Anda di halaman 1dari 25

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN MANEJEMEN BENCANA

TRAUMA SPINALIS

DOSEN PENGAMPU

Ns Uti Rusdian Hidayat,M.Kep

DISUSUN OLEH :

Ananda (841191005)

Clara Erika (841191003)

PRODI D-III KEPERAWATAN SEMESTER IV

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YAYASAN RUMAH

SAKIT ISLAM (YARSI) PONTIANAK

TAHUN AJARAN 2021/2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan hidayah dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “trauma spinalis “

Makalah ini kami buat bertujuan untuk menjelaskan materi tentang Trauma spinalis. Dengan
adanya makalah ini diharapkan mahasiswa lain dapat memahami trauma spinalis.

Makalah ini dibuat dengan semaksimal mungkin, walaupun kami menyadari masih banyak
kekurangan yang harus kami perbaiki. Oleh karena itu kami mengharapkan saran atau kritik dan
yang sifatnya membangun demi tercapainya suatu kesempurnaan makalah ini. Kami berharap
makalah ini dapat berguna bagi pembaca maupun kami.

Pontianak, 28 September 2021

Penulis
Kata Pengantar..............................................................................................................................

Daftar Isi.......................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................

A. Latar Belakang...................................................................................................................

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................

C. Tujuan.................................................................................................................................

D. Manfaat...............................................................................................................................

BAB II KONSEP TEORI............................................................................................................

A. Definisi Medulla spinalis.................................................................................................

B. Etiologi..............................................................................................................................

C. Patofisiologi......................................................................................................................

D. Pathways............................................................................................................................

E. Klasifikasi..........................................................................................................................

F. Gejala klinis ......................................................................................................................

G. Komplikasi........................................................................................................................

H. Konsep Asuhan Keperwatan.............................................................................................

BAB III PEMBAHASAN TERFOKUS.......................................................................................


A. Pengertian..........................................................................................................................

B. Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur..........................................................................

C. Penatalaksanaan................................................................................................................

BAB IV PENUTUP.......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Trauma medulla spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan permanen dan
mengancam nyawa.Trauma medulla spinalis (TMS) meliputi kerusakan medulla spinalis karena trauma
langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya,seperti fungsi
motoric,sensorik,autonomik,dan reflex,baik komplet ataupun inkomplet

Trauma medulla spinalis merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius diberbagai belahan
dunia.menurut centers for disease control and prevention Di Amerika terdapat 12,000 sampai 20,000
kasus traumamedulla spinalis setiap tahunnya dan sekarang melebihi 200,000 warga amerika yang
hidup dengan trauma medulla spinalis.Kebanyakan penyebab kasus trauma medulla spinalis adalah
kecelakaan lalu kintas,jatuh,dan cidera saat berolahraga.Untuk orang yang umurnya di bawah 65
tahun,penyebabnya adalah kecelakaan lalu lintas sedangkan untuk orang diatas 65 tahun,trauma medulla
spinalis kebanyakan karena jatuh.

Setiap orang dapat mengalami trauma medulla spinalis tanpa ketentuan umur yang dapat dimulai dari
cedera ringan seperti jatuh.Trauma medulla spinalis yang berkepanjangan dan tidak dievaluas dengan
baik dan benar akan menyebabkan kelumpuhan (paralisis) dan berdampak pada komplikasi-komplikasi
yang dapat terjadi.Oleh karena tidak sedikit pasien dengan trauma medulla spinalis yang dapat sembuh
dengan sempurna.

B. Rumusan Masalah
A. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulis dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma spinalis
2. Tujuan Khusus
a. Penulis dapat memahami tentang trauma spinalis
b. Penulis dapat memahami mekanisme trauma dan stabilitas fraktur

c. Penulis dapat memehami tentang penatalaksanaan trauma spinalis


B. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan dalam menerapkan proses keperawatan dan
memafaatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di STIKes Yarsi
Pontianak terutama dalam menerapkan asuhan keperawatan pada pasien trauma spinslis.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan referensi dan acuan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan trauma
medulla spinalis.

BAB II
KONSEP TEORI
A. Definisi
Trauma medulla spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan permanen dan
mengancam nyawa.Trauma medulla spinalis meliputi kerusakan medulla spinalis karena trauma langsung
atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanyan,seperti fungsi
motorik,sensorik,autonomik,dan reflex,baik komplet ataupun inkomplet.
Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medulla spinalis.(smeltzer,2001;)
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis,vetebralis dan lumbalis akibat trauma,jatuh
dari ketinggian,kecelakaan lalu lintas kecelakaan olahraga
B. Etiologi
Penyebab dari trauma spinal yaitu :
- Kecelakaan motor
- Jatuh dari ketinggian dalam posisi berdiri
- Menyelam di air yang dangkal
- Terlempar dari kuda
C. Patofisologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna ) sampai
kontusio,laserasi dan kompresi substansi medulla,(lebih salah satu atau dalam kombinasi ) sampai
transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis ).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis,darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau
daerah suaranoid pada kanal spinal,segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera,serabut-
serabut saraf mulai membengkak dan hancur.sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu,tidak
hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis
akut.suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia,hipoksia,edema,lesi,
Hemorargi.

