Menurut Kristin (2016 : 92) , terdapat 3 karakteristik model pembelajaran discovery learning
yaitu:
Selain itu Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh
teori konstruktivisme, yaitu :
Menurut Piaget (Wadsworth, 1984: 29) ada empat fakor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif seseorang yaitu: pengalaman, kematangan, transmisi sosial dan
equilibrasi atau keseimbangan internal. Interaksi keempat faktor ini menjadi landasan
bagi perkembangan kognitif atau konstruksi struktur mental seseorang. Teori belajar
kognitif ini berfokus pada apa yang terjadi dalam pikiran pelajar saat informasi baru
diperoleh. Menurut piaget, tujuan utama dalam pembelajaran adalah untuk memasukkan
informasi baru ke dalam jaringan asosiasi yang sudah ada yang dimiliki peserta didik. Ini
dilakukan dengan membuat jaringan baru atau mengatur ulang jaringan lama untuk
menampung informasi baru. Untuk melakukan ini, pelajar secara konstan memantau
informasi baru dan memeriksa memori untuk ide-ide terkait untuk membuat koneksi. Jika
tidak ada ide terkait, jaringan baru tetapi sangat lemah akan terbentuk dengan
menggunakan tautan apa pun ke pengetahuan sebelumnya yang dapat dibuat. Dengan
penggunaan berulang, jaringan baru ini diperkuat dan dikembangkan hingga menjadi
baik.
Dalam teori ini, instruksi menetapkan panggung untuk penguatan atau penciptaan
jaringan ini. Selama pengajaran, perhatian pelajar perlu difokuskan pada informasi kritis.
Koneksi ke pengetahuan sebelumnya ditunjukkan oleh instruktur atau ditemukan oleh
siswa. Konsistensi dalam organisasi ditandai, contoh dan analogi digunakan untuk
memperkaya jaringan, dan akhirnya, jaringan baru atau yang telah direvisi diuji melalui
berbagai peluang pengambilan. Jika pelajar menemukan bahwa tanggapan berdasarkan
struktur jaringan sudah benar, organisasi tetap ada. Jika tidak, pelajar mencari struktur
baru yang lebih akurat. Selama seluruh proses ini, pelajar juga harus menyadari
bagaimana dia membuat keputusan tentang pemahaman dan kebenaran dari asosiasinya.
Penelitian Piaget dengan jelas mengatakan bahwa lingkungan belajar harus kaya akan
pengalaman fisik. Keterlibatan, katanya, adalah kunci perkembangan intelektual, dan
untuk anak sekolah dasar ini termasuk manipulasi fisik langsung terhadap objek. Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan
yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari
kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi
adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga
informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang
akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang
cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Dari Teori Kontruktivis Piaget, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan
mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
(1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi)
dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan
teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa
yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.
Dewey menyerukan agar pendidikan didasarkan pada pengalaman nyata. Dia menulis,
"Jika Anda ragu tentang bagaimana pembelajaran terjadi, terlibatlah dalam penyelidikan
berkelanjutan: belajar, merenungkan, mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan
sampai pada keyakinan Anda yang didasarkan pada bukti."
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa
sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau
tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare
Noegayya 2012). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa
maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan
mendorong siswa untuk berfikir proaktifdan mampu mencari pemecahan masalah, di
samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat
berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal
Menurut John Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang
menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan
pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori
konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi
yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada
keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang
merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki.
Bruner memandang manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Karena
itu Bruner memusatkan perhatiannya pada apa yang dilakukan manusia dengan informasi
yang diterimanya dan apa yang dilakukamnnya sesudah memperoleh informasi itu untuk
mencapai pemahaman. Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi.
Pertama, perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan
para penganut teori perilaku, Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam
orang itu sendiri. Kedua, orang mengkonstruksi pengetahuannnya dengan
menghubungkan informasi yang baru diterima dengan informasi sebelumnya yang sudah
disimpan dalam struktur kognitif.
Menurut Bruner (dalam Moreno, 2010) belajar penemuan (discovery learning) adalah
suatu teori belajar yang menekankan pada pentingnya cara- cara bagaimana individu
memilih, mempertahankan, dan mengubah informasi secara efektif dengan mendorong
siswa untuk mempunyai pengalaman belajar secara langsung dan melakukan percobaan-
percobaan sendiri agar mereka menemukan prinsip-prinsip bagi mereka sendiri. Dalam
memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap
tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learningia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan,
atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupanya.
Dalam proses belajar, siswa akan melalui tiga tahapan berikut (Syah, 2010)
1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi), dalam tahap ini, seorang siswa yang
sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang
dipelajari.
2. .Tahap transformasi (tahap pengubahan materi), dalam tahap ini, informasi yang telah
diperoleh itu dianalisis, diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak
atau konseptual .
3. Tahap evaluasi, dalam tahan evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh
mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
Sedangkan dalam pelaksanaan pembelajaran, Bruner menganjurkan guru untuk
mengatur materi atau informasi yang akan diberikan melalui tiga tahap yang harus
dilaksanakan berurutan sebagai berikut
1. Enaktif, yaitu tahap pembelajaran yang mengatur agar pengetahuan itu dipelajari
secara aktif misalnya dengan menggunakan benda-benda kongkrit atau menggunakan
situasi yang nyata. Dalam tahap ini kegiatan belajar siswa adalah bertujuan untuk
memahami lingkungan melalui pengalaman langsung atas suatu realitas.
