Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

HERPES GENETALIS

Disusun Oleh:
Ahad Musafi Hazan G4A019028
Dewi Itika Basuki G4A019048
Mahendra Aulia Rahman G4A019051
Citra Kharisma Zulfa G4A019055

Pembimbing:
dr. Lilik Karsono, Sp.KK
195910091988011001

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
REFERAT
HERPES GENETALIS

Disusun Oleh:
Ahmad Musafi Hazan G4A019028
Dewi Itika Basuki G4A019048
Mahendra Aulia Rahman G4A019051

Citra Kharisma Zulfa G4A019055

Referat ini telah disahkan sebagai salah satu tugas di bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Juni 2020


Pembimbing:

dr. Lilik Karsono, Sp.KK


NIP. 195910091988011001
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I.................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..............................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Batasan Masalah....................................................................................................4
C. Tujuan....................................................................................................................5
BAB II................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................6
A. Definisi..................................................................................................................6
B. Epidemiologi..........................................................................................................6
C. Faktor Predisposisi.................................................................................................7
D. Etiologi..................................................................................................................8
E. Patofisiologi...........................................................................................................8
F. Gejala Klinis...........................................................................................................9
G. Penegakan Diagnosis...........................................................................................11
H. Diagnosis Banding...............................................................................................13
I. Tata Laksana........................................................................................................14
I. Komplikasi...........................................................................................................15
I. Prognosis..............................................................................................................16
BAB III............................................................................................................................17
KESIMPULAN................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Ruam Herpes simpleks adalah infeksi akut suatu lesi akut berupa vesikel
berkelompok di atas daerah yang eritema, dapat satu atau beberapa kelompok
terutama pada atau dekat sambungan mukokutan. Herpes simpleks disebabkan
oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang dapat berlangsung
primer maupun rekurens. Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold sore,
herpes febrilis, herpes labialis, herpes genitalis (Handoko, 2010).
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria
maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Sekitar 50 juta penduduk di
Amerika Serikat menderita infeksi HSV pada usia 12 tahun atau lebih. Infeksi
primer oleh HSV tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi
HSV tipe II biasanya terjadi sebanyak 25-50% dari populasi. Pada dekade II atau
III dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Infeksi HSV
berlangsung dalam tiga tingkat: infeksi primer, fase laten dan infeksi rekurens
(Handoko, 2010).
Pada infeksi primer tempat predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas
terutama daerah mulut dan hidung yang biasanya dimulai pada usia anakanak.
Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat,
dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang tidak menggunakan sarung
tangan dan mengalami Herpetic Whitlow pada jari tangannya. Dilaporkan juga
bahwa Herpetic Whitlow sering didapati pada wanita dengan herpes genital. Virus
ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Gejala yang ditimbulkan berupa
perasaan gatal, rasa terbakar, eritema, malaise, demam dan nyeri otot (Handoko,
2010).

B. Batasan Masalah

Referat ini membahas klasifikasi, definisi, etiologi, gejala klinis, diagnosis,


dan penatalaksanaan herpes genetalis.