Kerusakan medula spinalis dan radiks dapat terjadi melalui 4 mekanisme cedera medula spinalis
menurut Ramli Yetty (2015) yakni:
1. Kompresi oleh tulang, ligemantum, herniasi diskus invertebralis dan hematom. Yang paling
berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi
2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini
biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun
dengan bertambahnya usia
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran
darah vena dan kapiler.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau system arteri spinal anterior dan posterior
Shock spinal
Menurut Ramli Yetty (2015) masa akut dapat terjadi spinal shock .Spinal shock ini ditandai dengan
hilangnya somatic motor, sensorik dan fungsi simpatetik otonom karena cedera medula spinalis.Makin
berat cedera medula spinalis dan makin tinggi level cedera, durasi spinal shock makin lama makin
besar pula. Spinal shock ini timbul beberapa jam samapai beberapa bulan setelah cedera medula
spinalis. Untuk mencegah keraguan apakah gejala yang ditemukan akibat spinal shock atau bukan,
direkomendasikan guide line:
1. Berasumsi bahwa somatik motor dan defisit sensorik yang berhubungan dengan spinal shock
hanya terjadi kurangdari 1 jam setelah cedera.
2. Berasumsi bahwa reflex dan komponen otonom dari spinal shock dapat terjadi beberapa hari
sampai beberapa bulan, tergantung beratnya cedera medulla spinalis
3. Menyimpulkan bahwa defisit motorik dan sensorik yang menetap lebih dari 1 jam setelah
cedera disebabkan oleh perubahan patologis jarang karena efek fisiologis dari spinal shock.
D. Klasifikasi
Menurut Rahim Hadian Agus (2012) menjelaskan klasifikasi cedera medulla spinalis adalah trauma komplet
(complete injury) dan parsial (partial injury). Trauma komplet didefinisikan sebagai kehilangan total fungsi
sensoris dan fungsi motorik pada area yang terinervasi lebih dari 2 level dibawah lokasi vertebra yang trauma
dan bertahan selama lebih dari 48 jam. Perbaikan status neurologis pascatrauma komplet minimal. Selain itu
menurut American Spinal Injury Association cedera medula spinalis dibagi menjadi 5 yaitu
1. Grade A (fraktur komplet): tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang masih baik pada segmen
setinggi S4-S5 dan lesi yang terjadi yaitu komplet
2. Grade B (fraktur inkomplet) : yaitu saat fungsi sensorik masih baik, namun fungsi motorik terganggu
dibawah level dan meluas sampai setinggi segmen S4-S5 dan lesi masih inkomplit
3. Grade C (fraktur inkomplet): fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik dibawah level masih ada
dan lebih dari setengah otot-otot dibawah level memiliki kekuatan mototik dengan nilai kurang dari 3
4. Grade D (fraktur inkomplet):fungsi sensorik masih baik. Setangah dari otot-otot dibawah level
memiliki kekuatan motorik dengan nilai lebih dari

