ditawarkan. Berbagai tanda klinik dan laboratoriumdilakukan untuk membantu
penegakkan diagnosis.

a) Pemeriksaan darah Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl


disertai peningkatan laju endapan darah. b. Pemeriksaan titer antibodi–anti
staphylococcus
b) Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan
diikuti dengan uji sensitivitas.
c) Pemeriksaan Biopsi tulang.
d) Pemeriksaan ultra sound Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya
efusi pada sendi.
e) Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama
tidak ditemukan kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat
berupa refraksi tulang yang bersifat difus.
f) MRI (magnetik resonanceimagemenunjukkan suatu yang abnormal pada
bagian calcaneus

5. Terapi Osteomyelitis
Penggunaanantibiotik pada kasus-kasus osteomyelitiskronikmembutuhkan
jangka waktu yang lama. Pasienditerapi 4-6 minggu pasca pembedahandiikuti
oleh oral antibiotik. Pada pasien rawat jalanpemberian dengan intra vena
maupunintramuskuler masih dimungkinkan. Terapi oral dengan quinolon untuk
gramnegatif masihberguna (pada kasus orang dewasa), tetapi quinolon generasi
lama seperti ciprofloxacindanofloxacin tidak dapat membunuh Streptococcus
40spp, Enterococcus spp, dan anaerob. Quinolongenerasi baru seperti
levofloxacindansaparfloxacin masih bagus untuk terapi Streptococcus tetapi
mempunyai aktivitasyangminimal untuk kuman anaerob. Quinolongenerasi
paling baru seperti trovafloxacin, grepafloxacin mempunyai
efektivitasyangbagus untuk Streptococcus maupunanaerob. Tetapi disebutkan
tidak satupun quinolondapat membunuh Enterococcus spp. Padakasus-kasus
methisilin sensitif Staphyloccus aureus, Clindamisin dapat dipakai sebagai
alternatif terapi. Direkomendasikan pemberian 2mingguparentral antibiotik

10
dilanjutkan denganoral terapi, dimana organisme harus sensitif denganoral
terapi. Kepatuhan pasien dan followuppasientetap harus diperhatikan.
Kombinasi antaraparentral dan oral dapat dipertimbangkanpadakasus-kasus
tertentu. Secara umum ditegaskan bahwa kadar antibiotik dalamtempat infeksi
tergantung pada keberhasilan debridemen yang dilakukan. (Masfiyah, 2020)

B. OSTEOPOROSIS
1. Definisi
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang menjadi
permasalah global di bidang kesehatan termasuk di Indonesia. Osteoporosis
merupakan penyakit ditandai dengan massa tulang yang rendah atau berkurang,
disertai gangguan mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas tulang yang dapat
menimbulkan kerapuhan tulang (Helmi, 2012).

2. Patofisiologi
Genetik, nutrisi, gaya hidup (merokok, konsumsi kafein, dan alkohol) dan
aktivitas mempengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan massa tulang mulai
terjadi setelah tercapainya puncak massa tulang. Pada pria, massa tulang lebih
besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada
perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopause dan pada ooforektomi
mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus selama tahun-
tahun pasca menopause. Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi
untuk mempertahankan remodelling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium dan
vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan
pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium
yang dianjurkan (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada usia 11-
24 tahun (adolesen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, untuk
memaksimalkan puncak massa tulang. RDA untuk orang dewasa tetap 800 mg,
tetapi pada perempuan pascamenopause 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada
lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas, karena
penyerapan kalsium kurang efisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal
(Smeltzer, 2002). Demikan pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh)
dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang
lama, sindrom Cushing, hipertiroidisme, dan hiperparatiroidisme menyebabkan
11
kehilangan tulang. Obat-obatan 11 seperti isoniazid, heparin, tetrasiklin, antasida
yang mengandung aluminium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid, dan
suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium.
Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi
dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat
dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis. (Ramadani, 2010)

12
3. Pathway

Kortikosteroid dalam waktu lama, Gaya hidup Usia lajut Hormon


tdk adekuatnya asupan vit. D

Aktifitas fisik Pada wanita


Defisiensi vitamin D Konsumsi alkohol Kurang olahraga Konsumsi kopi

Ketidakseimbangan Pasca menopause


Menghambat osteoblas Osteoblas Kafein kecepatan regenerasi dan
Absorpsi kalsium terganggu
pembentukan tulang