2. Ikonik, yaitu tahap pembelajaran yang mengatur pengetahuan agar ia dapat
direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar, atau diagram
yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi nyata yang terdapat pada tahap
enaktif. Tujuannya adalah agar siswa dapat melihat dunia riil melalui gambar-gambar
dan visualisasi verbal yang lebih menyederhanakan.
3. Simbolik, yaitu tahap pembelajaran yang membuat pengetahuan siswa tentang
realitas yang telah diamati dan dialami dapat dipahami dalam bentuk simbol bahasa
verbal atau ide-ide abstrak seperți teori, analisis, lambang-lambang matematika, atau
simbol abstrak lainnya.
Model pembelajaran penyingkapan (Discovery Learning) adalah memahami konsep, arti, dan
hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Proses
Discovery terjadi bila individu terlibat terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk
menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan, dan
inferensi. Proses di atas disebut cognitive process. Langkah kerja (sintak) model Discovery
Learning dalam pembelajaran penyingkapan/penemuan adalah sebagai berikut:
Agar penggunaan metode discovery learning efektif, maka seorang guru tidak hanya perlu
fleksibel, tetapi juga disiapkan dengan baik, terorganisir, dan memiliki pemahaman tentang
bagaimana apa yang ditemukan di kelas adalah yang berharga secara pendidikan dan dapat
menyebabkan investigasi lebih lanjut bagi siswa. Guru perlu dapat membantu anak-anak, yang
sudah ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka, belajar bagaimana mengajukan pertanyaan
yang akan membantu mereka memahami lingkungan mereka. Guru juga harus tahu di mana
siswa mereka sedang perkembangan dan bagaimana itu akan berperan dalam seorang anak
menemukan kesuksesan dalam pelajaran. Ini mungkin terdengar seperti tujuan yang tinggi, tetapi
sebagian besar pendidik harus memperhatikan psikologi perkembangan yang secara khusus
diarahkan pada usia yang ingin mereka kerjakan. Selain itu, guru menggunakan metode
penemuan pembelajaran Sebaliknya, mereka berinteraksi dengan siswa untuk melihat apa yang
dilakukan siswa, pertanyaan macam apa yang diminta, dan membantu mereka menerapkan
keterampilan baru yang mungkin diperlukan untuk menyelesaikan masalah dan menarik
kesimpulan. Guru juga harus menyadari bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai tujuan
akhir. Metode discovery Learning adalah pilihan yang bagus untuk siswa, serta siswa dengan
masalah perilaku atau perkembangan. Siswa yang tidak bisa duduk diam di kelas akan memiliki
kesempatan untuk secara aktif mengambil bagian dalam proses pembelajaran. Siswa yang bahasa
pertamanya bukan bahasa Inggris akan mengeksplorasi ide-ide alih-alih diberi tahu apa yang
harus dipikirkan dan mungkin tidak memahami konsep tersebut karena hambatan bahasa. Ketika
metode discovery Learning digunakan, siswa lebih sering mengalami tugas karena mereka secara
aktif merupakan bagian dari proses pembelajaran.
Lebih jelasnya lagi, dalam pengelolaan kelas perlu diperhatikan 5 hal berikut:
1. Tetapkan wawancara untuk memicu rasa ingin tahu
Bantulah siswa menemukan informasi luar biasa yang dapat mereka kumpulkan hanya dengan
berbicara dengan orang lain. Tugasi wawancara, dan mintalah siswa menulis ringkasan
tentang apa yang mereka pelajari, apa yang mengejutkan mereka, dan keuntungan
mempelajari informasi langsung dari sumber.
“Ketika siswa melakukan penelitian mereka sendiri, mengajukan pertanyaan kritis, dan
membuat kesimpulan sendiri, mereka memperkuat keterampilan pemecahan masalah
mereka.”
2. Mintalah siswa bersolo karier
Beberapa proyek pembelajaran penemuan terbaik dilakukan sendiri. Beri siswa Anda
masalah atau subjek untuk diteliti sendiri. Dorong mereka untuk menggunakan teknologi
sebagai bagian dari penelitian mereka, dan kemudian minta mereka kembali bersama untuk
melihat apa yang dipelajari semua orang dan apa yang mereka temukan sendiri.
3. Menggabungkan proyek berbasis data
Menugaskan data yang berkaitan dengan sebuah topik, dan imbaulah siswa untuk
menyelidiki, mengajukan pertanyaan, dan membentuk kesimpulan mereka sendiri. Mereka
tidak hanya akan melihat bahwa mengetahui cara menganalisis data secara objektif memberi
mereka wawasan tentang topik yang mereka pelajari, tetapi juga bagaimana keterampilan
analisis data sangat kuat di luar kelas.
4. Lakukan pembedahan virtual
Terkadang bahan yang langsung sulit ditemukan (atau dibeli). Alih-alih, gunakan
pembedahan virtual untuk mendorong siswa menemukan cara kerja berbagai hal. Siswa dapat
menyelidiki dan mengajukan pertanyaan tanpa harus mengambil pisau bedah.
5. Mendorong kesalahan dan perjuangan produktif
Ketika siswa mengendalikan pembelajaran mereka sendiri, kesalahan tidak bisa dihindari.
Tetapi kesalahan adalah bagian dari Discovery Learning. Memberikan umpan balik yang
tepat waktu, memperbaiki kesalahan dengan cepat, dan terus menerus mendorong siswa untuk
terus melakukannya sangat penting untuk mendorong siswa melewati masalah yang sulit.
Untuk melakukan penilaian pembelajaran berbasis penemuan atau discovery learning ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru. Menurut Arends, Guru hendaknya
mempertimbangkan sejumlah prinsip saat menyusun tesuntuk mengukur perkembangan
konseptual atau keterampilan inkuiri siswa. Tes harus mencakup contoh yang mengukur
kemampuan siswa untuk menggeneralisasi ke contoh konsep yang baru ditemui. Tes juga harus
menilai kemampuan siswa untuk membedakan antara contoh dan bukan contoh serta untuk
menunjukkan kemampuan untuk berasumsi dan penalaran yang salah. Tes juga dapat
menggunakan format yang berbeda, seperti benar-salah, pilihan ganda, pencocokan, jawaban
singkat, atau esai pendek.
Sistem penilaian dalam Model Pembelajaran Discovery Learning dapat dilakukan dengan tes
maupun nontes. Untuk penilaiannya dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian
hasil kerja siswa. Jika akan melakukan penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran
discovery learning dapat menggunakan tes tertulis..Proses penilaian dalam penerapan Model
Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan selain menggunakan jenis penilaian tertulis
dan penilaian diri, juga dilakukan melalui penilaian sikap, penilaian kinerja dan produk yang
merupakan keterampilan siswa. Jika bentuk
penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap,atau penilaian hasil kerja siswa maka
pelaksanaan penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan
Penilaian ini merupakan tes yang dimana soal dan jawaban diberikan kepada peserta didik
dalam bentuk tulisan. Untuk menjawal soal, peserta didik tidak selalu menjawab dalam bentuk
menguraikan jawaban namun juga dapat dengan memberi tanda, mewarnai, menggambar, dan
sebagainanya. Tes tertulis terbagi menjadi dua bentuk :
- Tes dengan memilih jawaban : pilihan ganda, dua pilihan (benar-salah), atau
menjodohkan
- Tes dengan menguraikan jawaban : isian atau melengkapi pertanyaan, jawaban singkat,
soal uraian
Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
2. Penilaian Diri
Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subjek yang ingin dinilai
diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian
kompetensi yang dipelajari dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang berkaitan
dengan kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di kelas,
berkaitan dengan kompetensi kognitif : peserta didik dapat diminta untuk menilai penguasaan
pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu,
berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif :
peserta didik dapat diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap
suatu obyek sikap tertentu. Selanjutnya, peserta didik diminta untuk melakukan penilaian
berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi psikomotorik
: peserta didik dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya
sebagai hasil belajar berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
3. Penilaian sikap
Penilaian sikap dilakukan baik didalam maupun diluar kelas yang berisi informasi hasil
pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik berkaitan dengan sikap dan perilaku,
namun yang terutama dilakukan selama proses belajara mengajar berlangsung, pada penilain
sikap dapat melibatkan teman sejawat sesama siswa dalam satu kelas untuk menilai rekan yang
ditunjuk oleh guru untuk dinilai, penilaian ini dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung
selanjutnya penilaian tersebut dilaporkan kepada guru. Penilaian sikap juga bisa dilakukan oleh
guru bersangkutan secara langsung selama proses pembelajaran.
4. Penilaian Keterampilan
Seorang guru dalam menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kerja. Penilaian hasil
kerja baik berupa produk atau prosesnya yaitu penilaian yang menuntut peserta didik
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktek, projek ataupun
penilaian portofolio.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arends
Firmansyah. 2015. Manajemen Pembelajaran Discovery Learning pada Bidang Studi Ilmu
Pengetahuan Sosial Berbasis Kurikulum 2013 dalam Jurnal Universitas Bengkulu (Online).
https://ejournal.unib.ac.id/index.php/manajerpendidikan/article/viewFile/1154/962 (diakses 3
Maret 2021)
___. 2013. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
https://www.academia.edu/download/51452270/MODEL_PEMBELAJARAN_PENEMUAN.pd
f (diakses 2 Maret 2021)
https://www.showbie.com/bring-discovery-learning-to-your-classroom-with-these-5-ideas/
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://pgdikdas.kemdikbud.go.id/
read-news/mengenal-model-pembelajaran-discovery-learning&ved=2ahUKEwjW-
aeOk5nvAhVLWH0KHQcIAV4QFjAEegQIBxAC&usg=AOvVaw2WlkRx3Egcvc5qUMmHxrt
B
https://www.google.com/amp/s/elearningindustry.com/discovery-learning-model/amp