Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf
halusinasi menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan
mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi
peningkatan penggunaan alat-alat transportasi /kendaraan bermotor khususnya
bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga menambah "kesemrawutan"
arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan
kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut
sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361).
Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi
yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan
keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik
memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta sebagai
peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan keperawatan kepada klien
fraktur melalui metode ilmiah.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui
lebih lanjut bagaimana asuhan keperawatan fraktur tertutup Tibia Fibula Sinistra.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengalaman nyata tentang asuhan keperawatan
dengan fraktur tertutup Tibia Fibula Sinistra
1.2.2 Tujuan Khusus
Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
tertutup Tibia Sinistra, Penulis mampu :
1) Mengidentifikasi data yang menunjang masalah keperawatan pada fraktur
tertutup Tibia Fibula Sinistra

1
2) Menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia
Fibula Sinistra
3) Menyusun rencana keperawatan pada klien dengan fraktur fraktur tertutup
Tibia Fibula Sinistra
4) Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia
Fibula Sinistra
5) Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan fraktur tertutup Tibia
Fibula Sinistra
6) Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat serta penyelesaian
masalah (solusi) dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan
fraktur tertutup Tibia Fibula Sinistra

2
BAB II
PEMBAHASAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


FRAKTUR

2.1 Definisi
Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan
tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau
kecelakaan.
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya
hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak
mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)

2.2 Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan
pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan
sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh
kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges,
2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot

3
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik).

2.3 Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil,
atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan
menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang
patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi.
(Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai.
Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-
jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel
tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito
(2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner
& suddarth, 2002: 2387).

4
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn
vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges,
2000:629).

5
2.4 Pathway

6
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari faktur , menurut Brunner and Suddarth,(2002:2358)
1) Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di
rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
2) Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui
membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang
tempat melekatnya otot.
3) Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
4) Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma
dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur
adalah:
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2) Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3) Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4) Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

7
2.6 ASUHAN KEPERAWATAN SECARA TEORITIS

Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses


keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-
masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini
terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan

8
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi

9
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien
harus menjalani rawat inap
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body
image)
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya
tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan
timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

10
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik
terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung
pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak
ada nyeri kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
(6) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri
tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

11
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak
pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit
klien yang berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor
dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal

12
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari
posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary
refill time à Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah,
atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran

13
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau
tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan
sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada
indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang
harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang
kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah
di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal
dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.

14
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

Diagnosa

1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
2. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

Intervensi

1. Nyeri Akut
 Tujuan / kriteria evaluuasi
 Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
 Mempertahankan tingkat nyeri pada skala yang rendah
 Mengenali factor penyebab dan menggunakan tindakan untuk memodifikasi
factor tersebut
 Melaporkan pola tidur yang baik

15
 Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa peran dan
hubungan interpersonal
 Aktivitas keperawatan
 Minta pasien untuk menilai nyeri dengan skala 0-10
Rasional: meminta paisen untuk menyebutkan tingkat nyeri yang di rasa dari
angka 0-10 (Hariyanto & Sulistyowati, 2015, p. 91)

 Mengkaji nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan


durasi, frekunsi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan factor
presipitasinya.
Rasional: Menentukan kebutuhan akan manajemen nyeri dan keefektifannya
(Asikin,M dkk, 2013, p. 95)

 Penyuluhan kepada pasien/ keluarga


 Intruksikan kepada pasien untuk melaporkan kepada perawat jika peredaan
nyeri tidak dapat dicapai
Rasional: Informasikan kepada pasien jika nyeri tidak menurun (Asikin,M dkk,
2013, p. 96)

 Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologik sebelum, setelah dan jika


memungkinkan selama ktivitas menimbulkan nyeri, sebelum nyeri meningkat,
dan bersama pengunaan tindakan peredaan nyeri dengan yang lain.
Rasional: Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
nyeri yang mungkin berlangsung lama  (Rosyidi, 2013, p. 59).