Pembentukan tulang terganggu Massa tulang Menghambat Kadar esterogen


Merangsang aktifitas osteoblas &
membatasi sel sel osteoklas penyerapan
kalsium
Timbunan kalsium tulang

reabsorpsi

Osteoklas & Osteoblas tdk


terangsang
Densitas

Tulang mudah rapuh Reabsorpsi

RESIKO CEDERA

Osteoporosis KURANG PENGETAHUAN

Densitas tulang

13 Merangsang
GANGGUAN MOBILITAS Tulang hancur
Mediator NYERI AKUT
inflamasi
4. Diagnostik
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaana laboratorium yang dapat
menggambarkan proses pembentukkan dan resorpsi tulang serta
pemantauan terapi, diantaranya: a. Osteoclasin Suatu protein tulang yang
disekresi oleh osteoblast. Salah satu parameter untuk proses pembentukan
tulang. Osteokalsin disebut juga Protein Gla Tulang, menarik perhatian
karena bersifat unik untuk tulangdan dentin (gigi). Osteoblast dan
odontoblas membentuk osteokalsin, tetapi karena jumlah osteoblas lebih
banyak daripada jumalah odontoblas maka sebagian besar osteokalsin yang
ditemukan dalam sirkulasi mencerminkan aktivitas osteoblas. Karena
berperan dalam penyerapan tulang, osteokalsin dianggap sebagai indikator
terbaik untuk pembentukan tulang. Konsentrasi serum biasanya meningkat
pada sebagian besar tahap perubahan tulang yang cepat dan menurun pada
perubahan tulang yang lambat. osteokalsin serum mengikuti pola sirkardian
dengan kosentrasi tertinggi umumnya terjadi pada malam hari. Sampel
sebaiknya diambil pada pagi hari. Osteokalsin akan mengalami proteolisis,
jadi sampel sebaiknya dijaga agar tetap dingin, diproses berlangsung pada
suhu 2-8 derajat celcius dan di uji dalam waktu 2-4 jam atau disimpan pada
suhu 70 derajat celcius. Metode immonoassay dan kromotografi telah
tersedia untuk mengukur osteokalsin total, serta untuk memisahkan
fragmenfragmen dan menentukan tahapan karboksilasi. Oleh karena itu
pada 12 saat memilih metode, sangatlah penting untuk mengetahui karakter
suatu pengujian dalam hal bentuk-bentuk yang diukur. Beberapa
immunoassay dilaporkan untuk bereaksi silang dengan fragmenfragmen
osteokalsin, sehingga seperti yang telah disebutkan diatas, nilainya akan
meningkat pada penyakit Paget dan Ginjal. Beberapa penelitian
menunjukan bahwa pasien osteoporosis type II memiliki rasio yang lebih
tinggi dari osteokalsin yang berkaboksilasi tidak sempurna dan yang
berkaboksilasi sempurna, dan bahwa konsentrasi serum yang lebih tinggi
dari bentuk yang terkaboksilasi tidak sempurna: berkorelasi dengan resiko
fraktura. b. B-Cross laps Parameter untuk proses resorpsi (penyerapan)
tulang untuk mengetahui fungsi osteoclast. Pengukuran B-Crosslasps dalam
serum merupakan indikator yang tepat untuk penyerapan tulang. telah

