Anda di halaman 1dari 11

BAB IX

HUKUM ISLAM

Standar Kompetensi
Setelah membaca dan mengikuti kuliah pada bab ini, diharapkan :
1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian hukum Islam
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian ilmu fiqih
3. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian hukum fiqih
4. Mahasiswa dapat menjelaskan ruang lingkup hukum Islam
5. Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan hukum Islam
6. Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri hukum Islam
7. Mahasiswa dapat menjelaskan sumber hukum Islam dan acuannya
8. Mahasiswa dapat menjelaskan Al Quran sebagai sumber hukum Islam dan karakternya
9. Mahasiswa dapat menjelaskan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dan acuannya
10. Mahasiswa dapat menjelaskan Ijtihad dan macam-macamnya
11. Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi dan tujuan ukum Islam dalam
kehidupan masyarakat

A. Pengertian-Pengertian Dasar
Secara umum, hukum dapat didevinisikan sebagai peraturan yang dibuat oleh
penguasa atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat; undang-undang,
untuk mengatur pergaulan hidup manusia; patokan atau kaidah mengenai suatu peristiwa;
keputusan yang ditetapkan oleh hakim. Yang disebut penguasa dalam kaitannya dengan
hukum adalah Tuhan, Utusannya (Nabi dan Rasul), para penguasa yang berwujud manusia
seperti sulthan, khalifah, dan Raja dalam Negara yang system pemerintahannya monarchi.
Presiden, Perdana Mentri, MPR, DPR, dalam system pemerintahan republic memeliki
wewenang menciptakan hukum atau perundang-undangan. Para ulama mujtahid berhak
menemukan sesuatu hukum tertentu melalui ijtihad terhadap benda, hal, atau peristiwa dari
segi halal, haram, makruh, sunnah, atau mubahnya.
Hukum Islam juga dapat didevinisikan sebagai aturan, patokan, kaidah undang-
undang yang berasal dari Islam untuk kehidupan manusia secara menyeluruh. Hukum ini
hanya berlaku di dalam Islam, meskipun hukum Islam ini memuat sikap dan ketentuan hukum
tentang sesuatu di luar Islam, contohnya adalah “wajib melindungi keselamatan kafir dhimmi,
orang non muslim yang tidak memusuhi Islam berada di wilayah kekuasaan Islam (ad-daar
al-Islam).
Dalam literatur Islam ada dua macam dasar hukum Islam, yaitu :
a. Syariah
Syariah, arti dasarnya adalah menuju air. Air adalah simbol kehidupan, artinya setiap
manusia memerlukan syariah untuk melangsungkan kehidupannya. Syariah mengatakan
bahwa ‘Wa laa taqrabuu az-ziina innahuu kaana faahisyatan wa saa a sabiila (Janganlah
kamu sekalian dekat-dekat dengan perzinaan karena (zina) itu sejelek-jeleknya cara hidup, –
QS. Al-Isra’/17: 32). Pelarangan zina dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup. Jika
zina tidak dilarang, orang melakukan semua, pasti semua terkena penyakit yang mematikan

Hukum Islam 129


130 Hukum Islam

seperti firus HIV-AIDS. Jika firus ini mewabah secara universal, dalam tempo yang singkat
tentu manusia habis binasa karena tidak bisa melakukan regenerasi biologis.
Syariah juga diartikan peraturan dari Allah dan Rasulullah untuk mengatur hubungan
antara manusia dengan Allah, mausia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan alam
semesta. Contoh hubungan antara manusia dengan Tuhan adalah shalat, berdoa, berzikir.
Dalam berdoa umpamanya, manusia mengadu akan kesulitan hidupnya, mengharapkan belas
kasihan-Nya, memohon tidak terkena nasib sial. Kegiatan ini dilakukan di malam hari, di
tempat yang sunyi, sambil menangis karena berbagai perasaan yang semuanya dalam kadar
maksimal. Contoh syariah mengenai hubungan antara sesama manusia adalah sillaturrahim
dan tolong-menolong dalam urusan kebaikan dan ketakwaan atas dasar pelaksanaan perintah
“. . .Ta’aawanuu ‘ala al-birri wa at-taqwaa . . (Tolong-menolonglah kamu dalam urusan
kebaikan dan ketakwaan . . QS. Al-Maidah/5: 2). Contoh syariah hubungan manusia dengan
alam semesta adalah larangan berbuat kerusakan di muka bumi: “Walaa tufsiduu fi al-ardli
ba’da ishlaahihaa . .(janganlah kamu sekalian berbuat kerusakan di bumi ini sesudah tertata
dengan baik . . . QS. Al-A’raf/7: 56).
Syariah merupakan aturan yang mutlak benar tidak bisa dan tidak boleh diubah, dan
diterima manusia atas dasar iman untuk dilaksanakan. Sekali Allah berfirman “Qul
Huwallaahu Ahad” Selamanya demikian, tidak boleh ditambah umpama Qul Huwallaahu
Ta’aala Aghad) atau dikurangi umpama Huwallaahu Ahad, dan tidak boleh pula diganti
terjemahannya dalam bahasa apa pun umpama “Katakan olehmu Hai Muhammad bahwa Dia
itu Esa” sebagai firman Allah. Ungkapan ini hanya boleh dikatakan firman Allah yang artinya
“Katakanlah olehmu Hai Muhammad bahwa Dia itu Esa”.

