Anda di halaman 1dari 76

HUKUM TELEMATIKA

NASKAH AKADEMIK PERUBAHAN

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Materi Perubahan

Juridisch
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan rahmat dan karunia-Nya, Naskah
Akademik Perubahan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dapat diselesaikan.

Rancangan Perubahan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik ini disebabkan adanya permasalahan serta kejanggalan yang terjadi pada
bunyi Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh karena itu,
perlu adanya perubahan pada Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.

Naskah Akademik ini disusun agar menjadi naskah yang komprehensif


sebagai dasar atau rujukan argumentasi dalam perubahan Undang-Undang Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.

Naskah Akademik rancangan perubahan ini disusun oleh Tim Juridisch


mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda Kelas A yang
terdiri dari:
Ketua : Mazaya Aliya Jovilina (2008016111)
Anggota : 1. Siti Yunianur (2008016003)
2. Agustina (2008016006)
3. Nadya Audrey (2008016019)
4. Ahlakul Karimah (2008016024)
5. Rita Evita Sari (2008016025)
6. Satria Amandhito (2008016026)
7. Rana Soraya (2008016034)
8. Fidya Fitra Munjir (2008016039)
9. Carol Agdensia Mangisi H. (2008016050)
10. Rinaldy Sandy (2008016103)
11. Silaban, Aldo Ruben H. (2008016105)
12. Fahmi Khoiruddin Rahmad (2008016109)
13. Irna Lolita Carolina S. (2008016113)
14. Marta Hutapea (2008016115)
15. Muhammad Fauzan Efendi (2008016119)
16. Denada Futri Talia (2008016126)
17. Nurul Ilmi Ramadhani (2008016136)
18. Dewi Nur Febryanty (2008016147)
19. Rachmad Riyadi (2008016265)
Dalam rangka memenuhi tugas pengganti Ujian Tengah Semester (UTS) pada
mata kuliah Hukum Telematika.

Kami menyadari bahwa Naskah Akademik ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan Naskah
Akademik ini.

Dengan berjalannya proses penyusunan Naskah Akademik ini kami


mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Naskah Akademik ini.

Samarinda, 28 September 2021

Tim Penulis

Juridisch
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... 1

DAFTAR ISI ................................................................................................... 3

ABSTRAK ..................................................................................................... 6

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 7


A. Latar Belakang ................................................................................ 7
B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 27
C. Tujuan dan Kegunaan ...................................................................... 28
D. Metode Penelitian ........................................................................... 29
1. Sumber Data .............................................................................. 29
2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 31
3. Metode Pendekatan ................................................................. 31
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ................................... 32

BAB II KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS ...................................... 34


A. Kajian Teoritik ................................................................................. 34
1. Negara Hukum .......................................................................... 34
2. Peraturan Perundang-Undangan ..............................................
3. Prinsip-prinsip Hukum Regulasi
Informasi dan Transaksi Elektronik............................................
B. Kajian Permasalahan terhadap Undang-Undang tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik .................................................. 63

BAB III LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ....................... 76


A. Landasan Filosofis ............................................................................ 76
B. Landasan Sosiologis .......................................................................... 78
C. Landasan Yuridis ............................................................................... 79
BAB IV ANALISIS (JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,
DAN MATERI PERUBAHAN PASAL, BERIKUT ALASANNYA) ............ 84
A. Sasaran, Jangkauan dan Arah Pengaturan ....................................... 84
1. Sasaran ....................................................................................... 84
2. Jangkauan dan Arah Pengaturan ................................................ 84
a. Penghinaan Merupakan Tindakan yang
Menyakiti Perasaan Dilakukan
Berulang Lebih dari 3 (tiga) kali ............................................ 84
b. Penghinaan Merupakan Tindakan yang Menimbulkan
Kekerasan antar Individu dan/atau Kelompok ..................... 85
B. Materi Muatan .................................................................................. 86
1. Pasal dan Ayat Perubahan Undang-Undang Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ............................................. d
2. Pasal dan Ayat yang ditambahkan dalam Perubahan
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ...................................................................................

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 121

A. Kesimpulan ............................................................................................ 121


B. Saran ...................................................................................................... 122

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 124

BIODATA SINGKAT TIM PENULIS ....................................................................... 129


LAMPIRAN RANCANGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK ...................................... 131
ABSTRAK
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia saat ini merupakan salah satu negara yang telah terlibat dalam
penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi, yang dibuktikan juga dengan
banyaknya pengguna internet dalam pengertian positif disamping banyaknya
juga penyalahgunaan internet itu sendiri. Kenyataan ini sangat kontras dengan
ketiadaan regulasi yang mengatur pemanfaatan teknologi informasi khususnya
dalam lingkup informasi dan transaksi elektronik.

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah perilaku dan pola


hidup masyarakat secara global. Perkembangan teknologi informasi telah pula
menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan
perubahan sosial, budaya, ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara
signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi
pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana
efektif perbuatan melawan hukum.

Kenyataan saat ini hal yang terkait dengan pemanfaatan teknologi


informasi tidak lagi dapat dilakukan pendekatan melalui sistem hukum
konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial
suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia
manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain
yang tidak pernah berhubungan sekalipun misalnya dalam pencurian dana kartu
kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian
merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik bukan saja
belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia, tetapi dalam
kenyataannya data dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah,
disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu
hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat,
bahkan sangat dahsyat. Teknologi infomasi telah menjadi instrumen efektif
dalam perdagangan global.

Contoh kongkret adalah untuk membayar zakat atau berkurban pada


saat Idul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat pribadi orang
cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli majalah orang
juga dapat membayar tidak dengan uang tapi cukup dengan mendebit pulsa
telepon seluler melalui fasilitas SMS. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
konvergensi di bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung,
seiring dengan ditemukannya Hak Cipta dan paten baru di bidang teknologi
informasi.1

Kegiatan siber meskipun bersifat virtual tetapi dikategorikan sebagai


tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang siber
sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan
ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat dijadikan obyek dan perbuatan,
sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang
lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual tetapi berdampak
sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik, dengan demikian
subyek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan
perbuatan hukum secara nyata.

Salah satu hal penting adalah masalah keamanan. Terdapat tiga


pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah
1
Pembahasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat pada Rosenoer, Jonathan, CyberLaw: The Law
of The Internet, Springer-Verlag, New York, 1996, hlm. 1-20.
pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga
pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan
teknologi memang mutlak dilakukan, mengingat tanpa pendekatan teknologi
suatu jaringan akan sangat mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara
ilegal dan tanpa hak.2 Oleh karena itu, pendekatan hukum dan sosial budaya-
etika sebagai bentuk pendekatan berikutnya menjadi sangat penting.
Pendekatan hukum dalam bentuk tersedianya hukum positif akan memberikan
jaminan kepastian dan sebagai landasan penegakan hukum (law enforcement)
jika terjadi pelanggaran.