 Aktivitas lain
 Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri dan efek
samping
Rasional: menyesuaikan dosis sesuai nyeri yang di alami pasien

Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa lalu,


seperti distraksi, relaksasi, atau kompres hangat/dingin
Rasional: Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri (Rosyidi, 2013, p. 59).

 Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi.


Rasional: Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan
kelelahan otot (Rosyidi, 2013, p. 59).

 Aktivitas kolaboratif
 Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
Rasional: menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri
baik secara sentral maupun perifer (Rosyidi, 2013, p. 59).

2. Gangguan Mobilitas Fisik


 Tujuan atau kriteria evaluasi
 Memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar dengan pengawasan

16
 Meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi, jika diperlukan
 Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secaa mandiri dengan alat bantu
 Menyangga berat badan
 Berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang benar
 Berpindah dari dan ke kursi roda
 Menggunakan kursi roda secara efektif
 Aktivitas keperawatan
 Ubah posisi pasien yang imobilisasi atau sangga bagian tubuh yang
terkena
Rasional: Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernafasan (decubitus,
atelectasis, pneumonia) (Rosyidi, 2013, p. 62)

 Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi atau


perpindahan
Rasional: Mempertahankan posisi fungsional ekstremitas Menurunkan insiden
komplikasi kulit dan pernafasan (decubitus, atelectasis, pneumonia) (Rosyidi,
2013, p. 62)

 Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas. Kaji
kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan
dirumah dan alat kesehatan yang tahan lama (Wilkinson, 2016, pp. 268-269)
3. Gangguan Integritas Kulit
 Tujuan/ Kriteria Evaluasi
 Pasien dan keluarga menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau perawatan
luka yang optimal
 Drainase purulen (atau lainnya) atau bau luka minimal
 Tidak ada lepuh atau maserasi pada kulit
 Nekrosis, selimur, lubang, perluasan luka ke jaringan di bawah kulit atau
pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada.
 Eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
 Aktivitas keperawatan
 Inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Rasional: menilai perkembangan masalah klien (Rosyidi, 2013, p. 64)

 Kaji ada atau tidaknya jaringan nekrotik


Rasional: mengetahui tentang sirkulasi kulit disebabkan oleh alat dan/
pemasangan gips/ bebat atau traksi, pembentukan edema yang membutuhkan
intervensi lebih lanjut (Lukman & Ningsih, 2013, p. 51)

 Penyuluhan pasien dan keluarga


Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan termasuk tanda dan gejala infeksi, cara
mempertahankan luka insisi tetap kering saat mandi dan mengurangi penekanan
pada insisi tersebut.

Rasional: menginformasi dan memebri conto tentang perawatan luka yang akan
dilakukan di rumah (Lukman & Ningsih, 2013, p. 51)

17
 Aktivitas kolaboratif
 Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori
dan vitamin
Rasional: Mencari informasi tentang gizi yang cocok pada penderita fraktur
(Lukman & Ningsih, 2013, p. 51).

 Aktivitas lain
 Lakukan perawatan luka atau perawatan kulit secara rutin
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan infeksi (Lukman &
Ningsih, 2013, p. 55)

 Bersihkan dan balut area insisi pembedahan menggunakan prinsip stril


Rasional: (Lukman & Ningsih, 2013, p. 55)

(Wilkinson, 2016, pp. 397-399).

4. Resiko Infeksi
1. Tujuan/Kriteria Evaluasi
 Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
 Memperlihatkan higiene personal yang adekuat
 Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi
 Melaporkan tanda dan gejala infeksi serta mengikuti prosedur skrining dan
pemantauan
1. Aktivitas keperawatan
 Pantau tanda dan gejala infeksi
Rasional: Mengetahui gejala awal terjadinya infeks

(Lukman & Ningsih, 2013, p. 64)

1. Peyuluhan untuk pasien dan keluarga


 Intruksikan untuk menjaga higiene personal untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi
Rasional: menurunkan kadar kontaminasi (Lukman & Ningsih, 2013, p. 53).

