Anda di halaman 1dari 17

RESUME MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING KELOMPOK 3

Diampu oleh:

Dr. Ismail, M.Pd.


Dr. Pradnyo Wijayanti, M.Pd.

Disusun oleh:

Muhammad Taufiqurrahman (19030174001)


Merin Vandira Gatsmir (19030174005)
Naili Fauziyah Elgiyan (19030174007)
Aini Ayuning Tias (19030174014)
Grisa Fima Nurandika (19030174017)
Annafi Rosiandi (19030174034)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN MATEMATIKA

2020/2021
A. Definisi Model Pembelajaran Discovery Learning

Model pembelajaran Discovery Learning merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang
melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara
sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya.

B. Tujuan Model Pembelajaran Discovery Learning


Menurut pendapat Bell (1978), metode ini memiliki tujuan melatih siswa untuk mandiri dan
kreatif, berikut beberapa tujuan pembelajaran discovery learning :
1. Keterampilan dalam keadaan belajar penemuan beberapa kasus, lebih mudah ditransfer untuk
aktifitas yang baru serta mengaplikasikannya dalam situasi belajar yang baru.
2. Beberapa fakta membuktikan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep, serta prinsip-
prinsip yang dipelajari lewat penemuan lebih bermakna.
3. Melalui discovery learning dapat membantu siswa untuk membentuk cara bekerjasama yang
efektif, saling memberikan informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain.
4. Siswa belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak campur aduk serta menggunakan
tanya jawab dalam mendapatkan informasi yang bermanfaat.
5. Melalui discovery learning siswa menemukan pola dalam situasi konkrit maupun abstrak, serta
siswa juga banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.
6. Siswa memiliki kesempatan terlibat dalam pembelajaran secara aktif.

C. Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning


Menurut Kristin (2016 : 92) , terdapat 3 karakteristik model pembelajaran discovery learning
yaitu:

1. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan


menggeneralisasika pengetahuan
2. Berpusat pada siswa
3. Kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.
Selain itu Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh
teori konstruktivisme, yaitu :

1. Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar


2. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada siswa.
3. Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai.
4. Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil.
5. Mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan.
6. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
7. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa.
8. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa.
9. Mendasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip kognitif.
10. Banyak menggunakan terminilogi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran; seperti
predeksi, inferensi, kreasi dan analisis.
11. Menekankan pentingnya “bagaimana” siswa belajar.
12. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain
dan guru.
13. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.
14. Menekankan pentingnya konteks dalam belajar.
15. Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar.
16. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman
baru yang didasari pada pengalaman nyata.

D. Landasan Teori Model Pembelajaran Discovery Learning

1. Teori Kognitif Piaget


Menurut Piaget (Wadsworth, 1984: 29) ada empat fakor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif seseorang yaitu: pengalaman, kematangan, transmisi sosial dan
equilibrasi atau keseimbangan internal. Interaksi keempat faktor ini menjadi landasan bagi
perkembangan kognitif atau konstruksi struktur mental seseorang. Teori belajar kognitif
ini berfokus pada apa yang terjadi dalam pikiran pelajar saat informasi baru diperoleh.
Menurut piaget, tujuan utama dalam pembelajaran adalah untuk memasukkan informasi
baru ke dalam jaringan asosiasi yang sudah ada yang dimiliki peserta didik. Ini dilakukan
dengan membuat jaringan baru atau mengatur ulang jaringan lama untuk menampung
informasi baru. Untuk melakukan ini, pelajar secara konstan memantau informasi baru dan
memeriksa memori untuk ide-ide terkait untuk membuat koneksi. Jika tidak ada ide terkait,
jaringan baru tetapi sangat lemah akan terbentuk dengan menggunakan tautan apa pun ke
pengetahuan sebelumnya yang dapat dibuat. Dengan penggunaan berulang, jaringan baru
ini diperkuat dan dikembangkan hingga menjadi baik.