b. Fiqih
Kata ‘fiqih’ berasal dari kata ‘faqaha’ yang berarti paham atau mengerti. Kumpulan
pemahaman sistematis terhadap peraturan-peraturan Allah disebut Ilmu Fiqih.
Bagaimana sebenarnya korelasi antara syariah dengan ilmu fiqih ? Pada abad I-II H,
syariah identik dengan fiqih, identik pula dengan ad-din, yakni agama itu sendiri. Pengertian
semacam ini dapat dirujuk pada firman Allah sebagai berikut:
          
       
    
Artinya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” …. (QS. At-
Taubah : 122)
Potongan ayat “liyatafaqqahuu fi ad-diin” inilah yang menunjukkan fiqih identik
dengan agama. Atas dasar perkembangan ilmu, pada abad akhir II H dan seterusnya Ilmu
fikih merupakan salah satu bagian dari syariah, sejajar dengan ilmu-ilmu lain seperti ilmu
kalam, hadits, tafsir, dan ilmu akhlak. Ilmu fiqih mengkhususkan pada aturan perilaku
manusia dipandang dari salah satu lima putusan hukum (ahkaam al-khamsah), yaitu: wajib,
sunnah, mubah atau halal, haram, dan makruh.
Hukum Islam 131

Setelah seseorang mengaku memeluk Islam dengan inisiasi atau credo, yaitu
mengucapkan syahadad, kapan pun ia tidak terlepas dari kontrol hukum yang lima: haram,
makruh, wajib, sunnah, dan mubah tersebut. Dia tidak pernah netral atau berada di luar
kawasan Islam.
Dalam sehari semalam, seorang muslim pasti keluar masuk pada salah satu putusan
hukum yang lima itu. Sebaiknya, dan mestinya begitu, ia senantiasa berada di bilik
pelaksanaan wajib dan sunnah. Sekuat mungkin jangan berada dalam bilik haram dan makruh,
artinya jangan berbuat sesuatu yang hukumnya haram atau makruh. Banyak Ulama’
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa orang yang senantiasa gemar berbuat yang makruh juga
menjadi dosa alias haram.
Karenanya akan merugi besar kalau seseorang terlalu lama berada di bilik hukum
haram karena akibatnya adalah dosa yang berlanjut pada azab atau siksaan: siksa dunia, siksa
kubur, dan siksa akhirat. Sebaliknya tentu akan beruntung besar jika seseorang tidak mau
memasuki bilik haram karena kompensasinya ia memperoleh pahala yang berlanjut pada
kenikmatan dan surga.
Sementara itu, sebuah pertanyaan yang layak untuk disisipkan adalah bagaimana
menerapkan term (istilah) Hukum Islam di Indonesia ? Karena Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan Negara Pancasila, dalam arti bukan Negara agama maupun Negara
sekuler, di samping Negara ini memiliki jiwa ‘Bhinneka Tunggal Eka’, maka di Negara ini
memerlakukan berbagai macam hukum perundang-undangan, yaitu ada hukum Islam, hukum
positif, dan hukum adat. Syariah dimasukkan dalam hukum Islam. Tetapi, di sisi lain, terapan
istilah ‘syariah’ dipadankan dengan istilah ‘Islamic law’ dengan menggunakan istilah asing
(Inggris) menghindari istilah ‘hukum Islam’ dan istilah ‘fiqih’ dipadankan dengan istilah
‘Islamic jurisprudence’. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, kalau kita sedang
membahas rukun wudlu, rukun shalat, dan rukun puasa, kita tidak membahas syariah,
melainkan sedang membahas ilmu fikih atau Islamic jurisprudence. Kalau kita sedang
mencari tahu apa kandungan ayat 183 dari surat al-Baqarah, yaitu tentang perintah puasa
Ramadlan, kita sedang berbahasan di ranah syariah.