 Instruksikan untuk menjaga personal hygiene untuk melindungi tubuh tehadap


infeksi.
 Ajarkan teknik mencuci tangan yang benar dan ajarkan kepada pengunjung
untuk mencuci tangan sewaktu masuk dan meninggalkan ruangan
1. Aktivitas kolaboratif
 Berikan terapi antibiotik
Rasional: guna untuk mencegah dan mengatasi infeksi (Rosyidi, 2013, p. 64).

1. Aktivitas lain
 Pertahankan teknik isolasi
Rasional: mencegah terjadinya infeksi (Rosyidi, 2013, p. 64).

18
(Wilkinson, 2016, pp. 235-236).

Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sudah ada dan


direncanakan dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan ini mencangkup
tindakan mandiri perawat, seperti tindakan KIE, observasi, Nursing treatment dan
kolaborasi. Tindakan mandiri perawat adalah aktivitas perawat yang didasarkan
pada kesimpulan ataupun keputusan sendiri dan bukan petunjuk atau perintah dari
petugas kesehatan lainnya. Sedangkan tindakan kolaborasi merupakan hasil dari
keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lainnya (Tarwoto &
Wartonah, 2010, pp. 7-8)
Evaluasi

Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang


membandingkan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan dari kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara kesinambungan dan melibatkan klien serta tenaga kesehatan
lainnya. Evaluasi keperawatan teknik SOAP  bila menemukan masalah baru
menggunakan SOAPIER meliputi evaluasi/catatan perkembangan yang dialami
oleh klien setelah diberikan implementasi keperawatan pada Post Op
ORIF (fraktur femur) dengan Nyeri Akut hari ke-2:
1. S: berupa pernyataan ataupun keluhan yang dirasakan oleh klien.
2. O: merupakan data yang diobservasikan dari perawat atau keluarga.
3. A: merupakan kesimpulan dari data Subjektif dan Objektif
4. P: yaitu apa yang akan dilakukan terhadap masalah (Asmadi, 2008, p. 178)
 

19
BAB III

KASUS ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA FRAKTUR

Ny.N berumur 66 tahun, jenis kelamin perempuan, Ny.N beragama islam.


Alamat rumah Ny.N di Jln.Danau RT.01 Dusun Besar Bengkulu. Ny.N datang
kerumah sakit pada tanggal 20 November 2019, dengan keluhan Ny.N sering
mengeluh nyeri.
Ny.N memiliki riwayat kesehatan sekarang yaitu klien dibawa ke IGD
pada tanggal 28-des-2010 diantar oleh keluarga dengan keluhan nyeri pada betis
sebelah kiri dan tidak bisa digerakkan karena patah setelah ditabrak sepeda motor.
Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 29-des-2010 klien tampak
lemah,kesadaran composmentis,tampak bengkak pada bagian kaki yang
patah,klien mengeluh nyeri pada kaki (betis) sebelah kiri karena patah dengan
skala nyeri :4. Dan nyeri bertambah jika kaki tersebut digerakan.keluarga klien
selalu membantu dalam memenuhi kebutuhannya.
Ny.N memiliki riwayat kesehatan dahulu yaitu klien belum pernah
mengalami patah tulang sebelumnya,klien juga tidak mempunyai riwayat penyakit
keturunan dan menular lainnya.
Ny.N di kaji pada tanggal 21 November 2019, dengan No RM 497541
Ruang Seruni, dengan diagnosa yang ditetapkan dokter adalah “Close Fraktur
Tibia Fibula Sinistra”.