Grade E (Fraktur inkomplet): fungsi sensorik dan motoric normal


Terdapat 6 sindrom yang dapat terjadi pada kasus cedera medula spinalis menurut American Spinal
Cord Injury Association dalam Ramli Yetty (2015) yaitu sebagai berikut:
1. Central Cord Syndrome
Central cord syndrome merupakan sindrom medulla spinalis yang paling sering ditemukan.
Mekanisme cedera yang menyebabkan terjadinya sindrom ini adalah hiperekstensi leher.
Hiperekstensi leher dapat menyebabkan trauma pada bagian sentral medula spinalis. Hal ini
mengakibatkan injuri pada traktus kortikospinal lateralis yang terletak di bagian medial dari medula
spinalis. Traktus kortikospinal lateralis merupakan traktus yang terdiri dari saraf-saraf yang
mempersarafi ekstremitas atas. Sehingga, injury pada traktus ini menyebabkan kelemahan motorik
terutama pada ekstremitas atas. Namun, tidak menutup kemungkinan kelemahan mototik ekstremitas
bawah juga dapat terjadi. Gangguan fungsi lain yang dapat terjadi pada sindrom ini adalah gangguan
fungsi otonom (disfungsi kandung kemih yang berupa retensi urin) dan berbagai derajat gangguan
fungsi sensorik (Ramli Yetty,2015).
2. Anterior Cord Syndrome
Anterior Cord Syndrome merupakan sindrom yang terjadi karena trauma pada korda anterior medulla
spinalis. Mekanisme cedera yang paling sering menyebabkan sindrom ini adalah fleksi atau rotasi
leher. Trauma yang menyebabkan sindrom ini dapat berupa trauma kompresi langsung (oseus) yang
mengenai korda anterior medulla spinalis atau cedera iskemik pada arteri spinalis anterior. Trauma
pada korda anterior medula spinalis akan menyebabkan gangguan pada fungsi traktus kortikospinalis
ventral dan traktus spinotalamikus. Pasien dengan sindrom ini akan mengalami defisit motorik
bilateral dan komplit dibawah level lesi. Gangguan fungsi lain yang juga dapat dialami pasien adalah
kehilangan sensasi nyeri dan suhu beberapa level dibawah lesi. sementara itu fungsi kolumna
posterior umunya tidak terganggu (vibrasi dan posisi) (Ramli Yetty,2015).
3. Posterior Cord Syndrome
Menurut Ramli Yetty (2015) menjelaskan bahawa posterior cord syndrome terjadi karena adanya
cedera medula spinalis yang mengenai korda posterior medula spinalis mekanisme cedera yang
paling sering pada sindrom ini karena hiperekstensi servikal dengan fraktur pada posterior vertebra.
Pada korda posterior terdapat fasikulus kuneatus dan fasikulus gracilis yang memiliki fungsi
yaitumentransmisikan sinyal diskriminasi 2 titik ipsilateral, vibrasi, proprioseptif karena itulah
trauma pada korda posterior akan menyebabkan gangguan diskriminasi, vibrasi, proprioseptif.
Selain itu, fungsi motorik dan sensasi nyeri serta suhu tetap baik.
4. Brown Sequard Syndrome
Menurut Ramli Yetty (2015) menjelaskan bahwa brown Sequard syndrome merupakan sindrom yang
terjadi dikarenakan hemiseksi medula spinalis. Mekanisme terjadinya sindrom ini yaitu dikarenakan
adanya trauma tembus pada tulang belakang di region leher atau punggung. Karena adanya trauma
itulah yang menyebabkan kerusakan traktus asending dan desending pada salah satu sisi korda
spinalis hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi motorik ipsilateral, gangguan propioseptif
ipsilateral, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontra lateral satu atau dua
level dibawah lesi.
5. Conus Medularis Syndrome
Menurut Ramli Yetty (2015) menjelaskan bahwa fokus menulari syndrom terjadi karena adanya
trauma pada radiks lumbal. Trauma ini yang menyebabkan gejala Upper Motor Neuron (UMN),
Lower Motor Neuron (LMN), gejala yang paling sering ditemukan adalah arefleksia kandung kemih,
gastrointestinal dan ekstremitas bawah. Sering kali ditemukan pasien yang kehilangan sensasi pada
anus atau baal. Dapat terjadi defisit motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah dengan tingkat
yang bervariasi.
6. Cauda Equine Syndrome
Menurut Ramli Yetty (2015) sindrom ini disebabkan oleh adanya kompresi pada kauda ekuina oleh
tulang atau Protrusi diskus. Gejala klinis pada sindrom ini meliputi low back pain, kelemahan pada
ekstremitas bawah yang asimetris, retensi atau inkontinensia urin, menurunnya tonus rektum/sfingter
ani, Sandler anestesia, disfungsi ereksi pada pria dan gangguan respon seksual pada wanita serta
terganggunya reflek bulbokarvenosus.

E. Gejala Klinis
Tanda gejala yang muncul pada klien cedera medulla spinalis tergantung pada tingkat kerusakan dan lokasi
kerusakan misalnya hilangnya gerkan volunteer, hilangnya sensasi nyeri, temperatur, tekanan propiosepsi,
hilangnya fungsi bowel, hilangnya fungsi bladder dan hilangnya fungsi spinal dan reflex otonom dibawah ini
adalah tanda dan gejala berdasarkan, lokasi kerusakan menurut Tarwoto (2013):
1. Cervikal C1-C4 (quadriplegia): hilangnya fungsi motorik dan sensorik darin leher kebawah, paralisis
pernapasam, tidak terkontrolnya bowel dan bladder. Fungsi yang diharapkan: ketergantungan total, bantuan
ventilator
2. Cervical C5 (quadriplegia): hilangnya fungsi motorik, dari bahu kebawah, hilangnya sensasi dibawah
klavikula tidak terkontrolnya bowel dan bladder. Pada tahap ini klien memerlukan bantuan total
3. Cervical C6 (quadriplegia): hilangnya fungsi motorik dibawah batas bahu dan lengan, sensasi lebih banyak
pada lengan jempol. Membutuhkan bantuan seluruh aktivitas perawatan diri
4. Cervical C7 (quadriplegia): hilangnya fungsi motorik yang sempurna pada bahu, siku, pergelangan, dan
bagian darin lengan, sensasi lebih banyak dilengan dibandingkan C6, yang lain mengalami hal yang sama
seperti C5. Meningkatnya kemampuan untuk aktivitas seharihari, masih memerluka bantuan
5. Cervical C8 (quadriplegia): mampu mengontrol lengan tetapi beberapa hari lengan mengalami kelemahan,
hilahgnya sensasi dibawah dada. Ambulasi dengan kursi roda, diharapkan klien mampu menggunakan kursi
roda.
6. Thorakal T1-T6 (paraplegia): hilangnya kemampuan sensorik dan motorik dibawah dada tengah,
kemungkinan beberpa otot interkosta mengalami kerusakan, hilangnya control bowel dan bladder. Fungsi
yang diharapkan adalah meningkatnya kemandirian dalam perawatan diri, dapat bekerja dengan
menggunakan kursi roda.
7. Lumbal L1-L3 (paraplegia): hilangnya fungsi motorik dari pelvis ke tungkai, hilangnya sensasi dari abdomen
bagian bawah dan tungkai, tidak terkontrolnya bowel dan bladder. Fungsi yang diharapkan klien dapat
mandiri menggunakan kursi roda,
8. Lumbosakral L4-S1 (paraplegia): hilangnya beberapa fungsi motorik pada pangkal paha, lutut dan kaki, tidak
adanya control bowel. Fungsi yang diharapkan klien dapat ambulasi dengan branches
9. Sakral S2-S4 (paraplegia): hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor, hialngnya sensasi pada bagian
tungkai dan perineum, pada kedaaan awal terjadi gangguan bpwel dan bledder. Fungsi yang diharapkan klien
dapat ambulasi normal