Dalam teori ini, instruksi menetapkan panggung untuk penguatan atau penciptaan
jaringan ini. Selama pengajaran, perhatian pelajar perlu difokuskan pada informasi kritis.
Koneksi ke pengetahuan sebelumnya ditunjukkan oleh instruktur atau ditemukan oleh
siswa. Konsistensi dalam organisasi ditandai, contoh dan analogi digunakan untuk
memperkaya jaringan, dan akhirnya, jaringan baru atau yang telah direvisi diuji melalui
berbagai peluang pengambilan. Jika pelajar menemukan bahwa tanggapan berdasarkan
struktur jaringan sudah benar, organisasi tetap ada. Jika tidak, pelajar mencari struktur baru
yang lebih akurat. Selama seluruh proses ini, pelajar juga harus menyadari bagaimana dia
membuat keputusan tentang pemahaman dan kebenaran dari asosiasinya.

2. Teori Piaget, Vygotsky dan Kontruktivisme


Teori konstruktivis ini didasarkan pada gagasan bahwa siswa membangun
pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri tentang dunia melalui mengalami berbagai
hal dan merefleksikan pengalaman tersebut.
Penelitian Piaget dengan jelas mengatakan bahwa lingkungan belajar harus kaya akan
pengalaman fisik. Keterlibatan, katanya, adalah kunci perkembangan intelektual, dan
untuk anak sekolah dasar ini termasuk manipulasi fisik langsung terhadap objek. Piaget
yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan
yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari
kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah
menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi
tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang
lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan
ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Dari Teori Kontruktivis Piaget, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas
yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
(1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
(3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi)
dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam
penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah
interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD)
merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa
atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan
pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran,
kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan
memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih
diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.

3. John Dewey, Learning by Doing


John Dewey terkenal menulis tentang pembelajaran yang berpusat pada siswa di
awal abad ke-20. Dalam bukunya The Child and The Curriculum, ia menekankan bahwa
anak-anak membutuhkan kesempatan untuk mengeksplorasi, mengalami, dan
menghubungkan informasi agar benar-benar memahami dan menginternalisasi prinsip-
prinsip abstrak. Dewey juga merasa bahwa kurikulum tidak boleh dibuat menarik bagi
siswa, tetapi harus sudah menjadi minat siswa untuk menghindari sikap apatis. John Dewey
menolak anggapan bahwa sekolah harus fokus pada pengulangan, hafalan yang menghafal
& mengusulkan metode "hidup terarah" - siswa akan terlibat dalam lokakarya praktis di
dunia nyata di mana mereka akan menunjukkan pengetahuan mereka melalui kreativitas
dan kolaborasi. Siswa harus diberi kesempatan untuk berpikir dari diri mereka sendiri dan
mengartikulasikan pemikiran mereka.
Dewey menyerukan agar pendidikan didasarkan pada pengalaman nyata. Dia
menulis, "Jika Anda ragu tentang bagaimana pembelajaran terjadi, terlibatlah dalam
penyelidikan berkelanjutan: belajar, merenungkan, mempertimbangkan kemungkinan
alternatif dan sampai pada keyakinan Anda yang didasarkan pada bukti."
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat
siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau
tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Weare
Noegayya 2012). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa maka
suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa
untuk berfikir proaktifdan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum
yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan
memiliki hasil maksimal
Menurut John Dewey, pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi
pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk
mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori
konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang
dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada
keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang
merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki.

4. Teori Jerome Bruner: Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning)


Model Pembelajaran Penemuan adalah gaya pembelajaran aktif dan langsung, yang
dimulai oleh Jerome Bruner pada tahun 1960-an. Bruner menekankan bahwa kita harus
"belajar sambil melakukan". Dengan metode ini, siswa berperan aktif daripada pasif
menerima ilmu. Siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan mengeksplorasi dan
memanipulasi objek, bergulat dengan pertanyaan dan kontroversi atau melakukan
eksperimen. Mereka didorong untuk berpikir, mengajukan pertanyaan, berhipotesis,
berspekulasi, bekerja sama dan berkolaborasi dengan orang lain. Mereka mengembangkan
kepercayaan diri dalam pemecahan masalah dan merasa nyaman menggunakan
pengetahuan yang sudah mereka miliki. Alih-alih seorang siswa menjadi wadah kosong
untuk diisi oleh seorang guru dengan pengetahuan.