14
dikembangkan, suatu metode mendeteksi fragmen-fragmen hasil degradasi
kolagen tipe I yang spesifik secara kuantitatif dengan menggunakan
antibodi monoklonal. Metode tersebut mendeteksi Cterminal, produk
degradasi secara linear telopeptida dari kolagen tipe I yang membawa
oktapeptida B-isomer (B8AA) sebagai epitop. B-cross mengukur penurunan
penyerapan tulang yang diinduksi oleh obat-obatan pada tahap awal
sehingga dapat digunakan untuk mengindikasikan keberhasilan terapi.
Penggunaan penanda tulang sangat bermanfaat secara klinis terutama dalam
memantau respon individu terhadap terapi yang mahal, berlangsung seumur
hidup, dan obat anti resorpsi. Parameter ini dapat mengukur penurunan
konsntrasi yang lebih cepat antara sebelum dimulai terapi dengan sesudah
terapi dibandingkan dengan pemeriksaan kepadatan tulang (bone
densitometry) (3 bulan berbanding 2 tahun). Hal ini sangatlah
menguntungkan, terutama dalam kasus ketidakpatuan pengobatan akibat
prosedurnya yang rumit seperti, pemberian biofosfonat secara oral dan
banyaknya pasien yang tidak melanjutkan terapi sulih hormon. c.
Densitometry 13 Desitometry merupakan pemeriksaan yang paling akurat
karena yang diukur adalah massa tulang. Pada pengukuran dengan alat
densitometry, pasien akan diukur BMDnya. BMD itu adalah ukuran
kepadatan tulang. Angka BMD –1 sampai Positif termasuk NORMAL.
Angka BMD –1 s.d –2,5 termasuk osteopenia. Angka BMD dibawah –2,5
termasuk osteoporosis. Dari pengukuran BMD ini kita bisa mengantisipasi
untuk hal – hal yang lebih parah dengan prinsip: 1. Bila BMD kita normal,
maka usaha yang kita lakukan adalah mempertahankan agar tetap normal 2.
Bila BMD kita osteopenia, kita harus terapi atau obati agar menjadi
NORMAL 3. Bila BMD kita osteoporosis, kita harus obati agar jangan
menjadi parah yang bisa mengakibatkan tulang patah.Pemeriksaan Lab
lainnya yang di nilai : 1. Kadar Ca, P, dan fosfatase alkali tidak
menunjukkan kelainan nyata 2. Kadar HPT (pada pasca menopause kadar
HPT meningkat) dan Ct (terapi estrogen merangsang pembentukan Ct) 3.
Kadar 1,25-(OH)2-D3 dan absorbsi Ca menurun 4. Ekskresi fosfat dan
hidroksiprolin terganggu sehingga meningkat kadarnya 2. Radiologi
Osteroporosis Society of Canada merekomendasikan bagi pria maupun

15
wanita usia ini (di atas 50 tahun) untuk melakukan pemeriksaan tulang
seperti bone scan, untuk pencegahan atau kemudian mendapatkan terapi
sebelum terlambat. Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau massa
tulang yang menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding
dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat.
Penipisan korteks dan hilangnya trabekula transversal merupakan kelainan
yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebra menyebabkan
penonjolan yang menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam ruang
intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf
5. Terapi
Pengobatan osteoporosis dan penyakit tulang lainnya terdiri dari
berbagai macam obat (bifosfonat/bisphosphonates, terapi hormon estrogen,
selective estrogen reseptor modulators atau SERMs) dan asupan kalsium
dan vitamin D yang cukup. Obat untuk osteoporosis harus menunjukkan
kemampuan melindungi dan meningkatkan massa tulang juga menjaga
kualitas tulang supaya mengurangi resiko tulang patah. Beberapa obat
meningkatkan ketebalan tulang atau memperlambat kecepatan penghilangan
tulang.
a) Golongan Bifosfonat Bifosfonat merupakan zat sintetik stabil yang
bekerja menghambat kerja osteoklas dalam meresorpsi dan pergantian
(turnover) tulang. Bifosfonat menurunkan risiko patah tulang sampai
30-50%. Bisfosfonat oral untuk osteoporosis pada wanita
postmenopause khususnya, harus diminum satu kali seminggu atau satu
kali sebulan pertama kali di pagi hari dengan kondisi perut kosong
untuk mencegah interaksi dengan makanan.Bisfosfonat dapat mencegah
kerusakan tulang, menjaga massa tulang, dan meningkatkan kepadatan
tulang di punggung dan panggul, mengurangi risiko patah tulang.
Golongan bifosfonat adalah Risedronate, Alendronate, Pamidronate,
Clodronate, Zoledronate (Zoledronic acid), Asam Ibandronate.
Alendronat berfungsi:
1) Mengurangi kecepatan penyerapan tulang pada wanita pasca
menopause
2) Meningkatkan massa tulang di tulang belakang dan tulang panggul

