Anda di halaman 1dari 13

Problematika Dalam Proses Pembuktian Perkara Perdata Yang Dilakukan Melalui

Persidangan Elektronik (Teleconference)

A. Pendahuluan
Pengadilan merupakan penyelenggara peradilan atau dengan kata lain
pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, peradilan dapat disebut sebagai
kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang membutuhkan kepastian hukum dan
keadilan.1
Dalam perkara perdata, beracara di muka sidang pengadilan adalah salah satu
bentuk tindakan dalam melaksanakan rangkaian aturan-aturan yang termuat dalam
hukum acara perdata. Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.2
Hukum acara perkara perdata melalui ketentuan Pasal 164 HIR, Pasal 284
RBG dan Pasal 1866 BW telah mengatur mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan
dalam pembuktian perkara pedata. Alat-alat bukti digunakan sebagai sarana untuk
membuktikan kebenaran. Alat-alat bukti yang telah diatur diantaranya ialah surat,
saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.3
Mengingat kini kemajuan teknologi berkembang dengan sangat cepat,
permasalahan yang muncul didalam dunia peradilan semakin meningkat sehingga
diperlukan pembaharuan dalam sistem dan kebijakan-kebijakan yang diterapakan agar
dapat sesuai dengan kondisi dan situasi sekarang terkhusus pada proses persidangan
supaya bisa memanfaatkan sistem sesuai dengan kemajuan zaman. Mahkamah Agung
RI berpendapat bahwa fokus mereka kali ini adalah untuk mewujudkan badan
peradilan Indonesia yang agung, yang mana visi tersebut dimanifestasikan dalam
bentuk peradilan yang modern berbasis teknologi informasi melalui persidangan
elektronik atau teleconferences.4

1
Cik Hasan Bisri, Peradilan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2003, Hal 6.
2
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984, Hal 13.
3
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Penada
Media Group, Jakarta, 2015, Hal 64
4
Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit, Hal 13
Namun terkait terobosan dari alternative proses persidangan secara elektronik
tersebut ternyata memunculkan problematika baru, terutama terkait mekanisme
pembuktian dari sistem eletronik. Mengingat dalam proses penyelesaian perkara
perdata, yang paling penting dalam tahapan persidangannya adalah masalah
pembuktian.5 Melalui penelitian ini, penulis berusaha menjambarkan efektivitas
pemberlakukan regulasi terkait persidangan elektronik atau teleconference ini
sehingga mampu berjalan tanpa mengeleminasi urgensi dari pembuktian itu sendiri.
Kemudian juga terkait bagaimana hakim dapat memperoleh keyakinannya untuk
menjatuhkan putusan melalui pembuktian dalam persidangan elektronik ini dengan
seimbang agar kebutuhan maasyarakat tentang kepastian dan keadilan dari proses
hukum perdata dapat tercapai.6

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik beberapa fokus permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini diantaranya :
1. Bagaimana regulasi pengaturan terkait proses pembuktian dalam perkara perdata
melalui teleconference?
2. Apakah terdapat penyimpangan dalam PERMA Nomor 1 tahun 2019 terhadap
ketentuan beracara yang terdapat di HIR/RBG?
3. Apa saja tantangan dan problematika dalam proses pembuktian perkara perdata
melalui teleconference?

C. Pembahasan
1. Regulasi Pengaturan Terkait Proses Pembuktian Dalam Perkara Perdata
Melalui Teleconference
Pembuktian dalam hukum umumnya bersifat subjektif, namun dalam
hukum acara tersebut mutlak harus diadakan. Karena pembuktian bertujuan untuk
dijadikan dasar bagi para hakim dalam menyusun putusannya. Seorang hakim
tidak boleh hanya bersandar pada keyakinannya semata akan tetapi harus pula
disandarkan kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa
yang merupakan alat bukti. Hakim apabila secara mutlak menyandarkan pada