B. Ciri-Ciri Hukum Islam


Sekurang-kurangnya ada empat macam ciri hukum Islam, yaitu:
1. Hukum Islam merupakan bagian dan sumber dari ajaran agama Islam
2. Hukum Islam berkaitan dengan bagian lain dalam Islam, yaitu aqidah dan akhlak
3. Hukum Islam memiliki istilah kunci, yaitu syariah dan fiqih
4. Hukum Islam terdiri atas dua bagian besar, yaitu ibadah dan muamalah;
Ibadah merupakan aturan hubungan antara manusia dengan Allah. Aturan itu karena
bersal dari Allah dan Rasulullah, maka bersifat tetap. Manusia tinggal melaksanakan saja
(taken for granted). Jika Allah menetapkan bahwa puasa sebulan penuh itu harus
dikerjakan pada bulan Ramadlan, bulan ke 9 dalam system kalender Islam, manusia tidak
boleh menggantikan berpuasa di bulan selain bulan Ramadlan.
Muamalah merupakan aturan hubungan antara manusia dengan manusia lain, dan antara
manusia dengan alam semesta. Secara prinsip muamalah diserahkan kepada manusia,
upamanya kita boleh memilih dengan apa mencari nafaqah atau ma’isyah (mata
pencaharian, penghidupan), apakah dengan cara berdagang, menjadi pegawai negeri,
menjadi karyawan, atau menjadi petani.
132 Hukum Islam

C. Struktur Sumber Hukum Islam


Karena pembuat hukum di dalam Islam itu Tuhan, utusannya (Rasul), dan manusia,
dalam hal ini para ulama mujtahid, maka hukum Islam harus ditata dalam urutan tingkatan
otoritatif, mulai tingkatan yang paling atas hingga yang paling bawah, yang paling kuat
mengikat hingga yang longgar. Tata urutan hukum Islam dapat disusun sebagai berikut:
1. Al Quran
2. As-Sunnah
3. Hasil ijtihad ulama, seperti: qiyas, ijma’, dan maslahah mursalah.
4. Pelaksanaan dalam praktik, yaitu dalam bentuk putusan hukum atas perbuatan
manusia.
Misalnya, si A dinyatakan mencuri dalam peridangan oleh hakim, kemudian dihukumi
haram perbuatan itu dan dijatuhi hukuman potong tangan.
5. Macam-macam perbuatan hati mencakup perbuatan: hati, pikiran, dan perasaan.
Misalnya, berprasangka buruk telah terjadi perbuatan hukum. Sebagian besar dugaan
(dhan) yang belum dinyatakan dalam bentuk kata-kata adalah dosa. Hanya saja, hakim
yang memutusi perbuatannya juga hatinya sendiri, dan tentunya Tuhan. Macam-macam
perbuatan anggota badan seperti perbuatan: tangan, hidung, kaki, telinga, lisan, dan
kemaluan. Semua perbuatan ini mengandung konsekuensi hukum. Karena itu kita, setiap
umat Islam harus tetap hati-hati agar perbuatan apa saja dalam diri kita tidak terjerumus
pada putusan hukum haram, atau dijatuhi hukuman tertentu yang memberatkan.
6. Mendahulukan yang wajib dari pada yang hak atau yang halal.
Dalam waktu yang bersamaan, A harus melaksanakan Jum’atan atau menuruti istrinya
makan siang di restoran kegemarannya. Dalam persoalan ini, A harus melaksanakan
jumatan terlebih dahulu, setelah selesai baru mengajak istrinya makan di restoran
kegemarannya tersebut.

