Anda di halaman 1dari 4

SURAT

DIRJEN PAJAK
NOMOR S-393/PJ.02/2016 TANGGAL 26 APRIL 2016

TENTANG

PENEGASAN SAAT DIMULAINYA KEWAJIBAN PERPAJAKAN

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, dan pertanyaan dari beberapa Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) terdapat permasalahan yang berkaitan dengan perbedaan perlakuan saat dimulainya
kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) antara secara jabatan dengan secara
permohonan. Untuk memberikan kepastian hukum dan menerapkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik maka perlu diberikan penegasan data permasalahan tersebut.

A. Dasar Hukum dan Pertimbangan Hukum
1. Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang KUP), antara lain:
a. Dalam Pasal 1 angka 6, diatur bahwa:
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
b. Dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (4a), diatur bahwa:
Ayat (1)
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
Ayat (4a)
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima)
tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
c. Dalam Pasal 12 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur bahwa:
Ayat (1)
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya
surat ketetapan pajak.
Ayat (2)
Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
Ayat (3)
Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut
Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
d. Dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4), diatur bahwa:
Ayat (1)
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut
Ayat (4)
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
2. Undang-Undang nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang PPN), antara lain:
a. Dalam Pasal 3A ayat (1) dan ayat (1a), diatur bahwa:
Ayat (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
Ayat (1a)
Pengusaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
b. Dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan penjelasannya, diatur bahwa:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
Penjelasannya:
Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak meliputi baik
Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3A ayat (1) maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi
Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 197/PMK.03/2013, dalam Pasal 1 ayat (1) diatur bahwa Pengusaha kecil merupakan
pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
4. Berdasarkan sistem self assessment, Indonesia menganut ajaran material dimana pajak yang
terutang timbul karena terpenuhinya syarat subjektif dan objektif berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Hal ini berbeda dengan ajaran formal, dimana Wajib Pajak
akan membayar pajak menggantungkan adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh
fiskus. Syarat objektif adanya pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ditentukan
oleh Tatbestand yaitu perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak
yang terutang.
5. Dalam Undang-Undang KUP dan Undang-Undang PPN, penerbitan NPWP dan/atau
Pengukuhan PKP merupakan proses administrasi yang tidak menentukan timbulnya pajak
yang terutang. NPWP digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya antara lain untuk membayar atau
menyetor, dan melaporkan Surat Pemberitahuan. Surat Pengukuhan PKP digunakan sebagai
sarana administrasi agar dapat menerbitkan Faktur Pajak.
6. Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP
merupakan konsekuensi logis dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang KUP, apabila Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi
kewajibannya untuk mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak padahal telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan
perundang-undangan perpajakan.
7. Bahwa pengaturan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP yang menyatakan
bahwa kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP
dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP dimaksudkan untuk menegaskan dan memberikan
kepastian hukum adanya ketentuan daluwarsa penetapan pajak 5 (lima) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang KUP.
8. Pendapat yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (4a) Undang-Undang KUP
mengenai kewajiban perpajakan diberlakukan mundur 5 (lima) tahun tidak berlaku bagi Wajib
Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan
permohonan merupakan penafsiran yang bersifat a contrario. Ketentuan Pasal 2 ayat (4a)
Undang-Undang KUP tidak dapat ditafsirkan secara a contrario. Dalam hukum pajak,
penafsiran a contrario dan penafsiran a na lo gy tidak dapat diterapkan karena dapat
memperluas atau mempersempit dasar pengenaan dan penetapan pajak yang terutang.

B. Penegasan terkait Permasalahan
Berdasarkan permasalahan, dasar hukum dan pertimbangan hukum yang diuraikan diatas,
kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Saat dimulainya kewajiban perpajakan adalah saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan
objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sehubungan adanya
perbuatan, keadaan, atau peristiwa yang menimbulkan adanya pajak yang terutang dalam
suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
2. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) Undang-Undang KUP seharusnya dibaca dan
ditafsirkan secara utuh dan satu kesatuan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang KUP. Kewajiban perpajakannya dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan
subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai
PKP, berlaku bagi:

a. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhakn sebagai PKP secara jabatan;
atau
b. Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP berdasarkan
permohonan.
3. Dalam hal diperoleh data dan informasi atas kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang
menimbulkan adanya pajak yang terutang sebelum diterbitkannya NPWP
dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan
surat ketetapan pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak atas kewajiban perpajakan tersebut belum
melewati daluwarsa penetapan pajak.
4. Sesuai prinsip self assessment, Wajib Pajak dapat diberikan kesempatan untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar atau menyetor, dan melaporkan dalam Surat Pemberitahuan
atas kewajiban perpajakan sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai
PKP, sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.

Demikian disampaikan untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

A.n. DIREKTUR JENDERAL,
DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN I
ttd
IRAWAN

Anda mungkin juga menyukai