16
3) Mengurangi angka kejadian patah tulang.
Supaya diserap dengan baik, alendronat harus diminum
dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit
sesudahnya tidak boleh makan atau minum yang lain. Alendronat
bisa mengiritasi lapisan saluran pencernaan bagian atas, sehingga
setelah meminumnya tidak boleh berbaring, minimal selama 30
menit sesudahnya. Asam Ibandronate adalah bifosfonat yang sangat
poten dan bekerja secara selektif pada jaringan tulang dan secara
spesifik menghambat akjtivitas osteoklastanpa mempengaruhi
formasi tulang secara langsung. Dengan kata lain menghambat
resorpsi tulang. Dosis 150 mg sekali sebulan. Selain untuk
osteoporosis golongan bifosfonat juga digunakan untuk terapi
lainnya misalnya untuk hiperkalsemia, sebagai contoh Zoledronic
acid. Zoledronic acid digunakan untuk mengobati kadar kalsium
yang tinggi pada darah yang mungkin disebabkan oleh jenis kanker
tertentu. Zoledronic acid juga digunakan bersama kemoterapi
kanker untuk mengobati tulang yang rusak yang disebabkan
multiple myeloma atau kanker lainnya yang menyebar ke tulang.
Zoledronic acid bukan obat kanker dan tidak akan memperlambat
atu menghentikan penyebaran kanker. Tetapi dapat digunakan
untuk mengobati penyakit tulang yang disebabkan kanker.
Zoledronic acid bekerja dengan cara memperlambat kerusakan
tulang dan menurunkan pelepasan kalsium dari tulang ke dalam
darah.
b) Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM) Sementara terapi sulih
hormon menggunakan estrogen pada wanita pasca menopause, efektif
mengurangi turnover tulang dan memperlambat hilangnya massa
tulang. Tapi pemberian estrogen jangka panjang berkaitan dengan
peningkatan resiko keganasan pada rahim dan payudara. Sehingga
sekarang sebagai alternatif pengganti estrogen adalah golongan obat
yang disebut SERM (Selective Estrogen Receptor Modulator). Obat ini
berkhasiat meningkatkan massa tulang tetapi tidak memiliki efek
negatif dari estrogen, obat golongan SERMs adalah Raloxifene.

17
c) Metabolit vitamin D Sekarang ini sudah diproduksi metabolit dari
vitamin D yaitu kalsitriol dan alpha kalsidol. Metabolit ini mampu
mengurangi resiko patah tulang akibat osteoporosis.
d) Kalsitonin Kalsitonin dianjurkan untuk diberikan kepada orang yang
menderita patah tulang belakang yang disertai nyeri. Obat ini bisa
diberikan dalam bentuk suntikan atau semprot hidung. Salmon
Kalsitonin diberikan lisensinya untuk pengobatan osteoporosis.
Sekarang ini juga ada yang sintetiknya. Sediaan yang ada dalam bentuk
injeksi. Dosis rekomendasinya adalah 100 IU sehari, dicampur dengan
600mg kalsium dan 400 IU vitamin D. Kalsitonin menekan aksi
osteoklas dan menghambat pengeluarannya.
e) Strontium ranelate Stronsium ranelate meningkatkan pembentukan
tulang seperti prekursor osteoblas dan pembuatan kolagen, menurunkan
resorpsi tulang dengan menurunkan aktivitas osteoklas. Hasilnya adalah
keseimbangan turnover tulang dalam proses pembentukan tulang.
Berdasarkan hasil uji klinik, stronsium ranelate terbukti menurunkan
patah tulang vertebral sebanyak 41% selama 3 tahun Penatalaksanaan
lainnya :
1) Kalsium Mengkonsumsi kalsium cukup baik dari makanan sehari-
hari ataupundari tambahan kalsium,pada umumnya aman kecuali
pada pasien dengan hiperkalsemia atau nefrolitiasis. Jenis
makanan yang cukup mengandung kalsium adalah sayuran hijau
danjeruk sitrun. Sedangkan diet tinggi protein hewani dapat
menyebabkan kehilangan kalsium bersama urin. Dalam suatu
penelitian dikatakan bahwa perempuan yang melakukan diet
vegetarian lebih dari 20 tahun mengalami kehilangan mineral
tulang lebih rendah yaitu sebesar 18% dibandingkan perempuan
non vegetarian sebesar 35%6. 17
2) Konsumsi Kalsium Tambahan Konsumsi kalsium dilanjutkan
pada periode menopause, 1200-1500 mg per hari, untuk
mencegah negative calcium balance. Pemberian kalsium tanpa
penambahan estrogen dikatakan kurang efektif untuk mencegah
kehilangan massa tulang pada awal periode menopause.

18
Penurunan massa tulang terlihat jelas pada perempuan menopause
yang asupan kalsiumnya kurang dari 400 mgper hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemberian kalsium bersama
dengan estrogen dapat menurunkan dosis estrogen yang
diperlukan sampai dengan 50%
3) LatihanFisik (Exercise)Latihan fisik harus mempunyai unsur
pembebanan pada anggota tubuh/ gerak dan penekanan pada aksis
tulang seperti jalan, alcohol, alcohol ataujalan naik turun
bukit.Olahragarenangtidak memberikan manfaat yang cukup
berarti. Sedangkanjika latihanberlebihan yang mengganggu
menstruasi (menjadi amenorrhea) sangat tidak dianjurkan karena
akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kehilangan massa
tulang. Demikian pula pada laki-laki dengan latihanfisik berat dan
berat dapat terjadi kehilangan massa tulang. Hindari alcohol yang
dapat menurunkan absorpsi kalsium, meningkatkan resorpsi
tulang, atau mengganggu pembentukan tulang, seperti merokok,
minum alcohol dan mengkonsumsi obat yang berkaitan dengan
terjadinya osteoporosis. Kondisi yang diduga akan menimbulkan
osteoporosis sekunder, harus diantisipasi sejak awal.
4) Estrogen Replacement Therapy (ERT) Semua perempuan pada
saat menopau mempunyai resiko osteoporosis. Karena itu di
anjurkan pemakaian ERT pada mereka yang tidak ada
kontraindikasi. ERT menurunkan resiko fraktur sampai dengan
50% pada panggul, tulang radius dan vertebra.
5) Pemberian Kalsitonin Kalsitonin bekerja menghambat resorpsi
tulang dan dapat meningkatkan massa tulang apabila digunakan
selama 2 tahun. Nyeri tulang juga akan berkurang karena adanya
efek peningkatan 18 stimulasi endorfin. Pemakaian kalsitonin
diindikasikan bagi pasien yang tidak dapat menggunakan ERT,
pasien pasca menopause lebih dari 15 tahun, pasien dengan nyeri
akibat fraktur osteoporosis, dan bagi pasien yang mendapat terapi
kortikosteroid dalam waktu lama

19
6) Terapi Vitamin D Terapi yang juga diberikan adalah vitamin D
dan tiazid, tergantung kepada kebutuhan pasien. Vitamin D
membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan kalsium. Dua
puluh lima hidroksivitamin D dianjurkan diminum setiap hari
bagi pasien yang menggunakan suplemen kalsium. (Meri
Ramadani.2010)

C. OSTEOSARCOMA
1. Definisi
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul
dari mesenkim pembentuk tulang. ( Wong. 2003: 616 ). Sarkoma
osteogenik ( Osteosarkoma ) merupakan neoplasma tulang primer yang
sangat ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang tempat yang
paling sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang,
terutama lutut.

2. Patofisiologi
Osteosarkoma dapat terjadi pada tulang mana saja. Namun lebih
sering pada tulang ekstremitas yang posisinya dekat dengan metaphyseal
growth plate. Bagian yang paling sering adalah femur (42% dengan
kejadian 75% tumor pada distal femur), tibia (19% dengan kejadian 80%
pada proksimal tibia), dan humerus (10% dengan kejadian90% tumor pada
proksimal humerus). Lokasi lainnya adalah tengkorak dan rahang (8%)
serta pelvis (8%). Osteogonik sarkoma secara histologis mempunyai
gambaran dari jaringan tulang atau osteoid serta gambaran pleomorf
jaringannya. Tulang dan osteoid akan menghasilkan tulang rawan, jaringan
lunak, atau jaringan miksoid. Dan juga mungkin ada daerah jaringan tumor
dengan sel-sel spindle yang ganas dengan pembentukanosteoid.
Pembentukan jaringan tulang harus dibedakan dari pembentukan reaksi
tulang.Pemeriksaan histokimia dapat menunjukkan adanya aktivitas alkali
fosfatase. Pada telangiektasis osteosarkoma pada lesinya didapatkan
kantong darah yang dikelilingi oleh sedikit elemen seluler yang mana
elemen selulernya sangat ganas (Sukardja, 2003)

20
3. Pathway

Faktor faktor yang memungkinkan terjadinya tumor

Genetik, radiasi, bahan kimia, trauma, limfedema kronis, infeksi

Pertumbuhan baru sel sel tulang dan jaringan lunak

Berdiferensiasi menjadi beberapa sel osteoklas, kondroblas, fibroblast dan mieloblas

Bersifat jinak Bersifat osteogenik,kondrogenik,atau


Tindakan operatif Bersifat ganas
-kohesif mielogenik
-kurang kohesif
-Tumbuh lambat
Peningkatan proliferasi Pola tidak
Asuhan -Pola teratur teratur
sel,neovaskularisasi,pertumbuh
keperawatan an jaaringan,pembengkakan dan
berkapsul Tidak berkapsul
perioperatif kerapuhan tulang

Ekspansi tumor yang cepat Pembesaran metabolisme Spasme otot dan Penekanan
dan penekanan ke jaringan jaringan kekakuan tulang pada saraf
sekitarnya, perdarahan serta kerapuhan tertentu
atau degenerasi pada tulang

5.Gangguan Kebutuhan
citra tubuh energi
Resiko fraktur Penurunan
patologis sensasi
1,Nyeri 2.Defisit
nutrisi
3.Gangguan
mobilitas fisik Gangguan
Neovaskularisasi jaringan neurologis

Tindakan
4.Kerusakan Terbentuk Kerusakan pembuluh
radioterapi dan
integritas kulit nya ulkus darah dan jaringan lunak
kemoterapi

21
4. Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Biopsi Biopsi merupakan diagnosis pasti untuk menegakkan
osteosarkoma. Biopsi yang dikerjakan tidak benar sering kali
menyebabkan kesalahan diagnosis (misdiagnosis) yang lebih
lanjut akan berakibat fatal terhadap penentuan tindakan. Akhir-
akhir ini banyak dianjurkan denga biopsi jarum perkutan
(percutaneus needle biopsy) dengan berbagai keuntungan : seperti
invasi yang sangat minimal, tidakmemerlukan waktu
penyembuhan luka operasi, resiko infeksi rendah dan bahkan
tidak ada dan terjadinya patah tulang post biopsi dapat dicegah.
Pada gambaran histopatologi akan ditemukan stroma atau dengan
high grade sarcomatous dengan sel osteoblast yang ganas, yang
akan membentuk jaringan osteoid dan tulang. Pada bagian sentral
akan terjadi mineralisasi yang banyak, sedangkan bagian perifer
mineralisasinya sedikit. Sel-sel 14 tumor biasanya anaplastik,
dengan nukleus yang pleomorfik dan banyak mitosis. Kadang-
kadang pada beberapa tempat dari tumor akan terjadi diferensiasi
kondroblastik atau fibroblastik di antara jaringan tumor yang
membentuk osteoid.(Rasjad, 2003)
b. Pemeriksaan Darah Pada pemeriksaan darah ditemukan
peningkatan alkaline phospatase dan laktat dehidrogenase (LDH).
Pemeriksaan ini juga penting dalam mengontrol pasien yang
sedang menjalani kemoterapi.
2. Pemeriksaan Radiologi Gambaran radiologik yang dapat ditemukan

tergantung dari kelainan yang terjadi :  Pada tipe osteolitik proses


destruksi lebih menonjol.  Pada tipe osteoblastik pembentukan tulang
lebih menonjol. 15  Pada tipe campuran terdapat proses osteolitik dan
osteoblastik yang seimbang.
a. Foto Polos Penampakan kasar dari sarkoma osteogenik bervariasi.
Neoplasma tersebut dapat berupa osteolitik, dengan tulang yang

