Anda di halaman 1dari 16

RESUME SURAH ABASA

RESUME SURAH ABASA


BY
BY
HASBIAH
HASBIAH
Tafsir Surat ‘Abasa – Tafsir Juz Amma

Surat ‘Abasa adalah surat yang ke 80 yang artinya bermuka masam. Surat
ini adalah surat makiyyah yang diturunkan pada fase mekkah, karenanya isi surat
ini juga bercerita tentang hari kiamat yaitu munaqosah (dialog) dengan orang-
orang musyrikin yang mengingkari hari kiamat. Namun surat ini diawali dengan
teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala kepada Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam.
Dengan sebab inilah sebagian orang-orang yang ghuluw terlalu
mengkultuskan. Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, mereka menganggap suatu hal
yang baik untuk tidak membaca surat ini, karena isinya yang berupa teguran
kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam.
Namun kenyataannya justru isi surat ini meninggikan kemuliaan Nabi
shalallahu ‘alaihiwassallam karena telah ditegur langsung oleh Allah
Subhanallahu Wata’ala dan beliau tidak segan untuk menyampaikan berita
tentang teguran tersebut kepada umatnya.
Allah SWT berfirman
َ ‫َو َت َولَّى َع َب‬
1. ‫س‬
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling”
‫س‬
َ َ‫ َعب‬dalam istilah bahasa arab adalah menggabungkan antara apa yang
ada diantara dua kening (Lisaanul ‘Arob 6/128). Dalam bahasa indonesia dikenal
dengan istilah mengerutkan dahi. Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam mengerutkan
dahinya bermuka masam dan juga berpaling menolehkan wajahnya melihat ke
arah yang lain. Apa yang menyebabkan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam
berpaling? Allah SubhanAllahu wata’ala berfirman:
2. ْ‫ىاَأْلعْ َم َجا َء ُه َأن‬
“karena seorang buta telah datang (kepadanya)”
Allah SWT menurunkan ayat ini untuk menegur Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam. Seluruh ahli tafsir sepakat bahwasanya sebab turunnya ayat ini
adalah kisah tentang Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu, seorang
sahabat yang buta ketika datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Pada
saat itu Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam sedang berdakwah kepada orang-orang
kafir dan para pembesar Quraish. Datang berbagai macam riwayat tentang nama-
nama para pembesar Quraisy tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan mereka
adalah ‘Utbah bin Robi’ah, Abu Jahl bin Hisyaam, dan al-‘Abbas bin ‘Abdil
Muthholib. Sebagian riwayat menyatakan Nabi sedang mendakwahi Umayyah
bin Kholaf.
Patut diketahui bahwa mendakwahi para pembesar adalah metode
dakwah yang benar. Karena jika para pembesar sekelompok orang kafir masuk
islam, para anak buahnya akan mengikutinya sehingga semakin banyak yang
masuk islam. Metode ini juga pernah dilakukan oleh Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam tatkala pergi ke Thaif karena merasa dakwahnya di Mekah
kurang berhasil. Beliau pergi ke Thaif dan mendakwahi para pembesarnya,
meskipun kemudian beliau diusir juga dari Thaif. Demikian juga Nabi menyurati
para raja untuk masuk Islam.
Allah Subhanallahu Wata’ala memakai kata ‫( اَأْل ْع َمى‬yang buta) karena
ada maslahat disitu. Seakan-akan Allah Subhanallahu Wata’ala menyatakan,
“Wahai Muhammad, engkau bermuka masam dan berpaling padahal orang yang
datang kepadamu adalah orang yang buta. Seharusnya orang buta lebih engkau
perhatikan. Dia juga memotong pembicaraanmu karena tidak melihat apa yang
sedang engkau lakukan.” Ini adalah teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala
atas sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam.
Tetapi perhatikanlah, para ulama menyebutkan bagaimana mulianya
Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam di sisi Allah sampai-sampai Allah
Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi dengan uslub yang indah. Allah
Subhanallahu Wata’ala tidak mengatakan, “engkau bermuka masam dan
berpaling”. Padahal Allah sedang berbicara dengan Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam Muhammad yang berposisi sebagai orang kedua karena Al-
Quran diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam Namun Allah
Subhanallahu Wata’ala tidak menggunakan kata ganti orang kedua melainkan
orang ke tiga “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Ini adalah kelembutan
Allah Subhanallahu Wata’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
َ ‫َي َّز َّكى َل َعلَّ ُه ي ُْد ِري‬
3. ‫ك َو َما‬
“dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan
dirinya (dari dosa)”
Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Rasulullah shallallahu
‘alaihiwassallam yang tidak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum.
Barangkali dia datang ingin membersihkan dirinya dari dosa. Oleh karena itu,
para ulama mengatakan, “Orang yang datang kepadamu untuk mencari ilmu
hendaklah dia didahulukan.” Dan inilah yang dilakukan oleh Abdullah bin Ummi
Maktum, dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam untuk
mencari ilmu, berdasarkan perkataannya, ‫ ْدنِي‬II‫“ َأرْ ِش‬Ya Rasulullah shallallahu
‘alaihiwassallam berilah petunjuk kepadaku.” (Tafsir At-Thobari 24/102)
Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman yang artinya:
4. ‫الذ ْك َرى َف َت ْن َف َع ُه َي َّذ َّك ُر َأ ْو‬
ِّ

“atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat


kepadanya”
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan tentang orang
yang sombong tadi, Ubay bin Khalaf, Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahl bin Hisyam,
dan orang-orang kafir lainnya.
Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
5. ‫اسْ َت ْغ َنى َم ِن َأمَّا‬
5.“Adapun orang yang merasa dirinya tidak butuh (pembesar-pembesar
Quraisy)”
َ ‫ص َّدى َل ُه َفَأ ْن‬
6. ‫ت‬ َ ‫َت‬
6.“malah engkau memberi perhatian kepadanya”
Allah Subhanallahu Wata’ala menegur cara Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam berdakwah, mengapa orang kafir lagi sombong itu yang tidak
butuh dengan dakwah Nabi, tetapi Nabi justru datang mendekatinya, padahal ada
orang yang datang langsung kepada Nabi tetapi beliau malah menjauhinya.
َ ‫َي َّز َّكى َأاَّل َع َل ْي‬
7. ‫ك َو َما‬
.“padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak mensucikan diri
(beriman)”
Memang secara logika, jika para saudagar kaya raya itu masuk islam
maka banyak yang akan mengikutinya, tetapi andai saja dia tetap kafir maka hal
itu tidak jadi masalah dan bukan urusan Nabi, karena Nabi hanya berdakwah,
perkara hidayah sepenuhnya hanya di tangan Allah Subhanallahu Wata’ala.
Tidak ada dosa pada diri Nabi jika mereka tetap kafir.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan tentang ibnu
Ummi maktum.
8. ‫ك َمنْ َوَأمَّا‬
َ ‫َيسْ َعى َجا َء‬
“dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk
mendapatkan pengajaran)
9.‫ َىوه َُو‬////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////‫َي ْخ َش‬
“sedang dia takut (kepada Allah)”
Orang-orang kafir itu memiliki sifat merasa tidak butuh dan ini adalah
musibah kalau orang sudah merasa tidak butuh, biasanya sifat ini akan
melahirkan sifat sombong. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman
“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas.
Apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS Al-‘Alaq : 6-7)
Tatkala dirinya merasa sudah kaya, dia pun sombong dan kemudian
melampaui batas hingga berbuat kedzaliman. Sesungguhnya orang yang merasa
cukup, merasa tidak butuh, merasa sombong, merasa angkuh, akan timbul
kedzaliman. Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi shallallahu
‘alaihiwassallam kenapa malah mendekati orang-orang seperti itu.
Adapun Abdullah bin Ummi Maktum terkumpul pada dirinya 3 sifat:
Pertama, ‫ك َم ْن َوَأ َّما‬
َ ‫( َجا َء‬Dan adapun orang yang datang kepadamu) yaitu Abdullah
bin Ummi Maktum datang langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam.
َ ‫ َع‬I ‫( ْس‬berusaha) artinya Abdullah bin Ummi Maktum datang dengan
Kedua, ‫ىي‬
semangat. Ini adalah peringatan kepada kita, hendaknya ketika kita beribadah
kita melakukannya dengan penuh semangat. Padahal waktu yang digunakan
untuk melakukan ibadah tertentu sama saja, yang membedakannya adalah
semangatnya dan kekhusyukannya. Bahkan ketika menuntut ilmu, waktu yang
kita gunakan untuk belajar dalam suatu kesempatan dengan kesempatan lainnya
sama saja, yang membedakannya adalah semangat kita tatkala itu. Karena
perbedaan semangat ini bisa menyebabkan pahala yang diraih juga berbeda.
Ketiga, ‫( يَ ْخ َشى َوهُ َو‬dan dia takut) yaitu Abdullah bin Ummi Maktum takut kepada
Allah Subhanallahu Wata’ala. Ini adalah peringatan kepada para penuntut ilmu.
Ketika kita menuntut ilmu maka hendaknya disertai dengan rasa takut kepada
Allah Subhanallahu Wata’ala. Menuntut ilmu bukan hanya untuk mencari
wawasan tetapi untuk menambah rasa takut kita kepada Allah Subhanallahu
Wata’ala. Karenanya para salaf mengatakan, “rasa takut merupakan puncak dari
ilmu”.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
َ ‫َت َلهَّى هُ َع ْن َفَأ ْن‬
10. ‫ت‬
“engkau (Muhammad) malah mengabaikannya”
Ini adalah teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala untuk Rasulullah
shalallahu ‘alaihiwassallam. Diriwayatkan, setelah kejadian itu jika Abdullah bin
Ummi Maktum datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam, maka
beliau menyambutnya dengan mengatakan
“Marhaban (selamat datang) orang yang Robbku menegurku karenanya”
Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam memuliakan Abdullah bin
Ummi Maktum. Bahkan disebutkan dalam sejarah, dalam dua kali peperangan
Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam menjadikan Abdullah bin Ummi Maktum
sebagai kepala Madinah atau yang menguasai kota Madinah ketika Nabi
shallallahu ‘alaihiwassallam meninggalkan Madinah. Seharusnya yang
mengurusi kota Madinah bukanlah orang buta tetapi Rasulullah shallallahu
‘alaihiwassallam mempercayakan posisi itu kepada Abdullah bin Ummi Maktum
tatkala Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam berperang di luar dari kota Madinah. Ini
menunjukkan pemuliaan Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam terhadap
Abdullah bin Ummi Maktum. (lihat Tafsir At-Thobari 24/104 dan Tafsir al-
Baghowi 8/332). Demikian juga Nabi menjadikan beliau sebagai tukang azan
subuh yaitu azan yang kedua padahal beliau tidak bisa melihat fajar. Beliau
hanya bisa azan kalau ada yang memberitahu bahwa fajar sudah terbit. (Tafsiir
Ibnu Katsiir 8/321). Padahal yang lebih utama yang azan adalah yang bisa
melihat fajar dan bukan orang buta. Namun ini semua dilakukan oleh Nabi dalam
rangka menghargai Ibnu Umi Maktuum.
Dari sini dapat diambil faedah bahwasanya dalam berdakwah hendaklah
tidak pandang bulu bagaimanapun obyek dakwahnya, antara orang kaya ataupun
orang miskin. Meskipun mendakwahi orang kaya memiliki maslahat yang besar
tetapi tidak boleh sampai melalaikan dakwah kepada orang miskin. Bisa jadi ada
sebagian dai yang hanya perhatian dengan orang kaya, jika yang mengundangnya
adalah orang miskin maka dia tidak akan datang karena pemberiannya sedikit.
Orang seperti ini tidak mencari akhirat dalam dakwahnya. Pada asalnya tidak
masalah ketika melakukan variasi di dalam dakwah, semisal berdakwah di
kantor-kantor, berdakwah di kalangan orang-orang kaya namun orang miskin
juga tidak boleh dilupakan. Karena salah satu tujuan utama kita berdakwah
adalah agar bisa diamalkan oleh orang lain. Terkadang jika kita berdakwah
dengan orang kaya, terkadang dia datang dengan keangkuhan dan sombong
sehingga kadang tidak ingin mendengarkan kebenaran yang kita sampaikan.
Berbeda dengan orang miskin dia datang dengan tujuan agar bisa mengamalkan
ilmu tersebut, sehingga pahalanya akan ikut mengalir kepada kita.
Ayat ini juga merupakan dalil bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihiwassallam adalah orang yang paling amanah. Seandainya Nabi shallallahu
‘alaihiwassallam boleh menyembunyikan satu surat saja dalam Al-Qur’an
niscaya Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam akan menyembunyikan surat ‘Abasa.
