Anda di halaman 1dari 23

PERAN MAHASISWA DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

PADA MASA ORDE BARU


Untuk memenuhi tugas memenuhi tugas Kewarganegaraan

Dosen pembimbing:

Disusun oleh:

Moh Fadhil Raihan

(P17211214050)

Absen 47 /1A

KEMENTRIAN KESEHATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG 2022

JURUSAN D4 KEPERAWATAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Peran Mahasiswa Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pada Masa Orde Baru" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Kewarganegaraan. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang peran mahasiswa dalam pelaksaan otonomi daerah pada masa orde
baru bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rossyanna Septyasih, S.Kp., M.Pd. selaku Dosen
Kewarganegaraan . Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, Februari 2022

Moh Fadhil Raihan


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………….4


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….. ………....5
1.3 Tujuan Penelitiaan…………………………………………………………………………...5
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………………………………...5

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian otonomi daerah………………………………………………………………6


2.2 Otonomi daerah di masa orde baru ……………………………………………………...7
2.3 Orde baru………………………………………………………………………………...7

BAB III TINJAUAN KASUS


3.1 Kasus Penyuluh KB Sebagai Government Public Relations Bidang KB……………….9
3.2 Wacana model ideal konsep otonomi daerah untuk NKRI……………………………..12

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Otonomi daerah…………………………………………………………………………17
4.2 Prinsip prinsip otonomi daerah …………………………………………………………18
4.3 Pelaksanaan otonomi daerah di indonesia……………………………………………....18
4.4 Dasar hukum otonomi daerah……....………………………………………………...…18
4.5 Peran mahasiswa dalam menyikapi pelaksanaan otonomi daerah pada masa
orde baru...........................................................................................................................19

BAB V PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………………………………………22
Saran………………………………………………………………………………………..22

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………23
BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan (a) latar belakang, (b) rumusan masalah, (c) tujuan, (d) manfaat.

1.1 Latar Belakang

Pada masa Orde Baru dikenal dengan karakteristik sentralisasi dimana di ibu kota. Sampai pada
akhirnya seluruh mahasiswa dari nusantara berkumpul membentuk Gerakan Reformasi sehinggah
runtuhnya rezim Orde Baru di tahun 1998. Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat negara
Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan
kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat). Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan
sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah). Daerah yang kaya akan sumber
daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih-alih diinvestasikan
untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi
timpang.

B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan
politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi.
Dengan terbitnya undang- undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak
lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka
dan ingin berpisah dari Republik Indonesia. Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi
memisahkan dari republik, juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan
dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten
baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai
akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya
ancaman dari masing- masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru,
mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan. Berangsur-angsur,
pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui
undang-undang. Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung empat provinsi baru lahir di negara
ini, yaitu Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau Papua yang sebelumnya
merupakan sebuah provinsi pun saat ini telah mengalami pemekaran, begitu pula dengan Kepulauan
Maluku.
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana peran mahasiswa dalam pelaksanaan otonomi daerah padam masa orde baru

1.3 Tujuan

Mahasiswa dapat mengetahui otonomi daerah,, Prinsip-prinsip otonomi daerah

Mahasiswa dapat mengetahui dasar hokum otonomi daerah

Mahasiswa dapat mengetahui pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia

1.4 Manfaat

Diharapkan pembaca dapat memahami, belajar, dan menambah informasi tentang peran
mahasiswa dalam pelaksanaan otonomi daerah orde baru
BAB II

TINJAUAN TEORI

Pada bab ini menjelaskan tentang (a) pengertian otonomi daerah, (b) otonomi daerah di masa orde
baru. (c) order baru

2.1 Pengertian otonomi daerah

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.” UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah
otonom sebagai berikut.

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dalam sistem otonomi daerah, dikenal
istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.

Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat


peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian
diganti dengan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis” 7 direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).

2.2 Otonomi Daerah di Masa Orde Baru.

Otonomi Daerah di Masa Orde Baru. Pemerintah orde baru pada awalnya hadir sebagai
koreksi atas kegagalan pemerintah orde lama.16 Koreksi tersebut sebagaimana disampaikan oleh
Jenderal Soeharto, tokoh supersemar yang kemudian menjadi presiden paling lama ini adalah
sebagaimana disampaikan pada pembukaan Kongres Luar Biasa Kesatuan dan keutuhan partai
nasional Indonesia, Soeharto (dalam LP3ES, 1988:134) menyatakan sebagai berikut: Ketiga
penyelewengan dimaksud adalah;

a. Radikalisme PKI

b. Terjadinya oportunisme politik yang didorong oleh ambisi pribadi

c. Terjadinya penyelewengan ekonomi.

Kehadiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tenang pemerintahan daerah diyakini akan
mampu menciptakan stabilitas daerah, dengan demikian eksekutif diberi kewenangan yang
sangat besar sebagai penguasa tunggal di daerah. Walupun demikian Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD, akan tetapi tidak ada
balances sama sekali, sebab sebagaimana di pusat, di daerah DPRD juga hanya merupakan
tukang stempel untuk kepentingan eksekutif.

Pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD adalah retorika belaka, sebab siapa yang
harus jadi telah ditetapkan sebelumnya termasuk siapa mendapatkan berapa suara. Apabila
skenario tidak berhasil, dan calon yang diunggulkan ternyata tidak terpilih, maka pemerintah
pusat akan dengan mudah memilih/mengangkat kembali orang yang telah diproritaskantersebut,
sebab hasil pemilihan DPRD kemudian diajukan kepada pusat, dan pusat bebas menentukan
siapa yang akan dilantik dari hasil usulan/hasil pemilihan tersebut (Pasal 15 UU No. 5 tahun
1974)

2.3 Orde Baru

Orde Baru Demikian pula pada masa pemerintahan Orde Baru dengan demokrasi
Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis dan
otoriter.Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah,
dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang
dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-
daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

a. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat


atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;

b. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala
Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah; dan

c. Tugas Pembantuan, tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang
ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau
Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.
BAB III

TINJAUAN KASUS

Pada bab ini menjelaskan tentang (a) praktik government public relations paska otonomi daerah
(b) wacana model ideal konsep otonomi daerah untuk NKRI

3.1 Praktik Government Public Relations Paska Otonomi Daerah (Kasus Penyuluh KB
Sebagai Government Public Relations Bidang KB)

Implementasi otonomi daerah membawa tanggung jawab besar bagi aparat pemerintah
daerah, khususnya bagian Humas Pemerintah untuk mendukung pengembangan dan
pembangunan daerah. Humas Pemerintah diharapkan dapat menghimpun partisipasi aktif dari
masyarakat sebagai tulang punggung dari penyelenggaraan pembangunan tersebut.

Setidaknya ada empat tantangan dalam praktik Government Public Relations (Humas
Pemerintah) sebagai akibat dari implementasi otonomi daerah, yaitu Sumber Daya Manusia
(SDM), kelembagaan Humas, infrastruktur pendukung kinerja dan sinergitas antarpemerintah
serta satuan kerja. Pertama berkaitan dengan SDM, otonomi daerah mengancam kualitas dan
kuantitas SDM Humas. Paska likuidasi Departemen Penerangan, otomatis tidak ada lagi petugas
jupen sebagai corong pemerintah di seluruh daerah di Indonesia. SDM Humas menjadi
tanggungjawab daerah otonom. Karena diperlukan di setiap pemerintahan daerah sampai ke
tingkat kapubaten/kota bahkan kecamatan, sering kali yang terjadi kompetensi SDM di bagian
Humas terkesampingkan guna memenuhi kuantitas. Padahal diperlukan kecakapan dan
kapabilitas khusus untuk menjadi praktisi Humas yang handal.

Selanjutnya mengenai kelembagaan Humas, otonomi daerah telah menjadikan kedudukan


