Anda di halaman 1dari 6

Konsepsi dan Karakteristik Benua Maritim Indonesia

Maritim dan bahari sering dipertukarkan untuk maksud yang sama. Meskipun pada umumnya
mempunyai arti yang sama yakni tentang laut, tetapi terdapat perbedaan dalam makna tertentu.
Substansi maritim tidak hanya berarti laut, tetapi juga menunjuk pada “lokasi yang dekat
dengan laut”. Itu artinya bahwa daratan berupa daerah pesisir, menjadi penghubung antara
wilayah laut dengan daerah di pedalaman. Bahari memiliki arti lain tentang dimensi waktu dan
tradisi berkaitan dengan laut. Dalam hal ini bahari lebih sesuai dikaitkan dengan budaya
(budaya bahari), sedangkan maritim untuk negara (negara maritim). Dalam perspektif kekinian
untuk mendukung visi-misi pemerintahan Ir. Joko Widodo, “Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia”. Pendapat tentang poros maritim sebagai jalur pelayaran maritim, sehingga Indonesia
menguasai jalur pelayaran maritim; dalam istilah Global Maritime Nexus (GMN), lebih cocok
dengan ‘benang merah’ sejarah mengenai jaringan pelayaran dalam konteks nusantara silang
bahari. Untuk menjadi negara maritim perlu kerja keras dari setiap komponen bangsa melalui
keahlian dan bidangnya masing-masing. Untuk menjadi negara maritim diperlukan budaya
bahari. Perwujudan hard power pada negara maritim harus diiringi dimensi soft power, suatu
kekuatan yang berasal dari budaya: nilai dan tradisi budaya bahari yang dalam perspektif
historis telah terbukti. Faktor sejarah memiliki nilai lebih yaitu, memberikan banyak pilihan
yang mengarah pada penemuan atau kesimpulan baru.

Selama ini kita telah memunggungi laut. Istilah memunggungi itu bermakna: diabaikan alias
tidak dipedulikan, tidak dipentingkan. Karena alam-geografis negara kita ini terdiri dari pulau-
pulau yang justru dihubung-persatukan oleh air, yaitu laut dan sungai. selama ini, tampak
bahwa tanah dalam arti darat, dianggap lebih penting dari air dalam arti laut-sungai. Dalam
topik yang diberikan kata budaya yang dikaitkan dengan maritim – budaya maritim. Dengan
berdasar tersebut, dihubungkan dengan PMD (Poros Maritim Dunia), yang terdiri dari:

1) Pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM),

2) Pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan di laut,

3) Tata kelola dan kelembagaan laut,

4) Ekonomi dan infrastruktur kelautan dan peningkatan kesejahteraan,

5) Pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut,

6) Budaya bahari, dan


7) Diplomasi maritim.

PMD itu, tidaklah cukup untuk disosialisasikan di dalam negeri, karena tidak hanya akan
menyangkut penataan aspek-aspek di dalam negeri, melainkan terutama juga akan berkaitan
dengan negara-negara lain. Sekarang, kita harus mengacu kepada Perpres, yaitu yang berkaitan
dengan tujuh aspek-pilar yang harus menjadi perhatian utama untuk mengembalikan budaya
maritim Indonesia. Strategi yang penting untuk menghadapi masa depan, selain strategi dalam
bidang pertahanan, keamanan, penegakan hukum dan keselamatan di laut, adalah
pembangunan dan pengembangan industri di bidang maritim.

Benua Maritim Indonesia (BMI) didefinisikan sebagai satu kesatuan alamiah antara darat, laut,
dan dirgantara di atasnya, tertata secara unik yang menampilkan ciri-ciri benua dengan
karakteristik yang khas dari sudut pandang iklim dan cuaca (klimatologi dan meteorologi),
keadaan airnya (oseanografi), tatanan kerak bumi (geologi), keragaman biota (biologi), serta
tatanan sosial budayanya (antropologi), yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Benua Maritim Indonesia (BMI) memiliki panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia
setelah Kanada, namun karakteristik curah hujan pesisir dan pengaruh bentuk garis pantai
terhadap distribusi curah hujan pesisir hingga saat ini belum dipahami dengan jelas. Sebagai
daerah dengan luas wilayah delapan puluh persen berupa lautan, pengetahuan tentang curah
hujan di pesisir sangat penting untuk aktivitas perekonomian masyarakat pesisir khususnya
perikanan dan keselamatan transportasi laut. Terdapat 816 pelabuhan dengan jumlah tangkapan
ikan sekitar 30 juta ton per tahun yang selalu membutuhkan informasi cuaca kelautan setiap
harinya. Ketidakakuratan informasi cuaca kelautan akan berdampak terhadap
ketidaknyamanan, efisiensi dan bahkan keselamatan aktivitas pelayaran pada umumnya dan
nelayan tradisional yang berjuang mencari ikan di tengah laut pada khususnya. Ada tiga cara
yang dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi prakiraan cuaca yang dapat dilakukan oleh
prakirawan. Pertama, dengan meningkatkan jumlah stasiun pengamatan sehingga data yang
tersedia mampu menangkap fenomena cuaca sesuai dengan skala cuaca yang dibutuhkan.
Kedua, dengan mengembangkan model numerik yang lebih akurat, baik model analisis maupun
model prakiraan yang sesuai dengan kebutuhan (WRF dengan resolusi tinggi). Ketiga,
meningkatkan pemahaman prakirawan terhadap fenomena cuaca yang pada umumnya
terbentuk di wilayah tersebut. Meningkatkan jumlah pengamatan cuaca di laut mempunyai
keterbatasan dan kesulitan yang lebih jika dibandingkan dengan pengamatan cuaca yang
dilakukan di darat. Ketersediaan lahan, sumber energi listrik, dan ketahanan alat menjadi
kesulitan yang utama. Dalam penelitian ini, penulis ingin berkontribusi dengan memberikan
pemahaman tentang karakteristik cuaca pesisir khususnya di wilayah teluk yang disajikan
dalam skematik pembentukan curah hujan pesisir. Skematik tersebut diharapkan dapat
dimanfaatkan prakirawan khususnya dibidang maritim sebagai salah satu panduan dalam
membuat prakiraan cuaca kelautan khususnya wilayah teluk. Curah hujan pesisir dicirikan
sebagai curah hujan intensitas lebat di sekitar pesisir dengan pergerakan curah hujan yang
dominan baik dari pesisir ke tengah darat maupun dari pesisir ke tengah laut. Hasil analisis
klimatologi curah hujan berdasarkan data TRMM 3B42 selama 1998 – 2015 menunjukan
bahwa distribusi curah hujan pesisir sangat tergantung terhadap bentuk garis pantai. Intensitas
curah hujan akan meningkat di sekitar wilayah dengan garis pantai berbentuk teluk (Teluk
Manado, Teluk Tomini, Teluk Tolo, Teluk Bone, Teluk Berau dan Teluk Cendrawasih) dan
selat (Selat Malaka (Fujita et al. 2012)). Teluk Cendrawasih merupakan teluk dengan intensitas
curah hujan paling besar (16,5 mm per hari) dibandingkan dengan daerah teluk lainnya. Adanya
pegunungan di sekitar Teluk Cendrawasih yang lebih tinggi dari teluk–teluk lainnya
diindikasikan sebagai penyebab terbentuknya curah hujan yang cukup lebat di wilayah Teluk
Cendrawasih (Pegunungan Weyland 3750 m). Topografi yang tinggi dapat membentuk curah
hujan orografi yang cukup besar di sekitar pegunungan. Pada malam hari, awan konvektif
tersebut bergerak ke tengah teluk dan berkontribusi terhadap peningkatan intensitas curah
hujan di tengah teluk dengan adanya merger cumulus. Pegunungan yang relatif tinggi juga
dapat meningkatkan intensitas angin darat sehingga konvergensi angin darat di tengah teluk
menjadi lebih besar. Arah hadap teluk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan variasi curah hujan bulanan. Pada teluk yang menghadap utara (Teluk
Cendrawasih), puncak curah hujan terjadi pada periode angin monsun asia sedangkan pada
teluk yang menghadap ke arah timur (Teluk Tolo dan Teluk Tomini), puncak curah hujan
bulanan terjadi pada periode angin monsun australia. Pada angin monsun asia, angin bertiup
dari Barat Laut-Utara, pegunungan di sisi selatan Teluk Cendrawasih akan berperan sebagai
blocking dari angin tersebut. Angin monsun asia dipaksa naik ke area depan pegunungan
sehingga terjadi pendinginan adiabatik dan terbentuk hujan orografi. Hujan tersebut berpindah
ke tengah laut pada malam hari karena adanya pengaruh angin darat. Karena daerah berbentuk
teluk, maka curah hujan akan berkumpul di satu lokasi tengah teluk membentuk merger
cumulus. Mekanisme yang sama juga terjadi di Teluk Tolo dan Teluk Tomini. Hasil simulasi
dari WRF-ARW menunjukkan perpindahan konvergensi angin lapisan bawah mempunyai
peranan besar dalam pembentukan variasi curah hujan diurnal di pesisir. Pada siang hari, intrusi
angin laut ke darat membentuk daerah konvergensi di sekitar daerah pegunungan sehingga
terbentuk curah hujan lebat di wilayah darat. Menjelang malam hari, sistem konvergensi
bergeser ke daerah pesisir dan membentuk sistem curah hujan di wilayah pesisir. Pada malam
hari, angin darat mendorong daerah konvergensi tersebut lebih jauh ke tengah laut sehingga
terbentuk curah hujan yang cukup lebat di tengah laut. Penguatan intensitas konvergensi yang
dipengaruhi oleh kecepatan angin darat serta pertemuan awan-awan konvektif di tengah laut
menyebabkan curah hujan malam hari di teluk lebih besar dari wilayah sekitarnya. Pada pagi
hari, meskipun angin darat sudah melemah, daerah konvergensi masih terbentuk di wilayah
laut karena adanya cold pool flow dari peluruhan awan-awan konvektif pada malam hari
sebelumnya. Cold pool flow tersebut membentuk konvergensi dengan prevailing wind
sehingga terbentuk sel konvektif baru di sisi luar daerah konvektif sebelumnya. Daerah
konvergensi tersebut bergerak ke arah luar teluk menjauhi wilayah pesisir hingga intensitas
cold pool flow melemah. Sel konvektif yang terbentuk pada umumnya berupa squall lines.
Suhu cold pool lebih rendah 2 – 3 K dari suhu di lingkungan sekitarnya. Perbedaan suhu udara
wilayah darat dan laut pada saat terjadinya angin laut dan angin darat maksimum mencapai
5°C. Infiltrasi angin laut ke wilayah daratan mencapai 30 km di pesisir Teluk Cendrawasih dan
55 km di sekitar pesisir Teluk Tolo. Perubahan angin darat dan angin laut juga merubah
komposisi udara secara vertikal di pesisir. Pada saat terjadi angin laut, uap air di wilayah pesisir
terdorong ke arah daratan sehingga kelembapan udara menjadi lebih kering dari rata-ratanya.
Perubahan kelembapan pada awalnya hanya terjadi di sekitar permukaan hingga 750 mb. Pada
saat angin laut cukup kuat, penurunan kelembapan udara mencapai ketinggian 150 mb. Pada
malam hari, kelembapan udara di pesisir kembali naik saat terjadi angin darat. Kondisi tersebut
mendukung terbentuknya awan konvektif pada malam hari. Ketinggian LCL dan LFC
mengalami penurunan (LCL: 400 m, LFC: 500 m) pada saat terjadi angin darat sehingga
mendukung terbentuknya awan konvektif pada malam hari. Ketinggian LCL dan LFC sangat
berdampak terhadap pembentukan awan-awan konvektif. Selisih ketinggian LCL dan LFC
yang cukup rendah dapat memicu terjadinya curah hujan lebat bahkan kejadian ekstrem.
Updraft yang terbentuk karena konvergensi angin darat dapat memicu pembentukan awan jika
ketinggian updraft tersebut mencapai ketinggian LCL. Curah hujan dengan intensitas sedang-
lebat terbentuk jika updraft mencapai ketinggian LFC dan intensitas ringan jika mencapai
ketinggian LCL. Convective avaibility juga mengalami peningkatan energi pada malam hari
yang dapat mendorong terbentuknya ketidakstabilan atmosfer. Nilai CAPE pada malam hari
mencapai 2000 J/Kg dapat membentuk awan cumulonimbus. Perbandingan hasil simulasi
WRF-ARW dengan skenario tanpa topografi – garis pantai (OCE) dengan model topografi
yang representatif (TER) menunjukkan bahwa pola variasi curah hujan diurnal model OCE
tidak terbentuk. Aktivitas konveksi dan sistem konvergensi juga tidak terbentuk. Hasil
perbandingan nilai curah hasil OCE dengan TER pada wilayah Teluk Cendrawasih, nampak
curah hujan karena adanya pengaruh bentuk garis pantai lebih besar 6 mm per jam
dibandingkan dengan simulasi tanpa garis pantai. Secara umum, pembentukan curah hujan di
pesisir teluk dapat terbagi menjadi empat tahapan, pertama adalah pembentukan curah hujan
yang kuat di darat karena adanya angin laut yang cukup kuat, kedua adalah pergerakan curah
hujan ke pesisir karena pelemahan angin laut, ketiga adalah peningkatan curah hujan di tengah
teluk karena adanya angin darat, dan keempat adalah pergerakan curah hujan ke sisi luar teluk
karena adanya konvergensi dari cold pool flow.
Alfahmi, Furqon. Pengaruh Garis Pantai Berbentuk Teluk Terhadap Peningkatan Curah
Hujan Pesisir di Benua Maritim Indonesia. Diss. IPB (Bogor Agricultural University).

Zuhdi, Susanto. "Budaya Bahari Sebagai Modal Membangun Negara Maritim


Indonesia." Jurnal Maritim Indonesia (Indonesian Maritime Journal) 8.2 (2020): 17-32.

Anda mungkin juga menyukai