Anda di halaman 1dari 10

Belanja Modal Daerah

A)    PENGERTIAN BELANJA DAERAH

Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal
(huruf q) menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode
tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua
kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran
yang bersangkutan.

Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah
untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.

Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah
dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah.

Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran daerah adalah semua
pengeluaran kas daerah selama periode tahun anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan
pemerintah daerah. Sedangkan menurut Abdul Halim (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja
daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus
kas keluar atau deplesi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana,
selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekiutas dana.

Kemudian menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002) yang mengemukakan bahwa Belanja
daerah adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan
dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva/ ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan
distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri.

Dan menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas Permendagri No 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu belanja
daerah daerah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran
pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang berupa arus aktiva keluar guna melaksanakan
kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat.

B). Jenis Belanja Daerah

Secara umum Belanja dalam APBD dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu:

a. Belanja Administrasi Umum

Belanja Administrasi Umum adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang tidak berhubungan
dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja administrasi umum terdiri atas empat jenis, yaitu:
1. Belanja Pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk orang/personel yang tidak
berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap
pegawai.

2. Belanja Barang, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa
yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik.

3. Belanja Perjalanan Dinas, merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya perjalanan pegawai
dan dewan yang  tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.

4. Belanja Pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang


daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.

b. Belanja Operasi, Pemeliharaan sarana dan Prasarana Publik

Belanja ini merupakan semua pengeluaran pemerintah daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau
pelayanan publik. Kelompok belanja ini meliputi

1.)       Belanja Pegawai 

Belanja Pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang  maupun barang yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan  yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan pegawai yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan
atas pekerjaan yang telah dilaksanakan kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Contoh Belanja Pegawai adalah gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial dan lain-lain
yang berhubungan dengan pegawai. 

2.)       Belanja Barang 

Belanja Barang adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai
untuk memproduksi barang dan jasa yang  dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang
yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja
Barang dapat dibedakan menjadi Belanja Barang dan Jasa, Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan
Dinas ;

1.         Belanja Barang dan Jasa merupakan pengeluaran yang antara lain dilakukan untuk membiayai
keperluan kantor sehari-hari, pengadaan barang yang habis pakai seperti alat tulis kantor,
pengadaan/penggantian inventaris kantor, langganan daya dan jasa, lain-lain pengeluaran untuk
membiayai pekerjaan yang bersifat non-fisik dan secara langsung menunjang tugas pokok dan fungsi
kementerian/lembaga, pengadaan inventaris kantor yang nilainya tidak memenuhi syarat nilai
kapitalisasi minimum yang diatur oleh pemerintah pusat/daerah dan pengeluaran jasa non-fisik seperti
pengeluaran untuk biaya pelatihan dan penelitian. 

2.         Belanja Pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk  mempertahankan aset tetap
atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah
belanja. Belanja Pemeliharaan meliputi antara lain pemeliharaan tanah, pemeliharaan  gedung dan
bangunan kantor, rumah dinas, kendaraan bermotor dinas,  perbaikan peralatan dan sarana gedung,
jalan, jaringan irigasi, peralatan  mesin dan lain-lain sarana yang berhubungan dengan penyelenggaraan
pemerintahan.

3.         Belanja Perjalanan Dinas merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan
dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi dan  jabatan.

3.)       Belanja Bunga

Belanja Bunga adalah pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga (interest) atas kewajiban
penggunaan pokok utang (principal outstanding) yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman jangka
pendek atau  jangka panjang.

4.)       Belanja Subsidi 

Subsidi yaitu alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual,
mengekspor atau mengimpor barang dan jasa untuk memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian
rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Belanja ini antara lain digunakan untuk
penyaluran subsidi kepada masyarakat melalui BUMN/BUMD dan perusahaan swasta. Jadi, Belanja
Subsidi adalah pengeluaran pemerintah yang diberikan  kepada perusahaan/lembaga tertentu yang
bertujuan untuk membantu biaya  produksi agar harga jual produk/jasa yang dihasilkan dapat dijangkau
oleh masyarakat.

5.)       Belanja Hibah  

Hibah adalah pengeluaran pemerintah dalam bentuk uang/barang atau  jasa kepada pemerintah atau
pemerintah lainnya, perusahaan daerah,  masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara
spesifik telah  ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat serta tidak  secara
terus menerus. 