20
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.N DENGAN DIAGNOSA


FRAKTUR

Laporan
Tangggal masuk : 20 November 2019
Tanggal pengkajian : 21 November 2019
No RM : 497541
Ruang : Seruni
Diagnosa medik : CLOSE FRAKTUR TIBIA FIBULA SINISTRA

4.1 Pengkajian
4.1.1 Identitas klien
Nama : Ny.N
Umur : 66 Tahun
Agama : islam
Jenis kelamin : perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : JL.Danau RT.01 Dusun Besar Bengkulu
4.1.2 Penanggung Jawab
Nama : Ny.S
Umur : 50 Tahun
Jenis kelamin : perempuan
Hub.dgn klien : keponakan
4.1.3 Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri
4.1.4 Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan sekarang

21
Klien dibawa ke IGD pada tanggal 20 Nov 2019 diantar oleh keluarga
dengan keluhan nyeri pada betis sebelah kiri dan tidak bisa digerakkan karena
patah setelah ditabrak sepeda motor.
Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 21 Nov 2019 klien tampak
lemah,kesadaran composmentis,tampak bengkak pada bagian kaki yang
patah,klien mengeluh nyeri pada kaki (betis) sebelah kiri karena patah dengan
skala nyeri :4. Dan nyeri bertambah jika kaki tersebut digerakan.keluarga klien
selalu membantu dalam memenuhi kebutuhannya.
Riwayat kesehatan dahulu
Klien belum pernah mengalami patah tulang sebelumnya,klien juga tidak
mempunyai riwayat penyakit keturunan dan menular lainnya.
Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami
penyakit keturunan ataupun menular lainnya.
4.1.5 Data psikologis
Klien tampak menerima keadaan sakit sekarang dan berharap bisa cepat
sembuh.
4.1.6 Data sosial
Hubungan klien dengan keluarga baik,terlihat dari anak dan keluarganya
yang lain selalu menunggu nya.
4.1.7 Data spiritual
Klien beragama islam,klien dan keluarga selalu berdo'a supaya cepat
senbuh.
4.1.8 Kebiasaan sehari-hari
No.  Kebiasaan  dirumah  Dirumah sakit 

1. Nutrisi
3x sehari  3x sehari
a.Makanan
  Nasi,lauk Nasi, lauk-pauk, sayur
frekuensi
pauk,sayur
jenis
   
makanan
b.Minuman
 
6-7 gelas /hari 6-7 gelas/hari
frekuensi
Air putih Air putih
  -jenis
minuman

22
 
 
 
 
   
 
Eliminasi
2.  1x/hari
a.BAB  1x/hari
Lembek
frekuensi Lembek
  Kuning
konsistensi Kuning
  warna  
 
b.BAK 4-5x/hari
  Terpasang kateter
frekuensi Jernih kekuningan
Jernih kekuningan
  warna Khas
Khas
bau + 1300 cc/hari
+1300cc/hari
  jumlah
 
 
   
 
Istirahat tidur  
  6-7 jam/hari
lama tidur 6-7 jam/hari
3. Tidak ada
gangguan Tidak ada
tidur
   
 
 
   
Personal  
hygiene 2x/hari
Dilap 1x/hari
4. mandi 2x/hari
1x/hari
gosok gigi
   
 
  Klien bisa
  melakukan Klien selalu dibantu oleh keluarga
Aktivitas  dan perawat dalam melakukan
5.  aktivitas
aktivitas 
Secara mandiri 

23
4.1.9 Pemeriksaan fisik
keadaan umum : lemah
kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital : TD : 150/90 mmHg    P : 18x/Menit
N : 81x/Menit        S : 36,5'c
1) Kepala
Inspeksi : simetris,distribusi rambut merata
Palpasi : tidak ada nyeri tekan,tidak ada benjolan
2) Mata
Inspeksi : simetris,tidak ada katarak,konjungtiva anemis,sclera an ikterik
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3) Hidung
Inspeksi : simetris,tidak ada pengeluaran,tidak ada pernafasan cuping
hidung
Palpasi : tidak ada nyeri tekan,tidak ada benjolan
4) Telinga
Inspeksi : simetris,tidak ada pengeluaran
Palpasi : tidak ada nyeri tekan,tidak ada benjolan
5) Mulut
Inspeksi : simetris,mukosa bibir lembab,tidak ada sianosis
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
6) Leher
Inspeksi : simetris,tidak ada pembesaran vena jugularis
Palpasi : tidak ada nyeri tekan,tidak ada pembengkakan
7) Dada
Inspeksi : simetris,pergerakan dinding dada baik
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler
Perkusi : bunyi rensonan
8) Abdomen

24
Inspeksi : simetris,tidak ada bekas operasi
Auskultasi : bunyi bising usus (+)
Perkusi : bunyi timpani
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
9) Ekstremitas
Atas : pada ekstremitas atas,tangan bisa digerakkan dengan baik
Bawah : pada ekstremeritas bawah,kaki sebelah kiri(tibia-fibula) tidak bisa
digerakkan/fraktur, kondisi sekitar fraktur oedema, adanya luka
10) Genetalia
Inspeksi : simetris,terpasang kateter
Palpasi : tidak ada nyeri tekan

 THERAPY
1) cairan RL 20 tts/menit
2) citicholine 3x1 (IV)
3) keterolac 3x1 (IV)
4) taxef 2x1 gr (14/st)
5) pronalges supp
6) dexamethason 2x1 amp (IV)
7) rannitidin 2x1 amp (IV)

 4.1.10 Analisa Data


Nama : Ny.N
No.RM : 497541
Umur : 66 Tahun
Ruangan : Seruni
No  Data Fokus  Etiologi  Masalah 

1  DS : Fraktur Gangguan rasa


nyaman nyeri 
Klien mengatakan nyeri pada betis
sebelah kiri kerena patah

25
DO :
Diskontinuitas
KLien tampak lemah tulang
Skala nyeri 4
 

Pergeseran
Tampak edema pada bagian
fragmen tulang
fraktur

 
Nyeri bertambah jika pada bagian
Nyeri 
yang fraktur di gerakkan

Fraktur
DS :
 Diskontinuitas
tulang
Keluarga klien mengatakan
aktivitas klien selalu dibantu oleh
keluarga  
Perubahan
jaringan sekitar
DO :
Gangguan

  mobilitas fisik
Klien tampak selalu di bantu oleh
Pergeseran
keluarga dan perawat dalam
fragmen tulang
melakukan aktivitas

 Depormitas

Fraktur pada 1/3 tibia fibula  Gangguan fungsi


sinistra
 Gangguan
mobilitas fisik 

26
4.2 Diagnosa
Nama : Ny.N
No.RM : 497541
Umur : 66 Tahun
Ruangan :Seruni
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d terputusnya kontinuitas jaringan pada tulang /
fraktur  ditandai dengan klien tampak lemah skala nyeri 4, klien mengatakan nyeri
pada betis sebelah kiri kerena patah, tampak edema pada bagian fraktur, nyeri
bertambah jika pada bagian yang fraktur di gerakkan
2. Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan d.d keluarga klien mengatakan
aktivitas klien selalu dibantu oleh keluarga, klien tampak selalu di bantu oleh
keluarga dan perawat dalam melakukan aktivitas, fraktur pada 1/3 tibia fibula
sinistra
 
4.3 Intervensi
Nama : Ny.N
No.RM : 497541
Umur : 66 Tahun
Ruangan :Seruni
No
Tujuan dan Intervensi
diagnosa Rasional  Paraf 
kriteria hasil  Keperawatan 
kep 

1  Setelah Pertahankan Menghilangkan  


dilakukan imobilisasi bagian nyeri dan mencegah
perawatan yang sakit dengan kesalahan posisi
selama 3x24 tirah baring, gips / tulang atau jaringan
jam di harapkan pembidaian yang cedera
gangguan rasa
nyaman nyeri
 
dapat berkurang
/ atau teratasi
dengan criteria
hasil : Meningkatkan aliran
Klien tidak Tinggikan dan balik vena,
mengeluh nyeri dukung eksremitas menurunkan edema,
yang terkena dan menuunkan
Skala nyeri0 nyeri

27
Evaluasi keluhan
Mempengaruhi
nyeri, perhatikan
pilihan / pengawasan
lokasi,
kefektifan intervensi
karakteristik dan
intensitas nyeri

Lakukan kompres Menurunkan


dingin 24-48 jam edema /
pertama sesuai pembentukan
keperluan hematum,
menurunkan sensasi
nyeri
 
Kolaborasi
pemberian obat Untuk menurunkan
analgetik nyeri atau spasme
otot

2  Setelah Pasien mungkin  


dilakukan dibatasi oleh
Kaji derajat
perawatan pandangan diri /
imobilitas yang
selama 3x24 persepsi diri tentang
dihasilkan oleh
jam diharapkan keterbatasan fisik
cedera
gangguan aktual, memerlukan
mobilitas fisik informasi
dapat teratasi  
Berguna untuk
dengan kriteria
Beriakn papan mempertahankan
hasil :
kaki, bebat posisi fungsional
Klien pergelangan eksremitas tangan /
melakukan kaki, mencegah
aktivitas secara kontraktur
mandiri
 
Mobilisasi dini
Berikan / bantu menurunkan
mobilisasi dengan komplikasi tirah
kursi roda, kruk, baring,
tongkat, sesegera meningkatkan
mungkin, penyembuhan dan
intruksikan normalisasi fungsi
keamanan dalam organ
menggunakan alat
mobilisasi

28
 
Hipertensi pertural
adalah masalah
Awasi TD dengan umum menyertai
melakukan tirah baring lama
aktivita dan dapat
  memerlukan
intervensi khusus

4.4 Implementasi
Nama : Ny.N
No.RM : 497541
Umur : 66 Tahun
Ruangan :Seruni
No Tanggal
Implementasi  Respon hasil  Paraf 
DX.Kep  / jam 

1  -mempertahankan  
mobilisasi bagian yang
Nyeri berkurang
sakit dengan tirah baring
dan spalk
 
 
 Nyeri berkurang
-meninggikan dan
tapi masih edema
mendukung ekstrimitas
yang terkena
 
   Neri p[ada
21-11- eksremitas bawah
2019 -mengevaluasi keluhan
sebelah kiri (tibia-
nyeri lokasi,karakteristik
fibula) Nyeri nyilu
dan intensitasnya
  skala 4

 
  TD : 150/90 mmHg
-mengukur TD pasien

   
Mengkolaborasikan
Ketrolak 2x1 amp
  pemberian obat analgetik

29
sesuai indikasi IV
  yaitu:keterolac
 
   
membantu mobilisasi  
  dengan kruk dan
Membantu
mengintruksikan
menyembuhkan dan
keamanan dalam
  menormalisakan
menggunakan alat
fungsikan organ
mobilitas
 
 
Mempertahankan
 
mobilisasi bagian yang
sakit dengan tirah baring
  dan spalk
Nyeri berkurang

 
Meninggikan dan  
mendukung eksremitas
yang terkena Nyeri berkurang tapi
 
masih edema

 
Mengevaluasi keluhan  
nyeri
Skala nyeri 4
 

 
 
Mengukur TD pasien TD : 130/90
 

 
Berkolaborasi dalam
pemberian obat analgetik
  sesuai indikasi yaitu : Ketrolak 2x1 amp
ketrolak IV

 
 

 
membantu mobilisasi  
dengan kruk dan
  mengintruksikan Membantu

30
penyembuhan dan
keamanan dalam
normalisai fungsi
menggunakan alat
organ
mobilitas

Mempertahankan
mobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah baring
dan spalk
Nyeri berkurang

 
Meninggikan dan
medukung eksremitas  
  yang terkena
Nyeri berkurang tapi
masih edema
 
 
Mengevaluasi keluhan
 
nyeri Skala nyeri 3
22-11-
2019 
 
Mengukur TD pasien

TD : 130/90
Berkolaborasi dalam
pemberian obat analgetik
sesuai indikasi yaitu :
Ketrolak 2x1 amp
ketrolak
IV

membantu mobilisasi  
dengan kruk dan
mengintruksikan
 Membantu
keamanan dalam
penyebuhan dan
menggunakan alat
normalisasi fungsi
mobilitas
organ

4.5 Evaluasi

31
Nama : Ny.N
No.RM : 497541
Umur : 66 Tahun
Ruangan :Seruni
No.
Hr/tgl/jam  Evaluasi Keperawatan   paraf 
Dx.kep 

S : Klien mengatakan nyerinya sudah


berkurang

 
O : skala nyeri:3
Sabtu,
klien masih tampak lemah
23,nov 1.   
2019
 
A : Masalah teratasi sebagian

 
P : Intervensi dipertahankan

S : Keluarga klien mengatakan aktivitas klien


sudah mulai bisa melakukannya sendiri

 
O : Klien sudah tampak melakukan aktivitas
Sabtu sendiri
23,nov 2.   
2019  
A : Masalah teratasi

 
P : intervensi dipertahankan

32
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress


pada tulang yang berlebihan. Selanjutnya penulis akan menyimpulakn sesuai
dengan tahapan-tahapan yang ada didalam proses keperawatan yang meliputi
pengkajian, diagnose, perencanaan, implementasi, evaluasi.
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi langsung
yang penulis dapatkan dari keluarga pasein dan pasien itu sendiri, selain itu juga
penulis mendapatkan informasi dari perawat dan catatan medic pasien.
Dua diagnose yang penulis temukan pada pasien setelah dilakukan
pengkajian yaitu : 1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d terputusnya kontinuitas
jaringan pada tulang / fraktur  ditandai dengan klien tampak lemah skala nyeri 4,
klien mengatakan nyeri pada betis sebelah kiri kerena patah, tampak edema pada
bagian fraktur, nyeri bertambah jika pada bagian yang fraktur di gerakkan
2. Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan d.d keluarga klien mengatakan
aktivitas klien selalu dibantu oleh keluarga, klien tampak selalu di bantu oleh
keluarga dan perawat dalam melakukan aktivitas, fraktur pada 1/3 tibia fibula
sinistra
Dalam menyusun rencana keprawatan pada pasien penulis mengacu pada
konsep dasar askep yang kemudian disesuaikan dengan kemampuan pasien dan
ruangan perawatan pasien
Dalam melakukan tindakan keperawatan penulis tidak melakukan semua
yangada dalam rencana keperawatan karena keterbatasan sarana, kemampuan
pasien dan waktu yang ada
Evaluasi dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ada, dan diagnosa
sudah teratasi.

5.2 Saran
Bagi pasien dan keluarga : Pada penderita fraktur tibia sangat dibutuhkan
istirahat total dan minimalkan pengeluaran energy, jadi hal yang paling utama
yang dapat dilakukan pasien dan keluarganya jika terjadi komplikasi adalah
berupaya untuk beristirahat total.
Bagi lahan peraktek : Perawatan penderita fraktur tibia memerlukan waktu
yang cukup panjang dan sangat beresiko terjadi komplikasi. Dengan demikian
perawatan kepada penderita haruslah dilakukan dengan cermat dan tepat, untuk
mencapai hal tersebut pihak rumah sakit hendaklah mempunyai perawat yang
telah berpengalaman dalam perawatan pasien fraktur tibia.

33
DAFTAR PUSTAKA

http://yulnico.blogspot.com/2011/05/makalahasuhan-keperawatan-pada-nyn.html
http://tntangkeperawatan.blogspot.com/2013/07/laporan-pendahuluan-fraktur.html
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6,
EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2000), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem
Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

34

Anda mungkin juga menyukai