Surat ‘Abasa adalah surat yang ke 80 yang artinya bermuka masam. Surat
ini adalah surat makiyyah yang diturunkan pada fase mekkah, karenanya isi surat
ini juga bercerita tentang hari kiamat yaitu munaqosah (dialog) dengan orang-
orang musyrikin yang mengingkari hari kiamat. Namun surat ini diawali dengan
teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala kepada Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam.
Dengan sebab inilah sebagian orang-orang yang ghuluw terlalu
mengkultuskan. Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam, mereka menganggap suatu hal
yang baik untuk tidak membaca surat ini, karena isinya yang berupa teguran
kepada Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam.
Namun kenyataannya justru isi surat ini meninggikan kemuliaan Nabi
shalallahu ‘alaihiwassallam karena telah ditegur langsung oleh Allah
Subhanallahu Wata’ala dan beliau tidak segan untuk menyampaikan berita
tentang teguran tersebut kepada umatnya.
Allah SWT berfirman
َ َو َت َولَّى َع َب
1. س
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling”
س
َ َ َعبdalam istilah bahasa arab adalah menggabungkan antara apa yang
ada diantara dua kening (Lisaanul ‘Arob 6/128). Dalam bahasa indonesia dikenal
dengan istilah mengerutkan dahi. Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam mengerutkan
dahinya bermuka masam dan juga berpaling menolehkan wajahnya melihat ke
arah yang lain. Apa yang menyebabkan Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam
berpaling? Allah SubhanAllahu wata’ala berfirman:
2. ْىاَأْلعْ َم َجا َء ُه َأن
“karena seorang buta telah datang (kepadanya)”
Allah SWT menurunkan ayat ini untuk menegur Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam. Seluruh ahli tafsir sepakat bahwasanya sebab turunnya ayat ini
adalah kisah tentang Abdullah bin Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu, seorang
sahabat yang buta ketika datang menemui Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam. Pada
saat itu Nabi shalallahu ‘alaihiwassallam sedang berdakwah kepada orang-orang
kafir dan para pembesar Quraish. Datang berbagai macam riwayat tentang nama-
nama para pembesar Quraisy tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan mereka
adalah ‘Utbah bin Robi’ah, Abu Jahl bin Hisyaam, dan al-‘Abbas bin ‘Abdil
Muthholib. Sebagian riwayat menyatakan Nabi sedang mendakwahi Umayyah
bin Kholaf.
Patut diketahui bahwa mendakwahi para pembesar adalah metode
dakwah yang benar. Karena jika para pembesar sekelompok orang kafir masuk
islam, para anak buahnya akan mengikutinya sehingga semakin banyak yang
masuk islam. Metode ini juga pernah dilakukan oleh Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam tatkala pergi ke Thaif karena merasa dakwahnya di Mekah
kurang berhasil. Beliau pergi ke Thaif dan mendakwahi para pembesarnya,
meskipun kemudian beliau diusir juga dari Thaif. Demikian juga Nabi menyurati
para raja untuk masuk Islam.
Allah Subhanallahu Wata’ala memakai kata ( اَأْل ْع َمىyang buta) karena
ada maslahat disitu. Seakan-akan Allah Subhanallahu Wata’ala menyatakan,
“Wahai Muhammad, engkau bermuka masam dan berpaling padahal orang yang
datang kepadamu adalah orang yang buta. Seharusnya orang buta lebih engkau
perhatikan. Dia juga memotong pembicaraanmu karena tidak melihat apa yang
sedang engkau lakukan.” Ini adalah teguran dari Allah Subhanallahu Wata’ala
atas sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam.