4
C. Tujuan

Adapun tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi hingga
penatalaksanaan herpes genetalis dan sebagai syarat tugas di bagian Kulit.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Herpes genital adalah penyebab utama penyakit ulkus genital. Herpes
genital terutama disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe 2 (HSV2)
tetapi juga dapat disebabkan oleh HSV1. Penyakit ini ditandai dengan episode
berulang dari lepuhan-lepuhan kecil di kulit atau selaput lendir, yang berisi
cairan dan terasa nyeri. Herpes simpleks menyebabkan timbulnya erupsi pada
kulit atau selaput lendir (Sauerbrei, 2016).
Infeksi herpes simpleks dapat berlangsung menjadi tiga fase, yaitu
primer, laten, dan rekurens. Infeksi primer adalahlupuhan dan erupsi dikulit
yang terjadi pertama kali. Erupsi ini akan menghilang meskipun virusnya tetap
ada dalam keadaan tidak aktif di dalam ganglia (badan sel saraf), yang
mempersarafi rasa pada daerah yang terinfeksi. Pada kondisi tersebut infeksi
dalam fase laten dimana virus dapat ditemukan di dalam kulit tanpa
menyebabkan lepuhan yang nyata, dan virus menjadi sumber infeksi bagi
orang lain. Secara periodik, virus ini akan kembali aktif dan mulai
berkembangbiak,seringkali menyebabkan erupsi kulit berupa lepuhan pada
lokasi yang sama dengan infeksi sebelumnya. Hal tersebut berarti bahwa
pasien dalam fase rekuren (Wresti, 2019).
B. Epidemiologi
Herpes genitalis tetap menjadi salah satu infeksi menular seksual
(IMS) yang paling umum di banyak negara. Sebagian besar kasus disebabkan
oleh HSV-2, kasus yang jarang tetapi semakin meningkat telah ditemukan
disebabkanoleh virus herpes simplex tipe 1 (HSV-1). Diperkirakan infeksi
HSV-2 terjadi di kalangan orang dewasa dan remaja berusia 15-49 tahun di
seluruh dunia, dengan tingkat tertinggi di antara kelompok usia yang lebih
muda (McQuillan et al., 2018).Tingkat infeksi HSV-2 secara konsisten lebih
tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria, diperkirakan ada 11,8 juta
infeksi baru dan 267 juta infeksi pada wanita pada 2012 dibandingkan 7,4 juta
infeksi baru dan 150 juta infeksi pada pria (Looker et al., 2015). Tingkat

6
infeksi yang lebih tinggi di antara perempuan kemungkinan besar karena
kerentanan biologis mereka yang lebih besar terhadap infeksi HSV-2
(McQuillan et al., 2018).
HSV-2 adalah infeksi seumur hidup; perkiraan prevalensi global HSV-
2 dari 11,3% diterjemahkan menjadi sekitar 417 juta orang dengan infeksi
pada tahun 2012. Prevalensi HSV-2 tertinggi di Wilayah Afrika WHO
(31,5%), diikuti oleh Wilayah Amerika (14,4) %). Meskipun prevalensi lebih
rendah, WHO Asia Tenggara dan Wilayah Pasifik Barat juga menampung
sejumlah besar orang dengan infeksi karena populasi besar dari beberapa
negara di wilayah tersebut (WHO, 2016).
Herpes simpleks virus tipe 1 (HSV-1) biasanya menyebabkan infeksi
herpes oral yang tidak menular secara seksual. Namun, HSV-1 juga dapat
ditularkan ke alat kelamin melalui seks oral dan semakin dicatat sebagai
penyebab infeksi HSV genital, terutama di negara-negara berpenghasilan
tinggi. Secara global, diperkirakan 140 juta orang memiliki infeksi HSV-1
genital pada 2012 (Lingappa et al., 2010). Sekitar 67% populasi di dunia usia
dibawah 50 tahun terinfeksi HSV1 (McQuillan et al., 2018).
HSV-2 menjadi perhatian khusus karena sinergi epidemiologis dengan
infeksi dan penularan HIV. Orang yang terinfeksi HSV-2 kira-kira tiga kali
lebih mungkin terinfeksi HIV, dan orang dengan HIV dan HSV-2 lebih
mungkin untuk menularkan HIV ke orang lain. Selain itu, infeksi HSV-2 pada
orang yang hidup dengan HIV seringkali lebih parah dan dapat menyebabkan
komplikasi serius, meskipun jarang, seperti infeksi otak, mata atau paru-paru.
C. Faktor Predisposisi
Faktor risiko untuk mendapatkan infeksi HSV-2 berkisar pada paparan
langsung cairan (yaitu, air liur) dari individu seropositif yang mengandung
produk viral paling sering selama hubungan seksual. HSV-2 terutama
ditularkan melalui hubungan seksual, yang disebabkan oleh kenaikannya yang
dominan mulai saat pubertas. Karena stabilitasnya yang rendah di luar tubuh,
HSV hanya dapat tetap menular selama berhari-hari di permukaan yang
lembab. Karena itu cara penularan selain hubungan seksual sering tidak
signifikan. Infeksi HSV primer dan berulang pada wanita hamil dapat

7
menyebabkan penularan intrauterin dan mengakibatkan infeksi HSV
kongenital (Sauerbrei, 2016).
D. Etiologi
Virus herpes simpleks 1 dan 2 (HSV-1 dan HSV-2), juga dikenal
dengan nama taksonomi Human alphaherpesvirus 1 dan Human
alphaherpesvirus 2, adalah dua anggota keluarga Herpesviridae manusia.
HSV-1 (sebagian besar herpes labialis) dan HSV-2 (sebagian besar herpes
genital) merupakan penyakit menular. Pembagian tipe I dan II berdasarkan
karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan lokasi
klinis. Struktur virus herpes terdiri dari genom DNA linier yang relatif besar,
beruntai ganda, terbungkus dalam kandang protein icosahedral yang disebut
capsid, yang dibungkus dengan lipid bilayer yang disebut amplop/envelope.
Amplop itu bergabung dengan kapsid melalui sebuah tegument. Partikel
lengkap ini dikenal sebagai virion (Benner et al., 2015).
E. Patofisiologi
Infeksi herpes dapat disebakan oleh infeksi Herpes Simplex Virus 1
dan 2 (HSV1 dan HSV-2). Infeksi virus HSV-2 dapat menyababkan infeksi
herpes genital. Infeksi primer oleh HSV-2 diawali dengan terpaparnya mukosa
ataupun area kulit abrasi yang kemudian menyebabkan HSV-2 masuk dan
memulai replikasi di dalam epidermis dan dermis dengan gejala tersering
asimtomatik (Mustafa et al., 2016). Manifestasi klinis yang khas pada herpes
genital berupa macula/papula dan lesi pada membrane mucus terjadi pada hari
ke 4-7 setelah transmisi kontak seksual. Lesi tersebut kemudian berkembang
menjadi vesikel, pustul, dan ulkus dan dapat bertahan hingga 3 minggu. Pasien
juga akan mengeluhkan rasa nyeri, terutama jika ditemukan oedem vulva;
nyeri terbakar, dan disuria akibat proses inflamasi. Pada beberapa kasus dapat
ditemukan limfadenopati, demam, dan sevisitis (pada perempuan)/proktitis
(pada pria). Gejala tersebut tidak harus selalu ada karena manifestasi pada
pasien herpes genital bervariasi (Sauerbrei, 2016).
Erupsi HSV-2 yang terjadi pada infeksi primer mengakibatkan
transversi neuroepithelial gap dan menyebabkan virus menetap di sel ganglia
saraf terutama di segmen S2-S5. Virus akan mengalami masa laten dan

8
reaktivasi, sehingga menyababkan infeksi rekurens herpes genital (Mustafa et
al., 2016). Penyebab reaktivasi dihubungkan dengan predisposisi
imunogenetik, faktor psikologis, dan lingkungan seperti, demam, sinar UV,
menstruasi, stress, trauma, dan lain-lain (Sauerbrei, 2016).
Inokulasi awal yang terjadi di ganglion saraf pada infeksi primer,
virion infeksius kemudian menyebar ke permukaan mukosa kulit secara
sentrifugal melalui saraf sensorik perifer saat proses herpes genital rekurens.
Perpindahan tersebut menyebabkan lesi kulit yang berbeda lokasi pada area
awal infeksi yang ditandai dengan lesi vesikel (Mustafa et al., 2016).
Mekanisme rekurensi akibat reaktivasi HSV-2 pada ganglion saraf S2-S5
menimbulkan gejala klinis yang diawali dengan gejala prodormal seperti
disastesia atau nyeri dermatomal lumbosakral 1-2 hari sebelum erupsi lesi di
mukosa kulit (Gupta et al., 2007). Manifestasi klinis pada pasien dengan
rekurens herpes genitalis sering datang dengan gejala yang lebih ringan
dibandingkan pada saat infeksi primer (Sauerbei, 2016).
F. Gejala Klinis
Herpes genital berdasarkan periode infeksinya dibedakan menjadi 3
dengan gejala klinis yang berbeda, yaitu :
1. Infeksi primer
Predileksi lesi berada di area pinggang bawah, terutama area genital
yang dapat menyebabkan meningitis viral dan infeksi neonatus. Predileksi
tersebut dapat kacau dengan predileksi HSV-1 di area mulut akibat
hubungan seksual oro-genital. Infeksi primer terjadi lebih berat dan lama
hingga 3 minggu dan sering disertai gejala prodormal seperti demam,
malaise, anoreksia, dan pembengkakan kelenjar getah bening
(limfadenopati) regional (Sauerbei, 2016).
Lesi yang muncul berupa vesikel berkelompok di atas kulit
eritematosa, kemudian berubah menjadi pustule multipel, dan dapat
menjadi krusta karena vesikel/pustul yang rupture akibat garukan dan
terkadang menjadi ulkus dangkal yang sembuh tanpa sikatriks dengan
indurasi (-) pada saat palpasi. Jika ditemukan infeksi sekunder, gambaran
lesi yang terbentuk sering tidak jelas (Djuanda et al., 2017).