5
Bernadette Mulyati Waluyo, Asas Terbuka Untuk Umum Dan Kehadiran Fisik Para Pihak Dalam Sidang Di
Pengadilan Negeri Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019, Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, Vol. 6 No. 1, 2020
6
Ibid
keyakinannya saja tanpa alat-alat bukti lainnya, akan berakibat terjadinya tindakan
sewenang-wenang. Karena keyakinan hakim itu sangat subyektif, maka dari itu
sudah sewajanya apabila dari dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang
bersengketa itu menjadi dasar pertimbangan juga bagi hakim agar dapat tercapai
suatu keputusan yang obyektif. Dalam hukum positif di Indonesia, perihal
pembuktian mempunyai muatan unsur materiil dan formil. Hukum pembuktian
materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat
bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktiannya. Sedangkan hukum
pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.7
R. Subekti menyatakan pembuktian sebagai upaya meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan.8 Definisi pembuktian seperti yang dikemukakan oleh R. Subekti di
atas, terbatas pada kasus persengketaan (contentiosa) semata, tetapi dalam proses
pembuktian di pengadilan, tidak terbatas pada kasus persengketaan semata. Dalam
hal perkara permohonan (voluntair) yang diajukan ke pengadilan, tetap
membutuhkan proses pembuktian untuk memperjelas bahwa permohonan yang
dilakukan oleh pemohon memang benar adanya.9
Sejak diundangkannya PERMA No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi
Perkara di Pengadilan Secara Elektronik yang kemudian disempurnakan menjadi
PERMA No.1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di
Pengadilan Secara Elektronik proses penerimaan gugatan/ permohonan/
keberatan/ bantahan/ perlawanan/ intervensi, penerimaan pembayaran,
penyampaian panggilan atau pemberitahuan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan,
penerimaan upaya Hukum, serta pengelolaan, penyampaian dan penyimpanan
dokumen perkara perdata dapat dilakukan secara elektronik/teleconference.
Beriringan dengan perkembangan zaman, pembuktian yang diatur dalam
HIR/Rbg maupun dalam KUHPerdata mengalami pergeseran dengan lahirnya
PERMA Nomor 1 Tahun 2019 tentang administrasi perkara dan persidangan di
pengadilan secara elektronik. Praktek pemeriksaan dalam pembuktian secara
elektronik dipersidangan perdata pada dasarnya sama dengan pemeriksaan

7
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek,
Mandar Maju, Bandung, 1995, Hal 55.
8
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, Hal 1.
9
M. Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia : Kajian Kontekstual Mengenai
Sistem, Asas, Prinsip, Pembebanan, dan Standar Pembuktian, UII Press, Yogyakarta, Hal 3.
pembuktian biasa. Hanya saja pembuktian elektronik memiliki beragam bentuk,
misalnya saja dalam penguploadan dokumen-dokumen lewat aplikasi yang telah
disediakan oleh pengadilan yaitu e-litigasi. Untuk mengetahui bukti tersebut
merupakan bukti elektronik adalah dengan cara melihat cara transaksi yang
dihasilakan bukti tersebut.
Dalam prakteknya, alat bukti elektronik yang diajukan dipengadilan
terlebih dahulu dicocokkan dengan dokumen aslinya majelis Hakim harus jeli
melihat apakah bukti-bukti tersebut memang dihasilkan dengan dokumen-
dokumen bukti aslinya kemudian diyakini sebagai bukti elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ITE. Kalau misalnya bukti elektronik yang
ajukan tidak memiliki landasan yang kuat dan tidak bisa meyakinkan majelis
Hakim, dapat dihadirkan pakar atau ahli yang membidangi masalah tersebut.10
Hal yang perlu ditekankan dalam pembuktian secara elektronik,
sebagaimana ditekankan dalam hukum acara pembuktian secara jarak jauh (Pasal
24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi
Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik), adalah:11
1. Pelaksanaan pembuktian secara elektronik harus terlebih dahulu mendapat
kesepakatan dari pihak-pihak;
2. Pelaksanaan pembuktian secara elektronik harus menggunakan media
komunikasi audio-visual, tidak dibenarkan hanya dengan menggunakan media
audio saja, atau visual saja;
3. Media yang digunakan harus dapat memungkinkan semua pihak untuk terlibat
aktif dalam persidangan pembuktian;
4. Menggunakan infrastruktur pengadilan, atau dalam konteks tertentu, dapat
pula menggunakan infrastruktur dari luar pengadilan;
Adapun panjar biaya yang mungkin timbul dari pembuktian secara
elektronik (misal: biaya pembelian paket data dan honor admin IT) dibebankan
sesuai dengan amar putusan sela pembuktian. Dalam tataran teknis, perlu
diformulasikan lebih lanjut perangkat keras (hardware) dan lunak (software) apa
yang paling tepat digunakan dalam pembuktian secara elektronik. Juga perlu
dirumuskan siapa petugas operator IT yang ditunjuk untuk membantu hakim
untuk memeriksa objek. Semua teknis dan perangkat dukung