22
telah mengalami kerusakan dan jaringan lunak diinvasi oleh
tumor, atau osteoblastik sebagai akibat pembentukan tulang
sklerotik yang baru. Pada foto polos ditunjukkan lesi yang agresif
pada daerah metafise tulang panjang. Rusaknya gambaran
trabekula tulang dengan batas yang tidak tegas tanpa reaksi
endoosteal. Tampak juga campuran area radiopak dan radiolusen
oleh karena adanya proses destruksi tulang (bone destruction) dan
proses pembentukan tulang (bone formation). Pembentukan
tulang baru periosteum yang menunjukkan adanya suatu
bangunan yang berbentuk segitiga, pengangkatan kortek tulang,
dengan pembentukan codman’s triangle dan gambaran sunburst
dan disertai dengan gambaran massa jaringan lunak, merupakan
gambaran yang sering dijumpai. Foto polos thoraks juga perlu
dibuat untuk melihat adanya metastase ke paru-paru.
b. CT Scan dan MRI
CT (Computed Tomographic) dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging dikerjakan untuk mengetahui adanya ekstensi dari tumor
ke jarinagn di sekitarnya, termasuk juga pada jaringan
neurovaskuler atau invasinya pada jaringan otot. CT pada thoraks
sangat baik untuk mencari adanya metastase pada paru-paru.
Sesuai dengan perilaku biologis dari osteosarkoma, yang mana
sarkoma tumbuh secara radial dan membentuk seperti massa bola.
Apabila tulang menembus kortek tulang menuju jaringan otot
sekitarnya dan seolaholah membentuk suatu kapsul (pseudo
capsule) yang disebut reactive zone. Kadang-kadang jaringan
dapat invasi ke daerah zona reaktif dan tumbuh berbentuk nodul
yang berada di luar zona reaktif pada satu tulang yang disebut
skip lession. Bentuk ini semua sangat bagus dideteksi dengan
MRI.
c. Bone Scan (Bone Scintigraphy) Pemeriksaan ini bertujuan
menentukan tempat terjadinya metastase, adanya tumor yang
poliostotik, dan eksistensi tumor. Apakah intraoseus dan
ekstraoseus. Juga untuk mengetahui adanya skip lesion, sekali

23
pun masih lebih baik dengan MRI. Radio aktif yang digunakan
adalah thallium T1 201. Thallium scantigraphy digunakan juga
untuk memonitor respons tumor terhadap pengobatam kemoterapi
dan mendeteksi rekurensi lokal dari tumor tersebut.
d. Angiografi Angiografi merupakan pemeriksaan yang lebih
invasif. Dengan angiografi dapat ditentuka jenis suatu
osteosarkoma, misalnya pada High Grade Osteosarcoma akan
ditemukan adanya neovaskularisasi yang sangat ekstensif. Selain
itu angiografi dilakukan untuk mengevaluasi keberhasilan
pengobatan preoperatif kemoterapi yang mana apabila terjadi
mengurang atau hilangnya vaskularisasi tumor menandakan
respon terapi kemoterapi preoperatif berhasil.
5. Terapi
Belakangan ini osteosarkoma mempunyai prognosis yang lebih baik,
disebabkan prosedur penegakan diagnosis dan staging dari tumor yang
lebih baik, begitu juga dengan adanya pengobatan yang lebih canggih.
Dalam pengobatannya sarkoma dapat dibagi atas dua bagian yaitu dengan
kemoterapi dan operasi.
a. Kemoterapi Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital
pada osteosarkoma, terbukti dalam tiga puluh tahun belakangan ini
dengan kemoterapi dapat mempermudah melakukan prosedur
operasi penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure) dan
meningkatkan survival rate dari penderita. Kemoterapi juga
mengurangi metastase ke paru-paru dan sekalipun ada,
mempermudah,melakukan eksisi metastase tersebut. Regimen
standar yang dipergunakan dalam pengobatan osteosarkoma adalah
kemoterapi preopeartif (preoperative chemotheraphy)yang disebut
juga dengan induction chemotherapy dan kemoterapi post operatif
(postoperative chemotherapy) yang disebut juga adjuvant
chemotherapy. Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya
nekrosis pada tumor primernya, sehingga tumor akan mengecil.
Selain itu akan memberikan pengobatan secara dini terhadap
terjadinya mikro-metastase. Keadaan ini akan membantu

