HUKUM ISLAM
Standar Kompetensi
Setelah membaca dan mengikuti kuliah pada bab ini, diharapkan :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian hukum Islam
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian ilmu fiqih
3. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian hukum fiqih
4. Mahasiswa dapat menjelaskan ruang lingkup hukum Islam
5. Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan hukum Islam
6. Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri hukum Islam
7. Mahasiswa dapat menjelaskan sumber hukum Islam dan acuannya
8. Mahasiswa dapat menjelaskan Al Quran sebagai sumber hukum Islam dan karakternya
9. Mahasiswa dapat menjelaskan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dan acuannya
10. Mahasiswa dapat menjelaskan Ijtihad dan macam-macamnya
11. Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi dan tujuan ukum Islam dalam
kehidupan masyarakat
A. Pengertian-Pengertian Dasar
Secara umum, hukum dapat didevinisikan sebagai peraturan yang dibuat oleh
penguasa atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat; undang-undang,
untuk mengatur pergaulan hidup manusia; patokan atau kaidah mengenai suatu peristiwa;
keputusan yang ditetapkan oleh hakim. Yang disebut penguasa dalam kaitannya dengan
hukum adalah Tuhan, Utusannya (Nabi dan Rasul), para penguasa yang berwujud manusia
seperti sulthan, khalifah, dan Raja dalam Negara yang system pemerintahannya monarchi.
Presiden, Perdana Mentri, MPR, DPR, dalam system pemerintahan republic memeliki
wewenang menciptakan hukum atau perundang-undangan. Para ulama mujtahid berhak
menemukan sesuatu hukum tertentu melalui ijtihad terhadap benda, hal, atau peristiwa dari
segi halal, haram, makruh, sunnah, atau mubahnya.
Hukum Islam juga dapat didevinisikan sebagai aturan, patokan, kaidah undang-
undang yang berasal dari Islam untuk kehidupan manusia secara menyeluruh. Hukum ini
hanya berlaku di dalam Islam, meskipun hukum Islam ini memuat sikap dan ketentuan hukum
tentang sesuatu di luar Islam, contohnya adalah “wajib melindungi keselamatan kafir dhimmi,
orang non muslim yang tidak memusuhi Islam berada di wilayah kekuasaan Islam (ad-daar
al-Islam).
Dalam literatur Islam ada dua macam dasar hukum Islam, yaitu :
a. Syariah
Syariah, arti dasarnya adalah menuju air. Air adalah simbol kehidupan, artinya setiap
manusia memerlukan syariah untuk melangsungkan kehidupannya. Syariah mengatakan
bahwa ‘Wa laa taqrabuu az-ziina innahuu kaana faahisyatan wa saa a sabiila (Janganlah
kamu sekalian dekat-dekat dengan perzinaan karena (zina) itu sejelek-jeleknya cara hidup, –
QS. Al-Isra’/17: 32). Pelarangan zina dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup. Jika
zina tidak dilarang, orang melakukan semua, pasti semua terkena penyakit yang mematikan
seperti firus HIV-AIDS. Jika firus ini mewabah secara universal, dalam tempo yang singkat
tentu manusia habis binasa karena tidak bisa melakukan regenerasi biologis.
Syariah juga diartikan peraturan dari Allah dan Rasulullah untuk mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah, mausia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan alam
semesta. Contoh hubungan antara manusia dengan Tuhan adalah shalat, berdoa, berzikir.
Dalam berdoa umpamanya, manusia mengadu akan kesulitan hidupnya, mengharapkan belas
kasihan-Nya, memohon tidak terkena nasib sial. Kegiatan ini dilakukan di malam hari, di
tempat yang sunyi, sambil menangis karena berbagai perasaan yang semuanya dalam kadar
maksimal. Contoh syariah mengenai hubungan antara sesama manusia adalah sillaturrahim
dan tolong-menolong dalam urusan kebaikan dan ketakwaan atas dasar pelaksanaan perintah
“. . .Ta’aawanuu ‘ala al-birri wa at-taqwaa . . (Tolong-menolonglah kamu dalam urusan
kebaikan dan ketakwaan . . QS. Al-Maidah/5: 2). Contoh syariah hubungan manusia dengan
alam semesta adalah larangan berbuat kerusakan di muka bumi: “Walaa tufsiduu fi al-ardli
ba’da ishlaahihaa . .(janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di bumi ini sesudah tertata
dengan baik . . . QS. Al-A’raf/7: 56).
Syariah merupakan aturan yang mutlak benar tidak bisa dan tidak boleh diubah, dan
diterima manusia atas dasar iman untuk dilaksanakan. Sekali Allah berfirman “Qul
Huwallaahu Ahad” Selamanya demikian, tidak boleh ditambah umpama Qul Huwallaahu
Ta’aala Aghad) atau dikurangi umpama Huwallaahu Ahad, dan tidak boleh pula diganti
terjemahannya dalam bahasa apa pun umpama “Katakan olehmu Hai Muhammad bahwa Dia
itu Esa” sebagai firman Allah. Ungkapan ini hanya boleh dikatakan firman Allah yang artinya
“Katakanlah olehmu Hai Muhammad bahwa Dia itu Esa”.
b. Fiqih
Kata ‘fiqih’ berasal dari kata ‘faqaha’ yang berarti paham atau mengerti. Kumpulan
pemahaman sistematis terhadap peraturan-peraturan Allah disebut Ilmu Fiqih.
Bagaimana sebenarnya korelasi antara syariah dengan ilmu fiqih ? Pada abad I-II H,
syariah identik dengan fiqih, identik pula dengan ad-din, yakni agama itu sendiri. Pengertian
semacam ini dapat dirujuk pada firman Allah sebagai berikut:
Artinya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” …. (QS. At-
Taubah : 122)
Potongan ayat “liyatafaqqahuu fi ad-diin” inilah yang menunjukkan fiqih identik
dengan agama. Atas dasar perkembangan ilmu, pada abad akhir II H dan seterusnya Ilmu
fikih merupakan salah satu bagian dari syariah, sejajar dengan ilmu-ilmu lain seperti ilmu
kalam, hadits, tafsir, dan ilmu akhlak. Ilmu fiqih mengkhususkan pada aturan perilaku
manusia dipandang dari salah satu lima putusan hukum (ahkaam al-khamsah), yaitu: wajib,
sunnah, mubah atau halal, haram, dan makruh.
Hukum Islam 131
Setelah seseorang mengaku memeluk Islam dengan inisiasi atau credo, yaitu
mengucapkan syahadad, kapan pun ia tidak terlepas dari kontrol hukum yang lima: haram,
makruh, wajib, sunnah, dan mubah tersebut. Dia tidak pernah netral atau berada di luar
kawasan Islam.
Dalam sehari semalam, seorang muslim pasti keluar masuk pada salah satu putusan
hukum yang lima itu. Sebaiknya, dan mestinya begitu, ia senantiasa berada di bilik
pelaksanaan wajib dan sunnah. Sekuat mungkin jangan berada dalam bilik haram dan makruh,
artinya jangan berbuat sesuatu yang hukumnya haram atau makruh. Banyak Ulama’
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa orang yang senantiasa gemar berbuat yang makruh juga
menjadi dosa alias haram.
Karenanya akan merugi besar kalau seseorang terlalu lama berada di bilik hukum
haram karena akibatnya adalah dosa yang berlanjut pada azab atau siksaan: siksa dunia, siksa
kubur, dan siksa akhirat. Sebaliknya tentu akan beruntung besar jika seseorang tidak mau
memasuki bilik haram karena kompensasinya ia memperoleh pahala yang berlanjut pada
kenikmatan dan surga.
Sementara itu, sebuah pertanyaan yang layak untuk disisipkan adalah bagaimana
menerapkan term (istilah) Hukum Islam di Indonesia ? Karena Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan Negara Pancasila, dalam arti bukan Negara agama maupun Negara
sekuler, di samping Negara ini memiliki jiwa ‘Bhinneka Tunggal Eka’, maka di Negara ini
memerlakukan berbagai macam hukum perundang-undangan, yaitu ada hukum Islam, hukum
positif, dan hukum adat. Syariah dimasukkan dalam hukum Islam. Tetapi, di sisi lain, terapan
istilah ‘syariah’ dipadankan dengan istilah ‘Islamic law’ dengan menggunakan istilah asing
(Inggris) menghindari istilah ‘hukum Islam’ dan istilah ‘fiqih’ dipadankan dengan istilah
‘Islamic jurisprudence’. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, kalau kita sedang
membahas rukun wudlu, rukun shalat, dan rukun puasa, kita tidak membahas syariah,
melainkan sedang membahas ilmu fikih atau Islamic jurisprudence. Kalau kita sedang
mencari tahu apa kandungan ayat 183 dari surat al-Baqarah, yaitu tentang perintah puasa
Ramadlan, kita sedang berbahasan di ranah syariah.
Sunnah dan yang terkhir solusinya Ar Ra’yu (Ijtihad Ulama) yang tetap berpedoman pada Al
Quran dan As Sunnah.
Ulama’ yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Diantara mujtahid yang terkenal
dan memiliki otoritas (menjadi panutan masyarakat luas) di kalangan umat Islam di
zamannya, bahkan generasi sesudahnya antara lain: Imam Malik (714-798 M), Imam Abu
Hanifah (699-767 M), Imam Syafi’i (767-854 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (780 – 855
M).
Adapun hasil keputusan hukum yang berasal dari ijtihad antara lain: Ijma’, qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah.
a. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid tentang hukum seseuatu
peristiwa atau hal yang belum ditetapkan hukumnya dalam Al Quran maupun Hadits.
Contohnya adalah :
1) Keputusan MUI [terdiri atas sejumlah personil yang tergabung dalam
komisi fatwa] memutuskan ajino moto haram hukumnya, memberikan label halal pada
produk-produk tertentu dalam hal makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika
(MMOK).