Bruner memandang manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Karena
itu Bruner memusatkan perhatiannya pada apa yang dilakukan manusia dengan informasi
yang diterimanya dan apa yang dilakukamnnya sesudah memperoleh informasi itu untuk
mencapai pemahaman. Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi.
Pertama, perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan
para penganut teori perilaku, Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam
orang itu sendiri. Kedua, orang mengkonstruksi pengetahuannnya dengan menghubungkan
informasi yang baru diterima dengan informasi sebelumnya yang sudah disimpan dalam
struktur kognitif.

Menurut Bruner (dalam Moreno, 2010) belajar penemuan (discovery learning) adalah
suatu teori belajar yang menekankan pada pentingnya cara- cara bagaimana individu
memilih, mempertahankan, dan mengubah informasi secara efektif dengan mendorong
siswa untuk mempunyai pengalaman belajar secara langsung dan melakukan percobaan-
percobaan sendiri agar mereka menemukan prinsip-prinsip bagi mereka sendiri. Dalam
memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap
tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learning ia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupanya.
Dalam proses belajar, siswa akan melalui tiga tahapan berikut (Syah, 2010)
1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi), dalam tahap ini, seorang siswa yang
sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang
dipelajari.
2. .Tahap transformasi (tahap pengubahan materi), dalam tahap ini, informasi yang telah
diperoleh itu dianalisis, diubah atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak
atau konseptual .
3. Tahap evaluasi, dalam tahan evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh
mana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
Sedangkan dalam pelaksanaan pembelajaran, Bruner menganjurkan guru untuk
mengatur materi atau informasi yang akan diberikan melalui tiga tahap yang harus
dilaksanakan berurutan sebagai berikut
1. Enaktif, yaitu tahap pembelajaran yang mengatur agar pengetahuan itu dipelajari
secara aktif misalnya dengan menggunakan benda-benda kongkrit atau menggunakan
situasi yang nyata. Dalam tahap ini kegiatan belajar siswa adalah bertujuan untuk
memahami lingkungan melalui pengalaman langsung atas suatu realitas.
2. Ikonik, yaitu tahap pembelajaran yang mengatur pengetahuan agar ia dapat
direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar, atau diagram
yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi nyata yang terdapat pada tahap
enaktif. Tujuannya adalah agar siswa dapat melihat dunia riil melalui gambar-gambar
dan visualisasi verbal yang lebih menyederhanakan.
3. Simbolik, yaitu tahap pembelajaran yang membuat pengetahuan siswa tentang
realitas yang telah diamati dan dialami dapat dipahami dalam bentuk simbol bahasa
verbal atau ide-ide abstrak seperți teori, analisis, lambang-lambang matematika, atau
simbol abstrak lainnya.

E. Sintaks Model Pembelajaran Discovery


Model pembelajaran penyingkapan (Discovery Learning) adalah memahami konsep,
arti, dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan.
Proses Discovery terjadi bila individu terlibat terutama dalam penggunaan proses mentalnya
untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan, dan
inferensi. Proses di atas disebut cognitive process. Langkah kerja (sintak) model Discovery
Learning dalam pembelajaran penyingkapan/penemuan adalah sebagai berikut:

1) Pemberian rangsangan (stimulation);

2) Pernyataan/Identifikasi masalah (problem statement);

3) Pengumpulan data (data collection);

4) Pengolahan data (data processing);.

5) Pembuktian (verification); dan

6) Menarik simpulan/generalisasi (generalization).