24
mempermudah melakukan operasi reseksi secara luas dari tumor
dan sekaligus masih dapat mempertahankan ekstremitasnya.
Pemberian kemoterapi postoperatif paling baik dilakukan secepat
mungkin sebelum tiga minggu. Obat-obat kemoterapi yang
mempunyai hasil cukup efektif untuk oseteosarkoma adalah :
Doxorubicin (Adriamycin©) , Cisplatin (Platinol©), Ifosfamide
(Ifex©), Mesna (Mesnex©), dan methotrexate dosis tinggi
(Rheumatrex©). Protokol standar yang digunakan adalah
Doxorubicin dan Cisplatin dengan atau tanpa Methitrexate dosis
tinggi, baik sebagai terapi induksi (neo adjuvant) atau terapi
adjuvant. Kadangkadang dapat ditambah Ifosfamide. Dengan
menggunakan pengobatan multi agent ini, dengan dosis yang
intensif, terbukti memberikan perbaikan terhadap survival rate
sampai 60-80%.
b. Operasi Saat ini prosedur limb salvage merupakan tujuan yang
diharapkan dalam operasi osteosarkoma. Maka dari itu melakukan
reseksi tumor dan melakukan rekonstruksinya kembali dan
mendapatkan fungsi yang memuaskan dari ekstremitas merupakan
salah satu keberhasilan dalam melakukan operasi. Dengan
memberikan kemoterapi preoperatif (induction neo adjuvant
chemotheraphy) melakukan operasi mempertahankan ekstremitas
(limb sparing resection) dan sekaligus melakukan rekonstruksi
akan lebih aman dan mudah, sehingga amputasi tidak perlu
dilakukan pada 90-95% pada penderita osteosarkoma. Dalam
penelitian terbukti tidak terdapat perbedaan survival rate antara
operasi amputasi dengan limb sparing resection. Amputasi terpaksa
dikerjakan apabila prosedur limb salvage tidak dapat atau tidak
memungkinkan lagi dikerjakan. Setelah melakukan reseksi tumor,
terjadi kehilangan cukup banyak dari tulang dan jaringan lunaknya,
sehingga memerlukan kecakapan untuk merekonstruksi kembali
dari ekstremitas tersebut. Biasanya untuk rekonstruksi digunakan
endo-prostesis dari methal. Protesis ini memberikan stabilitas
fiksasi yang baik sehingga penderita dapat menginjak (weight

25
bearing) dan mobilisasi secara cepat, memberikan stabilitas sendi
yang baik, dan fungsi dari ekstremitas yang baik dan memuaskan.
Begitu juga endoprostesis methal meminimalisasi komplikasi post
operasinya dibanding dengan menggunakan bone graft.
c. Follow up post operasi Post operasi dilanjutkan dengan pemberian
kemoterapi obat multiagent seperti pada sebelum operasi. Setelah
pemberian kemoterapinya maka dilakukan pengawasan terhadap
kekambuhan tumor secara lokal maupun adanya metastase, dan
komplikasi terhadap proses rekonstruksinya. Biasanya komplikasi
yang terjadi terhadap rekonstruksinya adalah longgarnya protesis,
infeksi, kegagalan mekanik. Pemeriksaan fisik secara rutin pada
tempat operasinya maupun secara sistemik terhadap terjadinya
kekambuhan maupun adanya metastase. Pembuatan plain photo
dan CT scan dari lokal ekstremitasnya maupun pada paru-paru
merupakan hal yang harus dikerjakan. Pemeriksaan ini dilakukan
setiap tiga bulan dalam dua tahun pertama post operasinya dan
setiap enam bulan pada lima tahun berikutnya.

26
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sistem muskuloskeletal adalah sistem yang berperan dalam menunjang,
melindungi dan menggerakan tubuh. Maka dari itu harus dijaga dengan baik
karena bila terjadi gangguan pada system musculoskeletal akan berakibat fatal.
Osteomyelitis adalah infeksi yang bersifat progresif yang menyebabkan
peradangan, kerusakan, nekrosis dan neoformasi dari tulang, dapat menjadi
kronik dan pesisten. Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif
yang menjadi permasalah global di bidang kesehatan termasuk di Indonesia.
Osteoporosis merupakan penyakit ditandai dengan massa tulang yang rendah
atau berkurang, disertai gangguan mikro arsitektur tulang dan penurunan
kualitas tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Osteosarkoma
( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul dari mesenkim pembentuk
tulang

B. SARAN
Diharapkan bagi seorang perawat untuk lebih memahami serta menambah
pengetahuan lebih dalam lagi tentang keperawatan musculoskeletal dan
gangguan pada system musculoskeletal,sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

Helmi, Z. N. (2012) Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Masfiyah (2020) Osteomyelitis kronis. semarang: Unissula press.

Ramadani, M. (2010) Faktor-Fattor Resiko Osteoporosis Dan Upaya Pencegahannya.


Jakarta: Jurnal Kesehatan Masyarakat,Vol.4,No.2.

Rasjad, C. (2003) Tumor tulang dan sejenisnya. Dalam: Pengantar ilmu bedah ortopedi.
Makasar: : Bintang Lamumpatue.

Smeltzer, S. C. (2002) Buku ajar keperawatan medical-bedah. Jakarta: EGC.

Sukardja, I. (2003) Biologi tumor. Dalam: Onkologi klinik. 2nd edn. Surabaya: Airlangga
University.

28

Anda mungkin juga menyukai