9
Tabel 1. Perbedaan Gambaran Klinis Herpes Genital Primer pada Pria dan
Wanita (Eppy, 2017).
Pria Perempuan
Vesikel herpetik di kepala, Vesikel herpetik pada genitalia
prepusium, dan batang penis, serta eksterna, labia mayora, labia
terkadang di skrotum, paha, dan minora, vestibulum, dan introitus
bokong vagina
Di area lembap, vesikel pecah
Di area kering, lesi berkembang
meninggalkan ulkus rapih dengan
menjadi pustula dan bernanah
nyeri tekan
Mukosa vagina biasanya meradang
Uretritis herpetik terjadi pada 30- dan membengkak Pada 70-90%
40% pria, ditandai disuria berat kasus serviks ikut terkena, ditandai
serta sekret berlendir oleh mukosa berulserasi atau
nekrotik
Pada hubungan seks peranal
Servisitis dapat menjadi
daerah perianal, dan rektum bisa
manifestasi tunggal pada beberapa
juga terkena, sehingga timbul
pasien
proktitis herpetic
Disuria akibat uretritis bisa sangat
berat dan menyebabkan retensi
urin; lebih berat jika disebabkan
oleh HSV-1.
Virus dapat ditemukan dalam urin.

2. Fase laten
Fase ini penderita tidak menunjukkan adanya tanda dan gejala
secara klinis (Djuanda et al., 2017).
3. Infeksi rekurens
Gejala klinis yang timbbul lebih ringan dan lebih pendek dari pada
infeksi primer, yaitu ±7 – 10 hari. Gejala yang sering muncul berupa gejala
prodormal lokalisata seperti rasa panas, gatal dan nyeri di sekitar lesi. Lesi
yang muncul dapat di area yang sama (loco) atau berbeda (di sekitar (non
loco)) dari infeksi primer (Djuanda et al., 2017). Gejala yang muncul pada
perempuan umumnya lebih berat dari pada pria. Beberapa kasus berat juga
ditemukan adanya neuralgia sacral ipsilateral berat (Azwa dan Barton,
2009).

10
Tabel 2. Perbedaan gambaran klinis herpes genitalis rekuren pada pria dan
wanita (Eppy, 2017)
Pria Perempuan
Muncul berupa 1 atau lebih
Vesikel ditemukan pada labia
kelompok vesikel pada bagian
mayora, labia minora, atau
batang, prepusium, atau kepala
perineum
penis
Uretritis jarang terjadi Lesi sering amat nyeri
Nyeri biasanya ringan dan lesi
Demam dan gejala konstitusional
akan menyembuh dalam 7-10
jarang terjadi
hari
Frekuensi dan tingkat keparahan Lesi menyembuh dalam 8-10 hari,
rekurensi akan berkurang seiring shedding virus berlangsung selama
waktu 5 hari

Infeksi HSV-2 pada kondisi herpes genitalis tipe asimtomatis,


atipikal, dan subklinis dapat muncul dengan keluhan sebagai berikut :
1. Herpes genital asimtomatik
Tidak ditemukan gejala klinis, namun reaksi serologis terhadap
herpes virus reaktif (PERDOSKI, 2017).
2. Herpes genital atipik
Kondisi ini menyerang area kulit seperti Herpes Whithlow di
area jari, putting susu, bokong, dll (PERDOSKI, 2017).
3. Herpes genital subklinis
Sebanyak 70-80% pasien dengan seropositif HSV-2 tidak
memiliki riwayat herpes genitalis sebelumnya (Eppy, 2017). Gejala
klinis yang muncul hanya berupa makula eritematosa atau erosi ringan
terkadang disertai vesikel dan keluhan nyeri radikulopati (PERDOSKI,
2017).
G. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Lakukan anamnesis terhadap adanya beberapa faktor predisposisi
seperti (PERDOSKI, 2017) :
a. Stres fisik/psikis
b. Hubungan seksual berlebihan
c. Konsumsi alkohol

11
d. Menstruasi
e. Dan lain-lain
Keluhan yang dapat ditemukan yaitu (PERDOSKI, 2017) :
a. Herpes genital episode pertama lesi primer
1) Vesikel/erosi/ulkus dangkal berkelompok dengan dasar eritematosa,
disertai rasa nyeri  paling sering datang dengan keluhan lesi ulkus
dangkal / krusta multipel
2) Dapat disertai keluhan sistemik
3) Dapat disertai disuria, duh tubuh vagina/uretra
4) Keluhan neuropati (retensi urin, konstipasi, parestesi)
5) Pembentukan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari
6) Periode lesi antara 12-21 hari
b. Herpes genital episode pertama lesi nonprimer
1) Gambaran lesi menyerupai episode pertama lesi primer
2) Secara umum, lesi lebih sedikit dan lebih ringan dibandingkan lesi
primer
3) Lesi yang tidak diobati dapat terjadi selama 10-14 hari
4) Jarang disertai gejala sistemik, duh tubuh, disuria, dan neuropati.
c. Herpes genital rekuren
1) Lesi sedikit dan lebih ringan
2) Lesi lokalisata dan unilateral
3) Durasi ±5 hari
4) Dapat didahului parestesi 1-2 hari sebelum muncul lesi
5) Riwayat hal serupa/berulang
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menentukan efloresensi/UKK
pada lesi. Efloresensi khas yang ditemukan adalah vesikel, pustul multipel,
berkelompok dengan konfigurasi herpetiformis di atas kulit eritematosa
disertai erosi/ulkus dangkal terdistribusi region genitalia (Djuanda et al.,
2017).
3. Pemeriksaan Penunjang

12
Diagnosis herpes genital simtomatik dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik (UKK) (PERDOSKI, 2017). Meskipun
demikian beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis herpes genital terutama pada jenis asimtomatik,
maka dapat dilakukan pemeriksaan seperti :
a. Tzanck test
Sampel diambil dari dasar vesikel yang masih aktif kemudian
diberi pewarnaan giemsa. Hasil positif jika ditemukan sel datia
multinucleated giant cell (Djuanda et al., 2017). Kekurangan pada
pemeriksaan ini adalah tidak dapat membedakan antara HSV-1 dan
HSV-2 (Eppy, 2017).
b. Kultur virus
Sensitivitas pemeriksaan berbeda berdasarkan sampel yang
digunakan, 60-70% dengan sediaan dari vesikel, 32% dengan sediaan
dari pustul, dan 17% dengan sediaan dari krusta (PERDOSKI, 2017).
c. Deteksi antigen (enzyme immunoassay atau fluorescent antibody) atau
PCR DNA HSV
Sampel yang paling disarankan pada pemeriksaan ini adalah
sampel yang diambil dari vesikel. Deteksi menggunakan PCR DNA
HSV memiliki sensitivitas ≥ 98% (Sauerbei, 2016). Pemeriksaan dengan
PCR dapat dilakukan meski pada pasien dengan asimtomatik shedding
(Eppy, 2017).
d. Serologi antibodi IgM, IgG anti-HSV 1 dan 2 (PERDOSKI, 2017).
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada penyakit herpes genital berdasarkan tanda dan
gejala yang ada adalah (Djuanda et al., 2017) :
1. Ulkus durum/sifilis primer
2. Ulkus mole
3. Limfogranuloma venereum (LGV)
4. Granuloma inguinal

13
I. Tata Laksana
1. Nonmedikamentosa (BASH, 2014)
a. Pasien diberi edukasi tentang perjalanan penyakit yang mudah
menularterutama bila ada lesi, dan infeksi ini dapat berulang; karena itu
indikasiabstinens; lakukan penapisan untuk IMS lain dan HIV, notifikasi
pasangantetapnya.
b. Proteksi individual, anjurkan penggunaan kondom dan busa spermisidal.
c. Sedapat mungkin hindari faktor pencetus.
d. Bila pasien sudah merasa terganggu dengan kekerapan infeksi dan ada
kecurigaan terjadi penurunan kualitas hidup, indikasi untuk konsul
psikiatri.
2. Medikamentosa
a. Obat-obat simtomatik:
 Pemberian analgetika, antipiretik dan antipruritus disesuaikan
dengankebutuhan individual
 Penggunaan antiseptik sebagai bahan kompres lesi atau dilanjutkan
dalam airdan dipakai sebagai sit bath misalnya povidon iodium yang
bersifatmengeringkan lesi,mencegah infeksi sekunder, dan
mempercepat waktupenyembuhan.
b. Lesi episode pertama lesi primer (Kemenkes, 2015)
 Asiklovir: 5x200 mg/hari selama 7-10 hari atau asiklovir: 3x400
mg/hari selama7-10 hari
 Valasiklovir: 2x500-1000 mg/hari selama 7-10 hari
 Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7-10 hari
 Kasus berat perlu rawat inap: asiklovir intravena 5 mg/kgBB tiap 8
jam selama7-10 hari
c. Rekuren(Kemenkes, 2015)
 Asiklovir 2x400 mg/hari
 Valasiklovir 1x500 mg/hari
 Famsiklovir 2x250 mg/har
d. Pasien imunokompromais

14
Pengobatan untuk kasus ini memerlukan waktu yang lebih lama,
pengobatandiberikan hingga gejala klinis menghilang. Terapi yang
diberikan adalah:
 Asiklovir oral dapat diberikan dengan dosis 5x400 mg/hari selama 5-
10 hariatau hingga tidak muncul lesi baru
 Valasiklovir 2x1000 mg/hari
 Famsiklovir 2x500 mg/hari
e. Kondisi lain (Hollier dan Wendel, 2008)
 Pasien yang berisiko tinggi untuk menjadi diseminata, atau yang tidak
dapatmenerima pengobatan oral, maka asiklovir diberikan secara
intravena 5mg/kgBB/hari tiap 8 jam selama 7-14 hari
 Wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer dalam 6 minggu
menjelangpersalinan dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea.
Asiklovir dosis supresi 3x400 mg/hari mulai dari usia 36 minggu
dapat mencegahlesi HSV pada aterm
J. Komplikasi
Infeksi HSV-2 selain dapat menyebabkan penyakit herpes genitalis,
juga dapat menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang otak, nervus
kranialis, medullaspinalis, dan nerve roots. Secara umum, infeksi HSV-2
dapat menyebabkan meningitis. Manifestasi kelainan neurologis akibat
infeksi HSV-2 antara lain herpes simpleks ensefalitis pada neonatus,
meningitis aspetik akut pada dewasa, meningitis aseptik rekuren, ensefalitis
dan meningoenesefalitis HSV-2 pada dewasa, radikulopatiHSV-2, serta
nekrosis retina akut. Sacral radiculopathy dapat ditunjukkan dengan adanya
gejala hiperestesia pada saat terjadi infeksi herpes simpleks primer.
Amitriptilin dapat menjadi pilihan untuk terapi infeksi ini jika terapi antiviral
sistemik tidak adekuat atau tidak efektif (Berger dan Houff, 2008).
Selain itu, infeksi virus ini juga dapat meningkatkan risiko terkenanya
infeksi menular seksual lainnya termasuk virus HIV. Beberapa kasus
menyatakan luka yang berhubungan denganherpes genitalis dapat
menyebabkan peradangan di sekitar uretra sehingga ada rasa nyeri saat
berkemih (Ooi dan Zawar, 2011).

15
K. Prognosis
Prognosis bergantung pada derajat penyakit, kepatuhan pengobatan
danpen gendalian faktor risiko. Secara umum:
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

16
BAB III

KESAMPULAN

Ruam Herpes simpleks adalah infeksi akut suatu lesi akut berupa vesikel
berkelompok di atas daerah yang eritema, dapat satu atau beberapa kelompok
terutama pada atau dekat sambungan mukokutan. Herpes simpleks disebabkan
oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang dapat berlangsung
primer maupun rekurens. Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold sore,
herpes febrilis, herpes labialis, herpes genitalis.
Pengobatan herpes genetalis dapat diberika untuk meredakan gejala
simptomatik selain itu juga daoat diberikan obat anti virus seperti asiklovir. Virus
akibat heroes genetalis dapat menyebabkan komplikasi pada retina, otak, batang
otak, nervus kranialis, medullaspinalis, dan nerve roots

17
DAFTAR PUSTAKA

Azwa A, Barton SE. 2009. Aspects of herpes simplex virus: A clinical review. J
Fam Plann Reprod Health Care. Vol 35(4):237-42.
Berger, J. R., Houff, S. 2008. Neurological Complications of Herpes Simplex
Virus Type 2Infection. Journal Arch Neurol 65(5): 596-600
British Association for Sexual Health and HIV. 2014. UK National Guideline for
the Managementof Anogenital Herpes. London: BASH
Djuanda, et al. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta : FK
UI.
Eppy. 2017. Infeksi Virus Herpes Simpleks dan Komplikasinya. CDK-253. Vol
44(6):386-387.
Gupta, R., Warren, T., Wald, A. 2007. Genital Herpes. Lancet. Vol 370:2127-
2137.
Handoko, R. P. 2010. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah,
S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 380-382.
Hollier, L. M., Wendel, G. D. 2008. Third trimester antiviral prophylaxis for
preventing maternal genitalherpes simplex virus (HSV) recurrences and
neonatal infection (Review). CochraneLibrary(2):1-22
Indriatmi, Wresti. 2019. Herpes Simpleks. Dalam:Sri Linuwih SW Menaldi,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. h.288-90.
John E. Bennett, Raphael Dolin, Martin J. 2015. Mandell, Douglas, and Bennett's
Principles and Practice of Infectious Disease. Philadelphia: Elsevers
Saunders
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit danPenyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Penanganan Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Kemenkes RI
Lingappa JR, Baeten JM, Wald A, Hughes JP, Thomas KK, Mujugira A, et al.
Partners in Prevention HSV/HIV Transmission Study Team. Daily acyclovir
for HIV-1 disease progression in people dually infected with HIV-1 and
herpes simplex virus type2: a randomised placebo-controlled
trial. Lancet. 2010;375(9717):824–33
Looker L, Magaret A, Turner K, Vickerman P, Gottlieb S, Newman L. Global
estimates of prevalent and incident herpes simplex virus type 2 infection in
2012. PLoS One. 2015;10(1):e114989

18
McQuillan G, Kruszon-Moran D, Flagg EW, Paulose-Ram R. Prevalence of
herpes simplex virus type 1 and type 2 in persons aged 14–49: United
States, 2015–2016. NCHS Data Brief, no 304. Hyattsville, MD: National
Center for Health Statistics. 2018.
Mustafa, M., Illzam, E.M., Muniady, R.K., Sharifah, A.M., Nang, M.K., Ramesh,
B. 2016. Herpes Simplex Virus Infections, Pathophysiology and
Management. IOSR-JDMS. Vol 15(2):72-78.
Ooi, C., Zawar, V. 2011. Hyperaesthesia Following Genital Herpes: A Case
Report.Dermatology Research and Practice. Bekasi: FK Trisakti
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). 2017.
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.
Sauerbei, A. 2016. Herpes Genitalis : Diagnosis, Treatment, and Prevention.
Geburtshilfe und Frauenheilkunde. Vol 76(12):1310-1317.
Sauerbrei A. (2016). Herpes Genitalis: Diagnosis, Treatment and
Prevention. Geburtshilfe und Frauenheilkunde, 76(12), 1310–1317.
WHO Guidelines for the Treatment of Genital Herpes Simplex Virus. Geneva:
World Health Organization; 2016. 1, INTRODUCTION. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK396234/

19

Anda mungkin juga menyukai