Humas sebagai lembaga maupun praktisi beragam tergantung kebijakan dearah masing-masing.
Idealnya, menurut Cutlip and Center dalam Rahmadi (1994,78) Humas itu dimaksudkan ke
dalam staf inti, langsung berada di bawah pimpinan (decision makers) atau top manager supaya
lebih mampu dalam menjalankan tugasnya. Dengan posisi itu Humas dapat mengetahui
langsung latar belakang dari suatu keputusan yang diambil oleh pimpinan lembaga; sehingga
Humas langsung memperoleh bahan informasi untuk disampaikan kepada publik yang
bersangkutan. Namun pada prakteknya, tidak semua daerah telah menerapkan demikian. Seperti
yang terjadi pada Humas Pemda Kabupaten Lampung Tengah, yang berada pada level Bagian
(setara eselon 3). Penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa UI menyatakan bahwa
posisi Bagian Humas di Pemda Lampung Tengah yang berada pada struktur organisasi level
menengah membuat bagian ini tidak dapat bergerak terlalu bebas di dalam menjalankan
aktivitasnya. Rantai birokrasi yang cukup panjang menjadikan Bagian Humas terkendala di
dalam perannya baik sebagai penyampai informasi kepada masyarakat maupun sebagai
pengumpul dan pengolah informasi dari masyarakat, karena Bagian Humas tidak dapat
memutuskan sendiri setiap keputusan yang akan diambil, tetapi harus membicarakannya terlebih
dahulu dengan Dinas Instansi terkait. Kedudukan humas yang masih sangat lemah ini membuat
tugas humas menjadi tidak jelas.

Infrastruktur pendukung kinerja Humas pun tergantung kebijakan daerah dan mungkin akan
berbeda-beda antar-daerah. Sinergitas antarpemerintah serta satuan kerja menjadi tantangan lain
yang harus dihadapai oleh Humas daerah. Terlebih otonomi yang diimplementasikan di
Indonesia sampai ke tingkat kabupaten/kota sehingga banyak dijumpai Bupati/Walikota yang
tidak ‘tunduk’ kepada Gubernur karena merasa berwenang memimpin daerahnya sendiri. Begitu
juga kontrol oleh pemerintah pusat ke pemerintah provinsi, menjadi tidak mudah. Karena itu
diperlukan Humas yang dapat menjembatani hubungan sinergis antar pemerintah maupun antar
satuan kerja.

Khusus di bidang KB, penelitian 2 yang dilakukan tentang praktik Government Public
Relations oleh aparat yang disebut penyuluh KB menunjukkan hasil bahwa kehadiran penyuluh
masih dirasakan penting, terutama bagi audience sasaran tertentu. Tetapi bagi pasangan yang
sudah beberapa tahun mengikuti program KB, peranan penyuluh tidak lagi signifikan sebab
informasi tentang KB secara mandiri dapat dicari dalam berbagai bentuk media. Permasalahan
yang dihadapi berkaitan dengan pengurangan jumlah SDM penyuluh KB besar-besaran paska
otonomi daerah, dimana sejumlah hampir 50% oknum penyuluh beralih pada institusi
pemerintah lainnya. Hal ini menyebabkan kegiatan penggalakan program KB menjadi lesu.

Namun, mengingat pentingnya fungsi Public Relations dalam bidang KB, pada praktik di
lapangan peran sosialisasi program KB tidak hanya bergantung pada penyuluh KB resmi
pemerintah. Fungsi Public Relations mengalami perkembangan dan terambil alih oleh beberapa
aparat lain, seperti bidan-bidan, aparat desa, kader desa, dan bentuk lainnya. Mereka secara
tidak langsung menjalankan fungsi Government Public Relations bidang KB dalam pelaksanaan
tugas masing-masing. Sehingga walaupun terjadi penurunan kuantitas penyuluh KB paska
otonomi daerah, hal ini tidak memengaruhi diseminasi informasi KB pada masyarakat.

Penyebaran informasi tentang KB kepada masyarakat juga didukung oleh kesadaran dan
kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi untuk ikut dalam program KB seiring dengan
tuntutan dan keadaan jaman. Kesadaran dan kebutuhan akan program KB akan mendorong
kemandirian dalam mencari dan mengakses informasi tentang KB. Sehingga sumber informasi
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan KB tidak hanya didapatkan dari penyuluh KB,
namun juga dari berbagai media lain. Kondisi ini tentu berbeda dengan masa ketika media
informasi dan komunikasi masih terbatas dan program KB sendiri baru dirintis di Indonesia.
Government Public Relations menjadi sumber utama penyampai informasi tentang KB.

Dari kondisi di atas dapat dikatakan bahwa terkait masalah SDM, penurunan kuantitas
dapat diantisipasi dengan memaksimalkan kualitas. Fungsi Government Public Relations bidang
KB harus diarahkan pada audience sasaran yang urgent membutuhkannya, seperti kalangan
yang masih tertutup dengan program KB (karena menganggap ikut program KB sebagai
dosa/bertentangan dengan agama), masyarakat di pelosok yang masih terisolasi dari akses
media, serta kaum pria yang masih menganggap bahwa KB merupakan urusan wanita saja.