Tetapi perhatikanlah, para ulama menyebutkan bagaimana mulianya
Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam di sisi Allah sampai-sampai Allah
Subhanallahu Wata’ala menegur Nabi dengan uslub yang indah. Allah
Subhanallahu Wata’ala tidak mengatakan, “engkau bermuka masam dan
berpaling”. Padahal Allah sedang berbicara dengan Nabi shalallahu
‘alaihiwassallam Muhammad yang berposisi sebagai orang kedua karena Al-
Quran diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam Namun Allah
Subhanallahu Wata’ala tidak menggunakan kata ganti orang kedua melainkan
orang ke tiga “dia bermuka masam dan dia berpaling”. Ini adalah kelembutan
Allah Subhanallahu Wata’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwassallam.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
َ َي َّز َّكى َل َعلَّ ُه ي ُْد ِري
3. ك َو َما
“dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan
dirinya (dari dosa)”
Allah Subhanallahu Wata’ala menegur Rasulullah shallallahu
‘alaihiwassallam yang tidak menghiraukan Abdullah bin Ummi Maktum.
Barangkali dia datang ingin membersihkan dirinya dari dosa. Oleh karena itu,
para ulama mengatakan, “Orang yang datang kepadamu untuk mencari ilmu
hendaklah dia didahulukan.” Dan inilah yang dilakukan oleh Abdullah bin Ummi
Maktum, dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihiwassallam untuk
mencari ilmu, berdasarkan perkataannya, ْدنِيII“ َأرْ ِشYa Rasulullah shallallahu
‘alaihiwassallam berilah petunjuk kepadaku.” (Tafsir At-Thobari 24/102)
Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman yang artinya:
4. الذ ْك َرى َف َت ْن َف َع ُه َي َّذ َّك ُر َأ ْو
ِّ
Bagi yang berpendapat bahwa peringatan ini umum kepada kaum muslimin maka
َكاَّلmaknanya adalah “ َحقًّاSungguh benar”. Maka arti firman Allah ت َْذ ِك َرةٌ ِإنَّهَا َكاَّل
adalah “Sungguh benar, sungguh ini adalah peringatan”, sehingga jadilah ayat ini
peringatan kepada kaum muslimin secara umum.
12. َْذ َك َرهُ َشا َء َف َمن
“maka barang siapa menghendaki, tentulah dia akan memperhatikan-nya”
Barang siapa -diantara hamba Allah- yang mau maka akan mengambil
pelajaran dari-nya yaitu Al Qur’an. Bagi yang tidak mau mengambil pelajaran
maka silahkan.
Tidak akan bertambah kekuasaan Allah Subhanallahu Wata’ala karena
keimanan seseorang dan tidak akan berkurang pula kekuasaan Allah
Subhanallahu Wata’ala karena kekafiran sesesorang. Ada dan tiadanya makhluk
tidak akan mempengaruhi ke-Maha Mulia-an Allah Subhanallahu Wata’ala.
Kemudian setelah itu Allah Subhanallahu Wata’ala menyebutkan keagungan al-
Qur’an dengan berfirman :
ُ ُم َكرَّ َم ٍة
ٍ ص ُح
13. ف فِي
“dia (al-Qur’an) dalam lembaran-lembaran/kitab-kitab yang dimuliakan (di
sisi Allah)”
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “shuhuf” adalah
al-Lauh al-Mahfuuz, dan ada yang berpendapat as-Shuhuf adalah kitab-kitab suci
yang diturunkan kepada para Nabi.
َ م
14. ُْطه ََّر ٍة فُو َع ٍة َمر
“yang ditinggikan (dan) disucikan”
Sebagian ulama mengatakan bahwa Allah Subhanallahu Wata’ala
sedang berbicara tentang Al Qur’an. Yang ditinggikan yaitu kedudukannya yang
tinggi di sisi Allah Subhanallahu Wata’ala dan disucikan yaitu tidak ada
penyimpangan dalam Al Qur’an, juga tidak ada kebatilan, tidak pula perubahan,
semuanya disucikan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala.
