Anda di halaman 1dari 5

Materi Ceramah dan Kultum Ilmu adalah

Pemimpin Amalan

Audiensi = Pelajar
Metode = Ceramah
Retorika = Guru

Muadz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

ُ‫ال ِع ْل ُم ِإ َما ُم ال َع َم ِل َوال َع َم ُل تَابِ ُعه‬

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya
ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Bukti Bahwa Ilmu Lebih Didahulukan daripada Amalan

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal
‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)”. Perkataan ini merupakan
kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,

َ ِ‫فَا ْعلَ ْم َأنَّهُ اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوا ْستَ ْغفِرْ لِ َذ ْنب‬
‫ك‬

“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak


disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad
[47]: 19).

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah
ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih
dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu
hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan
keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al
Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya,
bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar
bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan
yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak
terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas,
maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen).
Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena
diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa
ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan
perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab
itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat.
Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)

Keutamaan Luar Biasa Ilmu Syar’i


Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan
perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan
mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar’i berikut akan membuat kita lebih
termotivasi dalam hal ini.
Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di
dunia. Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa
derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan.
Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba
yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan. Allah Ta’ala
berfirman,

ٍ ‫يَرْ فَ ِع هَّللا ُ الَّ ِذينَ َآ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوالَّ ِذينَ ُأوتُوا ْال ِع ْل َم َد َر َجا‬
‫ت‬

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang


yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al Mujadalah: 11)

Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia
untuk urusan agama dan dunia meraka. Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal
bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa.
Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi
yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.
Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli
ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan
bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli
ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil
tersebut.
Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang
yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada
ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku”. Maka ulama tersebut
mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang
menghalangi dirinya untuk bertaubat.
Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah
negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya
merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh
kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya.

Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah
dan ahli ilmu.
Ketiga, Ilmu adalah Warisan Para Nabi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

ٍّ ‫ِإ َّن اَأل ْنبِيَا َء لَ ْم يُ َو ِّرثُوا ِدينَارًا َوالَ ِدرْ هَ ًما ِإنَّ َما َو َّرثُوا ْال ِع ْل َم فَ َم ْن َأ َخ َذ بِ ِه َأ َخ َذ بِ َح‬
‫ظ َوافِ ٍر‬

“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah
mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh
keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682.
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud dan Shohih wa
Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Keempat, Orang yang Berilmu yang Akan Mendapatkan Seluruh Kebaikan.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َم ْن ي ُِر ِد هَّللا ُ بِ ِه خَ ْيرًا يُفَقِّ ْههُ فِى الدِّي ِن‬

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah


akan memahamkan dia tentang agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap orang yang Allah
menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah
agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu
Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya.” (Majmu’
Al Fatawa, 28/80)

Manakah Ilmu yang Wajib Dipelajari terlebih Dahulu?

Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk
diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk
diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid,
mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib
dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang
harus diketahui.
Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti
bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian
ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan
seterusnya.
Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji
belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji,
ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang
harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan
niat.
Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang
benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik.
Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.
Penutup

Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat
kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid’ah).
Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan
mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
mengatakan,

‫من عبد هللا بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح‬

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat
banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf wan
Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan
orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah –rahimahullah- mengatakan,

‫ارى‬
َ ‫ص‬َ َّ‫َم ْن فَ َس َد ِم ْن ُعلَ َماِئنَا َكانَ فِي ِه َشبَهٌ ِم ْن ْاليَهُو ِد َو َم ْن فَ َس َد ِم ْن ِعبَا ِدنَا َكانَ فِي ِه َشبَهٌ ِم ْن الن‬

“Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui)
memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak
(karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang
Nashrani.” (Majmu’ Al Fatawa, 16/567)

Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi
benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita
ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.

Anda mungkin juga menyukai