2) Sekelompok Ulama’ Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa
merokok hukumnya haram karena memandang merokok itu merugikan kesehatan si
perokok atau orang-orang yang berada di sekitarnya.
3) Ulama Tarjih Muhammadiyah yang terdiri atas sejumlah personil dari
perwakilan-perwakilan wilayah menetapkan bahwa dalam menetapkan hilal Ramadlan
maupun Idul fitri dan Idul Adha menggunakan metode hisab hakiki, sedang ulama’
dari Nahdlatul ‘Ulama’ menetapkan hilal satu Ramadlan maupun hilal untuk lebaran
menggunakan metode rukyah, melihat dengan mata telanjang terbitnya bulan.
b. Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum atas sesuatu yang tidak
disebutkan dalam Al Quran atau Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
lain yang telah ditetapkan dalam Al Quran maupun Hadits karena ada kesamaan sesuatu
(‘illat, qarinah). Qiyas merupakan istinbathul hukmi ciptaan Imam Syafi’i. Contoh-
contoh keputusan hukum atas dasar qiyas adalah ;
1) Dalam teks atau nash (QS. al-Maidah/5 : 90) disebutkan bahwa khamer itu
haram karena memabukkan. Di luar teks atau nash ada minuman yang disebut Cong
yang, vodka, wiski, irengan, ketan hitam, ciu, jenewer, tuak, dan manson, atau bentuk
tablet dan kapsul seperti pil koplo, ekstasi, sabu-sabu, tau masih dalam bentuk alami
seperti ganja, meriyuana, opium). Antara Khamer dan aneka minuman, tablet, kapsul,
atau cairan untuk disuntikkan yang disebutkan ini dihukumi haram. Ketetapan haram
ini karena ada kesamaannya dengan khamer, yaitu memabukkan.
2) Meng-qadla’ Shalat yang ditinggalkan karena bepergian. Dalam Teks Al
Quran maupun Hadits tidak disebutkan tentang qadla’ shalat. Yang ditentukan untuk
qadla’ antara lain adalah puasa Ramadlan (QS. al-Baqarah/2 : 184). Di antara
keduanya ada kesamaannya, yaitu sama-sama rukun Islam. Di Indonesia, dari
kelompok NU, atau umumnya penganut mazhab Syafi’iyyah melaksanakan ketentuan
hukum meng-qadla’ shalat. Muhammadiyah tidak melaksanakan ketentuan ini. Dalam
keadaan apa pun selagi akal masih waras, shalat harus dilaksanakan sesuai
kemampuan sebagaimana dijelaskan menurut syara’. Jika seseorang tertidur pulas dan
begitu bangun sudah jam 6.30, di saat itu pula ia harus melaksanakan shalat subuh
dengan tidak menamakan qadla’ tetapi adaa’. Perbedaan ini tidak perlu diperpanjang
lebar karena tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Yang penting adalah
Hukum Islam 137
melaksanakan shalatnya itu dengan harapan Allah menerimanya sebagai amal ibadah
yang bernilai amal shalat.
c. Istihsan adalah meninggalkan hukum sesuatu yang telah ditetapkan
berdasarkan syara’ karena ada dalil lain yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya adalah perintah melakukan shalat Jum’at berlaku secara umum bagi setiap
orang Islam (QS.al-Jum’ah/62:9). Kemudian ada Hadits yang mengecualikan untuk tidak
melakukan shalat Jum’at, yaitu: wanita, anak-anak, orang sakit, dan manula (manusia usia
lanjut) yang telah tidak mampu berjalan. Maka bagi mereka, tidak perlu melakukan shalat
jumatan di masjid secara berjamaah. Mereka bisa shalat jumat dua rakaat di rumah atau
shalat luhur empat rakaat di rumah.
d. Maslahah mursalah adalah menetapkan sesuatu hukum yang tidak
disebutkan baik dalam Al Quran maupun Hadits karena secara umum dipandang baik,
pantas, atau memiliki nilai kemaslahatan yang luas. Contohnya adalah pakaian yang
digunakan untuk shalat terkena darah dari seekor nyamuk. Darah adalah najis, tetapi
karena terlalu sedikit, maka tidak mengapa (ma’fu) untuk shalat. Adanya KUA di
Indonesia, ini dimaksudkan untuk kemaslahatan keluarga.
Latihan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’aan Al-Kariim
Daud Ali, Mohammad, Pendidikan Agama Islam di Perguran Tinggi , Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005
Fyzee, Asaf A.A., Outlines of Mohammedan Law, London: Oxford University Press, 1988.
Hasbullah, Bakry, Suatu Tinjauan Mengenai Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: [Makalah tak
diterbitkan], 1982.
Khalaf, ‘Abd al-Wahhaab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (terj.) Jakarta: Rajawali Press, 1982.
“Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta”, Pendidikan
Agama Islam, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2002.
Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam. Bandung:
al-Ma’arif, 1993.