Sebagian ulama juga mengatakan bahwa ini adalah dalil meskipun tidak
langsung hendaknya Al Qur’an diletakkan di atas barang-barang lainnya bukan
di bawah, karena Allah Subhanallahu Wata’ala mengatakan ٍةI َمرْ فُو َعyaitu Al
Quran itu terangkat. Meskipun konteks ayat ini berkaitan dengan Al Qur’an yang
ada di lahumul mahfudz yang dimuliakan oleh Allah Subhanallahu Wata’ala,
tetapi tidak ada salahnya tatkala kita di dunia mempraktekkan adab dengan cara
meletakkan Al Qur’an di atas bukan di bawah. Hal ini karena Al Quran berisi
firman-firman Allah Subhanallahu Wata’ala yang suci dan mulia.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :
15. َس َف َر ٍة ِبَأ ْيدِي
“di tangan para utusan (malaikat)”
16. َب َر َر ٍة ك َِر ٍام
“yang mulia lagi berbakti”
Malaikat adalah makhluk Allah Subhanallahu Wata’ala yang tidak
pernah bermaksiat. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman yang artinya:
“Mereka tidak pernah membangkang perintah Allah dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan” (QS At-Tahrim : 6)
Setelah itu, berlanjut ke pembahasan selanjutnya. Allah Subhanallahu Wata’ala
berfirman:
17.َأ ْك َف َرهُ َما اِإْل ْن َسانُ قُ ِت َل
“celakalah manusia, apa yang membuat dia kafir?”
Pada kalimat َأ ْكفَ َرهُ َماterdapat َماyang dalam bahasa arab, pada ayat ini
ada mengandung dua kemungkinan. Pertama, َماyang artinya istifhamiah
sehingga َأ ْكفَ َرهُ َماartinya adalah “apa yang membuat manusia kafir?”. Kedua, َما
takjubiah sehingga َرهُ َماI َ َأ ْكفartinya adalah “sungguh besar kekafirannya.” Dan
dua-duanya mungkin untuk menjadi tafsir dari ayat ini. Oleh karena itu,
seseorang tidak mungkin bisa menafsirkan Al Qur’an kecuali jika dia telah
menguasai bahasa arab, dan ilmu-ilmu lainnya, dia harus kuasai pula. Seperti
ilmu musthalah hadist karena dia harus mengerti mana riwayat-riwayat yang
shahih dan mana riwayat-riwayat yang lemah. Dia juga harus memahami dengan
baik nahwu, sharaf, dan ilmu bahasa. Terlebih lagi ilmu tafsir itu sendiri harus
dia kuasai. Sehingga sungguh sangat mengherankan jika ada orang yang
menafsirkan ayat Al Quran seenaknya sendiri, menafsirkan firman Allah
Subhanallahu Wata’ala tanpa ada ilmu. Ini adalah tindakan yang sangat
berbahaya.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala mengajak manusia
merenungkan mengapa mereka sombong dan kafir kepada Allah Subhanallahu
Wata’ala. Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :
18 َْخ َل َق ُه َشيْ ٍء َأيِّ ِمن
“Dari manakah Dia (Allah) menciptakannya?”
19. َْخ َل َق ُه ُن ْط َف ٍة ِمن
“dari setetes mani, Dia menciptakannya lalu menentukannya”
Pertama dia keluar dari kemaluan ayahnya berupa air mani dan kedua
ketika dilahirkan dia keluar dari kemaluan ibunya tempat keluarnya air kencing,
tetapi dia masih saja sombong dan congkak hingga tidak mau beribadah kepada
Allah Subhanallahu Wata’ala.
Adapun firman Allah ُ َّد َره/ “ َف َقlalu menentukannya”, yaitu menentukan
taqdirnya apakah dalam perut ibunya, apakah pendek atau tinggi, ganteng atau
tidak ganteng, celaka atau bahagia. Atau arti “menentukannya” yaitu
menyempurnakan penciptaannya, dengan membentuk anggota tubuhnya dalam
perut ibunya, atau artinya menentukannya dalam tingkatan-tingkatan
pembentukannya dari air mani, segumpal darah, segumpal daging, hingga
menjadi bentuk yang sempurna.