D. Ruang Lingkup Hukum Islam


Ruang lingkup hukum Islam amat luas wilayahnya, seluas seluruh bidang kehidupan,
tidak ada aspek kehidupan sekecil apa pun yang berada di luar wilayah hukum. Atas dasar
perkembangan ilmu tentang hukum, maka hukum Islam ini secara garis besar digolongkan
menjadi:
1. Hukum perdata, meliputi:
a. Mengatur masalah munakahat (perkawinan yang secara garis besar antara lain
mengenai nikah, thalaq, dan rujuu’ )
b. Mengatur masalah mawaaris (waris-mewaris)
c. Mengatur masalah mu’amalah, yaitu tentang kebendaan, hak-ahak atas benda, dan
tata hubungan antara manusia dengan manusia dan alam semesta
2. Hukum pidana, meliputi:
a. Jinayat, yaitu aturan perbuatan yang diancam dengan hukuman atau pidana
b. al-Ahkam as-sulthaniyyah, yaitu aturan tentang kenegaraan
c. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk dan
negara lain
d. Mukhashamaat, mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara
Hukum Islam 133

E. Tujuan Hukum Islam


Tujuan diberlakukannya hukum Islam itu adalah untuk mengatur kehidupan manusia
agar bisa hidup tenang, tenteram, dan bebas dari ancaman orang lain. Secara terinci, menurut
Abu Ishaq Al Shatibi tujuan hukum Islam itu mencakup lima hal, yaitu:
1. Memelihara agama. Kaum muslimin diwajibkan shalat umpamanya, hikmah yang
terkandung di dalamnya ternyata cukup banyak, antara lain keagamaannya menjadi baik.
Sebaliknya meninggalkan shalat menjadi kafir. Kata Rasul, orang Islam yang tidak shalat
adalah penghancur agama: “ash-Shalaatu ‘imaad ad-diin, faman aqaamaha faqad aqqma
ad-diin, wa tarakahaa faqad hada ad-diin” Balasan kafir kelak adalah neraka saqar.
Demikian Firman Allah:
          
Artinya:
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat” (QS.al-Mudatstsir: 42-43).
Saqar adalah api yang menyala-nyala. Orang yang dimasukkan ke neraka saqar selalu
diseret atas wajahnya (QS. Al-Qamar : 4).
2. Memelihara jiwa. Ditegakkannya hukum pidana, antara lain jinayat, harapannya
adalah tidak ada korban kekerasan, apalagi pembunuhan.
3. Memelihara akal. Dilarangnya meminum-minuman keras seperti cong yang, ciu,
jenewer, tuak, arak, irengan, vodka, manson, wiski, brandi, termasuk yang berbentuk
tablet, cairan untuk disuntikkan atau kapsul seperti koplo, sabu-sabu, ganja, meriyuana,
ekstasi, dan lainnya yang memabukkan adalah melindungi supaya syaraf-syaraf otak dan
akalnya tetap sehat.
4. Memelihara keturunan. Ditegakkannya keharaman zina umpamanya, antara lain untuk
merencanakan keturunan yang sehat, terhormat, dan bermartabat.
5. Memelihara harta. Ditegakkannya hukum mawaris, umpamanya, hak-hak kepemilikan
terhadap sesuatu benda dilindungi hukum, sehingga orang lain tidak seenaknya atau tidak
boleh merampas dari pemiliknya yang syah.

F. Sumber Hukum Islam


Adapun sumber hukum Islam ada tiga macam, yaitu Al Quran, As-Sunnah, dan
ijtihad. Pernyataan ini didasarkan atas sebuah Hadits Rasulullah dalam dialognya dengan
Muaz bin Jabbal sebagai berikut:
Rasulullah : “Bagaimana kamu akan memutuskan terhadap suatu perkara yang datang
kepadamu ?”
Muaz : “Saya akan memutuskannya dengan kitabullah”
Rasulullah : “Kalau engkau tidak mendapatinya dalam kitabullah ?”
Muaz : “Saya akan memutuskannya berdasar sunnah Rasul”
Rasulullah : “Kalau dalam sunnah Rasul juga tidak ada ?”
Muaz : “Akan mendasarkan pada pendapatku dan saya tidak akan lengah”
Rasulullah : “Alhamdulillah, Allah telah memberi taufiq-Nya sesuai dengan apa yang
diridai oleh-Nya dan Rasulnya”.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa sumber hukum Islam yang dipakai harus
berurutan tidak boleh dibolak-balik. Al Quran terlebih dahulu, baru kemudian Al Hadits/As
134 Hukum Islam

Sunnah dan yang terkhir solusinya Ar Ra’yu (Ijtihad Ulama) yang tetap berpedoman pada Al
Quran dan As Sunnah.