F. Komplikasi
Beberapa komplikasi dapat timbul selama penanganan trauma vertebra seperti, syok hipovolemik, malunion,
non-union, delayed union, tromboemboli, infeksi, koagulopati intravskuler diseminata, emboli lemak, dan
sindroma kompartemen (Rahim Hadian Agus, 2012).
Syok hipovolemik dapat terjadi dikarekan perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
sehingga dapat mengakibatkan kehilangan darah dalam jumlah yang besar akibat trauma. Malunion dapat terjadi
karena adanya gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang tidak baik, atau terjadi karena infeksi pada jaringan
lunak yang terjepit diantara fragmen tulang. Non-union terjadi jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20
minggu. Delayed union merupakan penyembuhan fraktur yang lebih lama dari proses penyembuhan fraktur.
Emboli lemak terjadi karena globula lemak masuk ke dalam darah akibat tekanan sumsum tulang lebih tinggi
daripada tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit, membentuk emboli kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lainnya. Sindrom kompartemen
dapat berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak dapat penanganan segera (Rahim Hadian Agus,
2012).

G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan radiologic berikut pemeriksaan penunjnag
pada cedera medulla spinalis menurut Ramli Yetty (2015)
1. CT scan
CT scan vertebra (98%) diketahui lebih sensitive dalam mendeteksi fraktur vertebra disbanding foto polos vertebra
(53%). Ct scan potongan aksial dan sagittal merupakan pilihan untuk mendeteksi ada atau tidaknya fraktur
vertebra, CT scan vertebra telah menjadi lini pertama pemeriksaan diagnosis untuk cedrta medula spinalis
2. MRI
MRI merupakan terapi diagnostik terbaik dalam mendeteksi ada atau tidaknya cedera medula spinalis tetapi
kurang sensitive dalam mnedeteksi ada atau tidaknya fraktur vertebra jika dibandingkan CT scan. Pemeriksaan
MRI servikal pada fase awal trauma jika digabungkan dengan pemeriksaan foto polos servikal dan CT scan
servikal memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi kelainan pada vertebra servikal.
H. Penatalaksanaan
Menurut Ramli Yetty pada buku nya yang berjudul neurotrauma di hal 65 pada tahun 2015 menjelaskan bahwa
dalam tatalaksana pada kasus cedera medulla spinalis memiliki 4 tujuan yaitu: pemulihan defisit neurologis secara
maksimal, stabilisasi medulla spinalis, mobilisasi dan rehabilitasi. Terapi hanya bertujuan untuk mencegah
menurunnya kondisi pasien, mengurangi komplikasi, dan mngedukasi pasien untuk dapat menerima disabilitas
yang dialaminya.

1. Penatalaksanaaan farmakoterapi
Dalam tatalaksana medikamentosa berdasarakan rekomendasi National Acute Spinal Cord Injury studies III
(NASCIS III) dalam Ramli Yetty (2015) menjelaskan bahwa pasien trauma medulla spinalis akut diberikan
terapi metilprednisolon dalam 8 jam pertama setelah terjadinya trauma. Jika pasien datang kurang dari 3
jam pertama setelah kejadian pasien dapat diberikan metilprednisolon dengan dosis 30 mg/kgBB bolus
selama 15 menit dan dilanjutkan dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam dengan jeda 45 menit lalu dapat diberikan
infuse selama 23 jam berikutnya. Jika pasien datang dalam waktu 3-8 jam setelah kejadian maka dosis
metilprednisolon yang diberikan yaitu 30 mg/kgBB selama 15 menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis
5,4 mg/kgBB/jam melalui infus selama 48 jam berikutnya (Ramli Yetty, 2015)
2. Penatalaksanaan pembedahan
Dalam tindakan pembedahan cedera medula spinalis memiliki 2 tujuan yaitu dekompresi medula spinalis
atau radiks dorsalis pada pasien dengan defisit neurologis inkomplit untuk stabilisasi cedera yang tidak
stabil dan hanya dilakukan eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien
trauma spinal dengan defisit neurologis komplit tanpa tanda pemulihan, atau pasien yang mengalami cedera
tulang atau ligament spinal tanpa disertai defisit neurologis (Schwartz S et al, 2010) Indikasi lain dilakukan
tindakan pembedahan pada cedera medula spinalis yaitu adanya benda asing atau tulang di kanalis spinalis,
defisit neurologis yang progresif sehingga dapat terjadinya epidural spinal atau subdural hematoma.
Penatalaksanaan vertebra yang tidak stabil meliputi, spinal fusion menggunakan metal plates, rod, dan
screws dikombinasi dengan bone fusion (Manley et al, 2006)
3. Penatalaksanaan rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi dan mempersiapkan klien untuk kembali ke
keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlunya dibentuk tim yang berisikan dokter, fisioterapis, perawat,
psikolog, ahli terapi kerja, ahli orthopedi, dan ahli ortotik (Harsono, 2009)

I. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Menurut batticaca B Fransisca (2012) pengkajian pada pasien cedera medula spinalis meliput:
a. Aktivitas dan istirahat
Tanda: kelumpuhan Otot (terjadi kelemahan selama syok spinal) pada bawah lesi, kelemahan
umum atau otot (trauma dan adanya dekompresi)
b. Sirkulasi
Gejala: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi Tanda: hipotensi, hipotensi
postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat, tidak ada keringat atau hilangnya keringat
pada daerah yang terkena
c. Eliminasi
Tanda: inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urin, distensi berhubungan dengan omen,
peristaltik usus hilang, melena, emesis berwarna seperti kopi, hematemesis
d. Integritas Ego
Gejala: menyangkal, tidak percaya, sedih marah Tanda: takut, cemas, gelisah, menarik diri
e. Makanan dan Cairan
Tanda: mengalami distensi yang berhubungan dengan omentum, peristaltik usus hilang atau
lieus peristaltik
f. Higine
Tanda: sangat ketergantungam dalam melakukan aktivitas seharihari (bervariasi)
g. Neurosensorik
Gejala: kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis fleksid atau
spastisitas dapat terjadi saat syok spinal teratasi, bergantung pada daerah spinal yang sakit.
Tanda: kelumpuhan, kesemutan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan sholat
spinal), kehilangan Tonks otot atau vasomotor, kehilangan atau termasuk asimetris tendon
dalam, perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat dari berbagai tubuh karena cedera
spinal
h. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: nyeri atau nyeri tekan otot, hiperestesia tepat diatas daerah trauma Tanda: mengalami
deformasi, postur dan nyeri tekan vertebra
i. Pernapasan
Gejala: napas pendek, kehilangan oksigen, sulit bernapas Tanda: pernapasan dangkal labored,
periode apneu, penurunan bunyi nafas, ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan
Gejala: suhu berfluktuasi (suhu tubuh, diambil dari suhu ruangan)
k. Seksualitas
Gejala: keinginan untuk kembali fungsi normal Tanda: ereksi tidak terkendali (pripisme)
menstruasi tidak teratur
1. Penyuluhan/pembelajaran
Rencana pemulangan: klien akan memerlukan bantuan dalam transportasi, berbelanja,
menyiapkan makanan, perawatan diri, keuangan, pengobatan atau terapi, atau tugas sehari hari
dirumah, klien akan membutuhkan perubahan susunan rumah, penempatan alat ditempat
rehabilitasi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut Doengoes (2012)
a. Pola nafas tidak efektif, risiko tinggi terhadap Faktor risiko meliputi: kerusakan persyarafan
dari diaphragm (lesi pada atau diatas C5) Kemungkinan dibuktikan oleh: (tidak dapat
diterapkan: adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa actual
b. Trauma, risiko tinggi terhadap, cedera spinal tambahan
Faktor risiko meliputi: kelemahan temporer/ketidakstabilan kolumna spinalis Kemungkinan
dibuktikan oleh: (tidak dapat diterapkan:adanya tanda-tanda dan gejala membuat diagnose
menjadi aktual)
c. Mobilitas fisik, kerusakan
Dapat dihubungkan dengan: kerusakan neuromuskular, imobilisasi oleh traksi
Kemungkinan dibuktikan oleh: ketidakmampuan bergerak sesuai keinginan, paralisis, atrofi
otot, kontraktur
d. Perubahan sensori-perseptual:
Dapat dihubungkan dengan: kerusakan traktus sensori dengan perubahan persepsi sensori,
tranmisi, dan integrasi, penurunan ransang lingkungan, stress psikologi, (penyempitan lapang
perseptual yang disebabkan oleh ansietas) Kemungkinan dibuktikan oleh: perubahan yang
dapat diukur pada ketajaman sensori, termasuk posisi bagian tubuh/propriosepsi, perubahan
terhadap respon biasanya terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, ansietas, disorientasi,
berpikir kacau, respon emosional berlebihan.
e. Nyeri (akut)
Dapat dihubungkan dengan: cedera psikis, alat traksi Kemungkinan dibuktikan oleh:
hiperestesia, tepat diatas tingkat cedera, nyeri terbakar dibawah tingkat cedera (paraplegia),
spasme/spatisitas otot, sakit kepala
f. Berduka, antisipasi
Dapat dihubungkan dengan: kehilangan yang dirasakan/aktual, tentang kesehjateraan
fisiopsikologis Kemungkinan dibuktikan oleh: perubahan pola komunikasi, ekspresi distress,
perasaan tersedak, missal: menyangkal, rasa bersalah, ketakutan, kesedihan, perubahan afek,
perubahan pola tidur
g. Harga diri rendah, situasional
Dapat dihubungkan dengan: cedera traumatic: krisis situasional:krisis berat. Kemungkinan
dibuktikan oleh: ungkapan perubahan besar dalam gaya hidup,takut penolakan/reaksi orang
lain, berfokus pada kekuatan, fungsi, atau penampilan masa lalu, perasaan tak berdaya, putus
asa/tidak sanggup, perubahan aktual pada struktur dan/fungsi, kurang kontak mata, perubahan
pada kapasitas fisik untuk melakukan peran, bingung tentang diri sendiri, tujuan atau arah
hidup.
h. Inkontinensia usus/konstipasi
Dapat dihubungkan dengan: gangguan persyarafan pada usu dan rectum, kerusakan persepsi,
perubahan diet dan pemasukan cairan, perubahan tingkat aktivitas Kemungkinan dibuktikan
oleh: kehilangan kemampuan untuk mengeluarkan feses secara volunteer, konstipasi, dilatasi
gastrik, ileus.
i. Eliminasi urinarius: perubahan pola
Dapat dihubungkan dengan: gangguan persyarafan dalam kandung kemih, atoni kandung
kemih, Kemungkinan dibuktikan oleh: infeksi traktus urinarius, disfungsi ginjal,
inkontinensia/aliran berlebihan, retensi
j. Disrefleksia, risiko tinggi terhadap
Faktor risiko: perubahan fungsi saraf (cedera medula spinalis pada T6 dan diatasnya) Dapat
dihubungkan dengan: (tidak dapat diterapkan: adanya tandatanda dan gejala-gejala membuat
diagnose actual
k. Integritas kulit, kerusakan, risiko tinggi terhadap
Faktor risiko: perubahan/ketidakadekuatan, sirkulasi, perifer: sensasi, adanya edema: tekanan,
perubahan status metabolik, imobilisasi, alat traksi Dapat dihubungkan dengan: (tidak dapat
diterapkan: adanya tandatanda dan gejala-gejala membuat diagnose aktual
l. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar, mengenai kondisi, prognosis dan pengobatan Dapat
dihubungkan dengan: kurang terpapar, kesalahan pemahaman informasi, tidak mengenal
sumber informasi Kemungkinan dibuktikan oleh: ketidakadekuatan mengikuti instruksi,
perilaku tidak tepat, meminta informasi
3. Perencanaan Keperawatan Intervensi keperawatan merupakan segala treatment yang dikerjakan perawat
berdasarkan ilmu pengetahuan dan penilaian klinis dalam mencapai luaran (outcome) yang diharapkan)
(PPNI,2018). Menurut Doengoes (2012) intervensi pada klien yang mengalami cedera medula spinalis
sebagai berikut:
a. DX 1: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neurovaskular Tujuan: setelah
dilakukan tindakan keperawatan Klien akan memiliki mobilitas fisik yang maksimal dengan
kriteria hasil sebagai berikiut
1) Tidak ada kontraktur otot
2) Tidak ada ankilosis pada sendi
3) Tidak terjadi penyusutan otot

Intervensi
1) Kaji fungsi sensorik dan motorik dengan mengobservasi setiap ekstremitas secara terpisah terhadap
kekuatan dan gerakan normal, respon terhadap ransang
Rasional: lobus frontal dan parietal berisi saraf-saraf yang mengatur fungsi motorik dan
sensorik yang dapat dipengaruhi oleh iskemia dan peningkatan tekanan
2) Ubah posisi setiap 2 jam Rasional: mencegah terjadinya luka tekan akibat tidur terlalu lama pada
satu sisi sehingga terjadi kekurangan nutrisi yang dibawa darah melalui pada daerah yang tertekan.
Jangan gunakan bantal dibawah lutut saat posisi klien terlentang karena akan beresiko mengalami
hiperekstensi pada lutut. Tetapi letakkan gulungan handuk dalam waktu singkat
3) Lakukan latihan secara teratur dan letakkan telapak kaki klien di lantai saat duduk di kursi atau
papan penyangga saat tidur ditempat tidur
Rasional: mencegah terjadinya deformasi dan komplikasi yaitu foodrop
4) Topang kaki saat mengubah posisi dengan meletakkan bantal pada salah satu sisi saat membalik
klien
Rasional: dapat terjadi dislokasi Panggul jika meletakkan kaki terkulai dan jatuh
5) Pada saat klien ditempat tidur letakan bantal pada ketiak klien antara lengan atas dan dinding dada
untuk mencegah abduksi bahu dan letakkan lengan posisi membentuk sudut 60
Rasional: posisi ini membidangi bahu dalam berputar dan mencegah edema dan akibat fibrosis
6) Jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi
Rasional: mencegah kontraktor fleksi
7) Letakkan tangan dalam posisi berfungsi dengan jari-jari sedikit fleksi dan ibujari dalam posisi
berhubungan dengan abduksi, gunakan pegangan berbentuk roll lakukan latihan pasif jika jari dan
pergelangan tangan spastik gunakan splints
Rasional: membantu klien yang mengalami hemiplegi ditempat tidur yang berarti memberikan
harapan dan mempersiapkan aktivitas dikemudian hari
akan perasaan optimis sembuh.
8) Lakukan latihan ditempat tidur. Lakukan Latihan kaki sebanyak 5 kali kemudian tingkatkan secara
perlahan sebanyak 20 kali setiap latihan.
Rasional: klien hemiplegia dapat berlajar menggunakan kakinya yang mengalami kelumpuhan
9) Lakukan latihan perpindahan (ROM)
Rasional: lengan dapat menyebabkan nyeri dan keterbatasan pergerakan berhubungan dengan
fibrosis sendi atau subduksi
10) Bantu klien duduk atau bangun dari tempat tidur
Rasional: klien hemiplegia memiliki ketidakseimbangan sehingga perlu dibantu untuk
keselamatan dan keamanan
11) Gunakan kursi roda bagi klien Hemiplegia
Rasional: klien Hemiplegia memerlukan latihan untuk belajar berpindah tempat secara aman
dari kursi, toilet, dan kursi roda.
b. Dx 2: Defisit perawatan diri berhubungan dengan paralisis Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam pememuhan kebersihan diri mandi, gigi, mulut, berpakaian dan
menyisir rambut terpenuhi dengan kriteria hasil sebagai berikut:
1) Nafas tidak berbau
2) Klien tampak bersih dan rapi
3) Kebutuhan terpenuhi.
Intervensi Keperawatan
1) Lakukan oral hygiene
Rasional: dengan membersihkan mulut perawat dapat menemukan kesehatan pada
gigi klien
2) Bantu klien mandi Rasional: memandikan klien merupakan salah satu cara
memperkecil infeksi nosocomial
3) Bantu klien menyisir rambut Rasional: menyisir rambut merupakan salah satu bentuk
fisioterapi
4) Ganti alas tempat tidur Rasional: tempat tidur yang kotor merupakan tembat
berkembang biaknya kuman
c. Risiko cedera berhubungan dengan paralisis
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 7x24 jam klien tidak mengalami trauma
dengan kriteria hasil sebagai berikut:
1) Klien tidak jatuh
2) Tidak terdapat luka lecet
3) Klien tidak mengalami cedera
Intervensi keperawatan
1) Pasang pagar tempat tidur
Rasional: pagar tempat tidur melindungi klien dengan hemiplegia jatuh dari
tempat tidur
2) Gunakan cahaya yang cukup
Rasional: gangguan visual meningkatkan trauma pada klien.
3) Anjurkan klien berjalan perlahan
Rasional: mencegah adanya cedera tambahan pada klien
d. Dx 2: Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam masalah teratasi dengan
kriteria hasil sebagai berikut:
4) Mengidentifikasi faktor risiko individual
5) Mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan tindakan
6) Berpatisipasi pada tingkatb kemampuan untuk menvegah kerusakan kulit
Intervensi Keperawatan
1) Inspeksi seluruh area kulit catat pengisian kapiler, adanya kemerahan,
pembengkakan
Rasional: Kulit biasanya cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer,
ketidakmampuan merasakan tekanan, imobilisasi, gangguan pengaturan suhu
2) lakukan masase dan lubrikasi pada kulit dengan lotion, minyak, lindungi sendi
dengan menggunakan bantalan busa
Rasional: Meningkatnya sirkulasi dan melindungi permukaan kulit, mengurangi
terjadinya ulserasi. Pasien pasien dengan paraplegia memerlukan perlindungan
seumur hidupnya terhadap kemungkinan terjadinya luka decubitus yang dapat
menyebabkan nekrosis dan sepsis
3) ubah posisi setiap 2 jam
Rasional: Meningkatkan sirkulasi pada kulit dan mengurangi tekanan pada daerah
tulang menonjol
4) bersihkan dan keringkan kulit khususnya daerah daerah yang lembab seperti
perineum
Rasional: Kulit yang bersih dan kering tidak akan cenderung mengalami
kerusakan
5) lakukan perawatan luka sesuai kondisi
Rasional: Perawatan luka dilakukan untuk mencegah infeksi dan tempat untuk
regenerasi sel.
4. Evaluasi
hasil yang diharapkan
a. memperlihatkan peningkatan pertukaran gas dan bersihan jalan napas dari sekresi yang diperlihatkan
oleh bunyi napas normal pada saat pengkajian
1) bernapas dengan mudah tanpa napas pendek
2) Melatif napas dalam setiap jam, batuk efektif, dan paruparu bersih dari secret
3) Bebas dari infeksi paru-paru (mis. Suhu normal, frekuensi nadi dan pernapasan normal, bunti
napas normal, tidak ada sputum)
b. Bergerak dalam batas disfungsi memperlihatkan usaha melakukan latihan dalam batas fungsi
c. Mendemostrasikan integritas kulit dengan opytimal
d. Mencapai fungsi kandung kemih

BAB III
PEMBAHASAN TERFOKUS

A. Pengertian
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung atau tak
langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik,
dan refl eks, baik komplet ataupun inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian
dan kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi penduduk USA dan
membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di USA
B. Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur
Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi medula
spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis berupa rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden
ataupun desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu
jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba,
dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus
panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang paling
berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi medula spinalis
terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah kapiler dan
vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi tulang

1. Mekanisme kerusakan primer


Mekanisme kerusakan primer Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer:
1) gaya impact dan kompresi persisten
2) gaya impact tanpa kompresi
3) tarikan medula spinalis
4) laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada selubung
mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu, baik karena efek trauma ataupun
oleh efek massa akibat pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan
ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami
kerusakan pada 72 jam setelah trauma
2. Mekanisme kerusakan sekunder
Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan sekunder. Kerusakan
sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan
iskemia, eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena
proses imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan
Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder
Beberapa peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara lain aktivasi reseptor
μ dan δ opioid dapat memperlama proses eksitotoksik. Aktivasi reseptor Kappa dapat berefek
eksaserbasi penurunan aliran darah dan menginduksi eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu,
seperti asetilkolin dan serotonin, juga akan meningkat dan memiliki efek vasokonstriksi, aktivasi
trombosit, serta peningkatan permeabilitas endotel

C. penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi memperlihatkan pentingnya
penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan prognosis pemulihan neurologis pasien TMS
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
a. Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
b. Breathing dan ventilasi
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
d. Disabilitas (status neurologis)
e. Exposure/environmental control
Klasifi kasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat diketahui melalui
pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien
menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofl eksi. Fungsi autonom dinilai dengan melihat ada
tidaknya retensi urin, priapismus, atau hilang tidaknya tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit yang hangat
dan adanya fl ushing menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma.
2. Penatalaksanaan Gawat Darurat Stabilisasi vertebra
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat diimobilisasi sementara
menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat
abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan fi ksasi segmen
bersangkutan. Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak dapat direduksi dengan
traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status
neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen konservatif

3. Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan oksigenasi juga
mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat
berupa edema, perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik
seluler.5,10 Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik, glutamat, produksi
radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian
sel.
Bertambahnya pemahaman fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan terapi
farmakologi. Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor opioid,
gangliosida, thyrotropinreleasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium, termasuk golongan
imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru
kortikosteroid yang secara klinis bermakna.
a. Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan dengan
beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan
darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta
bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah
kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan vasopresor ini harus
diimbangi dengan pemantauan status cairan karena penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan
membuat vasokonstriksi perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer
b. Terapi kerusakan sekunder
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk keluaran (outcome) apabila
tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat patofi siologi yang sangat variatif
1) Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema vasogenik
dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat pelepasan endorfi n dari hipofi sis, dan
menghambat respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinfl amasi dan
antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat
menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan faktor komplemen yang beredar,
inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan
penumpukan ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan.
2) 21-Aminosteroid (Lazaroid)
21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja dengan mengurangi proses
peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin E. Efek lainnya adalah mengurangi enzim hidroksi
peroksidase serta menstabilkan membran sel, namun penggunaannya masih belum terbukti
menghasilkan keluaran yang lebih baik.
3) Penyekat Kanal Kalsium
Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik, vasospasme arteri,
blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA; obat yang dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya
adalah benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium. Nimodipin adalah
golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi
blokade kanal ion kalsium sehingga mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding
sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan iskemi post
trauma, dibuktikan dengan efeknya pada aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis masih
belum terbukti mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada keterlibatan kanal ion
lain. Infl uks kalsium
4) Penyekat Kanal Natrium
Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel pascatrauma. Efek obat ini adalah
sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan antikonvulsi dengan tujuan melindungi sel pascatrauma. Studi
in vivo menggunakan tetrodotoksin dan golongan lain, seperti QX314, masih belum menunjukkan efek
yang diharapkan, begitu pula penggunaan riluzol oleh Schwartz dan Fehlings masih belum
menghasilkan perbaikan klinis.

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penatalaksanaan trauma medula spinalis masih membutuhkan studi lebih lanjut terkait pilihan
medikamentosa terbaik. Penggunaan kortikosteroid membutuhkan kajian lebih mendalam terkait efek
samping seperti sepsis dan perdarahan lambung yang dikatakan lebih sering dan lebih berbahaya
dibandingkan efek yang diharapkan. Pemahaman biomekanika proses trauma disesuaikan dengan konsep
biomolekular kerusakan yang terjadi dapat digunakan sebagai pedoman penatalaksanaan terkait trauma
ataupun komplikasi lain akibat kerusakan medula spinalis.
Dari hasil pembahasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa cedera medulla spinalis adalah
suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis.
Penyebabnya antara lain trauma dan kelainan pada vertebra (seperti atrofo spinal, fraktur patologik,
infeksi, osteoporosis, kelainan congenital, dan gangguan vascular). Instabilitas pada vertebra
mengakibatkan penekanan saraf di medulla spinalis sehingga terjadi gangguan.
Hal ini menyebabkan gangguan fungsi organ-organ yang hipersarafi yaitu usus, genetalia, urinaria,
rectum, dan ekstremitas bawah. Penatalaksanaan ditujukan untuk mencegah akibat lanjut dari cedera
tersebut.

B.SARAN
Selayaknya seorang mahasiswa keperawatan dan seorang perawat dalam setiap pemberian asuhan
keperawatan termasuk dalam asuhan keperawatan cedera medulla spinalis menggunakan konsep yang
sesuai dengan kebutuhan dasar manusia yang bersifat holistic yang meliputi aspek biopsikospiritual dan
semoga makalah ini dapat digunakan sebagai titik acuh khalayak umum.

DAFTAR PUSTAKA

Randall JD. Acute spinal cord injury, part I&II: pathophysiologic mechanisms, clinical
neuropharmacology.Clin. Neuropharmacol. 2001;24:254–64.
Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma medula
spinalis.Jakarta: Prikarsa Utama; 2006.
Tjokorda GBM, Maliawan S. Diagnosis dan tatalaksana kegawat daruratan tulang
belakang. Jakarta:Sagung Seto; 2009.
Wahjoepramono EJ. Medula spinalis dan tulang belakang. Jakarta: Suburmitra
Grafi stama; 2007. 5. Gall A, Stokes LT.Chronic spinal cord injury: management of patients in acute
hospital settings.Clin Med. 2008;8:70–4.

Anda mungkin juga menyukai