Anda di halaman 1dari 12

PENGKAJIAN NYERI

Teori

Fisiologi Nyeri Kronik


Pembelajaran pengkajian nyeri kronik didasarkan pada pemahaman tentang definisi dan
mekanisme yang mendasari timbulnya nyeri. Nyeri, atau dalam bahasa Inggris disebut ‘pain’,
berasal dari bahasa Latin ‘poena’ yang berarti ‘hukuman’. IASP mendefinisikan nyeri sebagai
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan yang sedang berlangsung atau menggambarkan kemungkinan adanya
kerusakan jaringan tersebut, atau keduanya. Dalam bahasa Inggris, nyeri didefinisikan sebagai:
unpleasant sensory and emotional experience associated with actual or potential tissue
damage, or described in terms of such damage.

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi, patofisiologi, etiologi atau lokasi nyeri.
Berdasarkan durasinya, nyeri dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Berdasarkan
patofisiologi, nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptif dan neuropatik. Klasifikasi berdasarkan
etiologi lebih ditekankan pada proses penyakit yang mendasarinya, misalnya nyeri kanker
atau nyeri nonkanker. Klasifikasi berdasarkan lokasi menunjukkan anatomi tubuh yang cedera
dan mengalami nyeri, misalnya nyeri kepala atau nyeri punggung.

6
Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi yang berasal dari kerusakan jaringan, proses penyakit
atau fungsi abnormal otot atau organ. Nyeri akut berperan sebagai ‘tanda’ untuk mendeteksi
dan membatasi kerusakan jaringan, pada umumnya bersifat self-limited dan teratasi dengan
pengelolaan selama beberapa hari atau minggu.
Nyeri kronik memiliki beberapa pengertian. American Society of Anesthesiologist
menyebutkan bahwa nyeri kronik adalah “nyeri dengan durasi dan intensitas yang menyebabkan
gangguan fungsi dan rasa nyaman pasien.” IASP mendefinisikannya sebagai “nyeri tanpa
penyebab biologis yang jelas dan sudah berlangsung lebih lama dari waktu penyembuhan
jaringan yang biasanya membutuhkan waktu tiga bulan.”34 Istilah nyeri kronik juga sering
digunakan untuk merujuk berbagai kondisi klinis yang berhubungan dengan nyeri yang persisten
dan berulang, misalnya artritis, nyeri sendi, nyeri punggung bawah kronik, nyeri kepala,
neuropati diabetik dan nyeri yang berhubungan dengan proses metastasis. Nyeri kronik
biasanya tidak berkorelasi dengan kerusakan jaringan yang terjadi dan merupakan proses
biologis yang kompleks, disertai proses psikososial dan dapat dipengaruhi oleh faktor genetik,
pengalaman dan kondisi pasien. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik dapat dilihat pada Tabel
3.

Tabel 3. Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik

Sumber: diolah dari Setiadi B. Neurobiologi nyeri kronik; 2014

Nyeri kronik sering digolongkan menjadi nyeri maligna dan nonmaligna. Nyeri kanker dapat
berasal dari invasi tumor ke jaringan atau berhubungan dengan terapi kanker, seperti radiasi
atau kemoterapi. Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa mekanisme dasar terjadinya
nyeri kanker berbeda dengan nyeri kronik nonmaligna.

7
Nyeri Berdasarkan Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, nyeri diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif.
Nyeri neuropatik terjadi akibat cedera struktur saraf. Nyeri neuropatik digambarkan sebagai rasa
menusuk atau terbakar. Nyeri nosiseptif berhubungan dengan kerusakan jaringan yang
dapat disebabkan oleh trauma, inflamasi atau cedera lain yang sulit menyembuh (non-healing)
yang tidak melibatkan sistem saraf pusat maupun perifer. Nyeri nosiseptif dibagi menjadi nyeri
somatik dan nyeri viseral.

Nyeri somatik terjadi akibat stimulasi reseptor nyeri pada jaringan somatik seperti tulang,
sendi, otot atau jaringan periartikular. Nyeri somatik digambarkan seperti rasa nyeri yang tajam,
menusuk- nusuk, seperti menggerogoti atau terasa berdenyut-denyut. Nyeri terlokalisir dengan
jelas, dapat bersifat intermiten atau konstan. Nyeri viseral dihubungkan dengan kerusakan
jaringan viseral dan bisa diakibatkan oleh kompresi, distensi, atau infiltrasi. Nyeri viseral
digambarkan sebagai kolik, nyeri tumpul atau rasa diremas-remas. Sifatnya difus, sulit dilokalisir
dan dapat teralih ke lokasi lain. Nyeri viseral sering disertai refleks otonom dan motorik seperti
mual, muntah atau tegangan pada otot bawah abdomen.

Mekanisme Dasar Nyeri


Mekanisme dasar terjadinya nyeri terdiri dari empat proses, yaitu transduksi, transmisi, modulasi,
dan persepsi. Keempat proses ini terjadi pada nyeri akut maupun nyeri kronik.

Transduksi merupakan suatu proses konversi energi dari rangsangan nyeri, yang disebut rangsangan
noksius, menjadi energi listrik berupa impuls saraf. Proses ini dilakukan oleh reseptor sensorik
untuk nyeri yang disebut nosiseptor. Pada kondisi jaringan normal, nosiseptor bersifat tidak
aktif. Jika terdapat rangsang noksius yang mencapai tingkat ambang yang cukup, nosiseptor
akan teraktivasi dan mengubah rangsangan nyeri menjadi energi listrik. Sebagian besar reseptor
nyeri adalah ujung saraf bebas yang menangkap rangsangan panas, mekanik dan kimia yang
berasal dari kerusakan jaringan. Nosiseptor dapat ditemukan pada jaringan somatik dan
viseral.

Transmisi adalah proses penyampaian impuls saraf yang terdiri dari tiga tingkatan. Proses
penyampaian impuls saraf dari nosiseptor ke kornu dorsalis medula spinalis dilakukan oleh
first- order neuron, yang dapat berupa serabut saraf A-ß, A-𝛿 dan serabut saraf C. Proses ini
dilanjutkan oleh second-order neuron yang mentransmisi impuls dari medula spinalis ke
thalamus. Selanjutnya, third-order neuron mentransmisi impuls dari talamus ke girus postcentral
ke korteks serebri melalui kapsula interna dan korona radiata.

8
Modulasi adalah proses pengaturan impuls yang dihantarkan, yang dapat berupa proses
eksitatori (merangsang) atau proses inhibisi (menghambat). Proses modulasi dapat terjadi di
tingkat perifer maupun sentral. Gate Control Theory adalah teori yang mendasari mekanisme
modulasi nyeri yang menjelaskan bahwa di kornu dorsalis medula spinalis transmisi nyeri
diatur oleh suatu gerbang. Transmisi akan dilanjutkan ke otak jika gerbang ini dibuka atau
dihambat jika gerbang ini ditutup.

Persepsi adalah proses terakhir dari mekanisme nyeri, yang mana terjadi apresiasi atau
pemahaman impuls saraf yang sampai ke susunan saraf pusat sebagai rasa nyeri. Proses ini
terjadi di korteks somatosensori dan sistem limbik.

nyeri (pain pathway) yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam proses
terjadinya nyeri terdapat berbagai mediator, yaitu substansi kimia, yang dapat berperan
menghambat atau memfasilitasi hantaran nyeri.

Gambar 1. Jalur Nyeri


Sumber: diolah kembali dari Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain pathways and
acute pain processing. In: Acute Pain Management. Cambridge: Cambridge University
Press; 2009

Mekanisme Tambahan pada Nyeri Kronik


Fisiologi yang membedakan nyeri akut dan nyeri kronik adalah proses gabungan sensitisasi
sentral dan perifer serta faktor psikologis pada nyeri kronik. Pada proses akut, saat inflamasi
mereda dan jaringan mengalami penyembuhan, rasa nyeri akan hilang. Pada nyeri kronik,
walaupun rangsang nyeri sudah berkurang atau hilang, rasa nyeri masih tetap timbul karena
terjadi sensitisasi perifer dan sentral.

Sensitisasi perifer terjadi pada jalur nyeri di bawah medula spinalis. Proses ini timbul oleh
rangsangan terus menerus pada nosiseptor dan didukung oleh keterlibatan berbagai macam
mediator yang ikut berperan untuk menurunkan ambang nyeri. Sensitisasi sentral
menggambarkan perubahan pada susunan saraf pusat. Neuron meningkatkan frekuensi
9
pelepasan impuls secara terus

10
menerus. Jumlah reseptor meningkat sehingga neuron yang berdekatan juga menjadi
responsif terhadap stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan respon.

Sensitisasi ini menimbulkan hiperalgesia dan alodinia. Hiperalgesia adalah peningkatan respons
nyeri terhadap suatu stimulus yang melebihi respons nyeri yang muncul jika stimulus tersebut
diberikan pada kondisi normal. Hiperalgesia dapat terjadi secara primer dan sekunder.

Hiperalgesia primer terjadi pada lokasi cidera yang mana stimulus yang sama akan menimbulkan
sensasi nyeri yang lebih berat dari sebelumnya. Pada hiperalgesia sekunder terjadi transmisi
kepada kolateral dari sel-sel saraf yang sudah tersensitisasi sehingga area yang mengalami nyeri
menjadi lebih besar dari area kerusakan yang sebenarnya. Alodinia adalah persepsi nyeri pada
stimulus nonnoksius.

Gambar 2 menunjukkan hiperalgesia dan alodinia secara skematik dalam hubungannya dengan
stimulus dan intensitas nyeri.
Peningkatan intensita nyeri

Hiperalgesia Respons Normal

Alodinia

Peningkatan stimulus nyeri

Gambar 2. Hiperalgesia dan Alodinia


Sumber: diolah kembali dari Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain pathways and
acute pain processing. In: Acute Pain Management. Cambridge: Cambridge University
Press; 200939

Pengkajian Nyeri Kronik


Nyeri kronik memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan pasien. Oleh karena itu,
pengkajian nyeri kronik harus merupakan proses yang komprehensif yang tidak hanya melihat
proses biologis nyeri, namun juga mengevaluasi hubungan timbal balik antara kondisi fungsional
dan psikososial pasien dengan fenomena nyeri yang dialaminya.

Proses pengkajian nyeri kronik merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Pada
dasarnya pengkajian nyeri adalah suatu proses “dialog” antara pasien dan tenaga kesehatan
tentang tiga hal: deskripsi nyeri dan intensitasnya, respons pasien terhadap nyeri, serta
dampak nyeri terhadap kehidupan pasien. Proses dialog ini merupakan titik awal diskusi
11
rencana penatalaksanaan yang

12
disepakati oleh dokter dan pasien, serta didukung secara kolaboratif dalam tim interprofesional.

Seperti halnya prosedur diagnosis yang lain, proses pengkajian nyeri kronik ini mencakup
tiga tahapan, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.41 Untuk dapat
melakukan pengkajian nyeri dengan baik, seorang dokter perlu memiliki pemahaman fisiologi
nyeri dan anatomi organ terkait, serta mengintegrasikannya dengan keterampilan komunikasi
dan pemeriksaan fisis.

Anamnesis Nyeri
Anamnesis nyeri kronik mencakup beberapa komponen penting, misalnya informasi tentang
lokasi, onset, kualitas nyeri, serta faktor yang mengurangi dan menambah nyeri. Informasi
tentang penatalaksanaan yang telah dilakukan, termasuk efektifitas dan efek sampingnya, serta
perubahan gejala dari waktu ke waktu juga perlu dicari. Informasi tentang bagaimana nyeri
tersebut mempengaruhi kondisi psikologis pasien, dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas
hidup pasien, juga perlu diperoleh. Gambar 3 menunjukkan algoritma yang dapat digunakan
sebagai kerangka anamnesis nyeri kronik.

Gambar 3. Algoritma untuk Anamnesis Nyeri


Sumber: diolah kembali dari Hughes J. Pain Management: from Basics to Clinical Practice;
200842

Untuk membantu mengingat hal-hal yang perlu dieksplorasi dalam pengkajian nyeri, dapat
digunakan mnemonic “PQRST”. P adalah Provokes and Palliates, Q adalah Quality, R adalah
Region and Radiation, S adalah Severity, dan T adalah Time. PQRST telah dipakai dalam
berbagai praktik klinis.

13
Oleh karena itu, untuk menilai kondisi fungsional dan psikososial penderita, kita dapat
menambahkan mnemonic ACT-UP. A adalah Activity, C adalah Coping, T adalah Think, U adalah
Upset, dan P adalah People. Mnemonic ACT-UP dikembangkan sebagai alat bantu penapisan
kondisi fungsional dan psikososial. Jadi ACT-UP tidak menggantikan penggunaan instrumen
pengkajian nyeri lain yang lebih terperinci atau konsultasi dengan profesi lain seperti
psikolog.
Mnemonic PQRST dapat dideskripsikan di Tabel 4. sedangkan mnemonic ACT-UP
dideskripsikan di Tabel 5.

Tabel 4. Mnemonic PQRST

Sumber: diolah kembali dari Kopf A dan Patel NB. Guide to Pain Management in Low-
resource Setting; 201015
Tabel 5. Mnemonic ACT-UP

Sumber: diolah kembali dari Dansie EJ and Turk DC. Assessment of patient with chronic
pain. Br J Anaesth. 2013; 111: 19-25
14
Dalam PQRST, disebutkan severity yang pada dasarnya adalah pengukuran intensitas
nyeri. Pengukuran ini bersifat kuantitatif dan dibutuhkan untuk dapat menentukan intervensi dan
evaluasi dari intervensi tersebut. Hal ini tidak mudah karena nyeri adalah suatu pengalaman yang
subyektif yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, budaya dan faktor-faktor lain. Karena
proses nyeri melibatkan persepsi yang sangat dipengaruhi oleh subyektifitas pasien, sampai
saat ini, baku emas pengukuran nyeri adalah skala nyeri yang dilaporkan oleh pasien (self
report). Skala nyeri sangat dibutuhkan untuk menentukan baseline penatalaksanaan serta
untuk monitoring keberhasilan terapi.23 Contoh skala nyeri numerik yang sering digunakan
adalah Visual Analogue Scale (VAS), Numerical Rating Scale (NRS), dan Faces Rating Scale.

VAS adalah skala nyeri yang menggunakan garis sepanjang 10 cm yang di satu ujungnya
tertulis “tidak nyeri” (no pain) sementara ujung yang lain bertuliskan “nyeri yang terburuk
yang dapat dibayangkan” (worst pain imaginable). Pasien diminta mereka memberi tanda pada
garis tersebut untuk menunjukkan intensitas nyeri mereka saat ini. VAS dapat dilihat di
Gambar 4.

No pain Worst pain imaginable

Gambar 4. Visual Analogue Scale


Sumber: diolah kembali dari Kopf A and Patel NB.
Guide to Pain Management in Low-resource Setting;
201015

NRS mirip dengan VAS, namun pada garis tersebut terdapat angka 1-10. Dengan skala ini,
pasien diminta untuk menilai intensitas nyeri pada suatu skala nyeri, yang mana 0 berarti
“tidak nyeri” (no pain) sementara ujung yang lain bertuliskan “nyeri yang terburuk yang dapat
dibayangkan” (worst pain imaginable). NRS dapat dilihat di Gambar 5.

No Worst
pain Pain
imaginable
Gambar 5. Numerical Rating Scale
Sumber: diolah kembali dari Kopf A and Patel NB.
Guide to Pain Management in Low-resource Setting;
201015

FACES rating scales adalah suatu instrumen yang lebih mudah dan tidak abstrak
dibandingkan dengan VAS dan NRS. FACES rating scale dapat digunakan untuk anak usia 4-12
tahun, atau yang lebih tua. Ada beberapa versi FACES Rating Scale. Gambar 6 menunjukkan Wong-
Baker FACES Rating Scale. Yang membedakan instrumen ini dengan skala FACES lainnya
adalah jangkar bawah skala

13
adalah 0 yang digambarkan dengan orang yang sedang tersenyum sedangkan skala
tertinggi digambarkan dengan orang menangis.

Gambar 6. Wong-Baker Faces Rating Scale


Sumber: diolah kembali dari Kopf A and
Patel NB. Guide to Pain Management in Low-
resource Setting; 2010

Pemeriksaan Fisis
Dituntun oleh hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dilakukan terhadap sistem tubuh
tertentu untuk melihat asal dan dampak nyeri terhadap fungsi tubuh. Pemeriksaan ini
membutuhkan pengetahuan tentang beragam diagnosis banding penyakit, pengetahuan
anatomi dan fisiologi.

Skala nyeri dapat memberikan informasi yang bermanfaat secara klinis namun pada
pasien-pasien dengan kondisi tertentu skala nyeri sulit digunakan. Sebagai contoh,
anak kecil, individu dengan gangguan kognitif atau komunikasi seperti pasien dengan
ventilator atau pasien dengan dementia akan kesulitan melakukan penilaian nyeri yang
sahih. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, dibutuhkan cara mengevaluasi
nyeri yang didasarkan pada perubahan fisiologi dan tidak membutuhkan komunikasi.
Penilaian fisiologis pada dasarnya dilakukan terhadap respons motoris, sensoris dan
autonom tubuh terhadap nyeri. Ekspresi wajah, gerakan, laju nadi, laju pernafasan atau
tekanan darah dapat memberikan informasi tentang intensitas nyeri.
Pemeriksaan Penunjang
Nyeri juga dapat dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen,
Magnetic Resonance Imaging (MRI), elektromiografi dan studi konduksi saraf. MRI penting
dalam diagnosis nyeri muskuloskeletal seperti nyeri punggung (back pain). MRI bersifat
noninvasif, memberikan resolusi jaringan yang baik, bebas radiasi namun tidak selalu
tersedia di semua sarana layanan kesehatan. Elektromiografi dan studi konduksi saraf
juga dapat digunakan untuk mendiagnosis beberapa penyakit yang berhubungan dengan
nyeri kronik seperti trauma neural, polineuropati atau sindrom radikuler.

Anda mungkin juga menyukai