G. Al Quran sebagai Sumber Hukum


1. Al Quran adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui
perantara Malaikat Jibril untuk pedoman hidup manusia secara utuh, termasuk di
dalamnya mengenai hukum.
2. Azas-azas hukum Islam yang tercantum dalam Al Quran adalah sebagai berikut:
a. Meniadakan yang berat, demikian firman Allah yang menunjukkan
pernyataan ini:
          
         
Artinya:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia
telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim”. (QS. Al-Hajj : 78).
b. Menyedikitkan beban. Ayat berikut dipahami bahwa Allah tidak
memperbanyak beban kepada manusia kecuali sekedar ia mampu:
             

Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah: 286).
c. Berangsur-angsur dalam meberikan hukum sesuai dengan kebutuhan
yang sedang dihadapi umat. Contohnya demikian. Ayat yang pertama turun mengenai
perintah untuk membaca. Ayat-ayat selanjutnya selama 13 tahun berkisar penegakan
tauhid, dan ini umumnya disebut ayat-ayat Makiyyah. Mulai tahun ke 14 masa
turunnya Alquran membicarakan hukum-hukum kemasyarakatan secara komplit,
seperti tentang perang, hutang-piutang, perkawinan, kepidanaan, keperdataan,
kenegaraan, dan ini umumnya disebut ayat-ayat Madaniyyah.
3. Kandungan Hukum dalam Al Quran. Secara garis besar, kandungan hukum yang
terdapat di dalam Al Quran ada dua macam, yaitu:
a. Hukum ibadah: thaharah, shalat, puasa, haji, zakat, sumpah, mengurus
jenazah, ‘aqiqah, udlhiyyah, doa, zikir, dan nazar.
b. Hukum-hukum muamalah seperti hukuman, jinayat, hukum perdata,
hukum pidana, hukum acara, perundang-undangan, perekonomian, dan kenegaraan.

H. As-Sunnah sebagai Sumber Hukum


Poin-poin yang perlu dijelaskan dalam membahas as-sunnah sebagai sumber hukum
antara lain adalah sebagai berikut:
Hukum Islam 135

1. as-Sunnah dapat disamakan dengan Hadits, ialah segala sesuatu


yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan (aqwaliyyah),
perbuatan (af’aliyyah), maupun ketetapannya (taqriiriyyah). Contoh perkataan adalah
“Shuumuu tashihhuu” (Berpuasalah kamu sekalian niscaya kamu sehat). Contoh
perbuatan adalah cara Nabi shalat, cara nabi, berwudlu, cara Nabi makan, minum, dan
tidur. Contoh ketetapan Nabi adalah ketika Chalid bin Walid merayakan kemenangannya
dalam perang Muktah, ia memasak daging mencawakatau biawak. Rasulullah diberi
daging itu. Beliau menolak, tetapi tidak melarang Chalid bin Walid dan pasukannya
memakan masakan daging biawak tersebut. Dengan demikian daging biawak halal
hukumnya untuk dimakan. Jadi, yang dimaksud taqriir adalah perkataan tau perbuatan
sahabat di hadapan Nabi atau diketahui oleh beliau dan beliau tidak melarangnya.
2. Menurut ulama’ Fiqih, as-Sunnah sebagai sumber hukum hanya
yang berkaitan dengan hukum saja. Karena itulah cara Nabi minum, tidur, batuk, berobat
dari sakit, berhubungan seksual, tidak mengandung konsekuensi hukum dan hanya
bersifat manusiawi. Akan tetapi, menurut ulama’ Ahli Hadits, Rasulullah adalah sumber
suri teladan yang baik (uswatun hasanah). Yang tidak perlu dicontoh hanya yang bersifat
‘aradl basyariyyah (sesuatu yang secara alami menimpa manusia), seperti: batuk,
mengeluarkan BAB dan BAK, kentut, bentuk rambut, dan postur tubuh.
3. Acuan bahwa As-Sunnah sebagai acuan hukum adalah firman
Allah sebagai berikut:
         
Artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS.al-Hasyr : 7)
4. Hadits yang boleh dijadikan sebagai sumber hukum hanya yang
shahih dan hasan saja. Dengan demikian hadis dha’if (lemah) dan hadis maudluu’ (palsu)
tidak boleh digunakan sebagai sumber hukum, apa pun alasannya.
5. Fungsi Hadis di samping memperjelas apa yang terdapat di
dalam Al Quran juga menghasilkan hukum yang mandiri, contoh cara menghilangkan
najis mughaladhah, yaitu apa saja yang terkena air liur anjing. Dalam hal ini Al Quran
tidak mengaturnya. Adapun contoh Hadits sebagai penjelas Al Quran antara lain tentang
shalat dan zakat. Dalam Al Quran secara berulang-ulang hanya memerintahkan shalat dan
membayar “aqiimuu as-shalah wa atuu az-zakaah. . .” (dirikanlah shalat dan bayarlah
zakat . . ). Teknik dan prosedur pelaksanaan shalat maupun zakat bagi umat Islam
sepenuhnya dicontohkan oleh Rasulullah.

I. Ijtihad sebagai Sumber Hukum


Hal-hal yang perlu dijelaskan dalam sub bab ini adalah pengertian ijtihad itu sendiri,
pelaku ijtihad, dan metode atau hasil ijtihad.
Ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dengan kekuatan akal dari seorang
ulama’ atau sekelompok ulama’ untuk menemukan sesuatu hukum atas sesuatu. Ijtihad hanya
terjadi pada bidang muamalah, ibadah ghairu mahdhah, dan tidak ditentukan secara eksplisit
baik dalam Al Quran maupun Hadits. Itulah sebabnya metode maupun hasil ijtihad bisa
beraneka macam.
136 Hukum Islam

Ulama’ yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Diantara mujtahid yang terkenal
dan memiliki otoritas (menjadi panutan masyarakat luas) di kalangan umat Islam di
zamannya, bahkan generasi sesudahnya antara lain: Imam Malik (714-798 M), Imam Abu
Hanifah (699-767 M), Imam Syafi’i (767-854 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (780 – 855
M).
Adapun hasil keputusan hukum yang berasal dari ijtihad antara lain: Ijma’, qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah.
a. Ijma’ adalah kesepakatan para ulama mujtahid tentang hukum seseuatu
peristiwa atau hal yang belum ditetapkan hukumnya dalam Al Quran maupun Hadits.
Contohnya adalah :
1) Keputusan MUI [terdiri atas sejumlah personil yang tergabung dalam
komisi fatwa] memutuskan ajino moto haram hukumnya, memberikan label halal pada
produk-produk tertentu dalam hal makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika
(MMOK).
2) Sekelompok Ulama’ Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa
merokok hukumnya haram karena memandang merokok itu merugikan kesehatan si
perokok atau orang-orang yang berada di sekitarnya.
3) Ulama Tarjih Muhammadiyah yang terdiri atas sejumlah personil dari
perwakilan-perwakilan wilayah menetapkan bahwa dalam menetapkan hilal Ramadlan
maupun Idul fitri dan Idul Adha menggunakan metode hisab hakiki, sedang ulama’
dari Nahdlatul ‘Ulama’ menetapkan hilal satu Ramadlan maupun hilal untuk lebaran
menggunakan metode rukyah, melihat dengan mata telanjang terbitnya bulan.
b. Qiyas adalah menetapkan sesuatu hukum atas sesuatu yang tidak
disebutkan dalam Al Quran atau Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
lain yang telah ditetapkan dalam Al Quran maupun Hadits karena ada kesamaan sesuatu
(‘illat, qarinah). Qiyas merupakan istinbathul hukmi ciptaan Imam Syafi’i. Contoh-
contoh keputusan hukum atas dasar qiyas adalah ;
1) Dalam teks atau nash (QS. al-Maidah/5 : 90) disebutkan bahwa khamer itu
haram karena memabukkan. Di luar teks atau nash ada minuman yang disebut Cong
yang, vodka, wiski, irengan, ketan hitam, ciu, jenewer, tuak, dan manson, atau bentuk
tablet dan kapsul seperti pil koplo, ekstasi, sabu-sabu, tau masih dalam bentuk alami
seperti ganja, meriyuana, opium). Antara Khamer dan aneka minuman, tablet, kapsul,
atau cairan untuk disuntikkan yang disebutkan ini dihukumi haram. Ketetapan haram
ini karena ada kesamaannya dengan khamer, yaitu memabukkan.
2) Meng-qadla’ Shalat yang ditinggalkan karena bepergian. Dalam Teks Al
Quran maupun Hadits tidak disebutkan tentang qadla’ shalat. Yang ditentukan untuk
qadla’ antara lain adalah puasa Ramadlan (QS. al-Baqarah/2 : 184). Di antara
keduanya ada kesamaannya, yaitu sama-sama rukun Islam. Di Indonesia, dari
kelompok NU, atau umumnya penganut mazhab Syafi’iyyah melaksanakan ketentuan
hukum meng-qadla’ shalat. Muhammadiyah tidak melaksanakan ketentuan ini. Dalam
keadaan apa pun selagi akal masih waras, shalat harus dilaksanakan sesuai
kemampuan sebagaimana dijelaskan menurut syara’. Jika seseorang tertidur pulas dan
begitu bangun sudah jam 6.30, di saat itu pula ia harus melaksanakan shalat subuh
dengan tidak menamakan qadla’ tetapi adaa’. Perbedaan ini tidak perlu diperpanjang
lebar karena tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Yang penting adalah
Hukum Islam 137

melaksanakan shalatnya itu dengan harapan Allah menerimanya sebagai amal ibadah
yang bernilai amal shalat.
c. Istihsan adalah meninggalkan hukum sesuatu yang telah ditetapkan
berdasarkan syara’ karena ada dalil lain yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Contohnya adalah perintah melakukan shalat Jum’at berlaku secara umum bagi setiap
orang Islam (QS.al-Jum’ah/62:9). Kemudian ada Hadits yang mengecualikan untuk tidak
melakukan shalat Jum’at, yaitu: wanita, anak-anak, orang sakit, dan manula (manusia usia
lanjut) yang telah tidak mampu berjalan. Maka bagi mereka, tidak perlu melakukan shalat
jumatan di masjid secara berjamaah. Mereka bisa shalat jumat dua rakaat di rumah atau
shalat luhur empat rakaat di rumah.
d. Maslahah mursalah adalah menetapkan sesuatu hukum yang tidak
disebutkan baik dalam Al Quran maupun Hadits karena secara umum dipandang baik,
pantas, atau memiliki nilai kemaslahatan yang luas. Contohnya adalah pakaian yang
digunakan untuk shalat terkena darah dari seekor nyamuk. Darah adalah najis, tetapi
karena terlalu sedikit, maka tidak mengapa (ma’fu) untuk shalat. Adanya KUA di
Indonesia, ini dimaksudkan untuk kemaslahatan keluarga.

J. Tujuan Hukum Islam Bagi Kehidupan Masyarakat


Sekurang-kurangnya ada empat macam tujuan yang ditetapkan bagi kehidupan
masyarakat, yaitu:
1. Ketertiban umum. Dapat dibayangkan seandaianya hukum rimba yang berlaku pada
suatu masyarakat. Tentu, masyarakat tersebut sangat semrawut. Dapat pula dibayangkan
jika tidak ada hukum yang mengatur mengenai berlalu-lintas, tentu akan terjadi
kecelakaan lalu lintas yang teramat sering dan korban jiwa berjatuhan. Itulah pentingnya
hukum yang mengatur ketenteraman masyarakat maupun hukum lalu-lintas harus
ditegakkan.
2. Melindungi orang-orang yang teraniaya. Dapat dibayangkan seandainya tidak ada
hukum yang diindahkan, orang-orang yang kuat tentu akan semakin merampas hak-hak
orang lemah. Orang teraniaya semakin banyak dan tidak ada yang melindunginya.
Kehidupan tentu akan menjadi kacau-balau dan anarchis karena hukum rimba yang akan
berlaku, siapa yang kuat itulah yang menang dan yang akan binasa.
3. Mencapai ketenteraman dan kebahagian bersama dunia-akhirat. Dapat dibayangkan
jika setiap warga masyarakat mengindahkan hukum atau menegakkan supremasi hukum,
tentu mereka berada dalam suasana tenteram dan leluasa untuk melakukan hal-hal yang
bermanfaat. Beribadah dalam kondisi yang demikian tentu merasa nikmat dalam
kehidupan dunia ini guna mencita-citakan kebahagiaan akhirat kelak sesudah mati.
4. Setiap muslim harus mentaati dan melaksanakan hukum Islam sebaik-baiknya demi
kebahagiaan mereka sendiri. Dapat dibayangkan bahwa, jika seseorang merasa kuat
kemudian ia berbuat aniaya terhadap orang lain, tentu suatu saat ia akan dibalas justru di
saat-saat ia sudah lemah, atau lengah, atau dianiaya orang lainnya lagi yang lebih kuat.
Nasihat seorang bijak patut direnungkan “Jangan mencubit orang lain kalau kamu merasa
sakit jika dicubit”. Jadi kalau masing-masing warga masyarakat taat hukum tentu mereka
sendiri yang akan memperoleh keuntungan.

~~~ o0o ~~~


138 Hukum Islam

Latihan

1. Jelaskan apa yang disebut hukum Islam (syariah dan fiqih) !


2. Sebut dan jelaskan ciri hukum Islam !
3. Ada dua macam ruang lingkup hukum Islam, yaitu hukum perdata dan hukum pidana.
Hukum perdata ada tiga macam, sebut dan jelaskan masing-masingnya! Hukum
Pidana ada empat macam, sebut dan jelaskan masing-masingnya !
4. Ada lima macam tujuan hukum Islam untuk diterapkan kepada setiap muslim atau
masyarakat Islam, sebut dan jelaskan masing-masingnya !
5. Ada tiga macam sumber hukum Islam, sebutkan dan jelaskan masing-masingnya !
6. Ada empat macam asas hukum Islam sebagaimana dijelaskan oleh Alquran, sebut dan
jelaskan masing-masingnya !
7. Hadis yang bagaimana yang absah dijadikan sebagai sumber hukum Islam dan Hadis
apa saja yang tidak boleh dijadikan dasar dalam beragama ?
8. Jelaskan perbedaan antara Ualama’ Fiqih dan Ulama’ Hadis dalam menyikapi
terhadap Hadis !
9. Sekurang-kurangnya ada 4 pola ijtihad, sebut dan jelaskan masing-masingnya !
10. Kapan seseorang mulai terkena beban hukum Islam ?
11. Jelaskan tujuan hukum bagi kehidupan masyarakat !
12. Jelaskan apa yang disebut qiyas dan berilah contoh-contoh keputusan hukum atas
dasar qiyas !
13. Apa yang disebut ijma’ dan berilah contoh-contoh keputusan hukum atas dasar ijma’
14. Apa yang disebut istihsan dan berilah contoh-contoh keputusan hukum atas dasar
Istihsan !
15. Apa yang disebut mashlahah mursalah dan berilah contoh-contoh putusan hukum atas
dasar mashlahah musrsalah !
16. Pak Ahmad Muhammad al-Humaidi telah melaksanakan supit. Umurnya 25 tahun.
Apakah dia otomatis terkena hukum Islam ? Jelaskan secara argumentatif jawaban
saudara !
17. Pak Hamdun berusia 45 tahun. Ia berakal sehat, telah bersyahadad, fisiknya sehat, ia
menikah ketika masih berusia 25 tahun. Kini ia telah memiliki tiga orang anak. Ia
mengaku konsisten dalam keislamannya. Bisakah ia keluar dari kontrol hukum Islam?
Jelaskan jawaban saudara secara argumentatif !
Hukum Islam 139

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’aan Al-Kariim

‘Abd al-Baqi, Ahmad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaadz al-Qur’aan al-Kariim,


Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.th.].

Daud Ali, Mohammad, Pendidikan Agama Islam di Perguran Tinggi , Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005

‘Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional”, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakarta: PN Balai Pustaka, 1990.

Fyzee, Asaf A.A., Outlines of Mohammedan Law, London: Oxford University Press, 1988.

Hasbullah, Bakry, Suatu Tinjauan Mengenai Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: [Makalah tak
diterbitkan], 1982.

Ismail, Syuhudi, Pengantar Imu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Khalaf, ‘Abd al-Wahhaab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (terj.) Jakarta: Rajawali Press, 1982.

Qardlawi, Yusuf, Membumikan Syariat Islam, Surabaya: Aneka Ilmu, 1997.

Raulya, Idris, Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1999

“Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta”, Pendidikan
Agama Islam, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM, 2002.

Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam. Bandung:
al-Ma’arif, 1993.

Anda mungkin juga menyukai