Ditambah surat ini tidaklah turun kecuali kepada Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam. Selain itu, Abdullah bin Ummi Maktum tatkala datang, dia
tidak mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam bermuka masam
karena dia buta. Seandainya tidak buta, wajah Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam
juga tidak akan terlihat karena beliau memalingkan mukanya, yang tahu hanyalah
Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam dan Allah Subhanallahu Wata’ala. Tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihiwassallam menyampaikan seluruh yang Allah Subhanallahu
Wata’ala sampaikan kepadanya, meskipun dalam surat tersebut ada teguran
untuk dirinya.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
11. ‫َت ْذك َِرةٌ ِإ َّن َها َكاَّل‬
“sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu
peringatan”
Firman Allah ‫ َكاَّل‬bisa datang dalam dua makna, terkadang artinya َ‫ال‬
“Tidak” (yang disebut oleh para ulama dengan kalimat zajr) dan terkadang artiya
‫“ َحقًّا‬Sungguh benar” [2]. Para ulama berbeda pendapat ke dalam dua tafsiran
tentang makna “peringatan”. Apakah ini adalah teguran/peringatan Allah
Subhanallahu Wata’ala secara khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam
Muhammad atau teguran/peringatan secara umum. Bagi yang berpendapat ini
adalah teguran kepada Nabi, maka ‫ َكاَّل‬maknanya adalah َ‫“ ال‬Tidak”, sehingga
firman Allah ‫ ت َْذ ِك َرةٌ ِإنَّهَا َكاَّل‬artinya yaitu “sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, itu
suatu peringatan”. Seakan-akan Allah berkata, “Sekali-kali jangan begitu wahai
Muhammad, janganlah engkau semangat kepada orang kaya yang kafir
sementara engkau berpaling dari orang mukmin yang miskin”.[3]

Bagi yang berpendapat bahwa peringatan ini umum kepada kaum muslimin maka
‫ َكاَّل‬maknanya adalah ‫“ َحقًّا‬Sungguh benar”. Maka arti firman Allah ‫ت َْذ ِك َرةٌ ِإنَّهَا َكاَّل‬
adalah “Sungguh benar, sungguh ini adalah peringatan”, sehingga jadilah ayat ini
peringatan kepada kaum muslimin secara umum.
12. ْ‫َذ َك َرهُ َشا َء َف َمن‬
“maka barang siapa menghendaki, tentulah dia akan memperhatikan-nya”
Barang siapa -diantara hamba Allah- yang mau maka akan mengambil
pelajaran dari-nya yaitu Al Qur’an. Bagi yang tidak mau mengambil pelajaran
maka silahkan.
Tidak akan bertambah kekuasaan Allah Subhanallahu Wata’ala karena
keimanan seseorang dan tidak akan berkurang pula kekuasaan Allah
Subhanallahu Wata’ala karena kekafiran sesesorang. Ada dan tiadanya makhluk
tidak akan mempengaruhi ke-Maha Mulia-an Allah Subhanallahu Wata’ala.
Kemudian setelah itu Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan keagungan al-
Qur’an dengan berfirman :
ُ ‫ُم َكرَّ َم ٍة‬
ٍ ‫ص ُح‬
13. ‫ف فِي‬
“dia (al-Qur’an) dalam lembaran-lembaran/kitab-kitab yang dimuliakan (di
sisi Allah)”
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “shuhuf” adalah
al-Lauh al-Mahfuuz, dan ada yang berpendapat as-Shuhuf adalah kitab-kitab suci
yang diturunkan kepada para Nabi.
َ ‫م‬
14. ْ‫ُطه ََّر ٍة فُو َع ٍة َمر‬
“yang ditinggikan (dan) disucikan”
Sebagian ulama mengatakan bahwa Allah Subhanallahu Wata’ala
sedang berbicara tentang Al Qur’an. Yang ditinggikan yaitu kedudukannya yang
tinggi di sisi Allah Subhanallahu Wata’ala dan disucikan yaitu tidak ada
penyimpangan dalam Al Qur’an, juga tidak ada kebatilan, tidak pula perubahan,
semuanya disucikan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala.
Sebagian ulama juga mengatakan bahwa ini adalah dalil meskipun tidak
langsung hendaknya Al Qur’an diletakkan di atas barang-barang lainnya bukan
di bawah, karena Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan ‫ ٍة‬I‫ َمرْ فُو َع‬yaitu Al
Quran itu terangkat. Meskipun konteks ayat ini berkaitan dengan Al Qur’an yang
ada di lahumul mahfudz yang dimuliakan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala,
tetapi tidak ada salahnya tatkala kita di dunia mempraktekkan adab dengan cara
meletakkan Al Qur’an di atas bukan di bawah. Hal ini karena Al Quran berisi
firman-firman Allah Subhanallahu Wata’ala yang suci dan mulia.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :
15. ‫َس َف َر ٍة ِبَأ ْيدِي‬
“di tangan para utusan (malaikat)”
16. ‫َب َر َر ٍة ك َِر ٍام‬
“yang mulia lagi berbakti”
Malaikat adalah makhluk Allah Subhanallahu Wata’ala yang tidak
pernah bermaksiat. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman yang artinya:
“Mereka tidak pernah membangkang perintah Allah dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan” (QS At-Tahrim : 6)
Setelah itu, berlanjut ke pembahasan selanjutnya. Allah Subhanallahu Wata’ala
berfirman:
17.‫َأ ْك َف َرهُ َما اِإْل ْن َسانُ قُ ِت َل‬
“celakalah manusia, apa yang membuat dia kafir?”
Pada kalimat ‫ َأ ْكفَ َرهُ َما‬terdapat ‫ َما‬yang dalam bahasa arab, pada ayat ini
ada mengandung dua kemungkinan. Pertama, ‫ َما‬yang artinya istifhamiah
sehingga ‫ َأ ْكفَ َرهُ َما‬artinya adalah “apa yang membuat manusia kafir?”. Kedua, ‫َما‬
takjubiah sehingga ‫ َرهُ َما‬I َ‫ َأ ْكف‬artinya adalah “sungguh besar kekafirannya.” Dan
dua-duanya mungkin untuk menjadi tafsir dari ayat ini. Oleh karena itu,
seseorang tidak mungkin bisa menafsirkan Al Qur’an kecuali jika dia telah
menguasai bahasa arab, dan ilmu-ilmu lainnya, dia harus kuasai pula. Seperti
ilmu musthalah hadist karena dia harus mengerti mana riwayat-riwayat yang
shahih dan mana riwayat-riwayat yang lemah. Dia juga harus memahami dengan
baik nahwu, sharaf, dan ilmu bahasa. Terlebih lagi ilmu tafsir itu sendiri harus
dia kuasai. Sehingga sungguh sangat mengherankan jika ada orang yang
menafsirkan ayat Al Quran seenaknya sendiri, menafsirkan firman Allah
Subhanallahu Wata’ala tanpa ada ilmu. Ini adalah tindakan yang sangat
berbahaya.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala mengajak manusia
merenungkan mengapa mereka sombong dan kafir kepada Allah Subhanallahu
Wata’ala. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :
18 ْ‫َخ َل َق ُه َشيْ ٍء َأيِّ ِمن‬
“Dari manakah Dia (Allah) menciptakannya?”
19. ْ‫َخ َل َق ُه ُن ْط َف ٍة ِمن‬
“dari setetes mani, Dia menciptakannya lalu menentukannya”
Pertama dia keluar dari kemaluan ayahnya berupa air mani dan kedua
ketika dilahirkan dia keluar dari kemaluan ibunya tempat keluarnya air kencing,
tetapi dia masih saja sombong dan congkak hingga tidak mau beribadah kepada
Allah Subhanallahu Wata’ala.
Adapun firman Allah ُ‫ َّد َره‬/ ‫“ َف َق‬lalu menentukannya”, yaitu menentukan
taqdirnya apakah dalam perut ibunya, apakah pendek atau tinggi, ganteng atau
tidak ganteng, celaka atau bahagia. Atau arti “menentukannya” yaitu
menyempurnakan penciptaannya, dengan membentuk anggota tubuhnya dalam
perut ibunya, atau artinya menentukannya dalam tingkatan-tingkatan
pembentukannya dari air mani, segumpal darah, segumpal daging, hingga
menjadi bentuk yang sempurna.
Kemudian Allah Subhanallahu
Wata’ala berfirman :
20. ‫َيس ََّرهُ الس َِّبي َل ُث َّم‬
“kemudian jalannya Dia mudahkan”
Dalam bahasa arab terdapat istilah yang juga dikenal dengan kata
sambung sebagaimana dalam Bahasa Indonesia. Semisal huruf wa artinya dan,
tsumma artinya kemudian, fa artinya lalu. Kalau wa dalam bahasa arab tidak
menunjukkan tertib. Contohnya kalimat “Ja’a khalidun wa ‘Umar”, (datang
Khalid dan ‘Umar) maka belum tentu Khalid yang datang terlebih dahulu
dibanding ‘Umar bisa jadi ‘Umar lebih dahulu daripada khalid. Jika
menggunakan kalimat fa yang artinya lalu, contoh “Ja’a khalidun fa ‘Umar”
(datang Khalid lalu ‘Umar), maka Khalid datang lebih dahulu lalu ‘Umar. Hanya
saja jarak kedatangannnya tidak ada jarak, Khalid datang langsung diikuti dengan
kedatangan ‘Umar. Adapun jika kedatangan Khalid ada jarak yang lama dengan
kedatangan ‘Umar maka kalimatnya dalam bahasa arab yaitu “Ja’a Khalid
tsumma ‘Umar” (datang Khalid kemudian datang ‘Umar). Jadi, dalam bahasa
Arab dibedakan, kalau wa sekedar mengumpulkan, kalau fa tertib tetapi tidak ada
jarak waktu, kalau tsumma tertib dan ada jarak waktu.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :
21. ‫َفَأ ْق َب َره َأ َما َت ُه ُث َّم‬
“kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya”
Memang demikianlah yang terjadi, setelah dia keluar dari perut ibunya
dia tidak langsung mati melainkan hidup dulu, entah 30th, 50th, 100th dan
seterusnya. Setelah lama hidup di bumi Allah Subhanallahu Wata’ala membuat
dia meninggal kemudian menguburkannya.
Allah Subhanallahu Wata’ala menggunakan huruf َ‫” ف‬lalu
menguburkannya” yang kata para ulama ini adalah dalil bahwasanya penguburan
mayat jangan ditunda-tunda.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
22. ‫َأ ْن َش َرهُ َشا َء ِإ َذا ُث َّم‬
“kemudian jika Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali”
ِ ‫َأ َم َرهُ َما َي ْق‬
23. ‫ض َلمَّا َكاَّل‬
“sekali-kali tidak, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah kepadanya”
Ada yang menafsirkan ayat ini bahwa sang manusia yang kafir tidak
melaksanakan perintah Allah kepadanya. Dan ada yang menganggap ayat ini
umum mencakup mukmin juga, sehingga artinya bagaimanapun seorang manusia
berusaha, dia tidak akan bisa melaksanakan seluruh perintah Allah Subhanallahu
Wata’ala. Bagaimanapun seorang manusia itu bertakwa pasti ada perintah Allah
Subhanallahu Wata’ala yang terluputkan darinya. Mujahid berkata:
“Tidak seorangpun bisa menjalankan seluruh yang diwajibkan kepadanya,
selamanya” (Tafsir Ibnu Katsir 8/324)
Kemudian setelah Allah Subhanallahu Wata’ala mengajak manusia
untuk merenungkan penyebab mengapa para manusia kafir, apakah yang
membuat mereka sombong, padahal hendaknya mereka melihat hakekat
penciptaan mereka yaitu dari air yang hina. Allah Subhanallahu Wata’ala
kembali mengajaknya untuk merenungkannya sementara seluruh kenikmatan
telah Allah Subhanallahu Wata’ala sediakan.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
ُ ‫َط َعا ِم ِه ِإ َلى ا ْن َسانُ َف ْل َي ْن‬
24. ‫ظ ِر‬ ‫ِإْل‬
“maka hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya”
Hendaknya dia merenungi makanan yang dia makan, dari mana dia
mendapatkan makanan tersebut, apakah dia punya andil sehingga makanan
tersebut ada. Tentu saja jawabannya tidak, semua dari Allah Subhanallahu
Wata’ala. Buah apel itu dari mana? Bijinya dari mana? Dari Allah Subhanallahu
Wata’ala. Ditanam dimana? Di tanahnya Allah Subhanallahu Wata’ala. Yang
memberi pengairan siapa? Allah Subhanallahu Wata’ala. Semuanya adalah andil
dari Allah Subhanallahu Wata’ala.

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:


25 ‫صبَ ْبنَا َأنَّا‬
َ ‫صبّا ً ْال َما َء‬
َ
“Kamilah yang telah mencurahkan air melimpah (dari langit)”
َ ْ‫َشقّاًاَأْلر‬
26 ‫ض َشقَ ْقنَا ثُ َّم‬
“kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya”
27. ‫َحبّا ً فِيهَا فََأ ْنبَ ْتنَا‬
“lalu disana Kami tumuhkan biji-bijian”
28. ً ‫َوقَضْ با ً َو ِعنَبا‬
“dan anggur dan sayur-sayuran”
Sebagaimana yang telah berlalu pada tafsir sebelumnya, Allah
Subhanallahu Wata’ala menyebutkan biji-bijian karena berkaitan dengan
makanan pokok seperti jagung, atau beras, atau gandum. Kesemuanya adalah
makanan pokok yang tidak seorang pun tidak mungkin meninggalkannya.
Adapun buah dan sayur-sayuran, seseorang masih bisa hidup tanpa makan buah-
buahan dan sayur-sayuran.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
29 ً ‫ َو َز ْيتُونا‬.ً‫َون َْخال‬
“dan zaitun dan pohon kurma”
Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan tentang zaitun karena
faidahnya yaitu selain bisa dimakan sebagai buah, juga bisa dijadikan sebagai
minyak dan obat. Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan pohon
kurma karena kurma bisa menjadi makanan pokok, juga bisa menjadi buah-
buahan. Kurma juga bisa menjadi makanan yang disimpan.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
َ ‫ُغ ْلبا ً َو َحدَاِئ‬
30. ‫ق‬
“dan kebun-kebun yang lebat”
31 ً‫ َوفَا ِكهَة‬.ً ‫َوَأبّا‬
“dan buah-buahan serta rerumputan”
32. ً ‫َوَأِل ْن َعا ِم ُك ْم ُك ْم لَ َمتَاعا‬
“(Semua itu) untuk kesenangan kalian dan untuk hewan-hewan ternak
kalian”

Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala menutup surat ‘Abasaa dengan


menjelaskan tentang dahsyatnya hari kiamat. Allah Subhanallahu Wata’ala
berfirman:
ِ ‫الصَّا َّخةُ َجا َء‬
33. ‫ت َذا فَِإ‬
“maka apabila dating suara yang memekakkan (tiupan sangkakala)”
ُ‫ا َّخة‬III‫الص‬
َّ artinya suara yang sangat keras dan memekikkan telinga,
sehingga tatkala ditiupkan suara tersebut semua orang akan meninggal. Allah
Subhanallahu Wata’ala berfirman:
“Dan sangkakala pun ditiup, maka matilah semua (makhluk) yang di langit dan
di bumi, kecuali mereka yang dikehendaki Allah.” (QS Az-Zumar : 68)
Suara yang sangat keras bisa membuat seseorang tuli bahkan bisa
membuat orang sampai meninggal dunia. Karenanya kaum Nabi Shaleh disiksa
oleh Allah Subhanallahu Wata’ala dengan suara yang menggelegar seperti guntur
hingga membuat mereka tewas. Suara tersebut tidak pernah kita dengar, zaman
sekarang tidak ada orang yang meninggal karena guntur. Tetapi tatkala volume
suaranya dibesarkan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala maka semua bisa mati,
sebagaimana kaum Nabi Shaleh yaitu kaum Shamud.Kemudian Allah
Subhanallahu Wata’ala berfirman:
34. ‫َأ ِخي ِه ِم ْن ْال َمرْ ُء رُّ فِيَيَوْ َم‬
“pada hari tu manusia lari dari saudaranya”
Dalam ayat ini Allah Subhanallahu Wata’ala menggambarkan
bagaimana kedahsyatan hari kiamat sampai-sampai seseorang akan lari dari
orang yang paling dia cintai karena saking tidak pedulinya. Allah Subhanallahu
Wata’ala mengatakan :
35. ‫َوَأبِي ِه ُأ ِّم ِه َو‬
“dan dari ibu dan ayahnya”
36. ‫احبَتِ ِه‬
ِ ‫ص‬َ ‫َوبَنِي ِه َو‬
“dan dari istri dan anak-anaknya”
Ibunya, ayahnya, bahkan istri dan anak-anaknya yang selama ini dia
bekerja keras memeras keringat dan membanting tulang untuk menyenangkan
buah hatinya tersebut juga akan ditinggalkan pada hari tersebut. Karena setiap
orang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
37. ِّ‫يُ ْغنِي ِه َشْأ ٌن يَوْ َمِئ ٍذ ِم ْنهُ ْم ا ْم ِرٍئ لِ ُكل‬
“setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang
menyibukkannya”
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap orang akan
mengingat seluruh kemaksiatan yang pernah dia lakukan selama di dunia. Dia
tahu bahwa dia akan disidang oleh Allah Subhanallahu Wata’ala, sehingga
bagaimana dia tidak akan takut tatkala hari itu tiba. Oleh karena itu, Rasulullah
shalallahu ‘alaihiwassallam menggambarkan tentang bagaimana manusia
dibangkitkan pada hari kiamat. Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam bersabda:
“Sungguh kalian akan dibangkitkan dalam keadaan tidak memakai alas kaki,
telanjang dan belum dikhitan,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca firman Allah, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama,
begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati;
sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya.” [QS Al–Anbiya : 104].
(HR Bukhari no. 3349, 6526)
Tatkala seseorang lahir dari perut ibunya, dia dalam keadaan telanjang,
tidak memakai alas kaki, belum disunat, tidak membawa apa-apa. Demikian pula
ketika manusia dibangkitkan kelak, meskipun dia sudah dewasa tetapi kondisinya
telanjang, tidak memakai alas kaki, belum disunat, dan tidak akan membawa
sepeser hartapun dari seluruh harta yang dia kumpulkan selama di dunia. Oleh
karena itu, ketika mendengar hadist ini, ‘Aisyah radianllahu ‘anha bertanya:
“Wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihiwassallam apakah para lelaki dan para
wanita dibangkitkan bersama-sama dalam keadan telanjang dalam keadaan
belum disunat? Bukankah sebagian dari mereka akan melihat aurat yang lain?,
kata Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam: perkaranya sangat dahsyat, sampai-sampai
seorang tidak berfikir aurat orang lain”.

Memang demikianlah kenyataannya, apabila telah terjadi seseuatu yang


mengerikan maka kita akan lupa kondisi kita. Apalagi pada hari kiamat kelak
yang sangat dahsyat, yang masing-masing sibuk dengan urusannya.
Kemudian pembahasan selanjutnya Allah Subhanallahu Wata’ala
menyebutkan kondisi-kondisi manusia setelah hari kebangkitan. Ada manusia-
manusia yang bahagia dan ada manusia-manusia yang celaka. Ketahuilah
bahwasanya di akhirat kelak tidak akan ada golongan, tidak pula jabatan,
melainkan hanya ada dua golongan saja yaitu penghuni surga atau penghuni
neraka. Kelompok pertama adalah kelompok yang bahagia. Allah Subhanallahu
Wata’ala berfirman:
38. ٌ‫ُم ْسفِ َرةٌ يَوْ َمِئ ٍذ ُوجُوه‬
“pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri”
39. ٌ‫اح َكة‬
ِ ‫ض‬َ ٌ‫ُم ْستَ ْب ِش َرة‬
“tertawa dan gembira ria”.
Mereka adalah para penghuni surga. Mereka lah orang-orang yang
beriman. Mereka akan meraih janji-janji yang mereka baca dalam Al Quran dan
hadist-hadist Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam tentang surga dan kenikmatannya.
40. ٌ‫َغبَ َرةٌ َعلَ ْيهَا يَوْ َمِئ ٍذ َو ُوجُوه‬
“dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup dengan debu
(suram)”
Yaitu wajah-wajahnya orang kafir. Ada yang mengatakan bahwa debu-
debu tersebut berasal dari hewan-hewan yang telah disebutkan dalam tafsir surat
‘amma yatasaaluun. Sesungguhnya hewan yang telah di qishas oleh Allah
Subhanallahu Wata’ala akan berubah menjadi tanah, tanah-tanah itu kemudian
terhamparkan ke wajah orang-orang kafir (lihat Tafsiir Al-Qurthubi 19/226). Ada
yang mengatakan bahwa di padang mahsyar kelak orang-orang kafir tatkala
matahari turun dengan jarak 1 mil, keringat mereka sangat bercucuran. Dan
keringat yang bercucuran ini bergantung pada keimanan, jika imannya tinggi
maka semakin rendah cucuran keringat tersebut akan tetapi semakin banyak
maksiat maka keringatnya bercucuran ke atas bahkan sampai menutup wajahnya.
Terutama orang kafir keringat mereka menutupi wajah mereka.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
41 َ‫قَتَ َرةٌ قُهَا تَرْ ه‬
“tertutupi oleh kegelapan”
Wajah mereka selain berdebu juga gelap hitam mengerikan. Ini semua
menunjukkan penghinaan Allah Subhanallahu Wata’ala atas mereka.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
42. َ‫ْالفَ َج َرةُ ْال َكفَ َرةُ هُ ُم ُأولَِئك‬
“mereka itulah orang-orang kafir yang fajir”
Allah Subhanallahu Wata’ala menggabungkan kata kufur dengan fujur.
ُ‫ ْال َكفَ َرة‬adalah orang-orang kafir yang melakukan kekufuran dalam hal keyakinan.
Mereka mempunyai keyakinan yang salah tentang Allah Subhanallahu Wata’ala,
tidak beriman akan hari kiamat, berkeyakinan syirik kepada Allah Subhanallahu
Wata’ala, meyakini Allah Subhanallahu Wata’ala satu dari yang tiga, meyakini
ada sesembahan selain Allah Subhanallahu Wata’ala. Adapun ُ‫رة‬II َ ‫ ْالفَ َج‬adalah
kemaksiatan yang berkaitan dengan anggota tubuh misalnya mendzhalimi orang
lain, berzina, menipu orang lain, dan lain-lain, semua ini berkaitan dengan
kefajiran. Dan ini terkumpulkan pada diri orang-orang kafir tersebut.

Anda mungkin juga menyukai