Berdasarkan sintak tersebut, langkah-langkah pembelajaran discovery learning yang bisa


dirancang oleh guru adalah sebagai berikut:

LANGKAH AKTIVITAS PESERTA


AKTIVITAS GURU
KERJA DIDIK

Pemberian Guru memulai kegiatan  Peserta didik dihadapkan pada


rangsangan pembelajaran dengan sesuatu yang enimbulkan
(Stimulation) mengajukan pertanyaan, kebingungannya, kemudian
anjuran membaca buku, dan dilanjutkan untuk tidak
aktivitas belajar lainnya yang memberi generalisasi, agar
mengarah pada persiapan timbul keinginan untuk
pemecahan masalah. menyelidiki sendiri.
 Stimulasi pada fase ini
berfungsi untuk menyediakan
kondisi interaksi belajar yang
dapat mengembangkan dan
membantu peserta didik
dalam mengeksplorasi bahan.
Pernyataan/ Guru memberi kesempatan Permasalahan yang dipilih itu
Identifikasi kepada peserta didik untuk selanjutnya harus dirumuskan
masalah mengidentifikasi sebanyak dalam bentuk pertanyaan, atau
(Problem mungkin agenda-agenda hipotesis, yakni pernyataan
Statement)
masalah yang relevan dengan sebagai jawaban sementara atas
bahan pelajaran, kemudian pertanyaan yang diajukan.
salah satunya dipilih dan
dirumuskan dalam bentuk
hipotesis (jawaban sementara
atas pertanyaan masalah).
Pengumpulan data Ketika eksplorasi berlangsung Tahap ini berfungsi untuk
(Data guru juga memberi menjawab pertanyaan atau
Collection) kesempatan kepada para membuktikan benar tidaknya
peserta didik untuk hipotesis.
mengumpulkan informasi yang Dengan demikian peserta didik
relevan sebanyak-banyaknya diberi kesempatan untuk
untuk membuktikan benar atau mengumpulkan (collection)
tidaknya hipotesis. berbagai informasi yang relevan,
membaca literatur, mengamati
objek, wawancara dengan nara
sumber, melakukan uji coba
sendiri dan sebagainya.
Pengolahan Guru melakukan bimbingan Pengolahan data merupakan
data (Data pada saat peserta didik kegiatan mengolah data dan
Processing) melakukan pengolahan data. informasi baik melalui
wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan.
Semua informasi hasil bacaan,
wawancara, observasi, dan
sebagainya, semuanya diolah,
diacak, diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila perlu
dihitung dengan cara tertentu
serta ditafsirkan pada tingkat
kepercayaan tertentu.
Pembuktian Verifikasi bertujuan agar Peserta didik melakukan
(Verification) proses belajar akan berjalan pemeriksaan secara cermat untuk
dengan baik dan kreatif jika membuktikan benar atau
guru memberikan kesempatan tidaknya hipotesis yang
kepada peserta didik untuk ditetapkan tadi dengan temuan
menemukan suatu konsep, alternatif, dihubungkan dengan
teori, aturan atau pemahaman hasil pengolahan data.
melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupannya.
Menarik Proses menarik sebuah Berdasarkan hasil verifikasi
simpulan/ kesimpulan yang dapat maka dirumuskan prinsip-prinsip
generalisasi dijadikan prinsip umum dan yang mendasari generalisasi.
(Generalization) berlaku untuk semua kejadian
atau masalah yang sama,
dengan memperhatikan hasil
verifikasi.

Sintaks Untuk Pelajaran Berbasis Discovery


No. Tahapan Perilaku Guru
1. Mendapatkan perhatian dan Guru menyiapkan siswa untuk belajar dan
menjelaskan proses discovery. menjabarkan proses untuk pelajaran.
2. Menyajikan permasalahan inkuiri atau Guru menyajikan situasi bermasalah atau
kejadian yang tidak sesuai. kejadian yang tidak sesuai kepada siswa.
3. Meminta siswa merumuskan hipotesis Guru mendorong siswa untuk menanyakan
untuk menjelaskan permasalahan atau pertanyaan mengenai situasi bermasalah atau
kejadian. kejadian yang tidak sesuai dan menyatakan
hipotesis yang akan menjelaskan apa yang
sedang terjadi
4. Mendorong siswa untuk Guru menanyai siswa cara mereka
mengumpulkan data untuk menguji mengumpulkan data untuk menguji hipotesis.
hipotesis. Dalam beberapa kasus, dapat dilakukan
percobaan dalam kelas.
5. Merumuskan penjelasan dan/atau Guru menutup discovery lebih dekat dengan
kesimpulan. meminta siswa merumuskan kesimpulan dan
generalisasi.
6. Merefleksikan situasi bermasalah dan Guru meminta siswa untuk berpikir mengenai
proses berpikir yang digunakan untuk proses pemikiran mereka sendiri dan untuk
menyelidikinya. merefleksikan proses discovery.

F. Pengelolaan Kelas Model Discovery Learning


Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru
harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi
seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented. Hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang
problem solver, seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Bahan ajar tidak disajikan dalam
bentuk akhir, tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan
serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

Agar penggunaan metode discovery learning efektif, maka seorang guru tidak hanya perlu
fleksibel, tetapi juga disiapkan dengan baik, terorganisir, dan memiliki pemahaman tentang
bagaimana apa yang ditemukan di kelas adalah yang berharga secara pendidikan dan dapat
menyebabkan investigasi lebih lanjut bagi siswa. Guru perlu dapat membantu anak-anak, yang
sudah ingin tahu tentang dunia di sekitar mereka, belajar bagaimana mengajukan pertanyaan yang
akan membantu mereka memahami lingkungan mereka. Guru juga harus tahu di mana siswa
mereka sedang perkembangan dan bagaimana itu akan berperan dalam seorang anak menemukan
kesuksesan dalam pelajaran. Ini mungkin terdengar seperti tujuan yang tinggi, tetapi sebagian
besar pendidik harus memperhatikan psikologi perkembangan yang secara khusus diarahkan pada
usia yang ingin mereka kerjakan. Selain itu, guru menggunakan metode penemuan pembelajaran
Sebaliknya, mereka berinteraksi dengan siswa untuk melihat apa yang dilakukan siswa, pertanyaan
macam apa yang diminta, dan membantu mereka menerapkan keterampilan baru yang mungkin
diperlukan untuk menyelesaikan masalah dan menarik kesimpulan. Guru juga harus menyadari
bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai tujuan akhir. Metode discovery Learning adalah
pilihan yang bagus untuk siswa, serta siswa dengan masalah perilaku atau perkembangan. Siswa
yang tidak bisa duduk diam di kelas akan memiliki kesempatan untuk secara aktif mengambil
bagian dalam proses pembelajaran. Siswa yang bahasa pertamanya bukan bahasa Inggris akan
mengeksplorasi ide-ide alih-alih diberi tahu apa yang harus dipikirkan dan mungkin tidak
memahami konsep tersebut karena hambatan bahasa. Ketika metode discovery Learning
digunakan, siswa lebih sering mengalami tugas karena mereka secara aktif merupakan bagian dari
proses pembelajaran.
Lebih jelasnya lagi, dalam pengelolaan kelas perlu diperhatikan 5 hal berikut:
1. Tetapkan wawancara untuk memicu rasa ingin tahu
Bantulah siswa menemukan informasi luar biasa yang dapat mereka kumpulkan hanya dengan
berbicara dengan orang lain. Tugasi wawancara, dan mintalah siswa menulis ringkasan tentang
apa yang mereka pelajari, apa yang mengejutkan mereka, dan keuntungan mempelajari
informasi langsung dari sumber.
“Ketika siswa melakukan penelitian mereka sendiri, mengajukan pertanyaan kritis, dan
membuat kesimpulan sendiri, mereka memperkuat keterampilan pemecahan masalah mereka.”
2. Mintalah siswa bersolo karier
Beberapa proyek pembelajaran penemuan terbaik dilakukan sendiri. Beri siswa Anda masalah
atau subjek untuk diteliti sendiri. Dorong mereka untuk menggunakan teknologi sebagai bagian
dari penelitian mereka, dan kemudian minta mereka kembali bersama untuk melihat apa yang
dipelajari semua orang dan apa yang mereka temukan sendiri.
3. Menggabungkan proyek berbasis data
Menugaskan data yang berkaitan dengan sebuah topik, dan imbaulah siswa untuk menyelidiki,
mengajukan pertanyaan, dan membentuk kesimpulan mereka sendiri. Mereka tidak hanya akan
melihat bahwa mengetahui cara menganalisis data secara objektif memberi mereka wawasan
tentang topik yang mereka pelajari, tetapi juga bagaimana keterampilan analisis data sangat
kuat di luar kelas.
4. Lakukan pembedahan virtual
Terkadang bahan yang langsung sulit ditemukan (atau dibeli). Alih-alih, gunakan pembedahan
virtual untuk mendorong siswa menemukan cara kerja berbagai hal. Siswa dapat menyelidiki
dan mengajukan pertanyaan tanpa harus mengambil pisau bedah.
5. Mendorong kesalahan dan perjuangan produktif
Ketika siswa mengendalikan pembelajaran mereka sendiri, kesalahan tidak bisa dihindari.
Tetapi kesalahan adalah bagian dari Discovery Learning. Memberikan umpan balik yang tepat
waktu, memperbaiki kesalahan dengan cepat, dan terus menerus mendorong siswa untuk terus
melakukannya sangat penting untuk mendorong siswa melewati masalah yang sulit.