Pelanggaran hukum dalam transaksi perdagangan elektronik dan


perbuatan hukum di dunia maya lainnya merupakan fenomena yang sangat
mengkhawatirkan, mengingat tindakan carding, hacking, cracking, phising,
booting, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian, penipuan, terorisme,
penyebaran informasi destruktif (cara pembuatan dan penggunaan bom) telah
menjadi bagian dari aktivitas perbuatan pelaku kejahatan internet dan
Information and Communication Techonology (ICT).

Pelanggaran hukum dengan instrumen teknologi informasi seringkali


sulit dipecahkan, karena di samping perbuatan melawan hukum itu dilakukan
oleh subyek yang menggunakan sarana teknologi canggih dan sulit dilacak
keberadaannya. Kegiatan dimakud seringkali dilakukan dari luar teritorial
Indonesia atau sebaliknya di mana subyeknya berada di Indonesia tetapi
modusnya dan lex loci delictinya terjadi di luar Indonesia, hal ini menyebabkan
pembuktiannya menjadi lebih sulit dibandingkan dengan perbuatan melawan
hukum biasa.

2
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2004, hlm. 2-4.
Persoalan lain yang lebih penting adalah karena perbuatan melawan
hukum di dunia siber sangat tidak mudah diatasi jika hanya mengandalkan
hukum positif konvensional. Berkaitan dengan persoalan ini Indonesia sudah
selayaknya merefleksikan diri dengan negara-negara lain seperti Malaysia,
Singapura, India, atau negaranegara maju seperti Amerika Serikat dan negara-
negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi yang
terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi ke dalam instrumen hukum
positif (existing law) nasionalnya.3

Hal ini sangat beralasan karena dalam kenyataan keseharian ulah para
cracker dan hacker dapat mengakibatkan dampak yang luas dan sangat fatal,
gangguan terhadap situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas data-data PEMILU
Legislatif Tahun 1999 adalah salah satu contoh. Contoh lain adalah padamnya
aliran listrik di Los Angeles, Chicago, Washington dan New York serta rusaknya
sistem kontrol penerbangan secara misterius di Kansas, Amerika Serikat. 4
Tindakan yang menimbulkan akibat yang lebih parah dapat pula terjadi, antara
lain berupa gangguan Instrument Landing System (ILS), berupa alat pemandu
pendaratan pesawat terbang yang digunakan pada pendaratan malam hari dan
cuacanya sangat buruk. Ilustrasinya, apabila seorang hacker berhasil menembus
sistem komputer ILS dan mengubah program sehingga telemetrinya berubah
dan telemetri tersebut dipancarkan oleh radar yang kemudian diterima oleh
pilot pesawat, maka dapat terjadi kesesatan informasi dimana posisi pesawat
sesungguhnya berada di ketinggian 1.000 meter, namun panel instrumen di
pesawat menunjukkan angka 2.000 meter. Karena keyakinan itu, pilot dapat

3
Lih. Ahmad M. Ramli, Eamonn Leonard, Paul Kimberley, et.al., Harmonisation and Enactment
Planning for E-Commerce Related Legislation, Jakarta, June 2004.
4
E. Brata Mandala, Ancaman Cyber Terrorism dan Strategi Penanggulangannya di Indonesia, Makalah
Seminar The Importance of Information System Security in E-Government, Tim Koordinasi Telematika
Indonesia, Jakarta, 28 Juli 2004, hlm. 4-5.
menurunkan ketinggian pesawatnya sampai 1.000 meter sehingga pesawat
dapat menghujam tanah.

Pada dasarnya setiap undang-undang yang dibuat oleh pembuat


undangundang merupakan jawaban hukum terhadap persoalan masyarakat
pada waktu dibentuknya undang-undang tersebut. Perkembangan hukum
seharusnya seiring dengan perkembangan masyarakat, sehingga ketika
masyarakatnya berubah atau berkembang maka hukum harus berubah untuk
menata semua perkembangan yang terjadi dengan tertib di tengah
pertumbuhan masyarakat modern, karena globalisasi telah menjadi pendorong
lahirnya era teknologi informasi.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada dasar pemikiran diatas, maka dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan yang ditentukan terkait dengan perlunya
perubahan ulang terhadap UU ITE. Beberapa permasalahan sebagaimana
dimaksud meliputi:
1. Apa masalah yang terjadi pada UU ITE?
2. Mengapa diperlukannya perubahan pada UU ITE?
3. Apa yang menjadi pertimbangan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
dari UU ITE?
4. Bagaimana jangkauan, arah pengaturan dan materi rancangan perubahan UU
ITE?
C. Tujuan dan Kegunaan
Berkenaan dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penyusunan naskah akademik adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada UU ITE kemudian dicari
penyelesaiannya.
2. Mengidentifikasi bunyi pasal yang bersifat ambigu dan/atau multitafsir.
3. Merumuskan pertimbangan gagasan yang diberikan guna kepastian dalam
Perundang-Undangan tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
4. Merumuskan jangkauan, arah pengaturan, dan materi perubahan rancangan
UU ITE.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah :


1. Sebagai acuan atau referensi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang
ITE tentang bunyi pasal yang bersifat ambigu atau multitafsir;
2. Sebagai landasan pemikiran bagi anggota DPR RI, terutama Pemerintah
dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang ITE tentang
bunyi pasal yang bersifat ambigu atau multitafsir sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.
3. Sebagai dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan Undang-
Undang ITE terkait bunyi pasal.

D. Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penyusunan naskah akademik ini
menggunakan metode kajian akademik secara komprehensif yaitu mengkaji
secara menyeluruh, terpadu, dengan memperhatikan hubungan satu sama lain,
meliputi antar bab, antar pasal, dan antar ayat.
1. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam menyusun naskah
akademik ini adalah sumber data sekunder yang berupa:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum
primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan,
catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundangan-undangan dan
putusan hakim yaitu diperoleh dari norma atau kaidah-kaidah dasar. 5
Bahan hukum primer dalam penyusunan naskah akademik ini adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan


mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang utama
adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar
ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang
mempunyai kualifikasi tinggi.6 Bahan hukum sekunder dalam
penyusunan naskah akademik ini terdiri dari buku, jurnal, artikel dan
literatur lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun


penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 7
Bahan hukum tersier dalam penyusunan naskah akademik ini terdiri dari
kamus besar Bahasa Indonesia dan kamus hukum.