Kemudian Allah Subhanallahu
Wata’ala berfirman :
20. َيس ََّرهُ الس َِّبي َل ُث َّم
“kemudian jalannya Dia mudahkan”
Dalam bahasa arab terdapat istilah yang juga dikenal dengan kata
sambung sebagaimana dalam Bahasa Indonesia. Semisal huruf wa artinya dan,
tsumma artinya kemudian, fa artinya lalu. Kalau wa dalam bahasa arab tidak
menunjukkan tertib. Contohnya kalimat “Ja’a khalidun wa ‘Umar”, (datang
Khalid dan ‘Umar) maka belum tentu Khalid yang datang terlebih dahulu
dibanding ‘Umar bisa jadi ‘Umar lebih dahulu daripada khalid. Jika
menggunakan kalimat fa yang artinya lalu, contoh “Ja’a khalidun fa ‘Umar”
(datang Khalid lalu ‘Umar), maka Khalid datang lebih dahulu lalu ‘Umar. Hanya
saja jarak kedatangannnya tidak ada jarak, Khalid datang langsung diikuti dengan
kedatangan ‘Umar. Adapun jika kedatangan Khalid ada jarak yang lama dengan
kedatangan ‘Umar maka kalimatnya dalam bahasa arab yaitu “Ja’a Khalid
tsumma ‘Umar” (datang Khalid kemudian datang ‘Umar). Jadi, dalam bahasa
Arab dibedakan, kalau wa sekedar mengumpulkan, kalau fa tertib tetapi tidak ada
jarak waktu, kalau tsumma tertib dan ada jarak waktu.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman :
21. َفَأ ْق َب َره َأ َما َت ُه ُث َّم
“kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya”
Memang demikianlah yang terjadi, setelah dia keluar dari perut ibunya
dia tidak langsung mati melainkan hidup dulu, entah 30th, 50th, 100th dan
seterusnya. Setelah lama hidup di bumi Allah Subhanallahu Wata’ala membuat
dia meninggal kemudian menguburkannya.
Allah Subhanallahu Wata’ala menggunakan huruf َ” فlalu
menguburkannya” yang kata para ulama ini adalah dalil bahwasanya penguburan
mayat jangan ditunda-tunda.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
22. َأ ْن َش َرهُ َشا َء ِإ َذا ُث َّم
“kemudian jika Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali”
ِ َأ َم َرهُ َما َي ْق
23. ض َلمَّا َكاَّل
“sekali-kali tidak, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah kepadanya”
Ada yang menafsirkan ayat ini bahwa sang manusia yang kafir tidak
melaksanakan perintah Allah kepadanya. Dan ada yang menganggap ayat ini
umum mencakup mukmin juga, sehingga artinya bagaimanapun seorang manusia
berusaha, dia tidak akan bisa melaksanakan seluruh perintah Allah Subhanallahu
Wata’ala. Bagaimanapun seorang manusia itu bertakwa pasti ada perintah Allah
Subhanallahu Wata’ala yang terluputkan darinya. Mujahid berkata:
“Tidak seorangpun bisa menjalankan seluruh yang diwajibkan kepadanya,
selamanya” (Tafsir Ibnu Katsir 8/324)
Kemudian setelah Allah Subhanallahu Wata’ala mengajak manusia
untuk merenungkan penyebab mengapa para manusia kafir, apakah yang
membuat mereka sombong, padahal hendaknya mereka melihat hakekat
penciptaan mereka yaitu dari air yang hina. Allah Subhanallahu Wata’ala
kembali mengajaknya untuk merenungkannya sementara seluruh kenikmatan
telah Allah Subhanallahu Wata’ala sediakan.
Kemudian Allah Subhanallahu Wata’ala berfirman:
ُ َط َعا ِم ِه ِإ َلى ا ْن َسانُ َف ْل َي ْن
24. ظ ِر ِإْل
“maka hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya”
Hendaknya dia merenungi makanan yang dia makan, dari mana dia
mendapatkan makanan tersebut, apakah dia punya andil sehingga makanan
tersebut ada. Tentu saja jawabannya tidak, semua dari Allah Subhanallahu
Wata’ala. Buah apel itu dari mana? Bijinya dari mana? Dari Allah Subhanallahu
Wata’ala. Ditanam dimana? Di tanahnya Allah Subhanallahu Wata’ala. Yang
memberi pengairan siapa? Allah Subhanallahu Wata’ala. Semuanya adalah andil
dari Allah Subhanallahu Wata’ala.