6.)       Bantuan Sosial  

Bantuan Sosial adalah transfer uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat guna melindungi
dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bantuan sosial dapat langsung diberikan kepada anggota
masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga non
pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan. Jadi Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran
pemerintah dalam bentuk uang/barang atau jasa kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat, yang sifatnya tidak terus-menerus dan selektif.

c. Belanja Modal

Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang menfaatnya melebihi satu tahun
anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja
yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan.

Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset  tetap dan aset lainnya yang memberi
manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Untuk mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan
sebagai Belanja Modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan kriteria
kapitalisasi aset tetap. Aset tetap mempunyai ciri-ciri/karakteristik sebagai berikut : berwujud, akan
menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material.
Sedangkan ciri-ciri/karakteristik Aset Lainnya adalah : tidak berwujud, akan menambah aset pemerintah,
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, nilainya relatif material.  Dari ciri-ciri/karakterisitik
tersebut di atas, diharapkan entitas dapat menetapkan kebijakan akuntansi mengenai batasan minimal
nilai kapitalisasi suatu aset tetap atau aset lainnya (treshold capitalization), sehingga pejabat/aparat
penyusun anggaran dan/atau penyusun laporan keuangan pemerintah mempunyai pedoman dalam
penetapan belanja modal baik waktu penganggaran maupun pelaporan keuangan pemerintah.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu  belanja dapat dikategorikan sebagai
Belanja Modal jika:  

(a)       pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang dengan
demikian menambah aset pemerintah;  

(b)       pengeluaran tersebut melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang
telah ditetapkan oleh pemerintah;  

(c)       perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.  

2.         Konsep Nilai Perolehan 

Konsep nilai perolehan sebenarnya tidak hanya berlaku pada aset tetap  saja, melainkan berlaku juga
untuk barang persediaan. Belanja Modal meliputi antara lain: belanja modal untuk perolehan  tanah;
gedung dan bangunan; peralatan dan mesin; jalan, irigasi dan jaringan, aset tetap lainnya dan aset
lainnya.

Komponen Belanja Modal untuk perolehan aset tetap meliputi harga beli aset tetap ditambah semua
biaya lain yang dikeluarkan sampai aset tetap tersebut siap untuk digunakan, misalnya biaya
transportasi, biaya uji coba dan lain-lain. Demikian juga pengeluaran  untuk belanja perjalanan dan jasa
yang terkait dengan perolehan aset tetap atau aset lainnya, termasuk di dalamnya biaya konsultan
perencana, konsultan  pengawas dan pengembangan perangkat lunak (software), harus ditambahkan
pada nilai perolehan.

Komponen-komponen tersebut harus dianggarkan dalam APBN/APBD sebagai Belanja Modal dan bukan
sebagai Belanja Operasional. Tentu harus diperhatikan nilai kewajaran dan kepatutan  dari biaya-biaya
lain di luar harga beli aset tetap tersebut. 

Di samping belanja modal untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya,  belanja untuk pengeluaran-
pengeluaran sesudah perolehan aset tetap atau  aset lainnya dapat juga dimasukkan sebagai Belanja
Modal. Pengeluaran  tersebut dapat dikategorikan sebagai Belanja Modal jika memenuhi  persyaratan
sebagai berikut: 

(a)       Pengeluaran tersebut mengakibatkan bertambahnya masa manfaat, kapasitas, kualitas dan


volume aset yang telah dimiliki.  

(b)       Pengeluaran tersebut memenuhi batasan minimal nilai kapitalisasi aset  tetap/aset lainnya. 

Terkait dengan kriteria pertama di atas, perlu diketahui tentang pengertian  berikut ini:
(a)       Pertambahan masa manfaat adalah bertambahnya umur ekonomis yang diharapkan dari aset
tetap yang sudah ada. Misalnya sebuah gedung semula diperkirakan mempunyai umur ekonomis 10
tahun. Pada tahun ke-7 pemerintah melakukan renovasi dengan harapan gedung tersebut masih dapat
digunakan 8 tahun lagi. Dengan adanya renovasi tersebut maka umur gedung berubah dari 10 tahun
menjadi 15 tahun.  

(b)       Peningkatan kapasitas adalah bertambahnya kapasitas atau kemampuan aset tetap yang sudah
ada. Misalnya, sebuah generator listrik yang mempunyai output 200 KW dilakukan renovasi sehingga
kapasitasnya meningkat menjadi 300 KW. 