5
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 42.
6
Ibid, hlm. 43.
7
Ibid.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan naskah
akademik ini adalah studi kepustakaan (library research), yaitu melakukan
inventarisasi dan mempelajari data pustaka, berupa Peraturan Perundang-
Undangan, buku-buku literatur, jurnal, serta media massa termasuk
informasi elektronik (internet) perihal UU ITE maupun permasalahan yang
dihadapi.

3. Metode Pendekatan
Metode pendekatan dalam penyusunan naskah akademik ini
menggunakan pendekatan:
a. Pendekatan historis (historical approach), yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Telah demikian
diperlukan oleh peneliti manakala peneliti memang ingin mengungkap
filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari. 8

b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu mengkaji


permasalahan dari segi hukum yang terdapat dalam Perundang-
Undangan di Indonesia yang terkait dengan permasalahan yang dikaji.
Kemudian sebagai upaya penajaman analisis dan menyeluruh (holistic),
maka digunakan juga pendekatan :
a) Yuridis normatif-filosofis, yaitu pendekatan yang menitikberatkan
pada seperangkat nilai-nilai ideal (filosofis) yang seyogianya
senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan, pengaturan,
dan pelaksanaan kaidah hukum;

8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Surabaya: PRenadamedia Group, 2005, hlm.
134.
b) Yuridis normatif-positivis, yaitu pendekatan atau kajian yang
memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang
menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa
yang benar.9

c. Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu pendekatan yang


beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin. Dengan
berangkat dari pemahaman terhadap teori, asas, doktrin yang ada. Maka,
dapat membimbing peneliti/penyusun untuk dapat mengaitkan antara
praktik yang ada dengan teori yang relevan, sehingga selanjutnya
peneliti/penyusun dapat menganalisis dalam rangka mencari alternatif
solusi terbaik untuk memecahkan hukum yang dikaji.

4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum


Analisis bahan hukum dalam penyusunan naskah akademik ini adalah
dengan melakukan studi pustaka. Studi pustaka digunakan untuk mengkaji
dan mempelajari buku-buku, jurnal, makalah, dan Peraturan Perundang-
Undangan. Metode analisis bahan penelitian yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu pengelompokkan dan
penyesuaian data data yang diperoleh dari suatu gambaran sistematis yang
didasarkan pada teori dan pengertian hukum yang terdapat dalam ilmu
hukum untuk mendapatkan kesimpulan yang signifikan dan ilmiah. Bahan
penelitian yang diperoleh dari penelitian, kemudian disajikan dan diolah
secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian;
9
Ronny Hanitjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988,
hlm. 11-12.
b. Hasil klasifikasi bahan hukum selanjutnya disestematisasikan;
c. Bahan hukum yang telah disistematiskan kemudia dianalisis untuk
dijadikan sebagai dasar dalam pengambilan kesimpulan nantinya.

Analisis secara kualitatif dapat diartikan sebagai cara analisis yang


lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu
masalah, sehingga memunculkan prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif secara mendalam (in-depth analysis), yaitu mengkaji masalah
secara kasus perkasus untuk kemudian dapat menghasilkan kajian yang
menyeluruh, rinci, dalam, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 10

10
Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif : Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian,
Malang: UMM Press, 2009, hlm 14-16.
BAB II

(KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIS)

A. Kajian Teoritik
1. Negara Hukum
Konsep tentang negara hukum merupakan konsep yang usianya
sudah teramat tua bagi sejarah gagasan pemikiran. Konsep negara hukum
tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah dan politik, dalam konsep negara
hukum banyak persoalan pertarungan ide dalam ranah teoritis.11 Akar
konsepsi pemikiran tentang negara hukum dalam sejarah dimulai sejak
Magna Charta 1215, hanya saja baru kemudian pada abad ke-XVII,
perbincangan tentang negara hukum sudah mulai serius dilakukan.

Lahirnya pemikiran mengenai negara hukum berasal dari tindakan


sewenang-wenang yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kekuasaan, kemudian lahirlah konsepsi negara hukum sebagai bentuk reaksi
atas tindakan sewenang-wenang tersebut sehingga terciptanya pembatasan
kekuasaan melalui perangkat hukum sehingga pemerintahan dalam suatu
negara dapat terkendali. Berdasarkan pemikiran Lord Acton orang berkuasa
cenderung bertindak sewenang-wenang, hal itu terlihat dari ungkapannya
yang sangat popular “Power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely”. Agar kesewenang-wenangan dapat dihindari dan hak asasi
manusia mendapat jaminan maka kekuasaan dari Sang Penguasa perlu
dibatasi oleh hukum.12

11
Satjipto Rahardjo¸ Ilmu Hukum, cetakan ketujuh, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 165.
12
Yuslim, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cetakan kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2016,
hlm. 2.
Negara hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahannya didasarkan atas hukum. Negara hukum secara sederhana
adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara
dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan
di bawah kekuasaan hukum. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus
dilakukan menurut hukum (everything must be done according to law).
Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum,
hukum harus ditempatkan sebagai suatu aturan main dalam
penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan.
Sementara tujuan hukum itu sendiri diletakkan untuk menata masyarakat
yang damai, adil dan bermakna. Artinya sasaran dari negara hukum adalah
terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakat yang
bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan atau
kebermaknaan.13

Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan


penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik
berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Negara hukum
pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
rakyat, yang mana hal tersebut dilandasi oleh dua prinsip; prinsip hak asasi
manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai
tujuan daripada negara hukum.14

13
Satjipto Rahardjo¸ Ilmu Hukum, cetakan ketujuh, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 165.
14
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, edisi revisi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007, hlm. 1-2.
Arief Sidharta15, Scheltema, merumuskan pandangannya mengenai
unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum secara baru yang meliputi 5 (lima)
hal, yaitu:
a. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang
berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
b. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara Hukum untuk bertujuan
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum
bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang
tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat
“predictable”. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas
kepastian hukum itu adalah:
a) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
b) Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan
tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan
pemerintahan;
c) Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undang-
undang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak;
d) Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional,
adil dan manusiawi;
e) Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan
undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas;
f) Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya
dalam undang-undang atau UUD.

15
B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera (Jurnal Hukum), “Rule
of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004, hlm.124-
125.
c. Berlakunya Persamaan (Similia Similius atau Equality before the Law)
Dalam Negara Hukum, Pemerintah tidak boleh mengistimewakan
orang atau kelompok orang tertentu, atau memdiskriminasikan orang
atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip ini, terkandung :
a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan
pemerintahan, dan
b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi
semua warga Negara.
d. Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan
yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk
mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas
demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu:
a) Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang
bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang
diselenggarakan secara berkala;
b) Pemerintah bertanggungjawab dan dapat dimintai
pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat;
c) Semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang
sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
politik dan mengontrol pemerintah;
d) Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional
oleh semua pihak;
e) Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat;
f) Kebebasan pers dan lalu lintas informasi;
g) Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk
memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
e. Pemerintah dan Pejabat mengemban amanat sebagai pelayan
masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung
hal-hal sebagai berikut:
a) Asas-asas umum perintahan yang layak;
b) Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang
bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan
perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi;
c) Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki
tujuan yang jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya,
pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien.

2. Peraturan Perundang-Undangan
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang penggunaan istilah
peraturan perundang-undangan. Dalam kenyataan, balk dalam naskah
peraturan perundang-undangan maupun dalam berbagai iiteratur Hukum
Tata Negara Indonesia, terdapat empat Istilah yang sering dltemui dalam
menyebut peraturan perundang-undangan, yaitu;
a. pertama, peraturan negara;
b. kedua, peraturan perundangan;
c. ketiga, perundang-undangan; dan
d. keempat, peraturan perundang-undangan.16

Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah diatur dalam


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Pengertian peraturan perundang-undangan menurut
para ahli sendiri sangatlah beragam.
16
Syihabudin “Kajian terhadap Jenis dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia”
JURNAL HUKUM. NO. 23 VOL 10, 2003, hlm. 49
Menurut pendapat Bagir Manan, bahwa peraturan perundang-
undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi
petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum. 17
Pengertian lain mengenai peraturan perundang-undangan menurut menurut
Attamimi adalah peraturan Negara, di tingkat Pusat dan di tingkat Daerah,
yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik bersifat
atribusi maupun bersifat delegasi18

Menurut Rosjidi Ranggawidjaja, istilah di atas tidak mutlak dipakai


secara konsisten, karena dalam konsteks tertentu lebih dipergunakan istilah
perundang-undangan karena dandalam konteks lain digunakan istilah
peraturan perundang-undangan19

Di dalam undang-undang republik indonesia nomor 12 tahun 2011


tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bab 1 pasal 1 ayat 2
“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.”

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus


dilakukan berdasarkan asas-asas yang sebagaimana disebutkan dalam
undang-undang republik indonesia nomor 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 5 Dalam membentuk

17
Bagir manan. Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia. Ind-Hill-Co, Jakarta, 1992, hlm.18
18
Rosjidi Ranggawidjaja. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia. Mandar Maju, Bandung,
1998, hlm.19.
19
Ibid, hlm. 17.
Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.20

3. Prinsip Hukum Regulasi Informasi dan Transaksi Elektronik


Dalam ruang siber (cyber space) pelaku pelanggaran seringkali
menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki
yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat
pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki
implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis
jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction
to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce),
dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).21

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal


beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu: 22 pertama, subjective
territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan
20
Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
21
Darrel Menthe, “Jurisdiction in Cyberspace: A Theory of International Sraces”, available at
http://www.mttlr.org/volfour/menthe.html, hlm. 2. Cf. Walker, Clive, Andrew Ashworth, The Criminal
Law Review, Special Edition, Sweet & Maxwell, 1998, hlm. 51 dst. Cf. Koop, BertJaap, (ed.), ICT Law
and Internationalisation, A Survey of Government Views, Kluwer Law International, 2000, hlm. 40 dst.
22
Lih. Ahmad M. Ramli, Perkembangan Cyber Law Global dan Implikasinya Bagi Indonesia, Makalah
Seminar The Importance of Information System Security in E-Government, Tim Koordinasi Telematika
Indonesia, Jakarta, 28 Juli 2004, hlm. 5-6.
berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya
dilakukan di negara lain. Kedua, objective territoriality, yang menyatakan
bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan
itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang
bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa negara
mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan
kewarganegaraan pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan
jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle
yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk
melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar
wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau
pemerintah, dan keenam, asas Universality. 23

Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait


dengan penanganan hukum kasus-kasus siber. Asas ini disebut juga sebagai
“universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa
setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku
pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan,
genosida, pembajakan udara, dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang
asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy,
seperti computer, cracking, carding, hacking, viruses dan lain-lain. Namun
perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk
kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum
internasional.

23
Ibid.
Oleh karena itu, untuk ruang siber dibutuhkan suatu hukum baru
yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat
berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang siber dapat diibaratkan sebagai
suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords.24 Secara
radikal, ruang siber telah mengubah hubungan antara legally significant
(online) phenomena and physical location.25

Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber


dimana pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan
cara-cara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya
kegiatan-kegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan
mengambil contoh tentang tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria)
pada abad pertengahan.26 Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang
siber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum disebut
sebagai Lex Informatica.

Sengketa-sengketa di ruang siber (cyber space) juga terkait dengan


Hukum Perdata Internasional, antara lain menyangkut masalah kompetensi
forum yang berperan dalam menentukan kewenangan forum (pengadilan
dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata internasional (HPI).
Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI: pertama, the principle of basis
of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan untuk
mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua, principle of
effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan
oleh di mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk

24
David R. Johnson and David Post, “Law and Borders : The Rise of Law in Cyberspace”, 481 Stanford
Law Review 1996, hlm. 1367.
25
Ibid, hlm.1370.
26
Ibid, hlm. 1389.
diperhatikan berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing
(enforcement of foreign judgement).

Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber


maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut: Pertama, The
Theory of the Uploader and the Downloader.27 Berdasarkan teori ini, suatu
negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan
downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya.
Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading
kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara,
dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan
perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang
menggunakan jurisdiksi ini.

Kedua, teori The Law of the Server. 28 Pendekatan ini memperlakukan


server di mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu yang dicatat sebagai
data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server
pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini
akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing. Ketiga,
The Theory of International Spaces.29 Ruang siber dianggap sebagai the fourth
space, yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik,
melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

Dalam RUU ITE, Yurisdiksi yang diterapkan berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum yang telah diatur oleh undang-undang ITE
baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang

27
Darrel Menthe, op.cit., hlm. 3 - 4
28
Ibid, hlm. 5.
29
Ibid, hlm. 7 – 8.
memiliki akibat hukum di Indonesia dengan mengacu kepada prinsip
universal interest jurisdiction.

Untuk Indonesia, regulasi hukum siber menjadi bagian penting dalam


sistem hukum positif secara keseluruhan. Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat perlu segera menuntaskan Rancangan Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (RUU ITE) untuk dijadikan hukum positif, mengingat
aktivitas penggunaan dan pelanggarannya telah demikian tinggi.

B. Kajian Permasalahan Terhadap Undang-Undang tentang Infomasi dan


Transaksi Elektronik
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat telah mengubah
hidup manusia menjadi lebih mudah karena kecanggihan dan daya kerjanya yang
efektif dan effisien. Keberadaan teknologi informasi awalnya hanya digunakan
kalangan tertentu saja, namun sekarang hampir seluruh lapisan masyarakat
sudah menggunakannya, baik instansi pemerintah maupun swasta.
Memanfaatkan dan kecanggihan serta kepraktisan teknologi informasi dalam
instansi pemerintah digunakan untuk mengelola semua jenis data, memberikan
informasi dan juga fasilitas kemudahan misalnya pelayanan public melalui situs
pemerintah secara online dan lain-lain. Dampak perkembangan dan kemajuan
teknologi informasi sedemikian pesat yang dirasakan melanda dunia termasuk
Indonesia. Globalisasi Informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat informasi dunia. Hal ini menyebabkan perubahan kegiatan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah
mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru yang berkaitan
dengan teknologi informasi. Sehingga mengharuskan dilakukannya pengaturan
mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik ditingkat nasional yang
dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan30

Pengertian teknologi informasi, menurut Pasal 1, Bab Ketentuan Umum


dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) adalah Suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan
informasi. Salah satu sarana implementasi dari penggunaan teknologi tersebut
adalah dengan menggunakan media seperangkat komputer yang dapat
mengolah semua data, sistem jaringan untuk menghubungkan komputer satu
dengan lainnya dan teknologi informasi dan telekomunikasi (TIK) yang digunakan
agar data dapat disebar dan dapat diakses secara global.

Setelah diberlakukannya UU ITE di Indonesia, terdapat batasan-batasan


tertentu dalam hal menyampaikan sesuatu melalui media social, merupakan
hukum maya (cyber law) yang pertama dimiliki Indonesia, dapat dikatakan
memiliki muatan dan cakupan luas dalam mengatur cyberspace. 31

Sejak kelahiran UU ITE tersebut, permasalahan dalam undang-undang


tersebut dan pasal-pasal pencemaran nama baik atau delik reputasi pada
undang-undang tersebut memiliki banyak cacat bawaan, kesimpang siuran
rumusan, dan inkonsistensi hukum pidana.

Undang-undang tersebut di atas seharusnya khusus diperuntukkan


mengatur perdagangan elektronik di internet, akan tetapi ternyata undang-
undang ini ikut mengatur hal-hal yang sebenarnya telah diatur dalam Kitab
30
Suyanto Sidik” DAMPAK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) TERHADAP PERUBAHAN
HUKUM DAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT” Jurnal Ilmiah WIDYA 1 Volume 1 Nomor 1 Mei-Juni 2013 hal : 2
31
Suyanto Sidik” DAMPAK UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) TERHADAP PERUBAHAN
HUKUM DAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT” Jurnal Ilmiah WIDYA 1 Volume 1 Nomor 1 Mei-Juni 2013 hal : 5
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)32, khususnya tentang penghinaan dan
pencemaran nama baik. Hal ini mengindikasikan adanya penduplikasian tindak
pidana yang justru rentan terhadap terjadinya ketidak pastian hukum sehingga
menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Duplikasi ini akhirnya dapat merugikan
masyarakat sendiri karena tidak tahu perbuatan mana yang diperbolehkan dan
yang tidak diperbolehkan dilakukan menurut hukum.

32
Amanda Permatasari & Junior Hendri Wijaya ”Implementasi Undang-Undang Intformasi dan
Transaksi Iman “Jurnal Penelitian Pers dan Komunikasi Pembangunan Vol. 23 No.1 Juni 2019: 27-41
BAB III

(LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS)

A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa Undang-Undang yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945. Gagasan landasan filosofis adalah perpaduan dari
substansi Bab II dan Bab III terutama landasan filosofis terkait dengan ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945). Landasan filosofis akan menjadi dasar dalam menyusun salah satu
konsiderans menimbang (unsur filosofis) dalam UU yang dibentuk.

Dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 disebutkan tujuan negara


Republik Indonesia antara lain membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini diperjelas dalam
ketentuan Pasal 28H ayat 1 33 menyebutkan setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 mengenai konsep


pemanfaatan sumber daya alam, dinyatakan bahwa,
“bumi, air, dan, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 34

33
Pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
34
Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Tujuan penguasaan negara atas sumber daya alam adalah mewujudkan
keadilan sosial dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini semakin
dipertegas dengan Pasal 34 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan”.35

B. Landasan Sosiologi
Secara sosiologis, UU ITE diberlakukan untuk kepentingan memenuhi
kebutuhan hukum masyarakat luas, termasuk hukum yang mencerminkan nilai-
nilai kebudayaan bangsa serta nilai-nilai Pancasila. Dalam kondisi masyarakat
modern sekarang ini, serta lajunya kemajuan Teknologi Informasi dan Elektronik
memungkinkan adanya penyebaran berita- berita yang proses penyebarannya
sangat singkat dimana berita ini menyebar dengan waktu yang singkat tanpa
masyarakat tau itu berita benar atau salah atau bahkan berita itu hoax yang
mengandung sara. Yang dimana berita Hoax tersebut menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (sara).

Melihat kondisi saat ini diperlukan suatu tindakan perangkat aturan yang
khusus mengatur tindakan masyarakat agar tidak menyalahgunakan teknologi
informasi dan elektronik dengan sembarangan,dan tindakan melakukan tentang
kejahatan komputer dan perlindungan hukum terhadap pemanfaatan teknologi
informasi, media dan komunikasi agar dapat digunakan masyarakat dengan baik.
Dan hal inilah yang menimbulkan lahirnya UU ITE, terdapat pada Pasal 26
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan peraturan

35
Pasal 34 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik.

Pemahaman masyarakat mengenai hukum sangat penting dikarenakan


adanya peraturan yang diketahui namun tidak dipahami akan dapat
membingungkan dan menimbulkan interpretasi yang mengarah pada situasi
yang tidak menentu. Oleh karena itu, wawasan mengenalkan hukum pada
masyarakat sangat penting agar masyarakat Indonesia menjadi paham hukum
serta memudahkan untuk menggerakan masyarakat menuju haluan negara.

Begitupula dengan lahirnya UU ITE ini, hal ini dapat melindungi setiap
masyarakat dan dengan Undang-Undang ini akan membuat setiap
manusia/masyarakat paham akan penggunaan teknologi informasi dan
elektronik sehingga tidak akan menimbulkan kerugian bagi orang lain maupun
terhadap diri sendiri. Sebagai negara hukum, maka hendaklah kita memahami
akan pentingnya hukum tersebut sehingga tujuan utama UU ITE ini tidak
berubag haluan tetapi tetap pada jalannya yaitu untuk memenuhi setiap hak
hukum masyarakat serta menimbulkan ketahan sosial yang lebih baik dan
penetaan masyrakat mengarah pada tujuan negara yang adil dan sejahtera

C. Landasan Yuridis
Secara Yuridis perubahan UU ITE dilakukan untuk mengisi kepentingan
kekosongan hukum mengandung landasan normatif mengenai etika dan moral
luhur serta dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat. Dengan hal ini ada pembentukan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP) yang dimulai dengan penyiapkan rancangan awal
pembangunan dan diakhiri dengan penyusunan rancangan akhir, dan dilanjutkan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bekerja sama dengan presiden untuk
kemudia disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang tentang RPJP Nasional.
RPJP memuat visi misi “Indonesia maju dengan sumber daya manusia yang
berkualitas dan pemenuhan bahan pangan guna kemakmuran masyarakat.

Dimana hal ini dilatar belakangi dengan banyaknya penyebaran berita


hoax yang didalamnya mengandung unsur sara, sehingga masyarakat menuntut
pengaturan interpresepsi hukum dengan tegas dan kuat dalam membrikan
sanksi bagi pelaku yang emnyebarkanluaskan berita bohong atau hoax.

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam UUD NRI


Tahun 1945 dalam Pasal 1 Ayat 336, dimana sebagai negara hukum maka semua
aspek keseluruhan peraturan atau norma hukum mengatur tentang hubungan
antara manusia adalam kehidupan bermasyarakat. Barang siapa melanggar
hukum maka akan dikenakan sanki atau bahkan dituntut oleh pihak yang
berwenang.37

Kondisi masyarakat indonesia yang semakin berkembang serta lajunya


kemajuan Teknologi Informasi dan Elektronik menuntut adanya akan kepastian
hukum dan keadilan yang kuat seta tegas, dalam menanggulangi beredarnya
informasi atau berita hoax. Hal inilah yang membuat adanya beberapa peraturan
dalam UU ITE mengalami perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.

Begitu pula dengan perubahan ancaman pidana dalam perbuatan


penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
36
Bunyi pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945; Negara Indonesia adalah Negara Hukum
37
Sugiarto Umar Said. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 59
permusuhan individu atau kelompok berdasarkan sara, dalam UU ITE adalah
upaya untuk merespon tanggapan serta pendapat masyarakat. 38 Tindakan ini
diharapkan menjadi landasan sehingga negara lebih sensitif dan responsif atas
kondisi yang terjadi, tanpa merubah tujuan pengaturan UU ITE itu sendiri.
Pendektan ini diharapkan dapat menimbulkan ketahan sosial yang lebih baik
dalam melakukan penataan masyarakat dan mengarah pada tujuan negara yang
adil, makmur dan sejahtera.

38
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad. Intisari Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm.
31.
BAB IV

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN MATERI PERUBAHAN PASAL

A. Sasaran, Jangkauan dan Arah Pengaturan


1. Sasaran
Penyusunan naskah akademik ini dilakukan dalam rangka perubahan
UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
mana Undang-Undang ini merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan
UU ITE lama. Namun demikian UU ITE kenyataanya masih belum mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan saat ini apalagi dalam rangka membagun
etika bagi pengguna media untuk menggunakan media sesial sesuai dengan
kebebasannya yang dijamin oleh konstitusi.

Adapun ditengah hiruk pikuk tahun politik ini lahirlah Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang ini
merupakan perubahan dari UU ITE lama dan lahir sebagai solusi
konstitusional dari negara guna mengatur etika bagi pengguna media dalam
menjalankan kebebasannya di media sosial. Tetapi dalam pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 belum mempu juga mengatasi
permasalahan dalam masyarakat sehingga Kemudian dalam naskah ini
mencari penyelesaiannya terkait permasalahan UU ITE ini serta
mengidentifikasi bunyi pasal yang masih bersifat ambigu atau multitafsir, dan
juga merumuskan pertimbangan gagasan yang diberikan guna kepastian
dalam perundang-undangan UU ITE, lalu merumuskan jangkauan, arah
pengaturan, dan materi perubahan UU ITE.
2. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Jangkauan dan arah pengaturan dalam rancangan perubahan UU ITE
meliputi ketentuan tindak pidana sehingga menjadi acuan dasar dalam
menetapkan penghinaan atau ujaran kebencian.

a. Penghinaan Merupakan Tindakan yang Menyakiti Perasaan Dilakukan


Berulang Lebih dari 3 (tiga) kali.
Arah pengaturan dalam rancangan perubahan UU ITE yang
mengatur untuk menetapkan bahwa sebuah penghinaan ialah tindakan
yang menyakiti perasaan seseorang dan tidak semua perbuatan
penghinaan itu bisa diadukan dengan satu kali penghinaan, namun
seseorang itu sudah lebih dari 3 (tiga) kali melakukan penghinaan
tersebut agar dapat terlaksana karena memiliki arah yang jelas, dan
menjadi acuan dasar dalam menentukan penghinaan.

Jangkauan pengaturan dalam rancangan perubahan UU ITE


memberikan pemahaman dan kejelasan bahwa suatu penghinaan
merupakan hal yang menyakiti perasaan seseorang dalam pelaksanaan
pengkajian dengan memberikan peringatan kepada seseorang yang
melakukan penghinaan.

b. Penghinaan Merupakan Tindakan yang Menimbulkan Kekerasan antar


Individu dan/atau Kelompok
Arah pengaturan dalam rancangan perubahan UU ITE ini
menambahkan bahwa seseorang tersebut melakukan suatu penghinaan
pada individu dan/atau kelompok sehingga menimbulkan kekerasan fisik
serta menimbulkan kerusakan benda, maka hukuman yang didapat
tercantum dalam UU ITE.

Jangkauan pengaturan dalam rancangan perubahan UU ITE


bahwa kekerasan fisik yang terjadi antar individu dan/atau kelompok
muncul karena sebuah penghinaan dan bahkan kekerasan fisik yang
terjadi dapat menimbulkan kerusakan benda.

B. Materi Muatan
1. Pasal dan Ayat Perubahan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
a. Pasal 27 Ayat (3)
Dalam mengatur ujaran kebencian yang memuat suatu
penghinaan dan pencemaran nama baik maka dalam naskah akademik ini
bertujuan untuk memberikan landasan penghinaan, sehingga yang pada
awalnya berbunyi,
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Menjadi berbunyi,
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan yang menyakiti hati serta dilakukan secara
berulang lebih dari 3 (tiga) kali dan/atau pencemaran nama baik.”
Dapat kita ketahui bahwa dalam pasal 27 ayat (3) menimbulkan
persepsi pada masyarat yang mengartikan bahwa pada isi pasal itu
memuat rumusan yang tidak jelas dan berpotensi disalahgunakan secara
sewenang-wenang dan dalam isi pasal yang memuat penghinaan dan
pencemaran nama baik itu apabila dilakukan dalam 1 (satu) kali itu bisa
saja yang terhina secara langsung melaporkan atau bahkan menuntut,
dan dalam naskah akademik ini dirumuskan bahwa apabila ada memuat
penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan dalam satu kali
maka tidak boleh dulu orang yang terhina melaporkan langsung kepada
pihak berwajib. Hal ini pihak yang terhina harus memberi teguran
terlebih dahulu atau peringatan sebanyak (3) kali kepada pihak yang
menghina. Jikalau dalam prosesnya orang yang menghina tetap saja
melakukan penghinaan secara berulang bahkan lebih dari tiga kali maka
pihak yang terhina boleh melaporkan atau menuntut orang yang
menghina.

b. Pasal 45 Ayat (3)


Pada Pasal 45 Ayat (3) merupakan satu kesatuan dari Pasal 27
Ayat (3), yang mana merupakan hukuman bagi pelaku penghinaan dan
pencemaran nama baik, maka Pasal 45 Ayat (3) yang pada awalnya
berbunyi,
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Menjadi berbunyi,
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan penghinaan yang menyakiti hati serta dilakukan secara
berulang lebih dari 3 (tiga) kali dan/atau pencemaran nama baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

2. Pasal dan Ayat yang ditambahkan dalam Perubahan Undang-Undang


tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
a. Pasal 28 Ayat (3)
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
dengan menggunakan kekerasan fisik pada individu dan/atau
kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) yang menimbulkan kerusakan benda”.

Meskipun penyebaran informasi yang ditujukan untuk


menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan saja, tentu dapat
menimbulkan kerugian berupa kekerasan fisik dan bahkan menimbulkan
kerusakan benda akibat kekerasan fisik yang dilakukan.

b. Pasal 45a Ayat (3)


Pada Pasal 45a Ayat (3) merupakan satu kesatuan dari Pasal 28
Ayat (3), yang mana merupakan hukuman bagi pelaku yang menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan dengan menggunakan kekerasan fisik
pada individu dan/atau kelompok serta dapat menimbulkan kerusakan
benda atas kekerasan fisik yang dilakukan berbunyi,
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan dengan menggunakan kekerasan fisik pada individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang menimbulkan kerusakan
benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.

Gagasan hukuman yang diberikan adalah dipidana dengan pidana


penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Hal ini dikarenakan setiap orang
itu menimbulkan kerugian berupa luka hasil kekerasan fisik, serta
menimbulkan kerugian atas kerusakan benda akibat kekerasan fisik yang
dilakukan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Trisna, F. R. (2019). Tindakan Hukum Terhadap Penyebaran Berita Bohong (Hoax) Di


Media Sosial. Maksigama, Vol. 13, No. 1.

Raharjo, A. (2002). Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi.


Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Biodata Singkat Tim Penulis

(JURIDISCH)

1. Nama : Siti Yunianur


NIM : 2008016003
Tempat, Tanggal Lahir : Tanjung Selor, 15 Juni 2002
Nomor Telepon/WA : 085392167339

2. Nama : Agustina
NIM : 2008016006
Tempat, Tanggal Lahir : Solan,18 Agustus 2002
Nomor Telepon/WA : 082279535643

3. Nama : Nadya Audrey


NIM : 2008016019
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 18 Oktober 2002
Nomor Telepon/WA : 082324976645

4. Nama : Ahlakul Karimah


NIM : 2008016024
Tempat, Tanggal Lahir : Tenggarong, 17 Maret 2003
Nomor Telepon/WA : 082253279672

5. Nama : Rita Evita Sari


NIM : 2008016025
Tempat, Tanggal Lahir : Lamongan, 29 Januari 2002
Nomor Telepon/WA : 0895700251744
6. Nama : Satria Amandhito
NIM : 2008016026
Tempat, Tanggal Lahir : Babulu Darat, 18 Oktober 2001
Nomor Telepon/WA : 081348213556

7. Nama : Rana Soraya


NIM : 2008016034
Tempat, Tanggal Lahir : Kota Solok/Padang, 23 Juli 2001
Nomor Telepon/WA : 085259034680

8. Nama : Fidya Fitra Munjir


NIM : 2008016039
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 18 Desember 2002
Nomor Telepon/WA : 085249515187

9. Nama : Carol Agdensia Mangisi H.


NIM : 2008016050
Tempat, Tanggal Lahir : Berau, 17 Agustus 2002
NomorTelepon/WA : 082158423685

10. Nama : Rinaldy Sandy


NIM : 2008016103
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 20 Juni 2002
Nomor Telepon/WA : 081351799186

11. Nama : Silaban, Aldo Ruben Halomoan


NIM : 2008016105
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 20 Oktober 2002
Nomor Telepon/WA : 082193093813

12. Nama : Fahmi Khoiruddin Rahmad


NIM : 2008016209
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 31 Maret 2001
Nomor Telepon/WA : 082190363519

13. Nama : Mazaya Aliya Jovilina


NIM : 2008016111
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 15 Desember 2001
Nomor Telepon/WA : 081549136065

14. Nama : Irna Lolita Carolina Simamora


NIM : 2008016113
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 25 Juni 2002
Nomor Telepon/WA : 081258294995

15. Nama : Marta Hutapea


NIM : 2008016115
Tempat, Tanggal Lahir : Sitiris-tiris, 01 April 2000
Nomor Telepon/WA : 081375912987

16. Nama : Muhammad Fauzan Efendi


NIM : 2008016119
Tempat, Tanggal Lahir : Tuana Tuha, 19 September 2002
Nomor Telepon/WA : 081349619610
17. Nama : Denada Futri Talia
NIM : 2008016126
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 25 Desember 2001
Nomor Telepon/WA : 0895329362613

18. Nama : Nurul Ilmi Ramadhani


NIM : 2008016136
Tempat, Tanggal Lahir : Makassar, 30 November 2001
Nomor Telepon/WA : 082197970958

19. Nama : Dewi Nur Febryanty


NIM : 2008016147
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 01 Febuari 2003
Nomor Telepon/WA : 082193090384

20. Nama : Rachmad Riyadi


NIM : 2008016265
Tempat, Tanggal Lahir : Samarinda, 24 Januari 2001
Nomor Telepon/WA : 081214302001
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk


tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringanKomputer, dan/ atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan,
menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan
informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh
penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.*)

6a. Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara Negara,


Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau
mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau
keperluan pihak lain.*)

7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau


lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk
melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara
otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang, memuat
Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum
para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi.
sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat
Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi;Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh,
profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan
kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi
Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik
lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan
Tandatangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau
sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik, yang
berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di
antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau
Sistem Elektronik lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem
Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan
Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi
melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik
untuk menuju lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara
asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan,
baik yang. berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
PASAL 2

Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 3

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan


berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan
kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.

Pasal 4

Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan


tujuan untuk:

a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi


dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan
pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi
Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III

INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK

Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya


merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
UndangUndang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6

Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Pasal 7

Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak
hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat
berdasarkan Peraturan Perundangundangan.

Pasal 8

(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik telah dikirim dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke
suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah
memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali Pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali
Penerima yang berhak.
(3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem Elektronik tertentu untuk
menerima Informasi Elektronik, penerimaan terjadi pada saat Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik yang
ditunjuk.
(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam
pengiriman atau penerimaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik,
maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada di luar kendali
Pengirim;
b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada di bawah kendali
Penerima.

Pasal 9

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus


menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawarkan.

Pasal 10

(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat


disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah
selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda
Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah
waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda
Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah
memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban
memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurangkurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari
penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda
Tangan Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang
dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain
yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang
yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik
atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika: 1.
Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik telah dibobol; atau 2. keadaan yang diketahui oleh Penanda
Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat
bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan
Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan
semua informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum
yang timbul.

BAB IV

PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM ELEKTRONIK

Bagian Kesatu

Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik

Pasal 13

(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik


untuk pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu
Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas: a. Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik Indonesia; dan b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum Indonesia
dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di Indonesia harus
terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 14

Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)


sampai dengan ayat (5) harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti
kepada setiap pengguna jasa, yang meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan;
b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat Tanda Tangan
Elektronik; dan
c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan keamanan
Tanda Tangan Elektronik.

Bagian Kedua

Penyelenggaraan Sistem Elektronik

Pasal 15

(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem


Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap
beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan
Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat
dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak
pengguna Sistem Elektronik.

Pasal 16

(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap


Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang
memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan
Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik
tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan,
dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Pasal 17

(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik


ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi
berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para
pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi
Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik
internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang
berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik
internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian
sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin
timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional.

Pasal 19

Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem


Elektronik yang disepakati.

Pasal 20

(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat
penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui
Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21

(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui
pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa;
atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara
Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen
Elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem
Elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen
Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen
Elektronik akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum
menjadi tanggung jawab pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat
dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak
pengguna Sistem Elektronik.

Pasal 22

(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen
Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan
perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PERLINDUNGAN HAK


PRIBADI

Pasal 23

(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat berhak
memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus didasarkan pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha
secara sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang
dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang lain,
berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.

Pasal 24

(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masyarakat.


(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain oleh masyarakat,
Pemerintah berhak mengambil alih sementara pengelolaan Nama Domain yang
diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah Indonesia dan Nama
Domain yang diregistrasinya diakui keberadaannya sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 25

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya


intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi
sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.

Pasal 26

(1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap


informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang
harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-
Undang ini.
(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah
kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan
pengadilan. *)
(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme
penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah
tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.*)
(5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur
dalam peraturan pemerintah.*)
BAB VII

PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan yang menyakiti
hati serta dilakukan secara berulang lebih dari 3 (tiga) kali dan/atau pencemaran
nama baik. **)
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dengan
menggunakan kekerasan fisik pada individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang
menimbulkan kerusakan benda.**)

Pasal 29

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti
yang ditujukan secara pribadi.

Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk
memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar,
menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik
Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem
Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan
apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan,
dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
sedang ditransmisikan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan
hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang
kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. *)
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.*)

Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara
apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara
apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang
tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau
mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Pasal 34

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan,
menyediakan, atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara
khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang
ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika
ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik,
untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan
hukum.

Pasal 35

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang
mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Pasal 37

Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap
Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

BAB VIII

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 38

(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang


menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi
Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi
Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundangundangan.

Pasal 39

(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-


undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para
pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 40

(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi


Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai
akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan


Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.*)

(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a),


Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan
kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses
terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
yang melanggar hukum.*)

(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik
strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat
Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya
ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen
Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan
perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan
pemerintah.*)
Pasal 41

(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi


melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi
Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan
melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi
dan mediasi.

BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 42

Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang


ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan
dalam UndangUndang ini.

Pasal 43

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan
terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau
keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.*)
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait
dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. *)
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan
umum. *)
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut
diduga melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan
dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan
sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau sarana
kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang
dari ketentuan peraturan perundangundangan;
h. membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang terkait tindak pidana
di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat
diakses;
i. meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem Elektronik atau informasi
yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik kepada Penyelenggara Sistem
Elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi
dan Transaksi Elektronik;
j. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau k.
mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan hukum acara
pidana.*)
(6) Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum
acara pidana.*)
(7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. *)

(7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. *)

(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk
berbagi informasi dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.*)
Pasal 44

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut


ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. alat bukti lain berupa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 45

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). *)
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). *)
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan yang menyakiti
hati serta dilakukan secara berulang lebih dari 3 (tiga) kali dan/atau pencemaran
nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).**)
(4) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).*)
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan.*)

Pasal 45A*)

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).*)
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).*)
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan dengan
menggunakan kekerasan fisik pada individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang
menimbulkan kerusakan benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).**)

Pasal 45B*)

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti
yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).*)

Pasal 46

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 47

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 48

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 49

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 50

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 51

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 52

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan
pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau
yang digunakan untuk layanan publik dipidana dengan pidana pokok ditambah
sepertiga.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem Elektronik serta
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Pemerintah dan/atau
badan strategis termasuk dan tidak terbatas pada lembaga pertahanan, bank
sentral, perbankan, keuangan, lembaga internasional, otoritas penerbangan
diancam dengan pidana maksimal ancaman pidana pokok masing-masing Pasal
ditambah dua pertiga.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua
pertiga.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan Perundang-undangan


dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54

(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun setelah
diundangkannya Undang-Undang ini.

Anda mungkin juga menyukai