Teknik komunikasi yang dilakukan oleh penyuluh KB, telah dinilai baik oleh masyarakat.
Hal ini terutama dirasakan melalui sikap pro-aktif penyuluh dalam mengajak masyarakat untuk
mengikuti program KB. Begitu pula dengan pemanfaatan media oleh Government Public
Relations yang dirasakan semakin optimal sesudah tahun 1999 dibandingkan sebelumnya.
Berbagai bentuk media telah digunakan untuk menyampaikan informasi tentang KB kepada
masyarakat. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
memungkinkan beragam media untuk menjalankan fungsi Public Relations, baik media tertulis,
media digital, maupun media baru. Banyak penulis (lihat, sebagai contoh Cutlip, Center and
Broom 2000; Guth and Marsh 2003; Lattimore et al. 2004; Newsom, Turk and Kruckeberg
2004; Wilson 2001) menekankan penggunaan ragam saluran untuk meningkatkan keefektifan
program Public Relations dan penggunaan saluran yang tepat untuk audien yang berbeda
(Xavier et.al. 2005). Penggunaan media yang efektif untuk program KB dewasa ini yaitu
televisi, mengingat kepemilikan televisi hampir merata pada rumah tangga di seluruh daerah di
Indonesia (daya jangkau besar). Pertimbangan lainnya didasarkan pada sifat media televisi yang
memiliki daya rangsang sangat tinggi. Namun ada harapan yang besar dari masyarakat bahwa
program KB perlu pula disosialisasikan melalui internet/website seiring dengan penetrasi
pengguna internet di Indonesia yang tinggi.

Selain masalah SDM, dampak desentralisasi bagi keberlangsungan pelaksanaan KB


tampak pada kelembagaan urusan KB. Sejak adanya otonomi daerah, terjadi perubahan struktur
organisasi BKKBN (berubah menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional),
dan masalah KB menjadi kewenangan daerah masing-masing berkoordinasi dengan pihak
BKKBN provinsi. Kebijakan dan prioritas pimpinan daerah terhadap bidang KB menjadi faktor
penting bagi pelaksanaan KB. Sebab hal ini akan berdampak pada bentuk kelembagaan yang
menangani bidang KB serta pendanaan yang disediakan. Sebagai contoh di lingkungan Provinsi
Banten, ada daerah yang memposisikan organisasi bidang KB sebagai Badan setingkat eselon 2,
namun bergabung dengan bidang pemberdayaan perempuan (seperti di Kota Tangerang, Kota
Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Lebak), adapula yang
menempatkannya pada level Bagian/Bidang setingkat eselon 3 (seperti di Kabupaten
Pandeglang), atau hanya se-level kantor. Kelembagaan serta pendanaan tentu saja akan
memengaruhi kinerja Government Public Relations bidang KB untuk menyukseskan program
tersebut di daerah masing-masing.

3.2 Wacana Model Ideal Konsep Otonomi Daerah Untuk NKRI

Otonomi daerah yang kita alami di indonesia saat ini terasa begitu absurd. Di satu sisi
banyak daerah yang mengalami kemajuan luar biasa dan terkenal dengan inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahannya, di sisi lain lebih banyak daerah dikatakan hidup segan, mati
tak mau. Otonomi daerah yang diharapkan mampu mendekatkan negara pada rakyatnya beralih
menjadi pemangsaan rakyat oleh negara. Kesejahteraan sebagai tujuan utama penyelenggaraan
pemerintahan hanyalah utopia dalam janji kampanye belaka. Desentralisasi merupahkan pilihan
para founding fathers kita dalam penyelengaraan negara sebagaimana tercantum dalam pasal 18
UUD 1945.