(c)       Peningkatan kualitas aset adalah bertambahnya kualitas dari aset tetap  yang sudah ada.
Misalnya, jalan yang masih berupa tanah ditingkatkan oleh  pemerintah menjadi jalan aspal.  

(d)       Pertambahan volume aset adalah bertambahnya jumlah atau satuan  ukuran aset yang sudah
ada, misalnya penambahan luas bangunan suatu  gedung dari 400 m2 menjadi 500 m2

3.         Jaminan Pemeliharaan 

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang  Perubahan Atas Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 (Perubahan Keempat), pembayaran termin terakhir atas penyerahan pekerjaan
yang sudah jadi dari Pihak Ketiga, dapat dilakukan melalui dua (2) cara yaitu: 

1.)       Pembayaran dilakukan sebesar 95 % (sembilan puluh lima persen) dari nilai kontrak, sedangkan
yang 5 % (lima persen) merupakan  retensi selama masa pemeliharaan. 

2.)       Pembayaran dilakukan sebesar 100 % (seratus persen) dari nilai  kontrak dan penyedia
barang/jasa harus menyerahkan jaminan bank  sebesar 5 % (lima persen) dari nilai kontrak yang
diterbitkan oleh Bank Umum atau oleh perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi
kerugian (surety bond) dan direasuransikan sesuai dengan ketentuan Menteri Keuangan. Penahanan
pembayaran senilai 5 (lima) persen dari nilai kontrak seperti dimaksud dalam nomor 1 harus diakui
sebagai utang retensi, sedangkan jaminan bank untuk pemeliharaan harus diungkapkan dalam Catatan
atas  Laporan Keuangan.  

Belanja modal dibagi menjadi:

1. Belanja Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat
umum. Contoh belanja publik yaitu pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat
transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans.

2. Belanja aparatur yaitu belanja yang menfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh
masyarakat akan tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contoh belanja aparatur:
pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah
dinas.

d. Belanja Transfer
Belanja Transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya
harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan meupun keuntungan dari pengalihan uang
tersebut.  Kelompok belanja ini terdiri atas pembayaran:

1. Angsuran Pinjaman

2. Dana Bantuan

3. Dana Cadangan

e. Belanja Tak Tersangka

Belanja tak tersangka adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membiayai
kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa.

C). Klasifikasi Belanja Daerah

a.Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan  Negara

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa  rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga
(di tingkat pemerintah  pusat) dan rencana kerja dan anggaran SKPD (di tingkat pemerintah daerah)
disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.

Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara/lembaga dan SKPD harus diukur
kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah direncanakan. Oleh karena itu, agar dapat diukur
kinerjanya, menurut Pasal 15 ayat (5) dan Pasal 20 ayat (5)  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003,
ditetapkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. 

Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa di dalam dokumen pelaksanaan
anggaran perlu diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran
yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan
kerja,serta pendapatan yang diperkirakan.

Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga juga mengatur tentang klasifikasi yang lebih detail yang pada prinsipnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003.

b. Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan

Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi
ekonomi (jenis belanja), organisasi dan fungsi. Rincian tersebut merupakan persyaratan minimal yang
harus disajikan oleh entitas  pelaporan. Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf 39 PSAP 02 klasifikasi
belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi Belanja Operasi, Belanja
Modal dan Belanja Lain-lain/Tak Terduga.

Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah dalam rangka
menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang dikeluarkan
dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja Operasi selanjutnya
diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai, Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan
Belanja Lain-lain/Tak Terduga.

Di samping itu, klasifikasi belanja menurut fungsi dibagi menjadi : pelayanan umum, pertahanan,
ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan, lingkungan hidup, perumahan dan pemukiman,
kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini
mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund
(IMF). 

c.Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah

Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan  klasifikasi belanja sebagai berikut: 

1.    Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan serta jenis belanja;

2.    Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah

3.    Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari :

(a)       klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah;

(b)       klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan
keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara. 

d.Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006  tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah

Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor  58 Tahun 2005 tersebut di
atas dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri  Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu :

1.         Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang  menjadi kewenangan
provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja  urusan wajib dan belanja urusan pilihan. 

2.         Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan  keterpaduan
pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan  Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.  Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum,
ketertiban dan  ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan,
pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri  Nomor 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi “pertahanan” dan
“agama”  karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang dilaksanakan sepenuhnya
oleh pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan. 

3.         Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung dan belanja tak langsung.
Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan kriteria apakah suatu  belanja mempunyai kaitan langsung
dengan program/kegiatan atau tidak.  Belanja yang berkaitan langsung dengan program/kegiatan
(misalnya belanja honorarium, belanja barang, belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin
Teknis Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung, sedangkan belanja yang tidak secara
langsung dengan program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga,
donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan sebagainya)  diklasifikasikan sebagai belanja tidak
langsung.

1.      BELANJA MODAL

A.     Pengertian Belanja Modal

Belanja modal adalah komponen belanja langsung dalam anggaran pemerintah yang
menghasilkan output berupa aset tetap. Dalam pemanfaatan aset tetap yang dihasilkan tersebut, ada
yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik atau dipakai oleh masyarakat (seperti jalan,
jembatan, trotoar, gedung olah raga, stadion,jogging track, halte, dan rambu lalu lintas) dan ada yang
tidak langsung dimanfaatkan oleh publik (seperti gedung kantor pemerintahan). Dalam perspektif
kebijakan publik, sebagian besar belanja modal berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga pada
setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar.

Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Beberapa proyek
fisik menghasilkan output berupa bangunan yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau
satuan kerja yang tidak berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Sebagai contoh adalah
belanja modal untuk pembangunan kantor Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) atau
inspektorat daerah. Oleh karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa belanja modal adalah belanja
publik, atau sebaliknya, belanja publik adalah belanja modal. Pengaktegorian ke dalam belanja publik
dan belanja aparatur mengandung bias dari aspek penggunaan makna fungsi (outcome) belanja.

B.     Penganggaran Belanja Modal

Pada prinsipnya alokasi belanja modal dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik pemerintah daerah
yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau masyarakat di daerah bersangkutan. Dalam
perspektif penganggaran partisipatif, keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan
penting dalam memilih aset tetap yang akan diperoleh dari pelaksanaan anggaran belanja modal.
Penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan kebutuhan publik merupakan keniscayaan, bukan suatu
pilihan.

Pada kenyataannya, praktik penganggaran belanja modal di pemerintah daerah cenderung


bersinggungan dengan korupsi atau pencarian rente (rent-seeking) oleh para pembuat keputusan
anggaran (budget actors). Setiap tahapan dalam penganggaran memang memiliki ruang untuk korupsi
(Isaksen, 2005), namun korupsi dalam pengadaan aset tetap atau barang modal, terutama yang memiliki
spesifikasi khusus, termasuk yang paling sering terjadi (Tanzi, 2001).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penganggaran belanja modal adalah belanja ikutan setelah aset
tetap diperoleh, yakni belanja operasional dan pemeliharaannya aset tetap bersangkutan. Untuk itu,
perlu dilakukan penghitungan yang cermat agar nantinya tidak membebani anggaran berupa
pengurangan atas alokasi anggaran untuk bidang/sektor lain (trade-off). Dalam ilmu ekonomi, trade-
offyang besar akan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal.

2.      PERMASALAHAN DAN SOLUSI BIAYA MODAL

Seringkali dalam proses penyusunan anggaran ditemui beberapa permasalahan, antara lain adanya
perbedaan persepsi dalam penyusunan dan pengelompokan belanja. Perbedaan yang biasa dijumpai
adalah dalam menentukan elemen-elemen biaya yang dimungkinkan dikelompokkan dalam belanja 
barang dan belanja modal.

Menurut Permen 13/2006, belanja barang adalah belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran
pembelian/pendapatan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 bulan dan/atau pemakaian jasa
dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah.

Pembelian/pengadaan barang dan/atau pemakaian jasa mencakup belanja barang pakai habis,
bahan/material , jasa kantor, premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan,
sewa rumah/gedung/gedung parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa perlengkapan dan
peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus
dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai.

Sementara belanja modal, digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih
dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

Struktur belanja modal pun perlu mendapat perhatian khusus, karena tidak semua belanja modal
berefek pada pelayanan publik. Untuk itu, belanja modal perlu dibedah lebih rinci untuk menemukan
belanja modal yang berefek pada pelayanan publik, misalnya belanja modal infrastruktur.

Struktur belanja pegawai pun perlu dibedah lebih rinci, karena dalam belanja pegawai, tidak saja untuk
pegawai administrasi tapi juga tenaga pendidik dan tenaga kesehatan yang berefek pada pelayanan
masyarakat.Melihat struktur belanja modal dan belanja pegawai, maka perlu dilakukan redefinisi
terhadap belanja modal dan belanja pegawai, dalam rangka memperoleh analisis keuangan daerah yang
mendukung penyelenggara pemerintah daerah.

Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, pemerintah pusat terus menghimbau


pemerintah daerah (pemda) agar persentasi belanja modal terus ditingkatkan sebesar 30 persen.
Presentasi itu bahkan lebih tinggi dua persen daripada target untuk 2013 yaitu 28 persen. Sayangnya,
masih banyak pemda yang merasa kesulitan untuk mencapai target tersebut.

Penambahan presentase belanja modal itu, tidak sulit karena dilaksanakan secara bertahap. Yaitu mulai
dari 24 persen, kemudian 26-27 persen, sehingga pada 2014 tinggal tambah tiga persen. Saat ini sudah
ada beberapa daerah yang mencapai 30 persen.

Menurut Mendagri Gunawan Fauzi, kalau ada efisiensi, baik itu dari dana perjalanan dinas maupun
dalam belanja pegawai, maka dana ini bisa dialihkan untuk belanja modal. Kalau belanja pegawai dapat
diturunkan, maka APBD akan semakin sehat.Memang, kecenderungan dari tahun ke tahun, belanja
modal daerah sudah memperlihatkan peningkatan. Namun, peningkatan tersebut harus diekselerasi.
Upaya ini dianggap lebih memberi dorongan pada sektor ekonomi, selain lebih bermanfaat bagi daerah
ketimbang APBD dihabiskan untuk pembayaran gaji pegawai pemda.

Cara menambah alokasi belanja modal ialah berhemat pada belanja pegawai dan belanja barang.
Belanja pegawai ditekan dengan tidak merekrut pegawai baru kecuali guru, dokter, dan perawat. Belanja
barang dihemat dengan mengurangi perjalanan dinas yang tidak perlu.

Mayoritas dana transfer daerah yang diberikan Pemerintah Pusat kepada pemda digunakan untuk
mensejahterakan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal itu terlihat dari data yang diformulasi oleh Institute for
Development of Economics and Finance (Indef) bahwa pada 2013, rata-rata belanja pegawai untuk
pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 49 persen. Padahal rata-rata belanja modalnya hanya 25,3 persen.

Kenyataan tersebut menguatirkan, karena mengindikasikan bahwa dana transfer daerah yang jumlahnya
terus meningkat tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan karena habis untuk
belanja pegawai. Sebuah studi menekankan bahwa pengaruh belanja pemda tidak signifikan
mempengaruhi PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Dengan kata lain, peningkatan dana transfer
ternyata belum mampu mengurangi ketimpangan yang ada.

Sebetulnya pemasukan pemda tidaklah hanya dari dana transfer Pemerintah Pusat, tetapi juga dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di antaranya adalah pajak yang dipungut oleh pemda atau retribusi. Juga
dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan layanan Umum (BLU) seperti Rumah Sakit Umum
Daerah. Tapi masalahnya sangat klasik, yaitu BUMD banyak yang tidak efisien, malah sering harus
nombok. Sedangkan retribusi sudah mulai dipangkas karena menghambat investasi. Sementara BLU
urgensinya ke pelayanan, sehingga income-nya kecil.

Dengan PAD yang kecil itu, Pemda pada umumnya bergantung pada dana transfer daerah. Namun
disayangkan ketika dana tersebut sebagian besar habis untuk belanja pegawai. Idealnya, proporsi
belanja modal ditingkatkan menjadi 35 persen, sehingga pembangunan di daerah bisa lebih terasa.
Sayang, belum ada aturan yang memberikan punishment bagi yang sedikit mengalokasikan dananya
untuk belanja modal, dan tidak ada bentuk penghargaan terhadap Pemda yang belanja modalnya tinggi.

Ke depan, harus ada langkah untuk memperbaiki sistem desentralisasi fiskal. Di antaranya adalah
merubah perilaku dan struktur belanja pemda agar kualitas belanjanya semakin membaik. Pertumbuhan
belanja modal per tahun sebaiknya harus lebih cepat ketimbang belanja pegawai, khususnya di tingkat
pemerintah kabupaten/kota.

Halim, Abdul. 2004. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta, Salemba Empat.

UUP STIM YKPN.2008. Analisis investasi (belanja modal) sektor publik-pemerintah daerah

Anda mungkin juga menyukai