G. Prinsip Model Discovery Learning


Model Pembelajaran Penemuan mengintegrasikan 5 prinsip berikut:
Prinsip 1: Pemecahan Masalah.
Instruktur harus membimbing dan memotivasi peserta didik untuk mencari solusi dengan
menggabungkan informasi yang ada dan yang baru diperoleh serta menyederhanakan
pengetahuan. Dengan cara ini, peserta didik adalah kekuatan pendorong di belakang
pembelajaran, mengambil peran aktif dan membangun aplikasi yang lebih luas untuk keterampilan
melalui aktivitas yang mendorong risiko, pemecahan masalah dan penyelidikan.
Prinsip 2: Manajemen Pelajar.
Instruktur harus mengizinkan peserta untuk bekerja sendiri atau bersama orang lain, dan belajar
dengan kecepatan mereka sendiri. Fleksibilitas ini membuat pembelajaran menjadi kebalikan dari
urutan statis pelajaran dan aktivitas, membebaskan peserta didik dari stres yang tidak perlu, dan
membuat mereka merasa belajar sendiri.
Prinsip 3: Mengintegrasikan dan Menghubungkan.
Instruktur harus mengajari peserta didik cara menggabungkan pengetahuan sebelumnya dengan
yang baru, dan mendorong mereka untuk terhubung ke dunia nyata. Skenario yang sudah dikenal
menjadi dasar informasi baru, mendorong peserta didik untuk memperluas apa yang mereka
ketahui dan menciptakan sesuatu yang baru.
Prinsip 4: Analisis dan Interpretasi Informasi.
Pembelajaran penemuan berorientasi pada proses dan tidak berorientasi pada konten, dan
didasarkan pada asumsi bahwa pembelajaran bukanlah sekumpulan fakta belaka. Peserta didik
sebenarnya belajar untuk menganalisis dan menafsirkan informasi yang diperoleh, daripada
menghafal jawaban yang benar.
Prinsip 5: Kegagalan dan Umpan Balik.
Belajar tidak hanya terjadi ketika kita menemukan jawaban yang benar. Itu juga terjadi melalui
kegagalan. Pembelajaran penemuan tidak berfokus pada menemukan hasil akhir yang tepat, tetapi
hal-hal baru yang kami temukan dalam prosesnya. Dan merupakan tanggung jawab instruktur
untuk memberikan umpan balik, karena tanpanya pembelajaran tidak lengkap.