10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1977, Hal 58
11
Lihat, Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019
penyelenggaraan pembuktian secara elektronik dapat diatur dalam aturan
pelaksanaan oleh masing-masing direktorat jenderal badan peradilan.
Pembuktian pada dasarnya tidak hanya terbatas pada objek benda tidak
bergerak saja, tetapi pembuktian juga dapat digunakan untuk memeriksa benda
bergerak, surat-surat atau akta-akta yang secara hukum harus berada dalam kantor
instansi tertentu, bahkan juga dapat memeriksa person (orang).
Tentu terdapat perbedaan keleluasaan hakim dalam memeriksa objek
antara pembuktian secara langsung dengan pembuktian secara elektronik. Oleh
sebab itu, wajar jika tidak semua objek dapat diperiksa secara optimal dengan
pembuktian secara elektronik. Pembuktian secara elektronik lebih kompatibel
untuk memeriksa: 1) objek yang sifat pemeriksaannya tidak terlalu rumit, 2)
pemeriksaan orang (person) yang perlu diperiksa di tempat tinggalnya, dan 3) juga
untuk pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu.
Berikut deskripsi beberapa pembuktian, yang secara teknis, sangat
memungkinkan untuk dilakukan secara elektronik :12
1. Pemeriksaan benda tidak bergerak, namun bukan berupa tanah
Selain tanah, objek-objek benda tidak bergerak menurut ketentuan Pasal
506, 507 dan 508 KUH Perdata antara lain adalah: objek yang didirikan di atas
tanah (bangunan), gilingan, pohon, mesin dan perkakas produksi dalam pabrik,
reruntuhan bangunan, dan lain-lain. Termasuk juga benda tidak bergerak adalah
kapal dengan berat kotor minimal 20 M3 (Pasal 314 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang). Oleh karena sifat pemeriksaan objek-objek tersebut di atas tidak
mengharuskan mengetahui ukuran sisi-sisi, batas-batas, dan letak (seperti
pembuktian terhadap sebidang tanah), sehingga objek-objek tersebut
memungkinkan untuk diperiksa dengan pembuktian secara elektronik.
2. Pemeriksaan benda-benda bergerak
Termasuk benda bergerak adalah: alat-alat konstruksi bangunan
(excavator, bulldozer, loader, backhoe loader, scraper, compactor), kendaraan
(mobil, motor, perahu, kapal dengan berat kotor tidak mencapai 20 M3 dan hewan
ternak (sapi, kerbau, atau kambing). Objek-objek tersebut juga tidak memerlukan
pemeriksaan yang rumit, sehingga sangat memungkinkan untuk diperiksa dalam

12
Maria Rosalina, Pengaturan Pemeriksaan Setempat (Descente) dalam Peraturan Perundang-Undangan
di Indonesia, Jurnal Hukum Kaidah, Volume: 18, Nomor 1.
pembuktian secara jarak jauh dengan bantuan teknologi informasi dan
komunikasi.
3. Pemeriksaan orang (person) yang dimintakan pengampuan
Dalam perkara permohonan pengampuan, jika person yang dimintakan
pengampuannya tidak dapat dihadirkan ke hadapan sidang, maka undang-undang
memerintahkan hakim untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap orang
yang dimintakan pengampuan tersebut (Pasal 439 KUH Perdata). Teknik
pemeriksaan terhadap person yang berada di luar ruang sidang cukup sederhana,
hakim cukup mendengar keterangan person tersebut secara jarak jauh (dengan
bantuan media audio-visual), sehingga pembuktian dalam konteks ini
memungkinkan dilakukan secara elektronik;
4. Pemeriksaan saksi yang tidak dapat dihadirkan dalam sidang karena sakit,
cacat, atau berhalangan untuk menghadiri sidang di pengadilan dalam tempo
yang lama
Jika dalam suatu pemeriksaan perkara hakim menilai perlu mendengar
keterangan seorang saksi, sedangkan saksi tersebut tidak dapat dihadirkan dalam
sidang karena sakit, cacat, atau berhalangan untuk hadir ke sidang di pengadilan
dalam tempo yang lama, maka Pasal 169 R.Bg memberikan solusi agar saksi
tersebut didengar keterangannya oleh hakim komisaris atau oleh majelis hakim di
tempat tinggal saksi tersebut berada. Sama seperti teknik pemeriksaan orang yang
dimintakan pengampuan, pemeriksaan saksi yang berhalangan hadir dalam sidang
ini juga memungkinkan dilaksanakan secara elektronik.
5. Pemeriksaan akta-akta di instansi tertentu
Dalam pemeriksaan perkara perceraian, terkadang penggugat tidak dapat
mengajukan bukti perkawinan yang berupa Kutipan Akta Nikah dengan alasan
karena kedua buah Kutipan Akta Nikah (untuk suami dan istri) dua-duanya
dikuasai dan ditahan oleh pihak lawan (tergugat). Padahal, dalam teori
pembuktian, suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah. Akta
Nikah dalam perkara cerai berlaku sebagai probationis causa. Dalam kondisi
Kutipan Akta Nikah dikuasai salah satu pasangan, Kepala Kantor Urusan Agama
(KUA) juga tidak akan bersedia mengeluarkan Duplikat Kutipan Akta Nikah,
karena, secara teknis, Duplikat Akta Nikah hanya dapat dikeluarkan jika Kutipan
Akta Nikah hilang (lenyap), sedangkan dalam contoh kasus di atas, Kutipan Akta
Nikah tidaklah hilang, hanya saja berada dalam penguasaan salah satu pasangan.
Sehingga, dalam kondisi tersebut, upaya yang logis dilakukan adalah mengadakan
pembuktian Akta Nikah pada Kantor KUA terkait. Pemeriksaan tersebut tidaklah
rumit, hakim cukup melihat dan memeriksa Register Akta Nikah yang tersimpan
sebagai arsip di KUA tersebut, sehingga pemeriksaannya dimungkinkan secara
elektronik.
6. Pemeriksaan anak dalam perkara sengketa hak asuh
Dalam sengketa hak asuh anak, atas nama kepentingan terbaik anak, dalam
konteks tertentu, pembuktian perlu dilakukan. Pembuktian dalam sengketa hak
asuh anak bertujuan untuk memeriksa: 1) anak yang disengketakan; 2) lingkungan
di sekitar kediaman pihak penggugat dan tergugat (untuk melihat akses anak
kepada tempat belajar, ada atau tidak adanya teman sebaya dengan anak, dan
aspek lainnya yang mendukung pada tumbuh kembang anak). Melihat dari materi
yang diperiksa dalam pembuktian dalam perkara sengketa hak asuh, maka
pembuktian tersebut dimungkinkan dilaksanakan secara elektronik.
Itulah jenis-jenis pembuktian yang memungkinkan dilaksanakan secara
elektronik. Artinya, dari sekian banyak jenis objek yang diperiksa dalam
pembuktian, hanya pemeriksaan benda tidak bergerak berupa tanah saja yang,
secara teknis, sulit dilakukan. Kesulitan pembuktian secara elektronik terhadap
objek yang berupa tanah ini disebabkan karena dalam memeriksa tanah, hakim
harus meneliti detil tentang: ukuran sisi-sisi bidang tanah, batas-batas seluruh sisi
tanah, dan letak tanah.

2. Penyimpangan Dalam PERMA Nomor 1 tahun 2019 Terhadap Ketentuan


Beracara yang Terdapat di HIR/RBG
Pemberlakuan PERMA Nomor 1 tahun 2019 telah mengalihkan beberapa
ketentuan penting di dalam HIR yang sebelumnya masih dipertahankan dalam
proses beracara di Pengadilan. Perubahan ketentuan beracara di pengadilan antara
lain mengenai Asas persidangan terbuka untuk umum sebagaimana dianut oleh
HIR/Rbg berubah akibat pemberlakuan PERMA No. 1 Tahun 2019. Berdasarkan
asas tersebut secara teknis persidangan harus dilakukan secara terbuka untuk
umum, dalam arti masyarakat diizinkan untuk menghadiri, menyaksikan, dan
mendengarkan proses persidangan di Pengadilan yang disyaratkan oleh HIR dan
Rbg. Setidak-tidaknya, kehadiran secara fisik disyaratkan pada saat dilakukan
mediasi, penyerahan surat gugatan, serta pada saat pembuktian, dan pembacaan
putusan.
Di dalam HIR maupun Rbg, kehadiran secara fisik dari para pihak yang
bersengketa akan menentukan substansi putusan hakim, antara lain gugatan akan
dinyatakan gugur oleh hakim apabila Penggugat atau para Penggugat (apabila
penggugat lebih dari satu) tidak hadir pada persidangan pertama, padahal kepada
para pihak yang bersengketa telah dilakukan pemanggilan secara patut.
Sebaliknya, hakim akan menjatuhkan putusan verstek apabila Tergugat atau para
Tergugat (apabila tergugat lebih dari satu), tidak hadir pada persidangan pertama
padahal kepada para pihak yang bersengketa telah dilakukan pemanggilan secara
patut.13
Namun ketentuan Pasal 26 PERMA Nomor 1 tahun 2019 menyatakan
bahwa putusan/penetapan diucapkan oleh hakim/hakim ketua secara elektronik
secara Hukum telah dilaksanakan dengan menyampaikan salinan putusan/
penetapan elektronik kepada para pihak melalui sistem informasi dan didukung
oleh Pasal 27 PERMA Nomor 1 tahun 2019 yang menyatakan bahwa persidangan
secara elektronik melalui sistem informasi pengadilan telah memenuhi asas dan
ketentuan persidangan terbuka untuk umum.14
Artinya dari hadirnya media elektronik dalam persidangan di pengadilan
asas terbuka untuk umum tetap berlaku dalam persidangan elektronik, hanya saja
kehadiran para pihak dalam persidangan dialihkan dengan melalui media
teleconference/audio visual. Dalam hal ini persidangan elektronik secara Hukum
dianggap telah memenuhi asas terbuka untuk umum. Hal ini dianggap
menyimpangi ketentuan HIR/Rbg karena kehadiran fisik pada HIR tidak bisa
gantikan dengan apapun.

3. Problematika Dalam Proses Pembuktian Perkara Perdata Melalui


Teleconference

Adapun beberapa problematika dalam proses pembuktian perkara perdata


melalui teleconference, yakni:

13
Bernadette Mulyati Waluyo, 2020, Asas Terbuka Untuk Umum Dan Kehadiran Fisik Para Pihak Dalam
Sidang Di Pengadilan Negeri Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019, Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Vol. 6 No. 1
14
Lihat, Pasal 26 dan Pasal 27 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2019
a. Sulitnya untuk melakukan penambahan bukti atau bukti tambahan karena
penyerahan bukti diberikan saat awal gugatan diajukan. Adanya sistem
yang membatasi kesempatan seluas-luasnya bagi para pihak untuk
mengajukan bukti selama acara persidangan
b. Ketentuan verifikasi dan pencocokan dokumen belum dijelaskan dalam
ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2019. Hal ini juga sangat penting
karena setiap bukti dokumen yang masuk harus di seleksi apakah
memenuhi syarat/ tidak.
c. Munculnya masalah-masalah teknis pada software dapat menghambat
persidangan apabila data pembuktian yang diupload hilang. 15
D. Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kehadiran PERMA


Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan
secara Elektronik memberikan inovasi sesuai dengan kemajuan zaman yang serba
menggunakan teknologi. Pengaturan terkait pembuktian dalam PERMA Nomor 01
Tahun 2019 Tentang Admisnistrasi Perkara Dan Persidangan Di Pengadilan Secara
Elektronik menerangkan mekanisme yang dibuat dalam persidangan elektronik pada
dasarnya masih sama dengan hukum acara biasa (konvensional) hanya saja setiap
proses persidangan, ataupun tahap-tahap persidangan dilakukan dalam bentuk
elektronik (e-litigasi), baik berupa teknis ataupun administrasi lainnya (hanya
dialaihkan). Selain itu beberapa problematika yang terjadi diantaranya disebabkan
oleh belum diaturnya ketentuan tersebut dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2019 dan
kendala teknis.

Saran

Pemerintah selaku stake holder dan selaku pembuat undang-undang


diharapkan mampu menciptakan produk hukum yang sesuai dan relevan dengan
kondisi dan situasi yang berkesinambungan dengan kebutuhan masyarakat sehingga
dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat diindonesia, jangan sampai
kebijakan-kebijakan yang diterbitkan melalui undang-undang malah menjadi tumpang

15
Hukum Online, 2019, Problematika Pembuktian dalam Persidangan Elektronik (online),
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d9daa58d6940/problematika-pembuktian-dalam-persidangan-
elektronik/?page=all diakses pada tanggal 11 Desember 2021
tindih dengan peraturan yang sebelumnya telah ada sehingga dapat menimbulkan
kebingungan dalam pelaksanaan acara perdata.
Daftar Pustaka

Buku

Bambang Sugeng dan Sujayadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi, Penada Media Group, Jakarta, 2015

Cik Hasan Bisri, Peradilan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2003

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1995

R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1977

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984,

Jurnal

Bernadette Mulyati Waluyo, Asas Terbuka Untuk Umum Dan Kehadiran Fisik Para Pihak
Dalam Sidang Di Pengadilan Negeri Pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2019, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Vol. 6 No. 1,
2020

Maria Rosalina, Pengaturan Pemeriksaan Setempat (Descente) dalam Peraturan Perundang-


Undangan di Indonesia, Jurnal Hukum Kaidah, Volume: 18, Nomor 1.

M. Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia : Kajian


Kontekstual Mengenai Sistem, Asas, Prinsip, Pembebanan, dan Standar Pembuktian,
UII Press, Yogyakarta

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer)

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan
Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik

Internet

Hukum Online, 2019, Problematika Pembuktian dalam Persidangan Elektronik (online),


https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d9daa58d6940/problematika-
pembuktian-dalam-persidangan-elektronik/?page=all diakses pada tanggal 11
Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai