Anda di halaman 1dari 8

TERAPI OKUPASI

a. Pengertian
Okupasi artinya mengisi atau menggunakan waktu luang. Setiap orang
menggunakan waktu luang untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan,
sedangkan terapi mempunyai arti penatalaksanaan terhadap individu yang
menderita penyakit atau disabilitas baik fisik maupun mental (Yusuf, Fitryasari
, Nihayati. 2015).
Okupasi Terapi Menurut World Federation of Occupational Therapist
(2012), merupakan profesi kesehatan yang berbasis clientcentred dengan
berfokus pada promosi kesehatan dan kesejahteraan melalui aktivitas
(okupasi). Tujuan utama dari okupasi terapi adalah untuk memungkinkan
seseorang berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Okupasi terapis
dalam mencapai tujuan bekerjasama dengan orang lain dan masyarakat untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam aktivitas yang diinginkan,
dibutuhkan, atau diharapkan, dengan memodifikasi aktivitas maupun
lingkungan yang lebih baik untuk mendukung dalam keikutsertaan okupasional
Terapi okupasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomer 76 Tahun 2014, adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada pasien/klien
dengan kelainan/kecacatan fisik atau mental yang mempunyai gangguan pada
kinerja okupasional, dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk
mengoptimalkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-
hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang.
Terapi Okupasi (Occupational Therapy) adalah suatu ilmu dan seni
dalam mengarahkan partisipasi seseorang untuk melaksanakan suatu tugas
tertentu yang telah ditentukan bermaksud untuk memperbaiki, memperkuat,
dan meningkatkan kemampuan dan mempermudah belajar keahlian atau fungsi
yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan, juga untuk
meningkatkan produktivitas, mengurangi atau memperbaiki ketidak-normalan
(kecacatan), serta memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya (Sitanto,
Wardani, Suryanata, 2016).

1
2

Berdasarkan definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa terapi okupasi


merupakan suatu profesi kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan
kemandirian pasien yang memiliki keterbatasan dengan meningkatkan
kemampuan dalam melakukan aktivitas dikehidupannya melalui tiga area
okupasi yaitu aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS), produktivitas, dan
pemanfaatan waktu luang.
b. Tujuan
Tujuan terapi okupasi bagi pasien gangguan mental, yaitu menciptakan
kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan kemampuannya agar
dapat berhubungan dengan orang lain, membantu menyalurkan dorongan
emosi secara wajar dan produktif, menghidupkan kemauan dan motivasi
pasien, menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan
keadaannya, dan mengumpulkan data guna penentuan diagnosis dan penetapan
terapi lainnya (Yusuf, Fitryasari , Nihayati. 2015).
Menurut Irawan 2015 tujuan terapi okupasi yaitu memulihkan
perkembangan baik fisik, mental maupun emosionalnya agar berperan
seoptimal mungkin sehingga individu tersebut mampu berperan dalam aktivitas
kehidupan kesehariannya. Dan segala potensi yang dimiliki oleh individu
mampu berkembang dengan baik serta individu tersebut layak diterima di
masyarakat.
Terapi okupasi bertujuan mengembangkan, memelihara, memulihkan
fungsi dan mengupayakan kompensasi/adaptasi untuk aktifitas sehari-hari,
produktivitas dan waktu luang melalui pelatihan, remediasi, stimulasi dan
fasilitasi. Terapi okupasi meningkatkan kemampuan individu untuk terlibat
dalam bidang kinerja berikut: aktivitas hidup sehari-hari dan kegiatan
instrumental hidup sehari-hari (Ponto, Bidjuni, Karundeng 2015).
Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa tujuan utama
terapi okupasi adalah mengembalikan fungsi fisik, mental, sosial, dan
emosional agar individu berperan seoptimal mungkin dalam aktivitas sehari-
hari.
3

c. Proses Terapi Okupasi


Proses pelayanan Terapi Okupasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomer 76 Tahun 2014. meliputi: Asesmen terapi okupasi
meliputi pengumpulan informasi berupa gangguan komponen kinerja okupasi
yang meliputi komponen motorik, sensorik, persepsi, kognitif, dan psikososial.
Isi asesmen yang dilakukan oleh okupasi terapis sekurang-kurangnya memuat
data anamnesa yang meliputi identitas umum dan riwayat keluhan, serta
pemeriksaan komponen kinerja okupasi dan area kinerja okupasi serta
mempertimbangkan pemeriksaan penunjang. Reasesmen atau pemeriksaan
ulang dimungkinkan bilamana terjadi perubahan yang signifikan pada kondisi
pasien dalam fase pengobatan/intervensi.
Diagnosis terapi okupasi merupakan suatu pernyataan yang
mengambarkan keadaan multi dimensi pasien yang dihasilkan dari analisis
hasil pemeriksaan dan pertimbangan klinis, yang dapat menunjukkan adanya
disfungsi/gangguan komponen kinerja okupasional dan area okupasional.
Diagnosis terapi okupasi dapat berupa adanya gangguan komponen kinerja
okupasional dan area okupasional (PERMENKES, 2014).
Intervensi terapi okupasi meliputi: adjunctive therapy, enabling activity,
purposefull activity, dan occupational activity. Intervensi terapi okupasi
dilaksanakan dengan mengutamakan keselamatan pasien/klien, dilakukan
berdasarkan program perencanaan intevensi dan dapat dimodifikasi setelah
dilakukan evaluasi serta pertimbangan teknis melalui persetujuan pasien atau
keluarganya terlebih dahulu (PERMENKES, 2014).
Evaluasi/re-evaluasi dilakukan oleh okupasi terapis sesuai tujuan
perencanaan intervensi. Evaluasi/reevaluasi merupakan kegiatan monitoring-
evaluasi yang dilakukan pada saat intervensi atau setelah periode tertentu
intervensi, serta didokumentasikan pada rekam medis. Hasil evaluasi/re-
evaluasi berupa kesimpulan, termasuk dan tidak terbatas pada rencana
penghentian program atau merujuk pada dokter/profesional lain terkait
(PERMENKES, 2014).
4

Pendokumentasian. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan


penyelenggara pelayanan terapi okupasi memperhatikan pentingnya
dokumentasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pelayanan terapi
okupasi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan (PERMENKES,
2014).
Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan terapi okupasi
dilaksanakan secara sistematis, dimulai dengan kegiatan identifikasi, analisis,
diagnosis, pelaksanaan serta tindak lanjut layanan guna mencapai kesembuhan
yang optimal. Area kinerja okupasional meliputi aktivitas kehidupan sehari-
hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang.
d. Tahapan Terapi Okupasi
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.571 tahun 2008 terdapat 4
(empat) tahapan terapi yakni:
1. Terapi komplementer (adjunct theraphy).
Peraturan Menteri Kesehatan mendefinisi pengobatan Komplementer
tradisional-alternatif adalah pengobatan non konvensional yang di tunjukan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, meliputi upaya
promotiv, preventive, kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui
pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan evektivitas yang
tinggi berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik tapi belum diterima dalam
kedokteran konvensional.
2. Terapi yang membuat klien mampu beraktivitas (enabling).
3. Terapi yang membuat klien mampu beraktivitas secara bermakna dan
bertujuan (purposeful activity).
4. Terapi yang membuat klien mampu beraktivitas dan berpartisipasi pada area
kinerja okupasional (occupation).
Jadi dalam terapi okupasi terdapat empat tahapan terapi komplementer
atau pengobatan alternatif/ tradisional, terapi yang membuat klien mampu
beraktivitas, kemudian terapi yang membuat klien mampu beraktivitas namun
memiliki makna dan tujuan dalam beraktivitas tersebut, dan yang terakhir
5

terapi yang mampu membuat klien beraktivitas dan berpartisipasi pada area
kinerja okupasional
e. Jenis aktivitas Terapi Okupasi
Beberapa jenis laihan aktivitas terapi okupasi yaitu : Aktivitas latihan
fisik untuk meningkatkan kesehatan jiwa, aktivitas dengan pendekatan kognitif,
aktivitas yang memacu kreativitas, training keterampilan, serta terapi bermain.
Menurut (Keputusan Menteri Kesehatan No.571 tahun 2008 tentang standar
profesi okupasi terapis) Area kinerja okupasional meliputi aktivitas kehidupan
sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang : (1) Aktivitas
kehidupan sehari-hari, meliputi : berhias (menyisir rambut, memakai wangi-
wangian), kebersihan mulut (sikat gigi), mandi, berpakaian, makan/minum,
kepatuhan minum obat, sosialisasi, (2) Produktivitas yang meliputi :
pengelolaan rumah tangga (menyapu, mengepel), merawat orang lain,
sekolah/belajar, dan aktivitas vokasional, (3) Pemanfaatan waktu luang yang
meliputi : eksplorasi pemanfaatan waktu luang (ketika individu memiliki waktu
luang, dapat memanfaatkannya ke hal positif seperti melukis, membuat
kerajinan tangan, dll).
Menurut Creek 2010 aktivitas mengisi waktu luang yang diberikan
berupa akivitas-aktivitas sehari-hari yaitu aktivitas mengisi waktu luang seperti
menyapu, membersihkan tempat tidur, aktivitas waktu luang dapat membantu
pasien untuk berhubungan dengan orang lain atau lingkungan secara nyata.
Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa jenis latihan
dalam terapi okupasi merupakan aktivitas-aktivtas yang dilakukan sehari-hari
seperti menyapu, mandi, membaca, bermain, dll, sehingga individu dapat
bermanfaat dalam masyarakat.
Semua kegiatan itu dipandu oleh seorang terapis okupasi yang memiliki
tugas sebagai berikut menurut (Yusuf, Fitryasari , Nihayati. 2015):
1. Motivator dan sumber penguatan, yakni memberikan motivasi pada pasien
dan meningkatkan motivasi dengan memberikan penjelasan pada pasien
tentang kondisinya, manfaat aktivitas yang diberikan, memberikan
dukungan, dan meyakinkan pasien akan sukses.
6

2. Guru, yaitu terapis memberikan pengalaman pembelajaran ulang, yang


maksudnya terapis harus mempunyai pengalaman tentang keterampilan dan
keahlian tertentu serta harus dapat menciptakan dan menerapkan aktivitas
mengajar pada pasien.
3. Model sosial, yaitu seorang terapis harus dapat menampilkan perilaku yang
dapat dipelajari oleh pasien. Pasien mengidentifikasi dan meniru terapisnya
melalui bermain peran, yang pada saat itu terapis mendemonstrasikan
tingkah laku yang diinginkan (verbal/nonverbal) yang akan dicontoh pasien
4. Konsultan, yaitu terapis menentukan program perilaku yang dapat
menghasilkan respons terbaik dari pasien. Terapis bekerja sama dengan
pasien dan keluarga dalam merencanakan rencana tersebut.
7

DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Ah. PK, Rizky Fitryasari. Nihayati, Hanik Endang. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Sitanto, Olivia. Wardani, Laksmi K. Suryanata, Linggajaya. 2016. Perancangan
Interior Fasilitas Okupasi Bagi Para Skizofrenia (Gangguan Jiwa) di
Surabaya. Jurnal Intra Vol4, No. 2, (2016) 46-59. Di Akses Pada 16
Oktober 2018.
World Federation of Occupational Therapist. 2012. Definition of occupational
therapy. London: World Federation of Occupational Therapist..
http://www.wfot.org/aboutus/aboutoccupational
therapy/definitionofoccupation Di Akses Pada 16 Oktober 2018.
PERMENKES. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer 76
tahun 2014: tentang standar pelayanan terapi okupasi.
http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload/regul
asi/PMK_No._76_ttg_Standar _Pelayanan_Terapi_Okupasi_.pdf. Di
Akses Pada 16 Oktober 2018.
KEMENKES. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer
571 tahun 2008 : tentang standar profesi terapi okupasi.
http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/kepuusan-menteri-
kesehatan-no-571-tentang-standar-profesi-okupasi-terapis.pdf. Di Akses
Pada 16 Oktober 2018.
Creek, 2010, Comprehensive Texbook of Psychiatry. Sevent Edition. New York :
williams & Wilkins. Di Akses Pada 16 Oktober 2018.
Irawan, RD. 2015. Terapi Okupasi (Occupational Therapy) Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus (Down Syndrome).
http://lib.unnes.ac.id/23361/1/1601409008.pdf. Di Akses Pada 16 Oktober
2018.
8

Ponto. Dewantari L, Bidjuni. Hendro, Karundeng. Michael. 2015. Pengaruh


Penerapan Terapi Okupasi Terhadap Penurunan Stres Pada Lansia Di Panti
Werdha Damai Ranomuut Manado. ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume
3. Nomor 2. Mei2015. Di Akses Pada 16 Oktober 2018.

OLEH
HOSRIYANI NINGSIH : (716.6.2.0737)
DEDY ALAN SEFTIYANTO : (716.6.2.0717)

Anda mungkin juga menyukai