H. Asessmen Model Pembelajaran Discovery Learning


Untuk melakukan penilaian pembelajaran berbasis penemuan atau discovery learning ini ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru. Menurut Arends, Guru hendaknya
mempertimbangkan sejumlah prinsip saat menyusun tes untuk mengukur perkembangan
konseptual atau keterampilan inkuiri siswa. Tes harus mencakup contoh yang mengukur
kemampuan siswa untuk menggeneralisasi ke contoh konsep yang baru ditemui. Tes juga harus
menilai kemampuan siswa untuk membedakan antara contoh dan bukan contoh serta untuk
menunjukkan kemampuan untuk berasumsi dan penalaran yang salah. Tes juga dapat
menggunakan format yang berbeda, seperti benar-salah, pilihan ganda, pencocokan, jawaban
singkat, atau esai pendek.

Model evaluasi yang banyak dikenal dan digunakan dalam pembelajaran discovery learning
adalah model evaluasi CIPP. Stufflbeam adalah seseorang yang mengembangkan model CIPP ini
yang merupakan singkatan dari :

C = Context Evaluation (evaluasi terhadap konteks). Evaluasi konteks membantu merencanakan


keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai program dan merumuskan tujuan program.

I = Input Evaluation (evaluasi terhadap masukan). Evaluasi masukan membantu mengatur


keputusan, menentukan sumber- sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan
strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
P = Process Evaluation (evaluasi terhadap proses). Evaluasi proses digunakan untuk memprediksi
rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan
informasi untuk keputusan dan sebagai arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi
koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktek pelaksanaan program.

P = Product Evaluation (evaluasi terhadapa produk). Hasil evaluasi proses diharapkan dapat
membantu pimpinan proyek atau guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan
kelanjutan, akhir maupun modifikasi program

Keempat kata tersebut pada dasarnya merupakan sasaran evaluasi yang tidak lain adalah
komponen dari suatu program. Dapat dikatakan bahwa model CIPP ini adalah model evaluasi yang
memandang program yang dievaluasi sebagai suatu sistem (Amat Jaedun, 2010 9-10)

Sistem penilaian dalam Model Pembelajaran Discovery Learning dapat dilakukan dengan tes
maupun nontes. Untuk penilaiannya dapat berupa penilaian kognitif, proses, sikap, atau penilaian
hasil kerja siswa. Jika akan melakukan penilaian kognitif, maka dalam model pembelajaran
discovery learning dapat menggunakan tes tertulis. Proses penilaian dalam penerapan Model
Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan selain menggunakan jenis penilaian tertulis dan
penilaian diri, juga dilakukan melalui penilaian sikap, penilaian kinerja dan produk yang
merupakan keterampilan siswa. Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap,
atau penilaian hasil kerja siswa maka pelaksanaan penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan

1. Penilaian Tes Tertulis


Penilaian ini merupakan tes yang dimana soal dan jawaban diberikan kepada peserta didik
dalam bentuk tulisan. Untuk menjawal soal, peserta didik tidak selalu menjawab dalam bentuk
menguraikan jawaban namun juga dapat dengan memberi tanda, mewarnai, menggambar, dan
sebagainanya. Tes tertulis terbagi menjadi dua bentuk :

- Tes dengan memilih jawaban : pilihan ganda, dua pilihan (benar-salah), atau menjodohkan
- Tes dengan menguraikan jawaban : isian atau melengkapi pertanyaan, jawaban singkat,
soal uraian
Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Materi, misalnya kesesuaian soal dengan indikator pada kurikulum
b. Konstruksi, misalnya rumusan soal atau pertanyaan harus jelas dan tegas
c. Bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata atau kalimat yang menimbulkan
penafsiran ganda

2. Penilaian Diri
Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subjek yang ingin dinilai diminta
untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi
yang dipelajari dalam mata pelajaran tertentu.
Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang berkaitan dengan
kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di kelas, berkaitan
dengan kompetensi kognitif : peserta didik dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan
dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria
atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif : peserta didik dapat diminta
untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu obyek sikap tertentu.
Selanjutnya, peserta didik diminta untuk melakukan penilaian berdasarkan kriteria atau acuan yang
telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi psikomotorik : peserta didik dapat diminta untuk
menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya sebagai hasil belajar berdasarkan
kriteria atau acuan yang telah disiapkan.

3. Penilaian sikap
Penilaian sikap dilakukan baik didalam maupun diluar kelas yang berisi informasi hasil
pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik berkaitan dengan sikap dan perilaku,
namun yang terutama dilakukan selama proses belajara mengajar berlangsung, pada penilain sikap
dapat melibatkan teman sejawat sesama siswa dalam satu kelas untuk menilai rekan yang ditunjuk
oleh guru untuk dinilai, penilaian ini dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung
selanjutnya penilaian tersebut dilaporkan kepada guru. Penilaian sikap juga bisa dilakukan oleh
guru bersangkutan secara langsung selama proses pembelajaran.

4. Penilaian Keterampilan
Seorang guru dalam menilai kompetensi keterampilan melalui penilaian kerja. Penilaian hasil
kerja baik berupa produk atau prosesnya yaitu penilaian yang menuntut peserta didik
mendemonstrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktek, projek ataupun
penilaian portofolio.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. L. 2012. Learning to Teach: Tenth Edition. New York: Mc-Graw Hill Publisher.

Dahono, Awang Cahyo. 2017. Evaluasi Pembelajaran Berbasis Proyek Pada Mata Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial Menggunakan Model Cipp Di Mts Negeri Jember III. Tesis
dipublikasikan
Online.http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/84469/Awang%20Cahyo
%20Dahono%20-%20150220303001%20%23.pdf?sequence=1 diakses 6 Maret 2021

Dhelilik. 2021. Sintaks Model Discovery Learning Dalam Pembelajaran.


https://bertema.com/sintaks-model-discovery-learning diakses pada 5 Maret 2021

Firmansyah. 2015. Manajemen Pembelajaran Discovery Learning pada Bidang Studi Ilmu
Pengetahuan Sosial Berbasis Kurikulum 2013 dalam Jurnal Universitas Bengkulu
(Online).
https://ejournal.unib.ac.id/index.php/manajerpendidikan/article/viewFile/1154/962
(diakses 3 Maret 2021)

Marilla D, Svinicki. 1998. A THEORETICAL FOUNDATION FOR DISCOVERY LEARNING.


Advances in Physiology Education, 20(1), 1-4.

Ng, Eric. 2017. Bring Discovery Learning to Your Classroom with These 5 Ideas.
https://www.showbie.com/bring-discovery-learning-to-your-classroom-with-these-5-
ideas/

Nichen , dkk. 2018. PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING


UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF DAN HASIL
BELAJAR SISWA. Jurnal online. Vol. 32 No.1
https://media.neliti.com/media/publications/259454-penerapan-model-pembelajaran-
discovery-l-ddcb2a0c.pdf

Nursalim, Mochamad, dkk. 2017. Psikologi Pendidikan. Surabaya: UNESA UNIVERSITY


PRESS.
Pappas, Christopher. 2014. Instructional Design Models and Theories: The Discovery Learning
Model. https://www.google.com/amp/s/elearningindustry.com/discovery-learning-
model/amp

___. 2013. Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Badan Pengembangan Sumber
Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan. Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
https://www.academia.edu/download/51452270/MODEL_PEMBELAJARAN_PENEMU
AN.pdf (diakses 2 Maret 2021)

___. 2020. Mengenal Model Pembelajaran Discovery Learning.


https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://pgdikdas.kemdikbud.g
o.id/read-news/mengenal-model-pembelajaran-discovery-learning&ved=2ahUKEwjW-
aeOk5nvAhVLWH0KHQcIAV4QFjAEegQIBxAC&usg=AOvVaw2WlkRx3Egcvc5qU
MmHxrtB

Anda mungkin juga menyukai