Desentralisasi dianut demi tercapainya efektivitas pemerintahan dan demi terlaksananya


demokrasi dari atas sampai bawah (grassroots democracy). Sebagai konsekuensi dari
pelaksanaan desentralisasi, muncullah daerah-daerah otonom, yaitu daerah yang mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Yang diatur dan diurus adalah tugas-tugas atau urusan-
urusan tertentu yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Teknik yang dapat dipakai
untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana urusan daerah
ada beberapa yaitu: a. Sistem residu dimana ditentukan dulu wewenang pusat, sisanya menjadi
wewenang daerah. b. Sistem material dimana tugas pemerintah daerah ditetapkan satu per satu
secara liminatif dan terinci. Faktor-faktor yang mendukung agar tercapainya otonomi daerah
yang ideal menurut Josef Riwu Kaho adalah;

a. Faktor manusia Penyelenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan


sebaikbaiknya apabila manusia pelaksananya baik, dalam arti mentalitas maupun kapasitasnya.
Manusia merupahkan unsur dinamis yang berfungsi sebagai subyek penggerak pemerintahan.
Manusia pelaksana pemerintahan daerah antara lain:

1. Kepala daerah dan DPRD : Beban tugas mereka sangat berat, sehingga untuk menduduki
jabatan ini juga memerlukan kualifikasi yang sebanding dengan beban tugasnya. Faktor
pengalaman dan pendidikan menempati posisi penting dalam menenmpa Kepala Daerah dan
DPRD.

2. Aperatur pemerintahan daerah ; sebagai unsur pelaksana, aperatur pemerintah daerah memiliki
peran vital dalam keseluruhan proses penyelenggaraan otonomi daerah. Melihat beban tugas
yang demikian berat dengan banyaknya wewenang yang diberikan kepada daerah, perlu langkah
sistematis untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahan daerah. Syarat pendidikan,
pengalaman organisasi dan peningkatan skenario latihan, kursus dan sebagainya.

3. Masyarakat : Penyelenggaraan pemerintah daerah bukan sematahanya dipundak pemerintah


daerah, tetapi juga di pundak masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat daerah dapat
berpartisipasi baik secara parsial maupun holistik, sesuai dengan kompetisi, masalah, keahlian,
dan yuridiksi yang dimilikinya. Partisipasi masyarakat menyangkut empat hal penting yaitu:
Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, partisipasi dalam proses pelaksanaan, partisipasi
dalam menikmati hasil, partisipasi dalam proses evaluasi.

b. Faktor keuangan Kemampuan keuangan ini merupahkan salah satu indikator penting
guna mengukur tingkat ekonomi suatu daerah. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak
dapat dilepaskan dari cukup tidaknya kemampuan daerah dalam bidang keuangan. Keuangan
daerah digunakan untuk membiayai pembangunan daerah yang bersangkutan. Sumber ± sumber
keuangan daerah dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Pendapatan asli daerah (PAD) : hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan
daerah, hasil dinas daerah, dam hasil usaha daerah lain yang sah.
2. Sumber pendapatan non-asli daerah (non-PAD) Selama ini penghasilan daerah sangat
rendah ,sehingga untuk operasional pemerintah daerah masih banyak menggantungkan subsidi
keuangan dari pusat.

c. Faktor peralatan Peralatan merupahkan instrumen perantara dan pembantu bagi aparatur
pemerintah daerah dalam melaksanakan berbagai tugas pekerjaannya. Untuk memperlancar
jalanya penyelenggaraan tugas pemerintah daerah maka diperluakan sejumlah alat yang cukup
memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. Keterbatasan peralatan yang dimiliki daerah dapat
menyulitkan aparatur dalam melaksanakan fungsi public service.

d. Faktor organisasi dan manajemen Untuk dapat mewujudkan organisasi yang baik dan
sehat maka dalam setiap organisasi perlu diterapkan asas ± asas atau prinsip ± prinsip tertentu.
Asas ± asas ini merupakan sarana prantara menciptakan iklim yang baik mencapai tujuan
organisasi. Tujuan yang jelas merupakan hal yang pokok dalam tiap organisasi dan landasan
bagi organisasi dalam melaksanakan kegiatan ± kegiatan. Asas selanjutnya yaitu asas
pembagian kerja, pembagian kerja harus diikuti pula oleh pendelegasian wewenang, sehingga
pelaksanaan bidang tugas dapat sepenuhnya menjadi tanggung jawab seseorang. Koordinasi
merupakan asas lain yang harus ditetapkan, koordinasi dimaksudkan untuk menjamin kesatuan
tindakan guna meramalkan dan mencegah terjadinya krisis. Asas berikutnya yaitu pengontrolan,
kontrol merupakan hal penting dalam organisasi. Setiap orang memiliki keterbatasan dalam
mengontrol sejumlah besar bawahan. Untuk bisa mengontol bawahan secara efektif, pemimpin
harus memiliki rentang kontrol dan batas ± batas tolereansi. Asas terakhir yaitu komando,
kesatuan komandi penting untuk menghindari terjadinya konflik atau kesimpangsiuran dan
mempertegas kejelasan dalam pertanggungjawaban. Disamping faktor organisasi, yang tidak
kalah penting adalah manajemen. Manajemen memiliki lima fungsi pokok yaitu:

1. Perencanaan : perencanaan memiliki arti strategis sebab dapat membantu organisasi


menyesuaikan diri dengan lingkungan

2. Pengorganisasian : pengorganisasian mempertegas garis wewenang, tugas dan kewajiban,


mempermudah koordinasi dan integrasi, menghindari terbengkalainya tugas dan pekerjaan
mempertegas seluruh perintah, tanggung jawab dan komunikasi.

3. Penyusunan personalia : merupakan fungsi manajemen yang berkaitan dengan recruitment


tenaga, penempatan pada posisi yang sesuai dengan kemampuannya, pemberian latihan serta
pengembangan anggota.
4. Pengarahan :pengarahan merupakan langkah konkritisasi dari segala tujuan dan rencana yang
diperankan oleh seorang pemimpin.

5. Pengawasan : pengawasan merupakan fungsi terakhir yang sangat penting dalam setiap
organisasi. Dengan pengawasan dapat diukur kemajuan yang dicapai, mencegah terjadinya
penyimpangan sehingga memudahkan tindakan korektif. Pengawasan diperlukan untuk
menjamin tetap berjalannya suatu pekerjaan sesuai dengan yang telah direncanakan.

Dinamika perubahan kebijakan pemerintahn daerah di indonesia pasca reformasi mengalami


perubahan dari undang-undang Nomor 5 Tahun 1975 menjadi undang-undang Nomor 22 tahun
1999 dan undang-undang 32 Tahun 2004 menjadi undang-undang 23 Tahun 2014 dan kembali
dirubah menjadi undangundang Nomor 9 Tahun 2015. Demi tuntutan masyarakat serta kondisi
masingmasing daerah, maka kemudian pemerintah melakukan perubahan kebijakan pengelohan
hubungan pusat dan daerah yang melahirkan berbagai perubahan undang-undang pemerintahan
daerah.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini menjelaskan tentang (a) otonomi daerah (b) prinsip prinsip otonomi daerah (c) dasar
hukum otonomi daerah (d) pelaksanaan otonomi daerah di indonesia (e) peran mahasiswa dalam
menyikapi pelaksanaan otonomi daerah pada masa orde baru

4.1 Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan suatu bentuk respon dari pemerintah atas berbagai tuntutan
masyarakat terhadap tatanan penyelenggraan Negara dan Pemerintahan. Hal ini merupakan suatu
sinyal bahwa telah berkembangnya kehidupan berdemokrasi dalam suatu Negara, karena kebutuhan
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik dan responsif. Salah satu alternative
untuk mewujudkan pelayanan yang baik dan responsive adalah melalui otonomi daerah.

Dengan adanya perubahan lingkungan strategis dalam sistem pemerintahan daerah di


Indonesia, dan diberlakukannya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999, hal ini memberi
kesempatan kepada daerah baik propinsi maupun kabupaten /kota mempunyai kewenangan dalam
mengatur dan mengurus kepentingan masyatakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Otonomi daerah merupakan proses desentralisasi kewenangan yang semula berada di pusat,
kemudian diberikan kepada daerah secara utuh, dengan tujuan agar pemerintah daerah dapat
memberikan pelayanan lebih dekat kepada masyarakat, dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi
daerah, serta meningkatkan kesejateraan masyarakat, dan mempercepat proses demokratisasi. Yang
menjadi prinsip dalam penyelengaraan otonomi daerah yaitu demokratisasi, peran serta masyarakat,
pemerataan, dankeadilan, serta memperhatiakan potensi dan keanegaraman daerah. Hal yang
mendasar dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah mendorong untuk memberdayakan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, serta
mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Pemberiankewenangan tersebut diikuti dengan
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
4.2 Prinsip-prinsip otonomi daerah

Prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan


pemerintah daerah adalah:

1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek


demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekargaman daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab.
3. Luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, pelaksanaan
Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah
kota, sedangkan propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat, dan daerah serta antardaerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebihmeningkatkan kemandirian daerah otonom,
dan oleh karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah
administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah
atau pihak lain, seperti bahan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan,
kawasan industri, kawasan pekebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan ,
kawasan perkantoran baru, kawasan pariwisata, berlaku ketentuan daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran
atas penyelengaraan pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakan pada daerah provinsi dalam kedudukannya
sebagai wilayah administrasi untuk meletakan pelaksanaan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

4.3. Dasar Hukum Otonomi Daerah

Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun
2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan
pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi
daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan. Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka
aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.

4.4 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa
perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet
dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih
besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.

Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja
memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja
kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan adanya otonomi
daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elite
lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana demokrasi yang belum terbangun
di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi.

Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, publik seharusnya dilibatkan dalam


pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi
daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusa belum melibatkan
publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya
publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).

Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu,
sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan
pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di
DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah dilakukan pengesahan, perda-
perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif dalam
mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka berikan.

Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah,


seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di
Indonesia, implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan
masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga.

Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya


lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan
masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah lokal juga
mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk
mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970- an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan
Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya
menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan
sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok
minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun
program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.

Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada
di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon
tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri.
Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari
pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan
daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata.

4.5 Peran Mahasiswa Dalam Menyikapi Pelaksanaan Otonomi Daerah Pada Masa

Orde Baru

Peran Mahasiswa Indonesia sekarang ini sedang dalam taraf yang bisa dibilang cukup
membingungkan, penuh dengan pertanyaan serta keragu-raguan. Jika membaca sejarah gerakan
mahasiswa masa lalu, maka satu simpulan simplistik bahwa gerakan mereka adalah gerakan
terencana dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman. Ada masa yang menuntut gerakan untuk
menjadikan jalanan sebagai panggung artikulasi untuk menyampaikan aspirasinya kepada
pemerintah. Juga ada masa ketika gerakan kembali berkontemplasi di kampus-kampus melalui
forum diskusi membentuk jejaring intelektualitas.

Mahasiswa adalah salah satu katalisator bagi perubahan bangsa. Berdiam diri tentunya
bukanlah pilihan. Sayangnya dalam proses mencari bentuk setelah Reformasi 1998, mahasiswa
pada akhirnya terhimpit pada dua masalah kecil yang dibesar-besarkan, pada dirinya sendiri, yaitu
apatisme dan banalitas aksi. Apatisme disini berarti keadaan cuek atau acuh tak acuh; di mana
mahasisawa tidak tanggap terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan masyarakat,
sedangkan banalitas aksi disini merupakan keadaan dimana pergerakan mahasiswa dianggap
lemah, tidak memberikan dampak yang kompleks . Pernyataan diatas rasanya sudah dapat
mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi apatis mahasiswa Indonesia saat ini. Sistem
pendidikan di kampus-kampus dialam demokrasi lebih berorientasi pada kepentingan pasar dan
mengutamakan transaksi ilmu pengetahuan (teks) semata serta mengabaikan transaksi nilai (yang
politik). Gaya semacam ini membuat kondisi apatis menjadi semakin sahih. Semestinya kampus
harus direbut kembali untuk terus di isi, diuji dan dimaknai dalam nilai-nilai dan semangat baru.
Jika kampus tak juga beranjak berubah, jangan berani berharap Angkatan ’66 masa sekarang
dapat lahir dari kampus semacam itu. Bertolak dari apatisme mahasiswa tadi, dapat kita temui
juga kelompok mahasiswa yang tetap mencurahkan perhatianya pada kondisi bangsa. Namun
banyak dari aksi yang mereka lakukan akhirnya terjebak pada banalitas. Mereka lebih bersifat
reaktif daripada responsif. Lebih banyak bersifat massa yang marah dari pada mahasiswa yang
sadar. Lalu terjerumus pada heroisme-heroisme dangkal yang meniadakan pemahaman
mendalam. Dalam demokrasi kita dituntut untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan akan
bentuk perjuangan yang lebih kreatif, berimajinasi dan tidak monoton apalagi mengutamakan
kekerasan. Suatu bentuk yang lebih apresiatif bagi masyarakat sekarang walau tidak pula berarti
menurunkan bobot spririt dan daya dobraknya.

Melihat kondisi mahasiswa yang dulunya berperan penting dalam pergerakan reformasi.
Kita dapat melihat dua hal yang menjadi kelemahan Mahasiswa. Pertama, aksi reformasi
mahasiswa yang turun kejalan ialah bentuk dari reakreasi politik atau trend demokrasi atas
ketidak puasaan pemerintah kepada rakyatnya,dan tidak jarang sikap anarkis seolah-olah
merupakan bentuk dari komunikasi demontrasi yang gagal. Kedua, mahasiswa terpisah dari
potensi kekuatan rakyat,dan inilah yang merupakan yang paling pokok yang di lupakan oleh
mahasiswa.Untuk memulai suatu pergerakan, tentunya Mahasiswa harus membentuk golongan
mahasiswa yang benar-benar mengerti tentang peran mahasiswa dalam membangun Pemerintah
yang demokratis. Kemudian memahami aspek-aspek penting dalam berinteraksi sosial dalam
masyarakat dalam sudut padang ekonomi menyeluruh. Yang kemudian mencari nilai-nilai sejauh
mana pemerintah memberikan pelayanan terhadap rakyatnya. Serta mengkrucutkan ragam bentuk
keinginan suara hati rakyat suatu bangsa yang dalam bentuk satu misi dan visi memperjuangkan
rakyat dalam kaitan membangun pemerintah yang demokratis perubahan bagi bangsa dan rakyat
secara menyeluruh. Oleh karena itu mahasiswa harus menyusun kekuatan dan memperbanyak
silaturhami antar organisasi sesama Universitas baik negeri dan swsta di tanah air ini. Dengan
demikian terbentuknya kekuatan dari mahasiswa yang mampu menyuarakan suara rakyat akan
mampu memberikan peran mahasiswa sendiri dalam membangun pemerintahan yang benar-benar
adil terhadap rakyatnya secara menyeluruh.
BAB V

PENUTUP

Pada bab ini menjelaskan tentang (a) Kesimpulan, (b) saran.

A. Kesimpulan

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur


pemerintahan daerah sesuai amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas
pemberlakuan otonomi daerah, begitu pula dalam hal pembentukan daerah atau pemekaran
wilayah. Dalam sistem otonomi daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam
pelaksanaannya, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pemberlakuan sistem
otonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak
positif maupun dampak negatif. Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal, seperti
kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan sebagainya menjadi penyebab utama sebuah wilayah
menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
pemekaran wilayah.

B. Saran

Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di
tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi
pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian perselisihan. Selain
itu, pemerintah pusat juga harus menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah
dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai,
demikian pula tentang pertimbangan keamanan.
DAFTAR PUSTAKA

“Dua Provinsi Baru di Aceh Dideklarasikan.”. (2005, Desember 7). Retrieved from
www.liputan6.com/view/ 1,113592,1,0,1133,690100.html Gunawan, J. E. (n.d.).

Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Indonesia. (n.d.). Undang-Undang Tentang


Pemerintahan Daerah. No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437.

Indonesia. (n.d.). Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan


Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah . PP No. 6 tahun 2005, LN No. 22 tahun 2005,
TLN No. 4480.

Indonesia. (n.d.). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Malley, M. (2001).

In D. K. Emmerson, "Daerah, Sentralisasi dan Perlawanan” dalam Indonesia Beyond Soeharto:


Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi (pp. 122-181). Jakarta: PT Gramedia.

Asshiddiqie, Jimly, 2006,

Konstitusidan Konstitusialisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta

Hanif, 2003, Teori dan Praktek Pemerintahan, Grafindo, Jogyakarta. Hernadi Affandi, Tarik Ulur
Desentralisasi vs Sentralisasi, Artikel, Pikiran Rakyat Cyber Media, 03 Januari 2005. Koesomahatmadja,
R.D.H.,1979, Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Penerbit Bina Cipta,
Bandung MD, Mahfud, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia : Studi tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketetanegaraan, Rineka Cipta Cipta, Jakarta. Stroink, F.A.M. dalam Abdul Rasyid
Thalib,2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soejono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta. Kaho, Josef Riwu, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai